Beranda / Urban / Pesona Sang CEO / Bab 8. Sulitnya Ibu Melahirkan

Share

Bab 8. Sulitnya Ibu Melahirkan

Penulis: Zedanzee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Tak pernah terbayangkah sebelumnya jika proses menyusui begitu menyakitkan. Tidak sekedar mengeluarkan tetek di balik baju lalu dekatkan di mulut bayi. Tak sesederhana itu bagi ibu baru, termasuk Devi.

Ketika mulut mungil warna kebiruan dengan lahap berusaha menghisap tonjolan di dada Devi. Rasanya luar biasa perih, sakit seperti diiris dengan sebilah pisau. Rasa itu semakin menyakitkan ketika si mungil Jessy tiba-tiba menangis setelah satu menit menghisab tonjolan di dada Devi.

Tak ada air berwarna putih yang keluar dari tubuh Devi, yang ada cairan kental berwarna kuning . Itu pun keluar saat Devi menekan keras bagian ujung putingnya.

Bukan hanya buah dadanya saja yang sakit, tapi hatinya juga ikut merasakan ngilu. Ibu mana yang tak merana jika air kehidupan tak kunjung keluar?

Namy terus mendesak untuk memberikan susu formula pada bayi Jessy, kuatir dengan cucu kesayangnya telah menguning sebab kurang cairan.

“Tidak, aku tetap ingin berusaha menyusuinya. Dia anakku bukan anak sapi.” Suara Devi ketus, dirinya mulai tersinggung dengan ucapan Namy beberapa hari terakir ini.

Namy menarik nafas panjang, memilih terdiam sambil memandangi wajah Devi yang kesakitan.

Hari kelima cairan susu dari tubuh Devi tak kunjung keluar. Pijatan laktasi, makan bayam, daun singkong, bahkan pare mentah sudah berkali-kali ia telan. Tapi, nihil! ASI tak keluar.

“Ini jamu Dev, di minum ya! Dulu nenekmu suka bikin jamu kunir asem waktu habis melahirkan kamu.” Segelas jamu berwarna kuning diletakan di atas nakas, yang di percaya memperlancar proses menyusui.

“Iya Bu terima kasih,” ucap Devi sambil memijat dua tonjolan di dadanya, memastikan ada lubang yang menghasilkan air susu.

Satu jam berlalu, Jessy merengek. Bibir mungil terbuka sedikit, ujung lidahnya menjulur keluar. Dengan sangat pelan-pelan Devi mengendong di pangkuannya sambil mengeluarkan salah satu tonjolan di balik bajunya

Saat ini dua tonjolan itu semakin besar, kenyal dan keras, tapi entah mengapa tak kunjung keluar isinya.

Parahnya sekarang rasa nyeri dan kram luar biasa tak tertahankan di area dadanya, panas dingin di sekujur tubuh Devi. Belum lagi rasa sakit, nyeri dan gatal bekas sayatan episitomi benar-benar membuatnya tidak bisa bergerak dengan bebas.

Jessy kecil masih asik menyusu. Entah keluar susu atau tidak, hanya dia yang tahu. Tidak menangis saat menyusu saja Devi sudah merasa lega.

Devi menggigit bibir menahan kesakitan, satu tanganya meremas selimut dengan kuat. Sekilas ia memandang wajah Jessy, kedua bola matanya menatap ke atas tepat di wajah Devi.

Mata indah milik Jessy mirip sekali dengan mata Devan lengkap dengan bulu mata yang lebat dan lentik. Apalagi bulu halus dan tebal di atas mata benar-benar foto kopi alis Devan.

Tak terasa air mata Devi terjatuh tepat di pipi Jessy kecil, perasaan sedih, marah dan kecewa tiba-tiba datang begitu saja.

Tepat di ambang pintu, Namy berdiri. “Ada apa Devi?”

“Ngak apa-apa Bu.” Devi cepat-cepat menghapus air matanya.

“Lalu kenapa menangis?” Namy duduk di atas ranjang Devi.

“Ini Bu dada Devi sakit, badanku panas dingin.” Sekian kalinya Devi berbohong atas perasaannya. Tapi apa yang ia katakan memang benar, saat ini dirinya sedang merasakan sakit fisik dan psikis.

Senyuman Namy menghiasi wajah yang sudah hampir dipenuhi dengan kerutan. “Itu tandanya susunya sudah mau keluar.”

Devi tak menjawab, kini bukan saja badanya yang sakit tapi otaknya mulai stres.

“Kalo udah ngak tahan sakit Ibu panggil dokter ya!” tutur Namy sangat lembut.

“Tunggu sampek besok sore ya Bu, kalo masih sakit dan ASI belum keluar ke dokter saja.” Suara Devi terasa sangat lemas.

Namy mengangguk pelan, kedua tanganya memijat betis Devi yang masih sebesar bambu.

Entah berapa kali Devi berbohong untuk membuat Namy tenang dan menganggap putrinya baik-baik saja. Bukan dirinya tak mau ke dokter tapi masalah uang yang jadi kendalanya.

Sisa uang yang ia pegang saat ini hanya  cukup untuk makan , gaji para pekerja selama satu bulan.

Untuk kontrol kehamilan hanya melakukan dua bulan sekali dan proses melahirkan Devi memilih bidan di perkampungan terpencil, yang sangat murah. Demi kata "ngirit".

Awalnya Bidan Wati sedikit kaget dengan Devi yang tinggal di pemukiman elit tapi mau melahirkan tempat persalinan yang rata-rata perekonomian menengah ke bawah, bahkan orang-orang boleh membayar beberapa bulan pasca melahirkan.

Tiba-tiba Devi teringat dengan Susy, satu-satunya teman waktu sekolah menengah atas yang masih akrab dengannya. Bahkan seperti saudara. Hanya saja setelah kejadian malam terkutuk, dan Devi membuang sim ponselnya ia tak pernah menghubungi siapa pun, kecuali Mario.

“Sus, apa kabar? Ini aku Devi.” Suara bergetar Devi dengan ponsel di pipinya.

Terdengar suara jeritan histeris di ikuti dengan umpatan khas Susy.

“Bangsat, bangke! Temen macam apa kamu? Ke mana aja? Ganti nomer ngak kasih kabar!” Nada suara Susy semakin meninggi.

“Maaf Sus,” ujar lemas Devi.

“Sekarang di mana kamu?” tanya Susy ketus.

“Di Surabaya.”

Tiba-tiba isak tangis Susy terdengar. “Kita ketemu yuk, ada yang mau aku omongin!”

“Tumben nangis, kenapa?” tanya Devi sedikit heran.

Sesaat Susy diam tak bicara. “Udah nanti aja kalo ketamu!”

“Aku kirim alamatnya ya! Kamu yang kesini. Aku gak bisa kemana-mana ini.”

Hanya berselang lima belas menit setelah telepon Devi dan Susy putus, sebuah mobil Avanza warna hitam metalik masuk ke pekarangan rumah Devi.

Takdir Tuhan memang indah, siapa yang menyangka jika Susy satu perumahan dengan Devi. Hanya butuh lima belas menit perjalanan Susy menuju rumah Devi.

Namy menyambut kedatangan Susy dengan suka cita memeluknya erat seperti memeluk anaknya sendiri. Tak berlama-lama Namy mengantar Susy menuju kamar Devi.

Wanita yang dengan wajah putih mulus, berbentuk lancip dan rambut hitam terurai begitu saja mengikuti Namy dari belakang menuju kamar Devi. Dirinya tak sabar ingin bertemu dengan sahabatnya dan mengatakan sesuatu hal yang sangat penting.

Kakinya yang terus melangkah dan kedua bola matanya melihat kanan, kiri. Seolah-olah sedang mencari sesuatu.

Tubuh langsing yang terbalut dengan celana panjang warna biru dongker, atasan baju kain satin dengan pita di bagian leher, lengkap sepatu formal fantofel yang membuat setiap langkahnya berbunyi suara khas semakin mendekat ke salah ruangan.

Suara ketukan sepatu dan lantai membuat Devi sadar ada seseorang datang, membuat focus matanya beralih ke arah pintu.

Susy yang di ambang pintu melihat Devi sedang duduk di ranjang berlari, memeluk Devi.

“Ya Tuhan aku kangen banget sama kamu!” jerit Susy berlebihan.

“Jangan brisik! Jessy baru saja tidur!” Devi dengan gemes berbisik tepat di telinga Susy.

Tapi Susy masih tak perduli, matanya terpejam dan memeluk erat Devi. Bau parfum blossom di tubuh Susy benar-benar tercium oleh Devi karena begitu dekatnya.

Tiga detik, Susy baru menyadari mahkluk kecil putih seperti kapas sedang tertidur lelap. Dengan cepat dirinya menjauhkan dari Devi.

“Anak siapa ini?” Pertanyaan konyol keluar dari bibir Susy.

Kedua alis Devi menciut. “Kamu pikir anak siap? Lihat mirip siapa?” Senyuman manis melebur jadi satu dengan wajah kusut Devi.

Susy menatap lekat-lekat, sekilas memercingkan mata. “Mirip Dev…,” dalam hatinya ingin mengatakan Devan. “Dev… Devi,” ucap Susy menjaga hati Devi.

Namy hanya tersenyum dengan tingkah Susy, lalu berbalik badan meninggalkan dua insan yang melebur kerinduan. Memberikan waktu untuk mereka.

“Oh Tuhan cantik sekali! Kenapa ngak bilang kalo kamu udah punya anak! Kamu keterlaluan!” Mata sinis Susy melirik Devi.

“Baru lahir lima hari lalu.”

Kehadiran Susy yang pintar mencairkan suasana membuat kegalauan hati Devi sedikit terobati.

Devi menghubungi Susy bukan tanpa tujuan, meskipun persahabatan erat sudah terjalin lama tapi Devi tetap saja menyembunyikan sebuah rahasia.

Rasa takut Devan akan mencari dirinya dan tahu soal Jessy, Devi tak ingin Jessy bertemu dengan Devan, apa lagi memanggil nya dengan sebuatan "Ayah". Bsgi Devi itu hal yang menjijikan.

Saat ini Devi sedang membutuhkan dokter dan Susy adalah dokter. Meskipun bukan spesialis dokter ibu dan anak tapi untuk masalah yang di alami Devi pasti dirinya punya solusi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ismawati Romadon
Devi da cere blm si Thor sm Devan?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Pesona Sang CEO   Bab 9. Dokter Susy

    Tiga bulan yang lalu, sebelum Jessy lahir Devi sudah merasakan beban berat soal uang. Empat orang yang berkerja untuknya. Tarjo, Mbok Min dan dua pegawai salon semua harus di gaji. Uang tabungan hampir terkuras habis untuk modal, sedangkan salon Devi belum seberapa ramai walapun setiap harinya selalu ada peningkat pengunjung.Keuntungan salon cukup untuk membayar dua pegawai dan membeli kebutuhan salon. Perkiraan satu tahun baru berjalan normal, syukur-syukur semakin meningkat.Dengan sangat terpaksa Devi berniat memperhentikan Tarjo, berkurangnya satu pegawai bisa mengurangi beban pikirnya. Toh dirinya bisa mengendari mobil sendiri.Uang warna merah empat puluh lembar sudah siap di amplop, Devi berniat menghampiri Tarjo yang sedang duduk di teras. Siapa sangka orang tua itu sedang berbicara di telefon.Devi tidak tahu persis Tarjo bicara dengan siapa yang jelas menganggil

  • Pesona Sang CEO   Bab 10. Pria di Pusaran Makam

    Waktu berlalu begitu cepat tak terasa proses mengandung, melahirkan hingga menyusui telah terlewati dengan susah payah. Tiga tahun penuh perjuangan. Bukan hanya soal merawat anak dan mendidiknya tapi proses pemulihan luka yang terus saja dicoba dan dicoba lagi namun tak kunjung sembuh dengan sempurna. Tidak semua kesakitan melahirkan nestapa. Kadang kesakitan melahirkan kekuatan bagi mereka yang mau berjuang Devi memang gagal dalam urusan cinta tapi untuk hal lain dirinya pemenangnya. Patah hati tidak menghancurkan seluruh hidupnya. Luka yang masih membara setiap kali melihat pelupuk mata gadis kecil yang kini berusia dua tahun, dua bola mata itu mengingatkan pada sosok bajingan, sosok lelaki yang pernah Devi cinta dan selalu dibanggakan. Tapi hanya gadis kecil itu yang menjadi semangat hidup Devi, ambisinya besar untuk memberikan semua hal yang istimewa. Termasuk

  • Pesona Sang CEO   Bab 11. Rangga

    Hay pembaca yang tersayang, saya mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya jika up date bab terlambat hingga tiga minggu lamanya. Bismillah dengan ini saya lanjutkan lagi menulis untuk menghibur kalian semua. * Kini Jessy kecil menangis meronta di pelukan Devi yang berjalan meninggalkan pusaran makam ayahnya. Pria di sebarang mulai melepas kaca mata yang melingkar di kedua bola matanya, seolah-olah menganggu pandanganya, kini matanya tajam melihat Devi yang mulai menjauh. “Sudah sayang, itu bukan mainan!” Devi mencium kening Jessy yang masih meraung-raung. Secepat kilat tangan kanannya membuka pintu mobil dan masuk, seolah-olah bersembunyi di dalam mobil. Jantungnya kini berdekat kencang, matanya terus melihat kebelakang tak memperdulikan Jessy yang tantrum. Devi benar-benar kwatir jika sosok itu menghampirinya. Tapi yang terlihat hanya tubuh gemuk Namy yang menuju mobil. &nbs

  • Pesona Sang CEO   Bab 12. Pembunuhan Namy dan Tarjo

    Rangga mulai menyadari sikap kakak iparnya yang semakin dingin. Setatusnya sebagai adik kandung Devan tidaklah pantas jika ikut campur rumah tangga yang mereka jalani, memang lancang tapi rasa penasaran tidak bisa ia bendung. Apa lagi pertemuannya dengan Jessy membuat hatinya terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi dengan rumah tangga kakaknya. “Saya minta maaf Mbak, jika tidak sopan,” celetuk Rangga memecah keheningan, sorot matanya begitu tenang tapi tak ada keberanian untuk memandang Devi. Devi tak menjawab hanya mengangguk pelan, beberapa kali menarik nafas panjang berusaha membuang semua sumbatan di dalam dadanya. “Hmmm, Jessy itu anak Mbak?” Devi tersenyum kecut. “Ya,” jawabnya. Kali ini air mata Devi menetes perlahan, bibir warna kemerahanya perlahan menyampaikan tutur kata masalalu yang teramat kelam. Nadanya tak beraturan kadang tinggi sesaat kem

  • Pesona Sang CEO   Bab 13. Perhatian Rangga.

    “Saya anak satu-satunya dan saya kelurganya. Saya yang akan mengantarnya hingga keliang kubur.” Mata Devi mantap penuh kemarahan pada suster di hadapanya.Kemarahan di dalam diri Devi sebenarnya kepada perampok-perampok itu, tapi entah mengapa suster itu berhasil memantik kemarahan Devi semakin menjadi. Ya, sekarang Devi tak punya siapa pun selain Jessy. Namy sejak kecil adalah anak tunggal dan keluarga dari Ayah Devi hanya satu yaitu kakak kandung Ayah yang sudah menetap di Amerika.Suster itu lantas tertunduk dan pergi begitu saja tak mengucapkan apa pun, mungkin hatinya sedikit tersinggung dengan ucapan ketus Devi tapi dirinya cukup mengerti atau bahkan sering meladeni orang yang kehilangan semacam Devi.Semua berjalan cepat dan mulus. Devi ikut memandikan Namy sambil mengendong Jessy yang tertidur lelap dan menyaksikan proses pengkafanan yang dilakukan oleh petugas rumah sakit. Satu jam kemudian Devi tela

  • Pesona Sang CEO   Bab 14. Serpihan Masalalu

    Lima menit lebih dua detik Devi menangis di pelukan Rangga setelah dirasa gumpalan di dalam dada telah memudar Devi perlahan melepas dekapannya.“Di mana Jessy?”Rangga tersenyum tipis dan menjawab, “Jessy pulang bersama Pak Saman dan istrinya. Katanya mau di ajak mandi dan makan.”“Aku terlalu sibuk dengan kesedihanku hingga melupakan orang yang butuh perhatianku.” Senyuman getir menghiasai wajah Devi.Keduanya berdiri kembali tertunduk memandang bungga segar di atas gundukan makam. Saat itulah Devi tersadar akan kehadiran Rangga di makam bukan suatu kebetulan belaka. Sekilas Devi melirik tubuh jangkung Rangga dan kembali menghapus air mata yang membasahi pipinya.“Kamu tahu dari mana ibuku meninggal?” Suara pelan Devi memecah keheningan.“Hari ini adalah hari kematian Ibu, tepat yang ke tiga tahun. Niatk

  • Pesona Sang CEO   Bab. 15 Rahasia Rangga

    Ada sesuatu hal yang tak begitu sederhana untuk dikatakan di antara dua manusia yang mempunyai unek-unek berbeda. Rangga sekarang sedikit canggung setelah mengentahui jika awal mula kesalahan terletak pada kakak kandungnya bukan Devi yang pergi begitu saja tanpa alasan. Hal itulah yang tidak pernah dibicarakan Devan waktu itu, hanya mengatakan jika Devi pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas. Rangga juga membantu Devan kala itu untuk menyakinkan pada Lydia jika kakak iparnya itu orang baik-baik walaupun tak berbuah manis. Tapi dirinya menjadi tempat ternyaman Lydia untuk menumpahkan isi hati perihal Devan dan menantunya yang tak kunjung hamil meskipun Rangga lebih banyak mendengarkan. Saat itu memang Rangga tak tertarik untuk ikut campur urusan rumah tangga Devan. Ada sedikit penyelasan di hati Rangga mengapa ibunya mati lebih cepat sebelum melihat cucu yang dinantikan benar-benar hadir ke dunia, tapi Rangga lebih menyesali menutupi r

  • Pesona Sang CEO   Bab 16. Kebimbangan Devan.

    Devan mulai gagap jika surat itu ia berikan, pasti Dewi akan melarang datang kepersidangan. Itu artinya Devan setuju dengan gugatan perceraian. Tapi kalo tak diberikan pasti Dewi akan menaruh curiga, ngomel dan bertengkar lagi seperti biasanya. Sedangkan Devan masih ragu dengan keputusannya . “Pinjamlah! Tapi aku ingin makan dulu.” Devan melangkah ke ruang makan disusul Dewi berjalan di belakang. Sebenarnya Devan sempat mencari keberadaan Devi setelah satu tahun ditinggalkan. Tapi nihil. Di rumah mertuanya tak ada manusia, di tempat hotel Devi berkerja tak ada satu pun orang yang tahu kemana Devi pergi. Mencari ke teman-teman waktu sekolah pun tak ada satu pun yang tahu. Semua itu ia lakukan tanpa sepengetahuan Dewi. Meskipun awalnya menikmati kepergian Devi nyatanya Devan sulit menghapus bayang-bayang Devi dari benaknya. Kadang ketulusan, kasih sayang dan cinta baru dirasa jika pelakunya sud

Bab terbaru

  • Pesona Sang CEO   Tamat

    “Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 19. Max, Si Pria Kekar

    Devi berjalan terburu-buru setelah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah Jessy. Dia terlambat lima menit menghadiri rapat pengambilan rapot Jessy.Akan tetapi langkah kaki itu terhenti ketika sebuah mobil sedan warna hitam melintas tepat di hadapnya kemudian berbelok hendak parkir di samping mobilnya.Suara retakan terdengar keras di belakang Devi. Kedua bola matanya melihat dengen jelas bagimana orang itu menabrak spion mobilnya. Dan kini langkah Devi benar-benar terhenti.Niat untuk segera masuk ke ruang kelas Jessy terhenti seketika. Dia perlu membuat perhitungan dengan orang tolol yang telah menabrak mobilnya.Devi berdiri di samping mobil sedan warna hitam, menunggu sang empu keluar dari dalam mobil. Orang itu harus diberi pelajaran, siapa tahu dia sebernarnya orang yang tidak mahir membawa mobil namun nekat mengendarai.Sepatu datar mengkilat dengan moncong sedikit keatas keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Seorang pria dengan tubuh kekar dengan kemeja yang minim keluar d

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 18. Haruskah Berkencan dengan Pria?

    Mantan kekasih adalah belegu.Sebuah kalimat yang cocok untuk Devi saat ini. Rangga kembali datang menawarakan sebuah pertemanan, namun bukan itu sebenarnya. Devi mengerti tidak ada pertemanan murni dengan mantan.Kemungkinan untuk masuk ke jurang yang sama masih jelas ketara. Akan tetapi jika terus menerus menghindari Rangga justru semakin pria itu terpacu adrenalin.Devi harus melalukan sesuatu agar berhenti mengusiknya.“Oke. Aku memaafkanmu, kita bisa berteman. Tapi tolong beri aku ruang dan waktu. Tidak mudah aku kembali pada masalalu walau hanya untuk berteman!” Suara Devi terdengar sedikit kaku dengan dua bola mata menatap penuh ke arah Rangga.“Beri aku waktu!”Rangga berdehem. “Apa yang harus aku lakukan?”“Dua minggu saja kamu berhenti menemuiku?”“Kenapa?” tanya Rangga.“Beri aku ruang dan waktu!”Pertemuan itu berlangsung cukup sengit. Namun, membuahkan hasil bagi Devi. Pria itu pergi dari ruangan Devi, meskipun dengan perasaan yang begitu kacau.Kini yang ada hanya Devi y

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 17. Penyesalan

    Satu bulan setelah pertemuan itu Devi menolak untuk bertemu Rangga. Bahkan urusan kerja sama dengan Erlangga ia serahkan penuh ke Susi. Ia benar-benar menolak untuk bertemu dengan Rangga.Rasa tersinggung karena ucapan Rangga kala itu masih lekat di otak Devi. Namun, siapa sangka selama satu bulan itu juga Rangga tidak berhenti mengusik dirinya. Dari mengirim buket bunga sampai makanan hingga beberapa batang coklat.Akan tetapi akhir dari buket bunga-bunga itu ialah tong sampah jika untuk makanan Devi biarkan karyawan yang menghabiskan semua.Sedikit pun ia tak lagi terkesan dengan godaan yang diberikan Rangga.Sebenarnya hal itu ia lakukan agar untuk menjaga hati akan rayuan Rangga. Ia tahu pria itu sudah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu. Kini Rangga lekat dengan alkohol dan rumor-rumor miring.Devi juga tak bisa menampik kabar yang beredar jika Rangga saat ini sedang dekat dengan beberapa model dan juga artis kontroversial. Beberapa kali Rangga datang ke kantor, tapi Devi

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 16. Kencan Dengan Masalalu

    Berdua dengan mantan kekasih yang pernah mencintai begitu dalam adalah siksaan nyata. Urat di belakang leher Devi terasa kaku, jantung terus dipacu berdetak lebih keras. Sesekali Rangga mentap lalu buang muka, dan itu sedikit memuakan untuk Devi. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika ponsel Devi berbunyi, meskipun itu panggilan hanya dari staf kantor dan bisa dialihkan tapi hal itu menjadi kesempatan Devi untuk keluar ruangan itu. Dan ia dengan sengaja kembali dua puluh menit kemudian ketika semua sudah berkumpul di bilik 55. Meeting dan sekaligus makan sing berlangsung singkat; dua jam. Kali ini Devi hanya berkata jika perlu, tidak banyak basa basi apalagi bercanda, terlebih lagi Rangga. Pria itu hanya menjadi pendengar, sambil terus memainkan mata ke arah Devi. Semua setuju project akan digarap satu minggu yang akan datang. Sebagai bentuk penutup acara semua yang ada dalam ruangan itu saling berjabat tangan. Termasuk Rangga dengan Devi. Akan tetapi jabat tangan kali ini Rangga d

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 15. Di Bilik 55

    Kurang dari tiga puluh menit pertemuan di mulai. Seorang pria dengan kacamata hitam bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal berjalan memasuki bilik ruangan no 55. Di pertemuan ini pria itu sengaja mengenakan kemeja kualitas premiun berbahan flannel, dengan lengan panjang. Dan untuk celana ia mengenakan celana jins warna hitam. Pria itu juga mengenakan sepatu kanvas dengan model kasual sebuah penampilan sederhana tapi tetap modis. Untuk pertemuan dan tebar pesona. Namun langkahnya terhenti sebelum memasuki ruangan itu. Dari cela pintu kaca terlihat jelas sosok wanita yang sangat ia kenali. Dua mata Rangga kini tak lepas dari sosok wanita dengan dres berwarna hitam polos berkalung mutiara sedang duduk menatap ponsel. Bersyukur wanita itu fokus ke poselnya, hingga tidak menyadari kehadiran Rangga. Rangga bergumam, sedikit kesal ternyata Devi jauh lebih dahulu sampai restoran. Padahal pria itu percaya diri jika kehadiranya menjadi hal yang mengejutkan bagi Devi. Tapi sebaliknya ia

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 14. Kembalinya Rangga

    Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 13. Kembalinya Masalalu

    Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su

  • Pesona Sang CEO   S2. Bab 12. Ibu Otoriter

    Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga

DMCA.com Protection Status