Udara malam di musim kering terasa dingin, kalo orang Jawa bilang musim bedidih. Tak heran jika siang panas seperti membakar kulit, jika menjelang malam udara seperti di puncak gunung. Dingin sekali.
Seorang wanita usia hampir kepala tiga narik nafas panjang sambil memandang langit, luas tak terbatas, kedua lengan tanganya menyila di depan dadanya merasakan hawa dingin menyapu kulitnya.
Masih sama seperti dulu di saat merasakan gundah gulana, Devi akan selalu menatap langit. Sambil mengucapkan sesuatu dalam hatinya
“Masalahku kecil, di banding nikmat yang Kuasa.” Kalimat itu yang selalu terbesit jika ia merasa resah. Semacam matra ajaib yang selalu ia ulang-ulang dalam hatinya.
Semua berawal dari Ayah Devi sewaktu kecil, ketika dirinya mengeluh saat kesulitan mengerjakan PR atau hal apa pun yang membuatnya tak suka. Hingga dirinya menjelang dewasa selalu terucap dari bibir Ayah.
“Ingat! Nikmat Allah lebih banyak dari pada masalahmu!”
Biasanya Ayah akan mengucapkan itu sambil mengusap kasar ubun-ubun Devi, lengkap dengan senyuman lebar dan sesekali mencubit pipi putri kesayanganya.
Berjalannya waktu, kata-kata itu menjadi mantra ketika ia merasa sedang dihimpit kesulitan.
Tarjo sibuk memasukan koper satu persatu ke bagasi mobil Honda Jazz milik Devi, Namy mengunci rumahnya. Sekilas ada roda wajah sedihnya meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu.
Rumah yang sederhana khas Solo. Dinding depan dengan papan kayu jati yang usianya sudah puluhan tahun, lengkap pintu kayu yang berdiri kokoh. Bagian belakang dan samping berdinding batu bata merah. Bagian depan terdapat emperan (pendopo) yang cukup luas dengan empat pilar (tiang). Itulah rumah warisan turun temurun dari nenek dan buyut Devi, yang sudah mengalami beberapa kali renovasi. Dari rumah adat murni Jawa kuno sekarang beralih ke Jawa lebih modern.
“Apakah Ibu sedih meninggalkan rumah ini?” tanya Devi yang mendekati Namy.
Namy berusaha menahan air mata yang meronta-ronta ingin keluar. “Lumayan, tapi tidak masalah. Nanti kalo kita kangen rumah ini, kita pulang,” kata Namy.
Devi lebih dulu membukaan pintu mobil untuk Namy, baru dirinya melangkah ke samping mobil, masuk dan duduk di sabelah Namy. Sesaat kemudian Tarjo membawa laju mobil melintasi jalan raya Solo.
Sepuluh menit mobil itu melaju, dari arah berlawaan mobil ambulan melaju kencang dengan lampu menyala di atasnya, lengkap dengan suara sirine nyaring. Mobil-mobil di jalan seketika mingir, memberi jalan.
Hanya perlu beberapa detik suara sirine itu menghilang, pasti sopir di dalamnya kesetanan membawa orang yang sedang butuh bantuan medis.
Sekitar lima belas menit mobil Devi yang dikemudikan Tarjo melaju melewati area kecelakan yang sudah di beri garis polisi, berwarna kuning. Ada dua mobil derek di sana dan sekitar sepuluh orang dengan seragam polisi wora wiri di sekitar area kecelakaan, memberi tanda putih di jalan raya.
Sekali lagi, Devi hanya memandang satu detik sebuah mobil Avanza warna hitam bagian depan rusak parah, dan sebelahanya mobil tidak terlalu terlihat, karena minim cahaya. Cepat-cepat Devi mengalihakan pandangan matanya. Dia benar-benar menghindari pemandangan yang semakin merusak suasana hatinya.
“Itu kayaknya kecelakanya parah ya?” celetuk Namy.
“Iya Bu, saya lihat mobilnya ringsek,” ujar Tarjo.
Sesaat dalam mobil itu kembali sunyi tanpa ada suara manusia, hanya suara derung mesin mobil. Menyusurui jalan kota Solo menuju jalan tol Trans Jawa.
*
Empat jam perjalanan akirnya mobil Honda Jazz putih turun di tol Satelit Surabaya Barat, Devi melirik jam tangan mungil yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu tepat pukul sebelas lebih empat puluh menit. Kemudian Devi memberi arahan kemana Tarjo akan mengemudi.
“Itu rumah siapa Dev?” tanya Namy
“Bos saya Bu saat aku kerja di Solo, beliau meminta Devi tinggal di rumahnya yang kosong, untuk sementara.” Terlukis senyuman tipis dari wajah Devi.
Namy yang sudah letih mengurungkan sejuta pertanyaan dalam hatinya. Memilih terdiam seribu bahasa.
Sampailah di pintu masuk dengan gapura megah besar. Ada dua pos satpam di sebelah kanan kiri, di sebelah samping ada dua pohon palem di dalam pot ukuran besar, diamernya dua puluh lima centi meter. Tinggi pohon palem itu kira-kira satu meter dengan daun mirip kipas dengan ujung pada daun meruncing. Tanaman hias yang menarik untuk dipandang.
Terjo turun menyapa salah satu security. Bertanya alamat rumah yang akan ditujuh. Namy menurunkan kaca mobil di samping tempat duduknya. Ikut mendengar interuksi dari satpam perumahan itu.
“Deket kok Pak! Lurus! Nanti ketemu perempatan belok kiri ke jalan Paviliun. Lihatin aja setiap nomor setiap rumah!” kata salah satu laki-laki yang berhadapan dengan Tarjo.
Satu menit kemudian Tarjo masuk mobil. “Tidak jauh dari sini Bu rumahnya. Katanya lima menit dari pintu masuk,” tutur Tarjo.
Devi tak menjawab hanya mengangguk pelan. Matanya terus memandang jalan pemukiman yang cukup mengagumkan. Lampu berwarna putih berjejer di setiap lima meter jalan, tepat di tengah-tengah tumbuh pohon palem ekor tupai yang tinggi hampir tujuh meteran, ciri khas perumahan elit.
Rumah megah di sisi jalan kanan dan kiri, yang begitu mewah lengkap dengan gerbang gagah yang di depan pekarangan. Bebarapa lampu menerangi sisi sudut ruangan. Mengingatkan Devi akan cita-citanya bersama Devan, untuk memiliki rumah mewah dengan fasilitas lengkap di dalamnya. Ya setidaknya seperti rumah-rumah yang ia lihat malam ini.
Ingatan itu membuatnya mual, tanpa Devi sadari dirinya menundukan pandanganya. Patah hati membuat seseoran menjadi kacau, jangankan melihat rumah yang pernah di cita-citakan berdua! Lihat tai ayam saja bisa mengingatkan gerangan.
“Kamu baik-baik saja?” Namy menyentuh pundah Devi.
Devi mengangkat wajahnya dan mengeleng pelan. “Ngak apa-apa Bu.”
Mobil itu berhenti di depan rumah dengan nuansa minimalis modern. Wajah Tarjo yang terlihat kusut menoleh ke belakang. “Bu ini rumah nomor 15,” tutur Tarjo.
Devi tak menjawab, hanya tersenyum tipis lalu menoleh memastikan jika ini rumah nomor 15. Tarjo yang terbiasa dengan sikap Devi pelit bertutur kata tak ambil pusing, dirinya bergegas turun. Dengan cepat membukakan pintu untuk Namy.
Devi dengan cepat turun matanya tertujuh pada bangunan rumah model minimalis modern. Gerbang dengan papan kayu warna coklat cerah yang mengkilat di bawah cahaya lampu di sisih kanan dan kiri gerbang.
Sebelah gerbang berdiri tembok tinggi dua meter, dengan dinding batu palimanan, warna coklat kekuningan dengan pemukaan yang bergelombang meningkatkan kesan natural.
Devi segera menekan bel kecil di bawah lampu lampion sisi kanan gerbang. Sesaat wanita tergopoh-gopoh membuka kunci pagar.
“Anu-Mbak Devi ya? Silahkan masuk! Maaf saya ketiduran.” Wanita yang terlihat rambutnya mulai beruban menebarkan senyuman.
“Iya saya Devi, rekan Pak Mario-,” suara Devi terhenti ketika wanita di hadapanyanya memotong ucapnya.
“Saya sudah tahu. Tuan tadi telfon saya, kasih tahu kalo rumah ini bakal ada yang huni. Saya seneng sekali. Akirnya ada temanya.” Mulutnya yang tipis dan kulitnya yang mulai keriput begitu lihai bercakap. “Oh ya! Belum kenalan. Namanya Mina pangil saja Mbok Min.”
“Mbok Min.” Kedua alis Devi mengkerut sedikit heran dengan nama orang yang bakal menjadi asisten rumah tangganya.
“Iya. Ada yang salah?” tanya Mbok Min bercanda.
Devi terpaksa tersenyum sedikit kecut. “Oh ngak kok Mbok.”
“Lihat tubuh saya yang tidak seberapa tinggi! Teman-teman saya waktu SD suka panggil saya Min alisan Minus, minus tinggi. Min… Min… Min ya sudah saya biarkan saja.” Mbok Min terus saja bersilat lidah, seolah lupa mempersilahkan masuk tamu di hadapnya.
Devi hanya nyengir dengan dongeng Mbok Min, kalo buka pertama kali bertemu pasti dirinya sudi meladeni ocehan Mbok Min di tengah malam, di depan pagar pula.
“Bu… ini kopernya di taruh mana ya?” Tarjo bertanya di belakang Devi.
“Aduh saya kok lupa ngak tak suruh masuk. Ayo masuk!” Mbok Min membuka pagar dengan lebar.
Devi menarik nafas sedalam-dalamnya, hatinya digelitik dengan sikap konyol Mbok Min. Kedua kakinya melangkah masuk kepekarang rumah.
Dua daun pintu dari kayu dengan sedikit ukiran di tengahnya, terbuka sedikit. Lampu gantung berbentuk bulat mirip sekali dengan lampion, terkesan klasik menyala dengan cahaya warna kuning. Tepat berada di pelafon yang berwarna coklat. Perpaduan yang pas. Sederhana tapi tidak meninggalkan kesan mewah
Mbok Min berjalan terlebih dahulu di ikuti Devi dan Namy sedangkan Tarjo sibuk wora wiri memasukan koper ke dalam rumah.
Cuaca panas menyengat setiap kulit yang telanjang, saat waktu masih menunjukan pukul sembilan pagi. Devi membuka pintu mobil, buru-buru melangkah sekilas menoleh mengisaratkan Tarjo untuk meninggalkanya.Tanganya mendorong hendle pintu, memasuki salon yang berdiri di jajaran ruko dua lantai.“Pagi Bu Devi!”Seru dua orang pegawai salon yang sedang merapikan majalah di atas meja.Seperti biasa Devi tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan melanjutkan langkahnya melewati beberapa kursi yang biasa untuk pengunjung potong rambut.Di sudut ruangan paling belakang sebelahan dengan tangga tampak meja sederhana, di atasnya terdapat beberapa alat tulis, buku motifasi, buku seputar mengandung dan leptop. Perlahan Devi duduk, sambil tangannya menyalakan leptop di hadapnya.Perlahan lapak tangannya membelai halus perut yang mulai buncit.
Tak pernah terbayangkah sebelumnya jika proses menyusui begitu menyakitkan. Tidak sekedar mengeluarkan tetek di balik baju lalu dekatkan di mulut bayi. Tak sesederhana itu bagi ibu baru, termasuk Devi.Ketika mulut mungil warna kebiruan dengan lahap berusaha menghisap tonjolan di dada Devi. Rasanya luar biasa perih, sakit seperti diiris dengan sebilah pisau. Rasa itu semakin menyakitkan ketika si mungil Jessy tiba-tiba menangis setelah satu menit menghisab tonjolan di dada Devi.Tak ada air berwarna putih yang keluar dari tubuh Devi, yang ada cairan kental berwarna kuning . Itu pun keluar saat Devi menekan keras bagian ujung putingnya. Bukan hanya buah dadanya saja yang sakit, tapi hatinya juga ikut merasakan ngilu. Ibu mana yang tak merana jika air kehidupan tak kunjung keluar?Namy terus mendesak untuk memberikan susu formula pada bayi Jessy, kuatir dengan cucu kesayangnya telah menguning sebab ku
Tiga bulan yang lalu, sebelum Jessy lahir Devi sudah merasakan beban berat soal uang. Empat orang yang berkerja untuknya. Tarjo, Mbok Min dan dua pegawai salon semua harus di gaji. Uang tabungan hampir terkuras habis untuk modal, sedangkan salon Devi belum seberapa ramai walapun setiap harinya selalu ada peningkat pengunjung.Keuntungan salon cukup untuk membayar dua pegawai dan membeli kebutuhan salon. Perkiraan satu tahun baru berjalan normal, syukur-syukur semakin meningkat.Dengan sangat terpaksa Devi berniat memperhentikan Tarjo, berkurangnya satu pegawai bisa mengurangi beban pikirnya. Toh dirinya bisa mengendari mobil sendiri.Uang warna merah empat puluh lembar sudah siap di amplop, Devi berniat menghampiri Tarjo yang sedang duduk di teras. Siapa sangka orang tua itu sedang berbicara di telefon.Devi tidak tahu persis Tarjo bicara dengan siapa yang jelas menganggil
Waktu berlalu begitu cepat tak terasa proses mengandung, melahirkan hingga menyusui telah terlewati dengan susah payah. Tiga tahun penuh perjuangan. Bukan hanya soal merawat anak dan mendidiknya tapi proses pemulihan luka yang terus saja dicoba dan dicoba lagi namun tak kunjung sembuh dengan sempurna. Tidak semua kesakitan melahirkan nestapa. Kadang kesakitan melahirkan kekuatan bagi mereka yang mau berjuang Devi memang gagal dalam urusan cinta tapi untuk hal lain dirinya pemenangnya. Patah hati tidak menghancurkan seluruh hidupnya. Luka yang masih membara setiap kali melihat pelupuk mata gadis kecil yang kini berusia dua tahun, dua bola mata itu mengingatkan pada sosok bajingan, sosok lelaki yang pernah Devi cinta dan selalu dibanggakan. Tapi hanya gadis kecil itu yang menjadi semangat hidup Devi, ambisinya besar untuk memberikan semua hal yang istimewa. Termasuk
Hay pembaca yang tersayang, saya mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya jika up date bab terlambat hingga tiga minggu lamanya. Bismillah dengan ini saya lanjutkan lagi menulis untuk menghibur kalian semua. * Kini Jessy kecil menangis meronta di pelukan Devi yang berjalan meninggalkan pusaran makam ayahnya. Pria di sebarang mulai melepas kaca mata yang melingkar di kedua bola matanya, seolah-olah menganggu pandanganya, kini matanya tajam melihat Devi yang mulai menjauh. “Sudah sayang, itu bukan mainan!” Devi mencium kening Jessy yang masih meraung-raung. Secepat kilat tangan kanannya membuka pintu mobil dan masuk, seolah-olah bersembunyi di dalam mobil. Jantungnya kini berdekat kencang, matanya terus melihat kebelakang tak memperdulikan Jessy yang tantrum. Devi benar-benar kwatir jika sosok itu menghampirinya. Tapi yang terlihat hanya tubuh gemuk Namy yang menuju mobil. &nbs
Rangga mulai menyadari sikap kakak iparnya yang semakin dingin. Setatusnya sebagai adik kandung Devan tidaklah pantas jika ikut campur rumah tangga yang mereka jalani, memang lancang tapi rasa penasaran tidak bisa ia bendung. Apa lagi pertemuannya dengan Jessy membuat hatinya terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi dengan rumah tangga kakaknya. “Saya minta maaf Mbak, jika tidak sopan,” celetuk Rangga memecah keheningan, sorot matanya begitu tenang tapi tak ada keberanian untuk memandang Devi. Devi tak menjawab hanya mengangguk pelan, beberapa kali menarik nafas panjang berusaha membuang semua sumbatan di dalam dadanya. “Hmmm, Jessy itu anak Mbak?” Devi tersenyum kecut. “Ya,” jawabnya. Kali ini air mata Devi menetes perlahan, bibir warna kemerahanya perlahan menyampaikan tutur kata masalalu yang teramat kelam. Nadanya tak beraturan kadang tinggi sesaat kem
“Saya anak satu-satunya dan saya kelurganya. Saya yang akan mengantarnya hingga keliang kubur.” Mata Devi mantap penuh kemarahan pada suster di hadapanya.Kemarahan di dalam diri Devi sebenarnya kepada perampok-perampok itu, tapi entah mengapa suster itu berhasil memantik kemarahan Devi semakin menjadi. Ya, sekarang Devi tak punya siapa pun selain Jessy. Namy sejak kecil adalah anak tunggal dan keluarga dari Ayah Devi hanya satu yaitu kakak kandung Ayah yang sudah menetap di Amerika.Suster itu lantas tertunduk dan pergi begitu saja tak mengucapkan apa pun, mungkin hatinya sedikit tersinggung dengan ucapan ketus Devi tapi dirinya cukup mengerti atau bahkan sering meladeni orang yang kehilangan semacam Devi.Semua berjalan cepat dan mulus. Devi ikut memandikan Namy sambil mengendong Jessy yang tertidur lelap dan menyaksikan proses pengkafanan yang dilakukan oleh petugas rumah sakit. Satu jam kemudian Devi tela
Lima menit lebih dua detik Devi menangis di pelukan Rangga setelah dirasa gumpalan di dalam dada telah memudar Devi perlahan melepas dekapannya.“Di mana Jessy?”Rangga tersenyum tipis dan menjawab, “Jessy pulang bersama Pak Saman dan istrinya. Katanya mau di ajak mandi dan makan.”“Aku terlalu sibuk dengan kesedihanku hingga melupakan orang yang butuh perhatianku.” Senyuman getir menghiasai wajah Devi.Keduanya berdiri kembali tertunduk memandang bungga segar di atas gundukan makam. Saat itulah Devi tersadar akan kehadiran Rangga di makam bukan suatu kebetulan belaka. Sekilas Devi melirik tubuh jangkung Rangga dan kembali menghapus air mata yang membasahi pipinya.“Kamu tahu dari mana ibuku meninggal?” Suara pelan Devi memecah keheningan.“Hari ini adalah hari kematian Ibu, tepat yang ke tiga tahun. Niatk
“Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan
Devi berjalan terburu-buru setelah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah Jessy. Dia terlambat lima menit menghadiri rapat pengambilan rapot Jessy.Akan tetapi langkah kaki itu terhenti ketika sebuah mobil sedan warna hitam melintas tepat di hadapnya kemudian berbelok hendak parkir di samping mobilnya.Suara retakan terdengar keras di belakang Devi. Kedua bola matanya melihat dengen jelas bagimana orang itu menabrak spion mobilnya. Dan kini langkah Devi benar-benar terhenti.Niat untuk segera masuk ke ruang kelas Jessy terhenti seketika. Dia perlu membuat perhitungan dengan orang tolol yang telah menabrak mobilnya.Devi berdiri di samping mobil sedan warna hitam, menunggu sang empu keluar dari dalam mobil. Orang itu harus diberi pelajaran, siapa tahu dia sebernarnya orang yang tidak mahir membawa mobil namun nekat mengendarai.Sepatu datar mengkilat dengan moncong sedikit keatas keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Seorang pria dengan tubuh kekar dengan kemeja yang minim keluar d
Mantan kekasih adalah belegu.Sebuah kalimat yang cocok untuk Devi saat ini. Rangga kembali datang menawarakan sebuah pertemanan, namun bukan itu sebenarnya. Devi mengerti tidak ada pertemanan murni dengan mantan.Kemungkinan untuk masuk ke jurang yang sama masih jelas ketara. Akan tetapi jika terus menerus menghindari Rangga justru semakin pria itu terpacu adrenalin.Devi harus melalukan sesuatu agar berhenti mengusiknya.“Oke. Aku memaafkanmu, kita bisa berteman. Tapi tolong beri aku ruang dan waktu. Tidak mudah aku kembali pada masalalu walau hanya untuk berteman!” Suara Devi terdengar sedikit kaku dengan dua bola mata menatap penuh ke arah Rangga.“Beri aku waktu!”Rangga berdehem. “Apa yang harus aku lakukan?”“Dua minggu saja kamu berhenti menemuiku?”“Kenapa?” tanya Rangga.“Beri aku ruang dan waktu!”Pertemuan itu berlangsung cukup sengit. Namun, membuahkan hasil bagi Devi. Pria itu pergi dari ruangan Devi, meskipun dengan perasaan yang begitu kacau.Kini yang ada hanya Devi y
Satu bulan setelah pertemuan itu Devi menolak untuk bertemu Rangga. Bahkan urusan kerja sama dengan Erlangga ia serahkan penuh ke Susi. Ia benar-benar menolak untuk bertemu dengan Rangga.Rasa tersinggung karena ucapan Rangga kala itu masih lekat di otak Devi. Namun, siapa sangka selama satu bulan itu juga Rangga tidak berhenti mengusik dirinya. Dari mengirim buket bunga sampai makanan hingga beberapa batang coklat.Akan tetapi akhir dari buket bunga-bunga itu ialah tong sampah jika untuk makanan Devi biarkan karyawan yang menghabiskan semua.Sedikit pun ia tak lagi terkesan dengan godaan yang diberikan Rangga.Sebenarnya hal itu ia lakukan agar untuk menjaga hati akan rayuan Rangga. Ia tahu pria itu sudah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu. Kini Rangga lekat dengan alkohol dan rumor-rumor miring.Devi juga tak bisa menampik kabar yang beredar jika Rangga saat ini sedang dekat dengan beberapa model dan juga artis kontroversial. Beberapa kali Rangga datang ke kantor, tapi Devi
Berdua dengan mantan kekasih yang pernah mencintai begitu dalam adalah siksaan nyata. Urat di belakang leher Devi terasa kaku, jantung terus dipacu berdetak lebih keras. Sesekali Rangga mentap lalu buang muka, dan itu sedikit memuakan untuk Devi. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika ponsel Devi berbunyi, meskipun itu panggilan hanya dari staf kantor dan bisa dialihkan tapi hal itu menjadi kesempatan Devi untuk keluar ruangan itu. Dan ia dengan sengaja kembali dua puluh menit kemudian ketika semua sudah berkumpul di bilik 55. Meeting dan sekaligus makan sing berlangsung singkat; dua jam. Kali ini Devi hanya berkata jika perlu, tidak banyak basa basi apalagi bercanda, terlebih lagi Rangga. Pria itu hanya menjadi pendengar, sambil terus memainkan mata ke arah Devi. Semua setuju project akan digarap satu minggu yang akan datang. Sebagai bentuk penutup acara semua yang ada dalam ruangan itu saling berjabat tangan. Termasuk Rangga dengan Devi. Akan tetapi jabat tangan kali ini Rangga d
Kurang dari tiga puluh menit pertemuan di mulai. Seorang pria dengan kacamata hitam bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal berjalan memasuki bilik ruangan no 55. Di pertemuan ini pria itu sengaja mengenakan kemeja kualitas premiun berbahan flannel, dengan lengan panjang. Dan untuk celana ia mengenakan celana jins warna hitam. Pria itu juga mengenakan sepatu kanvas dengan model kasual sebuah penampilan sederhana tapi tetap modis. Untuk pertemuan dan tebar pesona. Namun langkahnya terhenti sebelum memasuki ruangan itu. Dari cela pintu kaca terlihat jelas sosok wanita yang sangat ia kenali. Dua mata Rangga kini tak lepas dari sosok wanita dengan dres berwarna hitam polos berkalung mutiara sedang duduk menatap ponsel. Bersyukur wanita itu fokus ke poselnya, hingga tidak menyadari kehadiran Rangga. Rangga bergumam, sedikit kesal ternyata Devi jauh lebih dahulu sampai restoran. Padahal pria itu percaya diri jika kehadiranya menjadi hal yang mengejutkan bagi Devi. Tapi sebaliknya ia
Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi
Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su
Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga