Home / Urban / Pesona Sang CEO / Bab 5. Secerca Harapan

Share

Bab 5. Secerca Harapan

Author: Zedanzee
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Mario memasukkan kedua tanggannya ke dalam saku celana, kedua bola matanya memandang pemandangan sedih. Devi memeluk rekan-rekanya di kantor satu persatu. Semua jajaran staf dan manajer sudah berusaha untuk mengurungkan niatnya, tapi pecuma. Devi tetap ingin mengundurkan diri.

Setiap  rekannya bertanya alasan ia mengundurkan diri, hanya satu kata yang terlontar “bosan”. Jawaban bohong dan tak masuk akal. Hanya Mario-lah yang tahu persis alasan Devi mengapa ia berhenti berkerja.

Devi memang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala, ucapanya tegas dan singkat. Tidak bisa di ganggu gugat. Ya… oleh itu ia terkenal manajer paling angkuh, jangan sampai membuat kesalahan kalo tidak mau dicerca sampai tengah malam. Tapi di dalam dirinya memancarkan karisma, mungkin kalo laki-laki ia begitu berwibawa.

Dia juga terkenal baik kepada semua rekan kerja, dari jabatan office boy sampai CEO sekalipun. Tidak pelit untuk memberikan tip pada office boy yang setiap pagi mengantar teh panas untuknya.

Dialah orang pertama yang akan mengatarkan kado besar jika rekannya ulang tahun. Ya … sikapnya memang kaku, bicaranya memang kadang terdengar ketus tapi sebenarnya orang baik, penuh kasih sayang walapun bibirnya tidak pernah mengucapkan, Devi bukan seorang pemimpin jahat, sewenang-wenang macam seperti di novel roman.

Kini semua meninggalkan ruangan Devi, setelah menyadari menjadi pusat perhatian seorang Mario. Kaki panjang Mario melangkah mendekat Devi, yang sibuk menghapus air mata, berusaha tersenyum.

“Kamu tetap akan keluar dari perkerjaan yang sudah membesarkan namamu?” Mario duduk di kursi putar depan Devi.

Kepala Devi mengangguk dua kali. “Iya Pak.”

“Oke, jika kamu sudah bulat dengan keputusanmu! Aku tetap akan memberikan kamu pesangon,” ucap Mario.

“Saya sanggat terimakasih untuk hal itu Pak Mario.” Kedua bola mata Devi kembali berkaca-kaca.

“Di mana kamu tempat tinggalmu di Surabaya? Barang kali kita bisa bertemu jika saya ada acara di sana,” tanya Mario.

“Belum tahu, mungkin nanti untuk dua atau tiga hari saya akan menginap di hotel… kalo ngak di rumah sahabat saya.”

“Saya ada rumah di Surabaya, di sana hanya di jaga seorang saja. Kamu sementara bisa tinggal di sana. Itung-itung kamu bisa menghemat pengeluran.”

Devi yang merasa terharu dengan kebaikan Mario berkali-kali menganggukan kepala dan berkata, “te-terimaksih.” Lima detik Devi terdiam, bibirnya terucap kembali, “Pak Mario saya minta tolong untuk merahasikan kepergian saya dan kehamilan ini dari Devan,” pinta Devi dengan penuh harapan.

Hari semakin senja, Devi memasukan kardus  kedalam mobil. Sekilas matanya menatap gedung luas nan tinggi yang tempatnya meraih kesuksesan. Beberapa saat kemudian ia memacu mobilnya di tenggah keramain jalan Slamet Riyadi kota Solo.

Empat puluh menit kemudian Devi mobil Honda Jazz warna putih sudah sampai di pekarangan rumah Namy, kemudian ia melangkah masuk rumah menujuh. Ia memanggil ibunya dua kali.

“Ibu di kamar, kemarilah! Ini masih repot.” Terdengar suara Namy dari dalam bilik kamar.

Devi lantas tak langsung masuk kamar, ia memilih duduk di kursi ruang tamu. Sejenak menyenderkan tubuhnya di badan kursi jati yang usianya lebih tua dari dirinya. Merasakan lelah yang ia rasakan.

Baru satu menit ia duduk santai, benda pintar di dalam tas terasa bergetar. Ia baru teringat seharian sama sekali belum memeriksa ponselnya. Tak ada gairah untuk mengeceknya.

Kini jatungnya berdetak lebih kencang, darahnya mendidih melihat notifikasi chat dari Devan.

Devan {sayang kamu lagi di mana? Aku kangen banget. Aku sudah di rumah, kamu sekarang di mana?}

Bangsat! Ektingmu luar biasa! kata Devi, tersenyum miris.

Devi mengambil kartu sim dari ponselnya, lalu melemparkan ke tempat sampah. Ia benar-benar tidak ingin Devan mengusik hidupnya. Tak ingin larut dalam rasa tak menentu, akirnya ia berdiri dan melangkah menuju kamar Namy.

“Gimana Ibu, sudah beres semua?” tanya Devi, menghampiri Namy, sedang sibuk memasukan baju ke koper.

“Sedikit lagi. Jam berapa kita akan berangkat ke Surabaya?”

“Selepas magrib.”

Devi benar–benar meninggalkan kota kelahiranya. Hatinnya semakin mantap untuk bisa menghapus kenangan perih di kota itu dan memulai kehidupan baru. Keputusanya sudah bulat tidak ada yang bisa menghalingi langkahnya.

Malam ini ia akan berangkat ke Surabaya bersama Namy dan Tarjo. Tarjo adalah sopir pribadi Devi waktu belum menikah, tapi setelah menikah memilih kemana-mana sendiri. Alasan lebih hemat setelah berkeluarga demi membeli rumah impiannya bersama Devan waktu itu.

Karena Devi merasa tak mampu menyetir seorang diri, ia berinisiatif menghubungi Tarjo kembali, dan menawarkan dirinya untuk jadi sopir pribadinya kembali.

*

Hari semakin gelap, azan magrip telah berkumandang. Langit yang berwarna oren kini mulai menghitam. Dua bola mata Devan memandang arah keluar rumah berharap sesuatu. Tapi ternyata belum ada tanda-tanda Devi pulang. Kini ia merasakan firasat tidak nyaman, meskipun dirinya telah mendua tapi rasa cinta masih didominasi untuk Devi. Wajar saja jika ia mulai cemas.

Devan meraih ponselnya, berkali-kali menelfon Devi tapi nomornya selalu di luar jangkauan. Dengan kasar ia mengusap rambut ikalnya, sesaat kemudian ia masuk ke rumah untuk mandi. Siapa tahu Devi pulang, dan dirinya sudah bersih, wangi.

Lima belas menit kemudian Devan keluar dari kamar mandi, dengan cepat ia meraih ponselnya. Berharap Devi telah menghubunginya, tapi ternyata nihil. Seharian sudah Devi tidak ada kabar.

Tak berfikir panjang Devan langsung berkemas, meraih kunci mobilnya menuju hotel tampat Devi berkerja. Hari mulai gelap menambah suasana hatinya gelisah tak menentu. Devan semakin resah, kembali mengambil ponsel dan mencoba menelfon Devi.

“Kamu di mana sih?” cakap Devan, sambil melihat layar ponselnya.

Sebuah mobil dari berlawanan arah hilang kendali, Devan sudah berusaha menghindar tapi naas mobil itu terlampau kencang dan menabrak mobil Devan.

Seketika itu jalanan mendadak macet, setelah terjadi kecelakanan dua mobil. Mobil Devan terbalik dan bagian body depan mobil Devan rusak parah hampir tak berbentuk. Kaca-kaca mobil berserakan.

Semua mata yang melintas tertujuh pada kengerian kecelakan maut yang menimpa dua mobil. Tidak ada satu pun orang berani mendekat, hanya berani memandang dari jauh. Bukan karena rasa tidak empati tapi takut orang yang di dalamnya meninggal, lebih baik pihak yang berwajib menangani kecelakaan itu. Beberapa orang langsung menuju kantor polis, melaporkan kecelakan maut itu.

Devan merasak sakit luar biasa di bagian lengan tangannya, panas, ngilu rasanya seperti copot. Badanya sesak, bibir tak mampuh bicara. Pandanganya mulai rabun, sekuat tenaga melambaikan tangan berharap ada manusia yang dapat menolongnya.

Segerombolan orang datang menghampiri, menekan urat nadi leher Devan.

“Ini hidup, ayo cepet tolongin!”

Segerombolan laki-laki dengan jaket hijau datang beramai-ramai, melakukam evakuasi secepat mungkin. Agar Devan cepat diselamatkan.

Related chapters

  • Pesona Sang CEO   Bab 6. Mantra

    Udara malam di musim kering terasa dingin, kalo orang Jawa bilang musim bedidih. Tak heran jika siang panas seperti membakar kulit, jika menjelang malam udara seperti di puncak gunung. Dingin sekali.Seorang wanita usia hampir kepala tiga narik nafas panjang sambil memandang langit, luas tak terbatas, kedua lengan tanganya menyila di depan dadanya merasakan hawa dingin menyapu kulitnya.Masih sama seperti dulu di saat merasakan gundah gulana, Devi akan selalu menatap langit. Sambil mengucapkan sesuatu dalam hatinya“Masalahku kecil, di banding nikmat yang Kuasa.” Kalimat itu yang selalu terbesit jika ia merasa resah. Semacam matra ajaib yang selalu ia ulang-ulang dalam hatinya.Semua berawal dari Ayah Devi sewaktu kecil, ketika dirinya mengeluh saat kesulitan mengerjakan PR atau hal apa pun yang membuatnya tak suka. Hingga dirinya menjelang dewasa selalu terucap dari bibir Ayah.

  • Pesona Sang CEO   Bab 7. Sembilan Bulan Mengandung

    Cuaca panas menyengat setiap kulit yang telanjang, saat waktu masih menunjukan pukul sembilan pagi. Devi membuka pintu mobil, buru-buru melangkah sekilas menoleh mengisaratkan Tarjo untuk meninggalkanya.Tanganya mendorong hendle pintu, memasuki salon yang berdiri di jajaran ruko dua lantai.“Pagi Bu Devi!”Seru dua orang pegawai salon yang sedang merapikan majalah di atas meja.Seperti biasa Devi tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan melanjutkan langkahnya melewati beberapa kursi yang biasa untuk pengunjung potong rambut.Di sudut ruangan paling belakang sebelahan dengan tangga tampak meja sederhana, di atasnya terdapat beberapa alat tulis, buku motifasi, buku seputar mengandung dan leptop. Perlahan Devi duduk, sambil tangannya menyalakan leptop di hadapnya.Perlahan lapak tangannya membelai halus perut yang mulai buncit.

  • Pesona Sang CEO   Bab 8. Sulitnya Ibu Melahirkan

    Tak pernah terbayangkah sebelumnya jika proses menyusui begitu menyakitkan. Tidak sekedar mengeluarkan tetek di balik baju lalu dekatkan di mulut bayi. Tak sesederhana itu bagi ibu baru, termasuk Devi.Ketika mulut mungil warna kebiruan dengan lahap berusaha menghisap tonjolan di dada Devi. Rasanya luar biasa perih, sakit seperti diiris dengan sebilah pisau. Rasa itu semakin menyakitkan ketika si mungil Jessy tiba-tiba menangis setelah satu menit menghisab tonjolan di dada Devi.Tak ada air berwarna putih yang keluar dari tubuh Devi, yang ada cairan kental berwarna kuning . Itu pun keluar saat Devi menekan keras bagian ujung putingnya. Bukan hanya buah dadanya saja yang sakit, tapi hatinya juga ikut merasakan ngilu. Ibu mana yang tak merana jika air kehidupan tak kunjung keluar?Namy terus mendesak untuk memberikan susu formula pada bayi Jessy, kuatir dengan cucu kesayangnya telah menguning sebab ku

  • Pesona Sang CEO   Bab 9. Dokter Susy

    Tiga bulan yang lalu, sebelum Jessy lahir Devi sudah merasakan beban berat soal uang. Empat orang yang berkerja untuknya. Tarjo, Mbok Min dan dua pegawai salon semua harus di gaji. Uang tabungan hampir terkuras habis untuk modal, sedangkan salon Devi belum seberapa ramai walapun setiap harinya selalu ada peningkat pengunjung.Keuntungan salon cukup untuk membayar dua pegawai dan membeli kebutuhan salon. Perkiraan satu tahun baru berjalan normal, syukur-syukur semakin meningkat.Dengan sangat terpaksa Devi berniat memperhentikan Tarjo, berkurangnya satu pegawai bisa mengurangi beban pikirnya. Toh dirinya bisa mengendari mobil sendiri.Uang warna merah empat puluh lembar sudah siap di amplop, Devi berniat menghampiri Tarjo yang sedang duduk di teras. Siapa sangka orang tua itu sedang berbicara di telefon.Devi tidak tahu persis Tarjo bicara dengan siapa yang jelas menganggil

  • Pesona Sang CEO   Bab 10. Pria di Pusaran Makam

    Waktu berlalu begitu cepat tak terasa proses mengandung, melahirkan hingga menyusui telah terlewati dengan susah payah. Tiga tahun penuh perjuangan. Bukan hanya soal merawat anak dan mendidiknya tapi proses pemulihan luka yang terus saja dicoba dan dicoba lagi namun tak kunjung sembuh dengan sempurna. Tidak semua kesakitan melahirkan nestapa. Kadang kesakitan melahirkan kekuatan bagi mereka yang mau berjuang Devi memang gagal dalam urusan cinta tapi untuk hal lain dirinya pemenangnya. Patah hati tidak menghancurkan seluruh hidupnya. Luka yang masih membara setiap kali melihat pelupuk mata gadis kecil yang kini berusia dua tahun, dua bola mata itu mengingatkan pada sosok bajingan, sosok lelaki yang pernah Devi cinta dan selalu dibanggakan. Tapi hanya gadis kecil itu yang menjadi semangat hidup Devi, ambisinya besar untuk memberikan semua hal yang istimewa. Termasuk

  • Pesona Sang CEO   Bab 11. Rangga

    Hay pembaca yang tersayang, saya mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya jika up date bab terlambat hingga tiga minggu lamanya. Bismillah dengan ini saya lanjutkan lagi menulis untuk menghibur kalian semua. * Kini Jessy kecil menangis meronta di pelukan Devi yang berjalan meninggalkan pusaran makam ayahnya. Pria di sebarang mulai melepas kaca mata yang melingkar di kedua bola matanya, seolah-olah menganggu pandanganya, kini matanya tajam melihat Devi yang mulai menjauh. “Sudah sayang, itu bukan mainan!” Devi mencium kening Jessy yang masih meraung-raung. Secepat kilat tangan kanannya membuka pintu mobil dan masuk, seolah-olah bersembunyi di dalam mobil. Jantungnya kini berdekat kencang, matanya terus melihat kebelakang tak memperdulikan Jessy yang tantrum. Devi benar-benar kwatir jika sosok itu menghampirinya. Tapi yang terlihat hanya tubuh gemuk Namy yang menuju mobil. &nbs

  • Pesona Sang CEO   Bab 12. Pembunuhan Namy dan Tarjo

    Rangga mulai menyadari sikap kakak iparnya yang semakin dingin. Setatusnya sebagai adik kandung Devan tidaklah pantas jika ikut campur rumah tangga yang mereka jalani, memang lancang tapi rasa penasaran tidak bisa ia bendung. Apa lagi pertemuannya dengan Jessy membuat hatinya terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi dengan rumah tangga kakaknya. “Saya minta maaf Mbak, jika tidak sopan,” celetuk Rangga memecah keheningan, sorot matanya begitu tenang tapi tak ada keberanian untuk memandang Devi. Devi tak menjawab hanya mengangguk pelan, beberapa kali menarik nafas panjang berusaha membuang semua sumbatan di dalam dadanya. “Hmmm, Jessy itu anak Mbak?” Devi tersenyum kecut. “Ya,” jawabnya. Kali ini air mata Devi menetes perlahan, bibir warna kemerahanya perlahan menyampaikan tutur kata masalalu yang teramat kelam. Nadanya tak beraturan kadang tinggi sesaat kem

  • Pesona Sang CEO   Bab 13. Perhatian Rangga.

    “Saya anak satu-satunya dan saya kelurganya. Saya yang akan mengantarnya hingga keliang kubur.” Mata Devi mantap penuh kemarahan pada suster di hadapanya.Kemarahan di dalam diri Devi sebenarnya kepada perampok-perampok itu, tapi entah mengapa suster itu berhasil memantik kemarahan Devi semakin menjadi. Ya, sekarang Devi tak punya siapa pun selain Jessy. Namy sejak kecil adalah anak tunggal dan keluarga dari Ayah Devi hanya satu yaitu kakak kandung Ayah yang sudah menetap di Amerika.Suster itu lantas tertunduk dan pergi begitu saja tak mengucapkan apa pun, mungkin hatinya sedikit tersinggung dengan ucapan ketus Devi tapi dirinya cukup mengerti atau bahkan sering meladeni orang yang kehilangan semacam Devi.Semua berjalan cepat dan mulus. Devi ikut memandikan Namy sambil mengendong Jessy yang tertidur lelap dan menyaksikan proses pengkafanan yang dilakukan oleh petugas rumah sakit. Satu jam kemudian Devi tela

Latest chapter

  • Pesona Sang CEO   Tamat

    “Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 19. Max, Si Pria Kekar

    Devi berjalan terburu-buru setelah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah Jessy. Dia terlambat lima menit menghadiri rapat pengambilan rapot Jessy.Akan tetapi langkah kaki itu terhenti ketika sebuah mobil sedan warna hitam melintas tepat di hadapnya kemudian berbelok hendak parkir di samping mobilnya.Suara retakan terdengar keras di belakang Devi. Kedua bola matanya melihat dengen jelas bagimana orang itu menabrak spion mobilnya. Dan kini langkah Devi benar-benar terhenti.Niat untuk segera masuk ke ruang kelas Jessy terhenti seketika. Dia perlu membuat perhitungan dengan orang tolol yang telah menabrak mobilnya.Devi berdiri di samping mobil sedan warna hitam, menunggu sang empu keluar dari dalam mobil. Orang itu harus diberi pelajaran, siapa tahu dia sebernarnya orang yang tidak mahir membawa mobil namun nekat mengendarai.Sepatu datar mengkilat dengan moncong sedikit keatas keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Seorang pria dengan tubuh kekar dengan kemeja yang minim keluar d

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 18. Haruskah Berkencan dengan Pria?

    Mantan kekasih adalah belegu.Sebuah kalimat yang cocok untuk Devi saat ini. Rangga kembali datang menawarakan sebuah pertemanan, namun bukan itu sebenarnya. Devi mengerti tidak ada pertemanan murni dengan mantan.Kemungkinan untuk masuk ke jurang yang sama masih jelas ketara. Akan tetapi jika terus menerus menghindari Rangga justru semakin pria itu terpacu adrenalin.Devi harus melalukan sesuatu agar berhenti mengusiknya.“Oke. Aku memaafkanmu, kita bisa berteman. Tapi tolong beri aku ruang dan waktu. Tidak mudah aku kembali pada masalalu walau hanya untuk berteman!” Suara Devi terdengar sedikit kaku dengan dua bola mata menatap penuh ke arah Rangga.“Beri aku waktu!”Rangga berdehem. “Apa yang harus aku lakukan?”“Dua minggu saja kamu berhenti menemuiku?”“Kenapa?” tanya Rangga.“Beri aku ruang dan waktu!”Pertemuan itu berlangsung cukup sengit. Namun, membuahkan hasil bagi Devi. Pria itu pergi dari ruangan Devi, meskipun dengan perasaan yang begitu kacau.Kini yang ada hanya Devi y

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 17. Penyesalan

    Satu bulan setelah pertemuan itu Devi menolak untuk bertemu Rangga. Bahkan urusan kerja sama dengan Erlangga ia serahkan penuh ke Susi. Ia benar-benar menolak untuk bertemu dengan Rangga.Rasa tersinggung karena ucapan Rangga kala itu masih lekat di otak Devi. Namun, siapa sangka selama satu bulan itu juga Rangga tidak berhenti mengusik dirinya. Dari mengirim buket bunga sampai makanan hingga beberapa batang coklat.Akan tetapi akhir dari buket bunga-bunga itu ialah tong sampah jika untuk makanan Devi biarkan karyawan yang menghabiskan semua.Sedikit pun ia tak lagi terkesan dengan godaan yang diberikan Rangga.Sebenarnya hal itu ia lakukan agar untuk menjaga hati akan rayuan Rangga. Ia tahu pria itu sudah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu. Kini Rangga lekat dengan alkohol dan rumor-rumor miring.Devi juga tak bisa menampik kabar yang beredar jika Rangga saat ini sedang dekat dengan beberapa model dan juga artis kontroversial. Beberapa kali Rangga datang ke kantor, tapi Devi

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 16. Kencan Dengan Masalalu

    Berdua dengan mantan kekasih yang pernah mencintai begitu dalam adalah siksaan nyata. Urat di belakang leher Devi terasa kaku, jantung terus dipacu berdetak lebih keras. Sesekali Rangga mentap lalu buang muka, dan itu sedikit memuakan untuk Devi. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika ponsel Devi berbunyi, meskipun itu panggilan hanya dari staf kantor dan bisa dialihkan tapi hal itu menjadi kesempatan Devi untuk keluar ruangan itu. Dan ia dengan sengaja kembali dua puluh menit kemudian ketika semua sudah berkumpul di bilik 55. Meeting dan sekaligus makan sing berlangsung singkat; dua jam. Kali ini Devi hanya berkata jika perlu, tidak banyak basa basi apalagi bercanda, terlebih lagi Rangga. Pria itu hanya menjadi pendengar, sambil terus memainkan mata ke arah Devi. Semua setuju project akan digarap satu minggu yang akan datang. Sebagai bentuk penutup acara semua yang ada dalam ruangan itu saling berjabat tangan. Termasuk Rangga dengan Devi. Akan tetapi jabat tangan kali ini Rangga d

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 15. Di Bilik 55

    Kurang dari tiga puluh menit pertemuan di mulai. Seorang pria dengan kacamata hitam bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal berjalan memasuki bilik ruangan no 55. Di pertemuan ini pria itu sengaja mengenakan kemeja kualitas premiun berbahan flannel, dengan lengan panjang. Dan untuk celana ia mengenakan celana jins warna hitam. Pria itu juga mengenakan sepatu kanvas dengan model kasual sebuah penampilan sederhana tapi tetap modis. Untuk pertemuan dan tebar pesona. Namun langkahnya terhenti sebelum memasuki ruangan itu. Dari cela pintu kaca terlihat jelas sosok wanita yang sangat ia kenali. Dua mata Rangga kini tak lepas dari sosok wanita dengan dres berwarna hitam polos berkalung mutiara sedang duduk menatap ponsel. Bersyukur wanita itu fokus ke poselnya, hingga tidak menyadari kehadiran Rangga. Rangga bergumam, sedikit kesal ternyata Devi jauh lebih dahulu sampai restoran. Padahal pria itu percaya diri jika kehadiranya menjadi hal yang mengejutkan bagi Devi. Tapi sebaliknya ia

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 14. Kembalinya Rangga

    Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 13. Kembalinya Masalalu

    Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 12. Ibu Otoriter

    Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga

DMCA.com Protection Status