Tubuh Arfeen terpelanting ke lantai ring. Semua orang tercekat menyaksikan hal itu. "Kubilang apa ... Hardi itu tidak terkalahkan!" ujar salah satu penonton yang memasang taruhan untuk Hardi."Hei, apa kau tidak tahu siapa yang menjadi lawan Hardi saat ini?" saut teman yang satunya lagi. "Aku dengar dia adalah Tuan Muda keluarga Mahesvara!" jawab si orang pertama. Pria berjaket biru itu menyimpulkan senyum miring. "Dia adalah Zagan, raja mafia yang menjadi ketua federasi. Itu sebabnya aku berani pasang taruhan tinggi untuknya!" "Apa katamu? Zagan? Ketua federasi ... maksudmu kelompok jaringan hitam yang menguasai Asia itu?" saut pria yang mendukung Hardi. "Iya. Aku yakin dia bisa mengalahkan Hardi Suwiryo, lihat saja beberapa menit lagi. Apa yang terjadi saat ini baru pemanasan untuknya!" Terus terang pria ini belum pernah melihat langsung seperti apa rupa Zagan sebelum hari ini. Ia pikir pria itu berwajah sangar karena biasanya ketua mafia memang sangar meskilun tampan. Tapi Za
"Hah, kenapa?" seru Larena terkejut namun tak bergerak dari posisinya. Arfeen menghampiri sang istri, "Jangan tengkurap begitu, nanti kalau anak kita penyok bagaimana?"Kedua mata Larena melebar seketika. Penyok? Dan detik berikutnya wanita itu malah tertawa terpingkal-pingkal. Jelas saja hal itu membuat Arfeen bingung, pemuda itu menggaruk belakang kepala dengan wajah bodoh. Memangnya ada yang lucu apa! Sampai sang istri tertawa seperti itu. Larena sampai menelentangkan tubuh, memegangi perutnya yang sampai terasa sakit. "Wife, aku sedang khawatir kenapa kau malah tertawa? Posisimu tadi itu membahayakan anak kita!" Larena menghentikan tawa, mencoba mengontrolnya. Nafasnya jadi sedikit terengah. "Aduh, yang membuat perutku sakit justru karena tertawa. Kau itu sangat lucu!" keluar lagi tawa ringan. "Lu-lucu?" beo Arfeen melotot. Larena hanya memutar kepala menatap pemuda itu. "Usia kandunganku masih 2 bulan, bahkan anak kita belum ketahuan bentuknya seperti apa!" ia bangkit dan m
"Kau akan kembali ke kediaman Mahesvara?" seru Viera saat Larena mengutarakan niatnya untuk mengikuti Arfeen pulang ke rumahnya. "Iya, Ma. Bukankah Mama juga sudah tahu jika kondisiku membaik aku memang harus ikut Arfeen!""I-iya tapi ... secepat ini?" Vano hanya diam menatap putrinya, ada sorot kekecewaan di kolam matanya. Larena tak ingin melukai hati orang tuanya. Ia juga tetap ingin tinggal bersama mereka. Tapi saat ini ia harus mengikuti ke mana suaminya tinggal. Untuk sekarang Arfeen tak mungkin tinggal seatap dengan papanya. Larena menghampiri Vano, menyentuh lengannya. "Maafkan Rena, Pa. Tapi untuk saat ini ... Rena harus tinggal di rumah Arfeen!" "Kau putri Papa satu-satunya, Papa tahu suatu saat ketika kau menikah kau memang harus meninggalkan kami. Tapi entah mengapa ... Papa masih ingin kau menjadi putri kecil Papa!" "Rena sudah cukup dewasa, Pa. Bahkan nyaris tua, tapi sampai kapanpun aku tetap princess Papa!" ia memeluk tubuh Vano dari samping. Karena tak ingin me
Arfeen khawatir jika Jay masih belum meninggalkan rumah. Ia khawatir pria itu akan mencelakai sang istri. Meski ia sudah memberikan peringatan, tapi ia juga mengenal siapa Jaya Mahesa. Jika pria itu merasa keberadaan sang istri akan mengancam Lyra, maka ia bisa melakukan apa pun untuk membuat nonanya tetap aman. "Ada beberapa lelaki di rumah ini, takutnya saat kau berenang mereka mengintipmu. Bagaimana?" itu alasan yang logis untuk menghentikan niat sang istri. "Benar juga, ada Tantra dan pamanmu kan? Kenapa aku tak berfikir ke sana ya?" "Kita berkeliling rumah ini saja agar kau bisa mengenali tiap sudutnya. Ok!""Itu bukan ide yang buruk sih!" Larena setuju. Akhirnya mereka hanya berkeliling Mansion, Larena ingin menghapal tiap sudut Mansion. Langkahnya terhenti saat melihat banyak kupu-kupu yang berterbangan di atas taman bunga. Larena setengah berlari menghampiri, Arfeen pun harus berjalan cepat untuk memastikan istrinya aman. "Ini indah sekali!" puji Larena yang merangsek ma
Vano teringat ketika ia hendak pergi menemui Malik. Saat itu ia memang menceritakan rencana pertemuannya dengan Malik kepada Ferano, ia meminta pendapat apakah harus menemui Malik atau tidak. Saat itu Ferano justru tampak sangat bersemangat, ia menyuruh Vano untuk menerima tawaran pertemuan itu. Apalagi katanya ini berhubungan dengan kasus Megaproyek. Bahkan Ferano yang menyarankan putranya untuk sekedar membeli minuman kesukaan Malik agar hubungan keduanya membaik. Vano terperanjat. "Papa ... apakah mungkin?" ia menggeleng, tak ingin mempercayai dugaannya. Apakah ini mungkin? Untuk bisa memastikan semua ini, ia tak mungkin bisa melakukannya sendiri. Ia sama sekali tak memiliki kekuasaan. Tapi Arfeen memilikinya. Kekuasaan menantunya itu bisa melakukan apa pun. Vano memungut handphone, membuka kontak Arfeen namun ia belum menekan kursor telepon. Ada sedikit keraguan, lebih tepatnya gengsi jika ia harus meminta bantuan menantunya itu. Tapi ia tak memiliki pilihan, satu-satunya y
Vano hanya tersenyum getir dengan sahutan sang menantu. Tentu saja ia cukup mengenal siapa Zagan, kekejaman Malik ia juga mengetahuinya. Dan Malik sendiri yang pernah mengatakan padanya bahwa ia akan menjadikan putranya menjadi sosok yang ditakuti semua orang. Beberapa percakapan kecil mereka terngiang di ingatan."Dia putramu, tapi kau ingin menjadikan dia seorang iblis?" "Klan Mahesvara membutuhkan seorang iblis untuk menjadi pemimpin."Zagan mungkin memang seperti jelmaan iblis, iblis ciptakan Malik dan Ferano. Tapi Arfeen Grafielo adalah suami putrinya. Pemuda itu cukup sopan dan menyayang. Satu yang Vano yakini.Arfeen sangat mencintai Larena dan rela mati demi putrinya itu. Ia percaya jika Arfeen tidak akan pernah menyakiti Larena. "Kau benar ... bukan hanya aku korban dari Megaproyek. Tapi juga Malik ... entah kau akan percaya atau pun tidak! Aku memang sempat marah dan membencinya yang mengambil keputusan ... sehingga kami harus hidup menderita bertahun-tahun. Tapi tidak a
"Apakah kau masih mengharapkannya?"Arfeen ingin jawaban yang jujur dari sang istri, setelah itu ia bisa memutuskan apakah akan memberitahukan sekarang atau tidak tentang Damian. "Kenapa kau masih bertanya seperti itu?" "Karena aku butuh kepastian. Aku tidak tahu apakah kau benar-benar mencintaiku atau tidak!"Larena memalingkan wajah, apakah setiap laki-laki selalu butuh pembuktian atau ucapan? Apakah sikapnya selama ini belum menunjukan jika dirinya sudah mencintai pemuda itu? "Aku hanya memiliki satu mantan, apa kabar dengan dirimu yang bahkan tak bisa dihitung?" kesalnya. Sekarang Arfeen jadi menelan ludah. Ia tak bisa berkata-kata ketika disinggung tentang hal itu. Jadi senjata makan tuan kan?"Wife!" Arfeen memungut tangan sang istri namun langsung ditepis. "Maaf! Bukannya aku meragukanmu tapi ... apa kau tahu?" Arfeen menghela nafas dalam sebelum melanjutkan. "Selama ini aku hanya bisa merasakan kasih sayang Mama. Meski Papa dan Kakek memilihku menjadi pewaris, mereka memi
"Limusin? Kita akan naik limusin?" girang Rena yang memang belum pernah naik limusin. Meski La Viva mulai berkembang pesat dan menjadi brand ternama, namun ia belum bisa membeli limusin. Karena saat La Viva berkembang mereka masih menggunakan dana investasi dari Ferano yang mengambil keuntungan nyaris 30% dari laba perusahaan. Padahal untuk pengoperasian perusahaan saja juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. "Kau senang?""Tidak! Tapi aku bahagia."Mereka pergi ke restoran itu menggunakan limusin, tetap si kembar yang berada dibalik kemudi. Sesampainya di restoran mereka juga dilayani dengan baik. Kendaraan yang mereka naikin sudah menandakan status mereka di masyarakat. Tak perlu diberitahu siapa mereka, pemilik restoran sudah tahu apa yang harus dilakukan.Pemilik restoran melayani mereka dengan baik, sebelumnya Larena tak pernah diperlakukan seistimewa itu. Sementara di rumah Vano ...."Apa?! Arfeen membawa Larena pergi ke Palembang naik helikopter? Kok Mama tak diajak?""B