Pagi semakin terang, fajar mulai semakin percaya diri menampakan cahayanya. Dua sejoli berjalan terburu-buru masuk kedalam mobil, lalu tancap gas meninggalkan pekarangan rumah, seolah-olah sedang dikejar babi hutan.
“Kenapa sih harus terburu-buru? Masih pagi juga!” Mulut Dewi monyong sambil merilik Devan yang sedang sibuk memutar stir mobil.
“Bukan begitu, kalo kesiangan dikit nanti tetangga tahu kamu di rumah. Kamu mau mereka lihat kamu?” tanya Devan santai.
Dewi mengeleng pelan, wajahnya sedikit kusut karena kecewa. Memang sial nasib seorang wanita simpanan. Ia harus bersembunyi seperti pencuri, walapun sama-sama suka. Sebenarnya Dewi sudah muak dengan semua ini, tapi apa daya perasaan yang sudah terlanjur dalam, sulit untuk menjauh dari Devan, sedetik pun.
“Sudah jangan cemberut! Nanti aku kasih uang buat ke salon ya!” Devan menoleh kea rah Dewi sambil tersenyum mempesona.
“Oke!” Dewi menoleh, kini wajahnya yang sedikit lonjong dihiasi senyuman.
Sampai depan rumah Dewi, mobil Devan berhenti, secepat kilat Dewi keluar mobil lalu dengan cepat Devan tancap gas sebelum banyak orang mengetahui keberadaanya. Nafas Dewi mendekus, menatap mobil Devan yang sudah menghilang setelah berbelok di tikungan. Kini ia membayangkan jika Devan benar-benar menjadi miliknya seutuhnya dan dia satu-satunya wanita di hidup Devan. Mungkin tidak akan merepotkan seperti ini.
Selalu bersembunyi, takut ketahuan orang lain yang mengancam reputasinya. Hal yang sangat menjengkelkan untuk Dewi.
*
Di lain tempat Devi berusaha tegar, mengumpulkan sisa semangat hidupnya demi anak yang di kandung saat ini dan ibunya, satu–satu keluarga yang Devi miliki. Kini hatinya hancur, kepercayaanya luluh lantak tak berbentuk, dirinya terus berusaha berfikir sejernih mungkin walau pun sulit.
Pelan-pelan Devi menekan pundaknya dan menijit perlahan, badanya terasa pecah. Capek dan letih telah berpadu, matanya nampak sembap nan sayu. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu jika Devi sedang merasakan kelelahan yang luar biasa.
Lelahnya fisik Devi setelah perjalanan luar kota, seorang diri menyetir dari Surabaya- Solo kurang lebih lima jam lamanya. Lelahnya fisik mudah diobati tapi lelahnya hati dokter mana yang punya penawar.
Tangannya meraih minyak urut milik Namy di atas meja, lalu beberapa tetes sudah di telapak tangan, membalurkan ke betis dan punggung berharap merasa lebih baik setelah itu.
Aroma khas sere menusuk hidungnya, segar masuk kedalam rongga indra penciumanya. Dulu dia masa sekali tidak suka, entahlah mengapa kini ia suka sekali dengan aroma itu. Devi sendiri sedikit binggung dengan perubahan itu, tapi ia tidak memikirkan lebih jauh. Mungkin pengaruh hamil muda.
“Ternyata baunya unik.” Batin Devi dalam hati.
Kini kedua bola matanya melirik jam dinding bulat warna putih menunjukan pukul tujuh. Waktunya ia harus segera bersiap menuju kantor, pasti hari ini menjadi hari suram untuknya. Ia meninggalkan rapat di Surabaya begitu saja, walapun semua sudah dipasrahkan rekannya, tapi pagi ini Devi harus siap jika Mario memakinya.
Satu jam berlalu, kini Devi sudah berada di meja kerja Mario. Wajahnya lesu, terlihat pucat, lingkar hitam di area mata. Jelas sekali ia kurang istirahat. Mario menarik nafas panjang setelah mendengar kata “resign”, matanya terus memandang wajah Devi yang terus saja tetunduk.
“Aku tidak mempermasalahkan kamu yang tiba-tiba meninggalkan rapat di Surabaya hari ini. Tapi yang membuat saya kecewa itu … kamu mengundurkan diri semendadak ini,” ujar Mario.
“Saya tahu ini buruk, tapi saya benar-benar tidak bisa berada di sini.” Devi sekilas mengangkat dagu lalu tertunduk kembali.
“Kali ketiga saya bertanya, apa alasan logis kamu mengundurkan diri sebenarnya apa? Gajimu kurang? Kita bisa negosasi, atau kamu mau jabatan lebih tinggi lagi?”
Kini Devi berusaha menatap Mario, sejenak ia memandang luar ruangan lewat candela tepat di belakang Mario. “Aku ingin keluar dari kota ini!”
“Berikan alasan yang masuk akal Devi!” pungkas Mario mulai gemas.
“Devan telah menghianatiku, aku benar-benar dibuat frustasi oleh hal itu. Aku ingin keluar dari kota ini.” Mata sayu Devi menatap Mario.
Mario menarik nafas panjang, sekilas memijat keningnya. “Kemana kamu mau pergi?”
“Kota Pahlawan.”
Devi menjabat sebagai manager marketing di salah satu hotel bintang lima di bawah naungan Liem Corp di Solo dua tahun. Dari seorang seles lapangan yang sering wora wiri luar kota, dari tahun ke tahun karir terus meroket hingga tahun ke empat predikat sebagai manager marketing Devi dapatkan.
Kemampuan merilik pasar, stragegi bisnis yang jitu, korelasi yang baik dengan agen travel Devi terus jalin membuat penjualan terus meningkat. Devi juga memanfaatkan canggihan teknologi untung promosi semakin membuat hotel tempat ia berkerja digandungi kaum milinial, tidak heran jika Mario suka dengan kinerja Devi.
Kalo pun Devi minta gaji dua kali lipat pasti Mario berikan. Tapi semua tahu jika Devi adalah wanita pintar, si kutu buku yang sangat keras kepala. Siapa yang bisa melawan keputusanya? Tidak ada. Termasuk Mario sekalipun.
“Gimana kalo kamu kerja di hotel saya di Surabaya? Kamu tidak perlu mengundurkan diri.” Senyum percaya diri Mario merekah.
“Maaf untuk sekian kalinya, saya tetap tidak bisa menerima tawaran itu,” pungkas Devi dengan mantap.
Mario meraih secangkir kopi dingin di hadapanya, mencicipi sedikit lalu diletakkan kembali.
“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu Devi, apakah ada perusahan lain yang menawar dengan gaji lebih tinggi?”
“Tidak.”
“Lalu?” Mario mengerutkan kedua alisnya.
“Aku akan menjadi seorang ibu, sekaligus aku sigle parent. Aku ingin membuat usaha sendiri agar aku bisa merawat bayiku nanti.” Devi tersenyum manis.
Kepala Mario mulai pening, salah satu pegawai yang ia eluh-eluhkan membuatnya binggung. Yang pertama ia ingin mengundurkan diri karena suaminya selingkuh, yang kedua sekarang kini ia berbadan dua.
Sekilas Mario memijat keningnya, menarik nafas panjang berusaha mengisi oksigen ke dalam dadanya yang terasa sempit.
“Oke, jika itu keputusanmu, saya izinkan kamu mengundurkan diri.” Mario berusaha tersenyum walapun terpaksa.
“Te-terimaksih.” Devi tertunduk, kedua bola matanya mulai basah.
Bagaimana pun hotel tempat ia berkerja saat ini adalah tempat yang membesarkan dirinya hingga saat ini. Mustahil jika tidak ada rasa sedih dengan keputusannya mengundurkan diri.
“Lalu kamu mau usaha apa di sana? Butuh modal berapa?” celetuk Mario.
Devi mengangkat wajahnya, lalu mengeleng pelan. “Belum tahu.”
“Oh Tuhan.”
Untuk sekian kali Mario memijat keningnya. Ia tak habis pikir dengan keputusan Devi kali ini. masalah yang ia hadapai saat ini benar-benar membuatnya terlihat sedikit bodoh. Devi yang biasanya adalah wanita tajam pikiranya, tahu benar keputusan yang ia ambil, tapi lain dengan hari ini, ia linglung nyari seperti orang tolol.
Mario mencoba mengerti keadaan Devi untuk saat ini, biar bagaimana pun Devan adalah separuh hidupnya, sudah bisa dipastikan dia juga fakto bahagia dan juga kesediahan Devi.
“Oke, mengundurkan diri dari sini adalah hak mu. Tapi saya akan memberikan kesempatan jika kamu ingin bergambung dengan Liem Corp. Kamu bebas ingin memilih di mana hotel tempatmu berkerja.” Mario menatap penuh harapan pada Devi.
Mario Liem adalah pewaris tunggal kelurga Disung Liem dengan segudang kekayaan dan perusahan besar di Indonesia. Ayah Mario, Disung Liem meninggal saat Mario berulang tahun ke 30 tahun. Saat itu baru saja Devi baru satu minggu menjadi Manager Marketing, secara otomatis semua aset dan perusahan jatuh hanya pada Mario, anak satu-satunya.
Liem Corp mampu bersaing dengan pasar global dan terus berkembang membangun sebuah perusahan bonafit. Mario berhasil mengaet investor asing membangun jaringan bisnis di berbagai bidang termasuk industry dan pariwisata. Pabrik makanan telah berdiri gagah di beberapa kota di pulau Jawa dan Sumatra. Perumahan, apartemen dan hotel bitang lima berdiri dengan megah di kota-kota besar di Indonesia.
Devi masih sama tertunduk, menahan air mata yang ingin terus memaksa keluar. Kedua sudut bibirnya berusaha tersenyum. Mario yang melihat Devi meneteskan air mata, saat itu menarik satu lembar tisu di laci meja kerjanya.
“Terimakasih.” Devi menerima tisu, perlahan menghapus air matanya.
“Aku tahu penghianatan itu menyakitkan Devi. Tapi kamu harus tahu… hidup ini masih terus berlanjut.” Mario berusaha memberi semangat Devi. “Kamu harus kembali semangat, untuk dirimu sendiri … untuk cabang bayimu!
Devi tersenyum, berkali-kali menganggukan kepala, setuju dengan ucapan Mario. “Ma-maafkan saya!”
“Tidak perlu minta maaf Devi. Semangat!” Kini wajah Mario lebih sumeringah dari sebelumnya.
Jauh kilometer Devi berada Devan melaju ke kantor, sambil memutar musik di dalam mobil. Sekilas dirinya menatap layar ponselnya tanggal lima Januari. Tepat satu tahun pernikahannya.
Tidak ada telefon, pesan singkat apa lagi kejutan dari Devi. Devan mencoba mengalihkan pikirannya, berusaha tidak peduli toh sudah ada Dewi yang menyenangkan hatinya.
Setengah hari sudah berlalu, di tengah kesibukannya ia kembali melihat layar ponselnya. Notifikasi lima pesan semua dari Dewi, mengirim foto sehabis spa di salon tubuhnya hanya terbalut handuk kimono warna merah jambu dengan belahan dada dalam dan lebar tapi sedikit pun Devan tak bergairah seperti biasanya, pikirnya sekarang hanya pada Devi.
“Ah mungkin ia mau memberi aku kejutan. Hari ini-kan dia pulang dari Surabaya.” Batin Devan santai.
Tanpa rasa bersalah apa lagi firasat buruk Devan melakukan aktivitas seperti biasa, dirinya yakin benar jika hubungannya dengan Dewi aman, tidak ada yang tahu.
Hay pembaca yang baik hati, saya Zedan Zee sebagai penulis mengucapkan terimakasi telah menikmati tulisan saya. Oh ya… kalian dapat mengomentari setiap paragaf yang kalian baca, dengan klik paragaf yang ingin kalian beri komentar, lalu klik icon komentar. Dan saya harap kalian meluangkan waktu untuk memberikan bintang lima untuk karya saya!Memberi bintang lima itu gratis dan saya akan bahagia jika kalian melakukanya. Ingat! Membahagikan orang lain itu pahalanya banyak, maukan dapat pahala yang banyak? Selamat membaca!*Tepat hari ini Devi terakir di kantor, sekilas itu termenung memandang ruangan kerja yang selama ini menjadi tempat ternyaman setelah rumah, yang sekarang sudah menjadi neraka. Pikiranya terus menari-nari tak menentu, kecerdasan otaknya saat ini rasanya benar-benar menghilang. Nyaris ia frustasi dengan garis takdirnya.“Tuhan, aku harus bagaimana?” keluh Devi
Mario memasukkan kedua tanggannya ke dalam saku celana, kedua bola matanya memandang pemandangan sedih. Devi memeluk rekan-rekanya di kantor satu persatu. Semua jajaran staf dan manajer sudah berusaha untuk mengurungkan niatnya, tapi pecuma. Devi tetap ingin mengundurkan diri.Setiap rekannya bertanya alasan ia mengundurkan diri, hanya satu kata yang terlontar “bosan”. Jawaban bohong dan tak masuk akal. Hanya Mario-lah yang tahu persis alasan Devi mengapa ia berhenti berkerja.Devi memang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala, ucapanya tegas dan singkat. Tidak bisa di ganggu gugat. Ya… oleh itu ia terkenal manajer paling angkuh, jangan sampai membuat kesalahan kalo tidak mau dicerca sampai tengah malam. Tapi di dalam dirinya memancarkan karisma, mungkin kalo laki-laki ia begitu berwibawa.Dia juga terkenal baik kepada semua rekan kerja, dari jabatan office boy sampai CEO sekalipun. Tidak pel
Udara malam di musim kering terasa dingin, kalo orang Jawa bilang musim bedidih. Tak heran jika siang panas seperti membakar kulit, jika menjelang malam udara seperti di puncak gunung. Dingin sekali.Seorang wanita usia hampir kepala tiga narik nafas panjang sambil memandang langit, luas tak terbatas, kedua lengan tanganya menyila di depan dadanya merasakan hawa dingin menyapu kulitnya.Masih sama seperti dulu di saat merasakan gundah gulana, Devi akan selalu menatap langit. Sambil mengucapkan sesuatu dalam hatinya“Masalahku kecil, di banding nikmat yang Kuasa.” Kalimat itu yang selalu terbesit jika ia merasa resah. Semacam matra ajaib yang selalu ia ulang-ulang dalam hatinya.Semua berawal dari Ayah Devi sewaktu kecil, ketika dirinya mengeluh saat kesulitan mengerjakan PR atau hal apa pun yang membuatnya tak suka. Hingga dirinya menjelang dewasa selalu terucap dari bibir Ayah.
Cuaca panas menyengat setiap kulit yang telanjang, saat waktu masih menunjukan pukul sembilan pagi. Devi membuka pintu mobil, buru-buru melangkah sekilas menoleh mengisaratkan Tarjo untuk meninggalkanya.Tanganya mendorong hendle pintu, memasuki salon yang berdiri di jajaran ruko dua lantai.“Pagi Bu Devi!”Seru dua orang pegawai salon yang sedang merapikan majalah di atas meja.Seperti biasa Devi tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan melanjutkan langkahnya melewati beberapa kursi yang biasa untuk pengunjung potong rambut.Di sudut ruangan paling belakang sebelahan dengan tangga tampak meja sederhana, di atasnya terdapat beberapa alat tulis, buku motifasi, buku seputar mengandung dan leptop. Perlahan Devi duduk, sambil tangannya menyalakan leptop di hadapnya.Perlahan lapak tangannya membelai halus perut yang mulai buncit.
Tak pernah terbayangkah sebelumnya jika proses menyusui begitu menyakitkan. Tidak sekedar mengeluarkan tetek di balik baju lalu dekatkan di mulut bayi. Tak sesederhana itu bagi ibu baru, termasuk Devi.Ketika mulut mungil warna kebiruan dengan lahap berusaha menghisap tonjolan di dada Devi. Rasanya luar biasa perih, sakit seperti diiris dengan sebilah pisau. Rasa itu semakin menyakitkan ketika si mungil Jessy tiba-tiba menangis setelah satu menit menghisab tonjolan di dada Devi.Tak ada air berwarna putih yang keluar dari tubuh Devi, yang ada cairan kental berwarna kuning . Itu pun keluar saat Devi menekan keras bagian ujung putingnya. Bukan hanya buah dadanya saja yang sakit, tapi hatinya juga ikut merasakan ngilu. Ibu mana yang tak merana jika air kehidupan tak kunjung keluar?Namy terus mendesak untuk memberikan susu formula pada bayi Jessy, kuatir dengan cucu kesayangnya telah menguning sebab ku
Tiga bulan yang lalu, sebelum Jessy lahir Devi sudah merasakan beban berat soal uang. Empat orang yang berkerja untuknya. Tarjo, Mbok Min dan dua pegawai salon semua harus di gaji. Uang tabungan hampir terkuras habis untuk modal, sedangkan salon Devi belum seberapa ramai walapun setiap harinya selalu ada peningkat pengunjung.Keuntungan salon cukup untuk membayar dua pegawai dan membeli kebutuhan salon. Perkiraan satu tahun baru berjalan normal, syukur-syukur semakin meningkat.Dengan sangat terpaksa Devi berniat memperhentikan Tarjo, berkurangnya satu pegawai bisa mengurangi beban pikirnya. Toh dirinya bisa mengendari mobil sendiri.Uang warna merah empat puluh lembar sudah siap di amplop, Devi berniat menghampiri Tarjo yang sedang duduk di teras. Siapa sangka orang tua itu sedang berbicara di telefon.Devi tidak tahu persis Tarjo bicara dengan siapa yang jelas menganggil
Waktu berlalu begitu cepat tak terasa proses mengandung, melahirkan hingga menyusui telah terlewati dengan susah payah. Tiga tahun penuh perjuangan. Bukan hanya soal merawat anak dan mendidiknya tapi proses pemulihan luka yang terus saja dicoba dan dicoba lagi namun tak kunjung sembuh dengan sempurna. Tidak semua kesakitan melahirkan nestapa. Kadang kesakitan melahirkan kekuatan bagi mereka yang mau berjuang Devi memang gagal dalam urusan cinta tapi untuk hal lain dirinya pemenangnya. Patah hati tidak menghancurkan seluruh hidupnya. Luka yang masih membara setiap kali melihat pelupuk mata gadis kecil yang kini berusia dua tahun, dua bola mata itu mengingatkan pada sosok bajingan, sosok lelaki yang pernah Devi cinta dan selalu dibanggakan. Tapi hanya gadis kecil itu yang menjadi semangat hidup Devi, ambisinya besar untuk memberikan semua hal yang istimewa. Termasuk
Hay pembaca yang tersayang, saya mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya jika up date bab terlambat hingga tiga minggu lamanya. Bismillah dengan ini saya lanjutkan lagi menulis untuk menghibur kalian semua. * Kini Jessy kecil menangis meronta di pelukan Devi yang berjalan meninggalkan pusaran makam ayahnya. Pria di sebarang mulai melepas kaca mata yang melingkar di kedua bola matanya, seolah-olah menganggu pandanganya, kini matanya tajam melihat Devi yang mulai menjauh. “Sudah sayang, itu bukan mainan!” Devi mencium kening Jessy yang masih meraung-raung. Secepat kilat tangan kanannya membuka pintu mobil dan masuk, seolah-olah bersembunyi di dalam mobil. Jantungnya kini berdekat kencang, matanya terus melihat kebelakang tak memperdulikan Jessy yang tantrum. Devi benar-benar kwatir jika sosok itu menghampirinya. Tapi yang terlihat hanya tubuh gemuk Namy yang menuju mobil. &nbs
“Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan
Devi berjalan terburu-buru setelah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah Jessy. Dia terlambat lima menit menghadiri rapat pengambilan rapot Jessy.Akan tetapi langkah kaki itu terhenti ketika sebuah mobil sedan warna hitam melintas tepat di hadapnya kemudian berbelok hendak parkir di samping mobilnya.Suara retakan terdengar keras di belakang Devi. Kedua bola matanya melihat dengen jelas bagimana orang itu menabrak spion mobilnya. Dan kini langkah Devi benar-benar terhenti.Niat untuk segera masuk ke ruang kelas Jessy terhenti seketika. Dia perlu membuat perhitungan dengan orang tolol yang telah menabrak mobilnya.Devi berdiri di samping mobil sedan warna hitam, menunggu sang empu keluar dari dalam mobil. Orang itu harus diberi pelajaran, siapa tahu dia sebernarnya orang yang tidak mahir membawa mobil namun nekat mengendarai.Sepatu datar mengkilat dengan moncong sedikit keatas keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Seorang pria dengan tubuh kekar dengan kemeja yang minim keluar d
Mantan kekasih adalah belegu.Sebuah kalimat yang cocok untuk Devi saat ini. Rangga kembali datang menawarakan sebuah pertemanan, namun bukan itu sebenarnya. Devi mengerti tidak ada pertemanan murni dengan mantan.Kemungkinan untuk masuk ke jurang yang sama masih jelas ketara. Akan tetapi jika terus menerus menghindari Rangga justru semakin pria itu terpacu adrenalin.Devi harus melalukan sesuatu agar berhenti mengusiknya.“Oke. Aku memaafkanmu, kita bisa berteman. Tapi tolong beri aku ruang dan waktu. Tidak mudah aku kembali pada masalalu walau hanya untuk berteman!” Suara Devi terdengar sedikit kaku dengan dua bola mata menatap penuh ke arah Rangga.“Beri aku waktu!”Rangga berdehem. “Apa yang harus aku lakukan?”“Dua minggu saja kamu berhenti menemuiku?”“Kenapa?” tanya Rangga.“Beri aku ruang dan waktu!”Pertemuan itu berlangsung cukup sengit. Namun, membuahkan hasil bagi Devi. Pria itu pergi dari ruangan Devi, meskipun dengan perasaan yang begitu kacau.Kini yang ada hanya Devi y
Satu bulan setelah pertemuan itu Devi menolak untuk bertemu Rangga. Bahkan urusan kerja sama dengan Erlangga ia serahkan penuh ke Susi. Ia benar-benar menolak untuk bertemu dengan Rangga.Rasa tersinggung karena ucapan Rangga kala itu masih lekat di otak Devi. Namun, siapa sangka selama satu bulan itu juga Rangga tidak berhenti mengusik dirinya. Dari mengirim buket bunga sampai makanan hingga beberapa batang coklat.Akan tetapi akhir dari buket bunga-bunga itu ialah tong sampah jika untuk makanan Devi biarkan karyawan yang menghabiskan semua.Sedikit pun ia tak lagi terkesan dengan godaan yang diberikan Rangga.Sebenarnya hal itu ia lakukan agar untuk menjaga hati akan rayuan Rangga. Ia tahu pria itu sudah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu. Kini Rangga lekat dengan alkohol dan rumor-rumor miring.Devi juga tak bisa menampik kabar yang beredar jika Rangga saat ini sedang dekat dengan beberapa model dan juga artis kontroversial. Beberapa kali Rangga datang ke kantor, tapi Devi
Berdua dengan mantan kekasih yang pernah mencintai begitu dalam adalah siksaan nyata. Urat di belakang leher Devi terasa kaku, jantung terus dipacu berdetak lebih keras. Sesekali Rangga mentap lalu buang muka, dan itu sedikit memuakan untuk Devi. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika ponsel Devi berbunyi, meskipun itu panggilan hanya dari staf kantor dan bisa dialihkan tapi hal itu menjadi kesempatan Devi untuk keluar ruangan itu. Dan ia dengan sengaja kembali dua puluh menit kemudian ketika semua sudah berkumpul di bilik 55. Meeting dan sekaligus makan sing berlangsung singkat; dua jam. Kali ini Devi hanya berkata jika perlu, tidak banyak basa basi apalagi bercanda, terlebih lagi Rangga. Pria itu hanya menjadi pendengar, sambil terus memainkan mata ke arah Devi. Semua setuju project akan digarap satu minggu yang akan datang. Sebagai bentuk penutup acara semua yang ada dalam ruangan itu saling berjabat tangan. Termasuk Rangga dengan Devi. Akan tetapi jabat tangan kali ini Rangga d
Kurang dari tiga puluh menit pertemuan di mulai. Seorang pria dengan kacamata hitam bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal berjalan memasuki bilik ruangan no 55. Di pertemuan ini pria itu sengaja mengenakan kemeja kualitas premiun berbahan flannel, dengan lengan panjang. Dan untuk celana ia mengenakan celana jins warna hitam. Pria itu juga mengenakan sepatu kanvas dengan model kasual sebuah penampilan sederhana tapi tetap modis. Untuk pertemuan dan tebar pesona. Namun langkahnya terhenti sebelum memasuki ruangan itu. Dari cela pintu kaca terlihat jelas sosok wanita yang sangat ia kenali. Dua mata Rangga kini tak lepas dari sosok wanita dengan dres berwarna hitam polos berkalung mutiara sedang duduk menatap ponsel. Bersyukur wanita itu fokus ke poselnya, hingga tidak menyadari kehadiran Rangga. Rangga bergumam, sedikit kesal ternyata Devi jauh lebih dahulu sampai restoran. Padahal pria itu percaya diri jika kehadiranya menjadi hal yang mengejutkan bagi Devi. Tapi sebaliknya ia
Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi
Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su
Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga