Home / Urban / Pesona Sang CEO / Bab 4. Menghapus Kenangan

Share

Bab 4. Menghapus Kenangan

Author: Zedanzee
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Hay pembaca yang baik hati, saya Zedan Zee sebagai penulis mengucapkan terimakasi telah menikmati tulisan saya. Oh ya… kalian dapat mengomentari setiap paragaf yang kalian baca, dengan klik paragaf yang ingin kalian beri komentar, lalu klik icon komentar. Dan saya harap kalian meluangkan waktu untuk memberikan bintang lima untuk karya saya!

Memberi bintang lima itu gratis dan saya akan bahagia jika kalian melakukanya. Ingat! Membahagikan orang lain itu pahalanya banyak, maukan dapat pahala yang banyak? Selamat membaca!

*

Tepat hari ini Devi terakir di kantor, sekilas itu termenung  memandang ruangan kerja yang selama ini menjadi tempat ternyaman setelah rumah, yang sekarang sudah menjadi neraka. Pikiranya terus menari-nari tak menentu, kecerdasan otaknya saat ini rasanya benar-benar menghilang. Nyaris ia frustasi dengan garis takdirnya.

“Tuhan, aku harus bagaimana?” keluh Devi sambil meremas kepala.

Kini ingatanya berputar ke masalalu, tempatnya waktu ingin menikah dengan Devan. Dirinya dan Devan memohon restu pada Lydia yang terus saja membisu, seolah-olah tak perduli. Perjuangan dua orang untuk sebuah ridho ibu, lalu setelah menikah perjuangan itu dilupakan begitu saja.

Cinta terhalang oleh umur, hanya karena alasan Devi lebih tua tiga tahun dari Devan. Usia Devi dua puluh sembilan dan Devan dua puluh enam. Lydia juga tak merestui hubungan mereka dan alasan-alasan lain yang tak masuk akal, seperti arah rumah Devi dengan Devan yang jadi pantangan (larangan).

Lydia sebagai penganut tradisi budaya Jawa yang ketal, percaya jika arah rumah menjadi faktor penentu langgengnya sebuah rumah tangga. Ngalor-ngulon (utara-barat) sebuah mitos yang dipercaya akan membawa kesialan jika pasangan terus saja melangsungkan pernikahan.

“Ya sudah Bu kita jual saja rumah ini! Atau Devan beli rumah di selatan biar bisa nikah sama Devi,” kata Devan di hadapan Lydia.

“Ngak! Ini rumah warisan Bapak kamu. Ibu ngak mau pindah! Apa pun alasanya Ibu tidak setuju!” ketus ucapan yang keluar dari mulut Lydia.

“Bu…” keluh Devan dengan suara sangat paruh.

“Dia itu perawan tua! Kamu bisa cari yang lebih muda dari dia!” Ucapan Lydia semakin pedas.

“Banyak Bu orang-orang yang menikah tapi jarak umur tidak menghalangi kebahagian mereka.” Wajah Devan semakin lesu.

Devi yang berada di dalam mobil hanya bisa mengigit bibir mendengar ucapan Lydia, antara marah, sedih dan ingin mengumpat, bersatu di dalam pikiranya.

Untung saja Lydia calon mertuanya, kalo orang lain pasti Devi sudah mengumpat kasar di hadapanya.

Entah wangsit dari mana setelah beberapa bulan berjuang, akirnya Lydia dengan setengah hati mempersilahkan putra sulungnya menikah dengan gadis pilihanya. Ya… meskipun sikap dingin terhadap Devi masih saja melekat.  

Setiap minggu sekali Devi dan Devan mengunjungi Lydia. Dan selalu ditemui Dewi di rumah itu. Dewi adalah teman sedari kecil Devan, dan orang tua mereka akrab. Itulah yang membuat Dewi begitu percaya diri dan yakin Devan suka padanya. Seperti perasaan yang berkobar dalam hatinya, tapi ternyata perkenalanya dengan Devi yang terhitung hanya beberapa bulan mampu melumpuhkan hati Devan.

Dewi sebenarnya lumayan cantik, tapi jika di banding Devi. Kalah jauh, lebih menawan Devi. Badannya tak terlalu tinggi, sekitar seratus lima puluh lima, kulit putih bersih, rambutnya panjang lurus dengan warna hitam, tubuhnya padat berisi dengan dua buah di dada yang lumayan besar dan seksi. Sekilas jika di lihat tubuhnya mirip penyanyi Marion Jola, sama-sama montok.

Dewi juga sangat pintar bebicara, tak heran Lydia begitu dekat dengannya. Tidak heran kalo pun setelah Devan sudah menikah Dewi masih sering ke rumah Lydia.

Bahkan Lydia-lah yang selalu minta tolong pada Dewi mengantar makan siang ke kantor Devan. Hal inilah yang tidak diketahui Devi hingga saat ini.

“Sudah nak Dewi! Antar saja makanan ini bilangaja dari ibu! Ngak mungkin wanita tua ini keluar rumah setiap hari!” pinta Lydia.

“Kalo Mbak Devi marah gimana Bu?” Nampak ada secerca keraguan di diri Dewi.

“Ngak mungkin—kan ibu yang nyuruh! Devi itu sibuk ngak sempet ngurus suami. Jadi tolong kamu bantuin ibu ya!”

Hal itu di gunakan Dewi untuk mengoda Devan. Dengan sengaja memakai baju dres press body dengan belahan dada yang dalam, menunjukan separoh isi nya. Atau memakai rok di atas lutut menampilakan betisnya yang mulus.

Laki–laki mana yang tak tergoda? Dulu Devan tak tergoda karena belum merasakan hangatnya tubuh wanita, tapi setelah menikah dia mana tahan? Terlebih lagi Devi wanita karir. Kadang sampai rumah hanya sisa–sisa kelelahan.

Hanya butuh waktu dua bulan Dewi mampu menggoda Devan, hampir setiap hari datang membawa bekal makan siang dengan pakean yang super sexy.

Lydia seorang janda. Sudah dua tahun lalu suaminya meninggal. Dua orang putranya semua sukses, Devan menjadi manajer di sebuah perusahan farmasi dan Rangga adiknya sukses dengan menjadi pengusaha muda.

Sejak dua tahun lalu cafe yang di didirikan Rangga maju pesat, dan buka cabang di setiap kota besar di Indonesia, bahkan saat ini akan membuka cabang di negeri tetangga. Wajar saja jika sering luar kota meninggalkan Lydia sendiri di rumah.

Tapi hal itu digunakan untuk Dewi untuk mencuri perhatian dari Lydia. Sering datang ke rumah bahkan menginap untuk menemani Lydia saat Rangga luar kota.

Kalo memang kakaknya tidak aku dapatkan siapa tau adiknya! Niat terselubung Dewi.

“Gimana udah hamil belum Dev?” tanya Lydia yang berdiri di ambang pintu.

“Doain ya bu!” jawan Devi pelan.

“Makanya Van, istrimu itu suruh di rumah ngerawat rumah ngerawat suami! Jangan kerja! Kayak suaminya gak bisa kasih nafkah saja! Fokus punya anak!” ucap pedas Lydia sambil menepuk pundah Devan

Devi hanya terdiam membisu, tak mampu mengatakan sepatah kata pun. Jika dulu alasan membenci Devi karena arah rumah dan umur, kini alasan itu semakin berkembang karena Devi belum hamil. Sial benar nasib Devi, kisah cintanya tak semulus karirnya.

Devan dan Lydia melangkah lebih dulu, Devi masih membeku di ambang pintu masuk. Langkahnya kecil mengikuti dua orang di depannya.

“Ayo makan dulu! Ini Dek Dewi yang masak!” kata Lydia.

Devi terdiam hanya melirik ke arah Dewi. Tidak ada rasa tersisihkan dirinya dalam satu meja makan dengan Dewi. Seorang wanita dewasa waktunya habis untuk nongkrong sana sini dan bersolek. Untuk beli lipstik saja minta bapaknya, yang menjabat DPR.

Anak satu–satunya yang sangat dimanja, bak ikan kecil. Bebas mau apa aja.

Devi menyiapkan sepiring nasi lengkap lauk pauk untuk Devan. Baru mengambil sedikit nasi lauk untuk dirinya sendiri.

“Enak ini Dek Dewi masaknya!” puji Lydia.

“Saya kan cuma bantuin Ibu masak,” ujar Dewi.

“Memang kalo jadi wanita itu baiknya anteng di rumah, tidak usah neko–neko (macam-macam). Bisa nyiapin masakan buat keluarga sudah kodratnya wanita,” tutur Lydia berbicara dengan Dewi.

“Saya nanti kalo udah punya suami juga akan anteng di rumah Bu, ngak usah kerja cukup nerimo (terima) apa yang diberi suami,” ucap Dewi.

Devi hanya menelan ludah dengan semua yang di katakan Lydia. Benar–benar menyakitkan telinganya. Selalu ada saja hal untuk menyudutkan dirinya.

Devan hanya diam tidak mengatakan apa pun, sekilas matanya melirik iba Devi. Pembelaan untuk istrinya sebagai wanita karir tidak keluar dari mulutnya. Devi memang sibuk, tapi untuk merawat suami dia selalu menomor satukan.

Rela jungkir balik untuk tetap menjadi istri yang baik tapi tetap punya prestasi. Tak seburuk yang diucap Lydia.

Justru kali ini Devan asik makan, seperti tidak mendengar pembicaraan  Lydia dengan Dewi.

“Aku kenyang Mas, aku tinggal ke belakang dulu ya!” ucap Devi sambil berdiri meniggalkan meja makan.

Devan baru menyadari jika Devi mulai tidak nyaman di meja makan.

“Eh, sayang mau kemana?” tanya Devan sambil berdiri.

Lydia melotot tajam, sepertinya bola matanya mau keluar saat itu juga “Dewi sudah masak, kamu yang cuci piring ya Devi!” teriak Lydia.

“Iya Bu, saya Cuma mau kebelakang sebentar kok.” Ujar Devi berhenti sejenak dan memaksa senyuman di bibirnya ke arah mertunya.

Devan baru satu langkah mengikuti Devi tapi Lydia menghentikanya. “Eh, Van makanmu belum habis! Hambiskan dulu! Temenin Dek Dewi sama Ibu makan!” ucap Lydia.

Telinga Devi benar–benar panas, langkahnya semakin cepat meninggalkan ruang makan itu. Berharap suaminya melangkah menyusulnya.

Tapi tidak sesuai harapan Devi. Suaminya menuruti perkataan ibunya. Duduk di meja makan bertiga, membiarkan Devi seorang diri menangis sendu di belakang rumah. Rumah mertuanya.

Dan kejadian tadi malam membuat Devi sadar mengapa waktu itu ia tidak mengikuti langkahnya, dan lebih memilih terdiam. Alasanya adalah Dewi, si ular berbisa.

Cepat-cepat Devi menghapus air matanya, berusaha untuk tidak larut dengan kenangan buruk, hal itu hanya akan menambah suasana buruk dalam hatinya. Kini ia berdiri mengambil barang-barang miliknya di atas meja kerjanya dan dalam laci, lalu di masukan dalam sebuah kardus kosong.

Hari sudah semakin sore, Devan melirik jam tangan yang melingkar di lengannya. Waktu menunjukan pukul dua lebih lima puluh menit. Kini ia mulai resah, istrinya Devi sama sekali belum menghubunginya. Ia juga sudah dua kali menelfon tapi sama sekali tidak ada jawaban.

Dua pesan telah terkirim tapi sama sekali belum ada balasan. Jangankan balasan symbol sudah di baca saja belum terlihat.

“Mungkin sekarang dia lagi di rumah. Kan-seharusnya hari ini Devi udah pulang dari Surabaya.” Bisik dalam hati Devan. “Tapi kok tumben Devi tidak menghubungi aku seharian. Ah sudahlah!”

Kini Devan berusaha untuk kembali fokus menatap layar computer di hadapanya. Menyingkirkan firasat-firasat buruk yang menghampirinya.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Farah raisa
ikutan sedih bacanya...
goodnovel comment avatar
Made Tisna Jatmika
keren jalan ceritanya
goodnovel comment avatar
Purwanti Retno Yudhani
ceritanya bagus, dan bikin penasaran, sukses selalu untuk Thor...️...️......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pesona Sang CEO   Bab 5. Secerca Harapan

    Mario memasukkan kedua tanggannya ke dalam saku celana, kedua bola matanya memandang pemandangan sedih. Devi memeluk rekan-rekanya di kantor satu persatu. Semua jajaran staf dan manajer sudah berusaha untuk mengurungkan niatnya, tapi pecuma. Devi tetap ingin mengundurkan diri.Setiap rekannya bertanya alasan ia mengundurkan diri, hanya satu kata yang terlontar “bosan”. Jawaban bohong dan tak masuk akal. Hanya Mario-lah yang tahu persis alasan Devi mengapa ia berhenti berkerja.Devi memang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala, ucapanya tegas dan singkat. Tidak bisa di ganggu gugat. Ya… oleh itu ia terkenal manajer paling angkuh, jangan sampai membuat kesalahan kalo tidak mau dicerca sampai tengah malam. Tapi di dalam dirinya memancarkan karisma, mungkin kalo laki-laki ia begitu berwibawa.Dia juga terkenal baik kepada semua rekan kerja, dari jabatan office boy sampai CEO sekalipun. Tidak pel

  • Pesona Sang CEO   Bab 6. Mantra

    Udara malam di musim kering terasa dingin, kalo orang Jawa bilang musim bedidih. Tak heran jika siang panas seperti membakar kulit, jika menjelang malam udara seperti di puncak gunung. Dingin sekali.Seorang wanita usia hampir kepala tiga narik nafas panjang sambil memandang langit, luas tak terbatas, kedua lengan tanganya menyila di depan dadanya merasakan hawa dingin menyapu kulitnya.Masih sama seperti dulu di saat merasakan gundah gulana, Devi akan selalu menatap langit. Sambil mengucapkan sesuatu dalam hatinya“Masalahku kecil, di banding nikmat yang Kuasa.” Kalimat itu yang selalu terbesit jika ia merasa resah. Semacam matra ajaib yang selalu ia ulang-ulang dalam hatinya.Semua berawal dari Ayah Devi sewaktu kecil, ketika dirinya mengeluh saat kesulitan mengerjakan PR atau hal apa pun yang membuatnya tak suka. Hingga dirinya menjelang dewasa selalu terucap dari bibir Ayah.

  • Pesona Sang CEO   Bab 7. Sembilan Bulan Mengandung

    Cuaca panas menyengat setiap kulit yang telanjang, saat waktu masih menunjukan pukul sembilan pagi. Devi membuka pintu mobil, buru-buru melangkah sekilas menoleh mengisaratkan Tarjo untuk meninggalkanya.Tanganya mendorong hendle pintu, memasuki salon yang berdiri di jajaran ruko dua lantai.“Pagi Bu Devi!”Seru dua orang pegawai salon yang sedang merapikan majalah di atas meja.Seperti biasa Devi tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan melanjutkan langkahnya melewati beberapa kursi yang biasa untuk pengunjung potong rambut.Di sudut ruangan paling belakang sebelahan dengan tangga tampak meja sederhana, di atasnya terdapat beberapa alat tulis, buku motifasi, buku seputar mengandung dan leptop. Perlahan Devi duduk, sambil tangannya menyalakan leptop di hadapnya.Perlahan lapak tangannya membelai halus perut yang mulai buncit.

  • Pesona Sang CEO   Bab 8. Sulitnya Ibu Melahirkan

    Tak pernah terbayangkah sebelumnya jika proses menyusui begitu menyakitkan. Tidak sekedar mengeluarkan tetek di balik baju lalu dekatkan di mulut bayi. Tak sesederhana itu bagi ibu baru, termasuk Devi.Ketika mulut mungil warna kebiruan dengan lahap berusaha menghisap tonjolan di dada Devi. Rasanya luar biasa perih, sakit seperti diiris dengan sebilah pisau. Rasa itu semakin menyakitkan ketika si mungil Jessy tiba-tiba menangis setelah satu menit menghisab tonjolan di dada Devi.Tak ada air berwarna putih yang keluar dari tubuh Devi, yang ada cairan kental berwarna kuning . Itu pun keluar saat Devi menekan keras bagian ujung putingnya. Bukan hanya buah dadanya saja yang sakit, tapi hatinya juga ikut merasakan ngilu. Ibu mana yang tak merana jika air kehidupan tak kunjung keluar?Namy terus mendesak untuk memberikan susu formula pada bayi Jessy, kuatir dengan cucu kesayangnya telah menguning sebab ku

  • Pesona Sang CEO   Bab 9. Dokter Susy

    Tiga bulan yang lalu, sebelum Jessy lahir Devi sudah merasakan beban berat soal uang. Empat orang yang berkerja untuknya. Tarjo, Mbok Min dan dua pegawai salon semua harus di gaji. Uang tabungan hampir terkuras habis untuk modal, sedangkan salon Devi belum seberapa ramai walapun setiap harinya selalu ada peningkat pengunjung.Keuntungan salon cukup untuk membayar dua pegawai dan membeli kebutuhan salon. Perkiraan satu tahun baru berjalan normal, syukur-syukur semakin meningkat.Dengan sangat terpaksa Devi berniat memperhentikan Tarjo, berkurangnya satu pegawai bisa mengurangi beban pikirnya. Toh dirinya bisa mengendari mobil sendiri.Uang warna merah empat puluh lembar sudah siap di amplop, Devi berniat menghampiri Tarjo yang sedang duduk di teras. Siapa sangka orang tua itu sedang berbicara di telefon.Devi tidak tahu persis Tarjo bicara dengan siapa yang jelas menganggil

  • Pesona Sang CEO   Bab 10. Pria di Pusaran Makam

    Waktu berlalu begitu cepat tak terasa proses mengandung, melahirkan hingga menyusui telah terlewati dengan susah payah. Tiga tahun penuh perjuangan. Bukan hanya soal merawat anak dan mendidiknya tapi proses pemulihan luka yang terus saja dicoba dan dicoba lagi namun tak kunjung sembuh dengan sempurna. Tidak semua kesakitan melahirkan nestapa. Kadang kesakitan melahirkan kekuatan bagi mereka yang mau berjuang Devi memang gagal dalam urusan cinta tapi untuk hal lain dirinya pemenangnya. Patah hati tidak menghancurkan seluruh hidupnya. Luka yang masih membara setiap kali melihat pelupuk mata gadis kecil yang kini berusia dua tahun, dua bola mata itu mengingatkan pada sosok bajingan, sosok lelaki yang pernah Devi cinta dan selalu dibanggakan. Tapi hanya gadis kecil itu yang menjadi semangat hidup Devi, ambisinya besar untuk memberikan semua hal yang istimewa. Termasuk

  • Pesona Sang CEO   Bab 11. Rangga

    Hay pembaca yang tersayang, saya mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya jika up date bab terlambat hingga tiga minggu lamanya. Bismillah dengan ini saya lanjutkan lagi menulis untuk menghibur kalian semua. * Kini Jessy kecil menangis meronta di pelukan Devi yang berjalan meninggalkan pusaran makam ayahnya. Pria di sebarang mulai melepas kaca mata yang melingkar di kedua bola matanya, seolah-olah menganggu pandanganya, kini matanya tajam melihat Devi yang mulai menjauh. “Sudah sayang, itu bukan mainan!” Devi mencium kening Jessy yang masih meraung-raung. Secepat kilat tangan kanannya membuka pintu mobil dan masuk, seolah-olah bersembunyi di dalam mobil. Jantungnya kini berdekat kencang, matanya terus melihat kebelakang tak memperdulikan Jessy yang tantrum. Devi benar-benar kwatir jika sosok itu menghampirinya. Tapi yang terlihat hanya tubuh gemuk Namy yang menuju mobil. &nbs

  • Pesona Sang CEO   Bab 12. Pembunuhan Namy dan Tarjo

    Rangga mulai menyadari sikap kakak iparnya yang semakin dingin. Setatusnya sebagai adik kandung Devan tidaklah pantas jika ikut campur rumah tangga yang mereka jalani, memang lancang tapi rasa penasaran tidak bisa ia bendung. Apa lagi pertemuannya dengan Jessy membuat hatinya terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi dengan rumah tangga kakaknya. “Saya minta maaf Mbak, jika tidak sopan,” celetuk Rangga memecah keheningan, sorot matanya begitu tenang tapi tak ada keberanian untuk memandang Devi. Devi tak menjawab hanya mengangguk pelan, beberapa kali menarik nafas panjang berusaha membuang semua sumbatan di dalam dadanya. “Hmmm, Jessy itu anak Mbak?” Devi tersenyum kecut. “Ya,” jawabnya. Kali ini air mata Devi menetes perlahan, bibir warna kemerahanya perlahan menyampaikan tutur kata masalalu yang teramat kelam. Nadanya tak beraturan kadang tinggi sesaat kem

Latest chapter

  • Pesona Sang CEO   Tamat

    “Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 19. Max, Si Pria Kekar

    Devi berjalan terburu-buru setelah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah Jessy. Dia terlambat lima menit menghadiri rapat pengambilan rapot Jessy.Akan tetapi langkah kaki itu terhenti ketika sebuah mobil sedan warna hitam melintas tepat di hadapnya kemudian berbelok hendak parkir di samping mobilnya.Suara retakan terdengar keras di belakang Devi. Kedua bola matanya melihat dengen jelas bagimana orang itu menabrak spion mobilnya. Dan kini langkah Devi benar-benar terhenti.Niat untuk segera masuk ke ruang kelas Jessy terhenti seketika. Dia perlu membuat perhitungan dengan orang tolol yang telah menabrak mobilnya.Devi berdiri di samping mobil sedan warna hitam, menunggu sang empu keluar dari dalam mobil. Orang itu harus diberi pelajaran, siapa tahu dia sebernarnya orang yang tidak mahir membawa mobil namun nekat mengendarai.Sepatu datar mengkilat dengan moncong sedikit keatas keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Seorang pria dengan tubuh kekar dengan kemeja yang minim keluar d

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 18. Haruskah Berkencan dengan Pria?

    Mantan kekasih adalah belegu.Sebuah kalimat yang cocok untuk Devi saat ini. Rangga kembali datang menawarakan sebuah pertemanan, namun bukan itu sebenarnya. Devi mengerti tidak ada pertemanan murni dengan mantan.Kemungkinan untuk masuk ke jurang yang sama masih jelas ketara. Akan tetapi jika terus menerus menghindari Rangga justru semakin pria itu terpacu adrenalin.Devi harus melalukan sesuatu agar berhenti mengusiknya.“Oke. Aku memaafkanmu, kita bisa berteman. Tapi tolong beri aku ruang dan waktu. Tidak mudah aku kembali pada masalalu walau hanya untuk berteman!” Suara Devi terdengar sedikit kaku dengan dua bola mata menatap penuh ke arah Rangga.“Beri aku waktu!”Rangga berdehem. “Apa yang harus aku lakukan?”“Dua minggu saja kamu berhenti menemuiku?”“Kenapa?” tanya Rangga.“Beri aku ruang dan waktu!”Pertemuan itu berlangsung cukup sengit. Namun, membuahkan hasil bagi Devi. Pria itu pergi dari ruangan Devi, meskipun dengan perasaan yang begitu kacau.Kini yang ada hanya Devi y

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 17. Penyesalan

    Satu bulan setelah pertemuan itu Devi menolak untuk bertemu Rangga. Bahkan urusan kerja sama dengan Erlangga ia serahkan penuh ke Susi. Ia benar-benar menolak untuk bertemu dengan Rangga.Rasa tersinggung karena ucapan Rangga kala itu masih lekat di otak Devi. Namun, siapa sangka selama satu bulan itu juga Rangga tidak berhenti mengusik dirinya. Dari mengirim buket bunga sampai makanan hingga beberapa batang coklat.Akan tetapi akhir dari buket bunga-bunga itu ialah tong sampah jika untuk makanan Devi biarkan karyawan yang menghabiskan semua.Sedikit pun ia tak lagi terkesan dengan godaan yang diberikan Rangga.Sebenarnya hal itu ia lakukan agar untuk menjaga hati akan rayuan Rangga. Ia tahu pria itu sudah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu. Kini Rangga lekat dengan alkohol dan rumor-rumor miring.Devi juga tak bisa menampik kabar yang beredar jika Rangga saat ini sedang dekat dengan beberapa model dan juga artis kontroversial. Beberapa kali Rangga datang ke kantor, tapi Devi

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 16. Kencan Dengan Masalalu

    Berdua dengan mantan kekasih yang pernah mencintai begitu dalam adalah siksaan nyata. Urat di belakang leher Devi terasa kaku, jantung terus dipacu berdetak lebih keras. Sesekali Rangga mentap lalu buang muka, dan itu sedikit memuakan untuk Devi. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika ponsel Devi berbunyi, meskipun itu panggilan hanya dari staf kantor dan bisa dialihkan tapi hal itu menjadi kesempatan Devi untuk keluar ruangan itu. Dan ia dengan sengaja kembali dua puluh menit kemudian ketika semua sudah berkumpul di bilik 55. Meeting dan sekaligus makan sing berlangsung singkat; dua jam. Kali ini Devi hanya berkata jika perlu, tidak banyak basa basi apalagi bercanda, terlebih lagi Rangga. Pria itu hanya menjadi pendengar, sambil terus memainkan mata ke arah Devi. Semua setuju project akan digarap satu minggu yang akan datang. Sebagai bentuk penutup acara semua yang ada dalam ruangan itu saling berjabat tangan. Termasuk Rangga dengan Devi. Akan tetapi jabat tangan kali ini Rangga d

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 15. Di Bilik 55

    Kurang dari tiga puluh menit pertemuan di mulai. Seorang pria dengan kacamata hitam bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal berjalan memasuki bilik ruangan no 55. Di pertemuan ini pria itu sengaja mengenakan kemeja kualitas premiun berbahan flannel, dengan lengan panjang. Dan untuk celana ia mengenakan celana jins warna hitam. Pria itu juga mengenakan sepatu kanvas dengan model kasual sebuah penampilan sederhana tapi tetap modis. Untuk pertemuan dan tebar pesona. Namun langkahnya terhenti sebelum memasuki ruangan itu. Dari cela pintu kaca terlihat jelas sosok wanita yang sangat ia kenali. Dua mata Rangga kini tak lepas dari sosok wanita dengan dres berwarna hitam polos berkalung mutiara sedang duduk menatap ponsel. Bersyukur wanita itu fokus ke poselnya, hingga tidak menyadari kehadiran Rangga. Rangga bergumam, sedikit kesal ternyata Devi jauh lebih dahulu sampai restoran. Padahal pria itu percaya diri jika kehadiranya menjadi hal yang mengejutkan bagi Devi. Tapi sebaliknya ia

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 14. Kembalinya Rangga

    Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 13. Kembalinya Masalalu

    Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 12. Ibu Otoriter

    Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga

DMCA.com Protection Status