"Katakan Vano! Kenapa kalian diam saja!" hardik Ferano yang sudah berdiri di belakang mereka. Tentu saja Vano dan Viera terkejut, kenapa papanya tiba-tiba ada di rumah mereka? "Pa!" Ferano mendekat. Menatap manik mata putranya. "Jawab pertanyaanku. Kenapa kalian membicarakan Larena dan keluarga Mahesvara? Dan di mana Larena sekarang?"Viera yang melangkah mendekat. "Larena tinggal bersama Arfeen di keluarga Mahesvara, karena Arfeen diminta untuk tinggal di sana agar mempermudah pekerjaannya!" itu alasan yang sangat masuk akal dan tak mungkin papa mertua curiga. "Jadi ... Arfeen dan Larena tinggal di Mansion keluarga Mahesvara?" "Ya, aku hanya minta Larena untuk sedikit memanfaatkan kebaikan keluarga itu kepada Arfeen. Apa itu salah?" "Ouh, jadi seperti itu!" saut Ferano yang tampak percaya. Tentu saja Viera tidak akan membocorkan identitas Arfeen begitu mudah kepada papa mertuanya yang gila kedudukan dan sanjungan. "Ada apa Papa datang ke rumah?" tanya Vano. "Kau tidak kembali
"Bukan anak kandung Ferano?" tanya Arfeen mengulang ucapan sang istri. "Tak ada orang tua di dunia ini yang tega menjebak anaknya sendiri. Bahkan lebih dari satu kali, kau bisa bayangkan itu kan?" ada nada perih dalam suara Larena. Arfeen tercenung. Apa yang dikatakan sang istri ada benarnya juga. Meski ia bisa berada di titik ini karena ad atujuan tersembunyi. Tapi setidaknya Kakek dan papanya tak pernah menjebaknya seperti yang dilakukan Ferano terhadap Vano. "Ini tidak boleh terjadi. Aku tahu memalsukan tanda tangan juga melanggar hukum. Tapi yang dipalsukan juga tanda tangan sendiri, dan pada dokumen untuk sebuah perusahaan fiktif. Tapi ini harus dilakukan?""Kau akan meminta Papa untuk membubuhkan tanda tangan palsu?""Jangan khawatir, aku akan melindungi Papa. Beberapa komandan polisi cukup segan terhadapku!" "Kau bisa jamin Papa tidak akan tersandung hukum?" "Kasus Megaproyek juga sebenarnya bisa membawa Papa membusuk di dalam penjara. Tapi itu tidak terjadi!" Larena menco
"Arfeen, jangan membuatku penasaran. Aku juga ingin tahu semuanya!" desaknya karena sang suami seperti tak ingin berbagi informasi dengannya. Arfeen menatap sang istri, "Bukannya aku tak ingin memberitahumu, aku hanya tak ingin kau terlalu kepikiran. Saat ini kau sedang mengandung!" Larena mengerucutkan bibir. "Aku masih bisa menjaga diri, kau sudah memberiku satu pengawal pribadi. Lalu sekarang ada pelayan pribadi. Aku yakin aku akan baik-baik saja!" Arfeen menghela nafas panjang. "Bagaimana kalau ... kau tak perlu memikirkan apa pun. Cukup pikirkan kesehatanmu dan bayi kita. Untuk masalah yang saat ini ada, biarkan aku dan Papa yang menyelesaikannya. Ok!" ia mengelus rambut panjang Larena. Larena tak menjawab. Ada benarnya juga ia memang harus lebih memikirkan kesehatan calon anak mereka. Tapi masalah ini memang cukup mengganggu pikirannya. "O ya, aku ada sesuatu untukmu. Sebenarnya sudah lama aku ingin memberikannya, tapi belum sempat!" ungkap Arfeen. Larena mengerjakan mata b
"Ingat! Kau harus tampak menyedihkan saat menemuinya!""Jangan khawatir, itu salah satu keahlianku.""Istirahatlah, besok adalah hari penting!" perintahnya. Pria itu mengangguk dan kembali ke kamar. Sebenarnya ia sudah tidak betah jika terus berdiam diri di dalam rumah itu, namun ia tak bisa melawan penolongnya. "Apa yang kau rencanakan?" tanya Alvi yang baru saja memasuki rumah itu. Ia langsung menjatuhkan bokongnya di sofa. "Rencana balas dendam pada Arfeen!" jawab Resya lugas. "Kau tak ingin melibatkan aku?""Masih bisa teratasi.""Tapi yang kita hadapi adalah Zagan! Kita tak boleh main-main, Resya.""Aku tahu apa yang aku lakukan, Om." Resya menyipitkan mata. "Apa hubungan Om dengan Lyra Mahesvara?"Alvi sedikit terperanjat, apakah keponakannya tahu hubungannya dengan Lyra?"Kenapa kau bertanya seperti itu?""Lyra itu tak bisa dipercaya, jika dia bisa mengkhianati keluarganya dia juga bisa menjadi ancaman terbesar kita!""Hubunganku dengan Lyra bukan urusanmu. Jangan pernah kau
"Kenapa harus seperti ini, Kak?" desis Arfeen dengan nada perih. "Seharusnya kau tak menentang garis takdir!" Arfeen menurunkan handphone di pangkuan. Menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berusaha sebaik mungkin, tapi sepertinya ambisi sang kakak memang tak bisa diredam begitu saja!Jadi apakah Lyra juga terlibat kasus Megaproyek? Tapi bukankah saat itu kakaknya juga masih anak-anak? Arfeen menyugar rambutnyavdengan frustasi, apa yang harus ia lakukan sekarang? Menghukum Ferano ataupun yang lainnya sangat mudah baginya, tapi tidak dengan Lyra. Ia bahkan ditugaskan untuk melindungi kakaknya itu. Lalu bagaimana ia bisa menghukumnya? Ada rasa nyeri yang Arfeen rasakan di dalamm dada, ia tak ingin berada dalam situasi seperti ini. Tapi ia tak bisa menyerahkan kekuasaan klan Mahesvara kepada Lyra. "Jordi, kau tahu seluruh kisah hidupku kan?" tanyanya dengan getir. Sebelum Jordi menjawab ia sudah melanjutkan kalimat. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Rasanya beban di atas pundaknya
"Kenapa Bibi menangis?" tanya Arfeen.Tia lekas menggeleng. Menyeka cairan hangat di pipinya. "Tidak apa-apa, saya hanya ... sedang mengingat mamamu! Dia orang yang baik."Arfeen membenarkan hal itu. Mamanya memang wanita yang baik, jika ia boleh memilih ia tak ingin jatuh cinta kepada Malik Mahesvara. Karena laki-laki itu sudah beristri. Namun kesalahan satu malam telah membuat Anita mengandung Arfeen. Dulu, Anita bekerja sebagai asisten koki di restoran sebuah hotel ternama. Kebetulan malam itu Radika sedang mengadakan pesta anniversary dengan sang istri di hotel itu, Malik memang sudah beberapa kali bertemu dengan Anita. Sejak pertemuan pertama ia sudah jatuh hati pada wanita santun itu. Sayangnya Anita selalu mencoba menghindarinya. Namun malam itu ... Malik terlalu banyak minum, saat hendak pergi ke kamar ia berpapasan dengan Anita. Melihat Malik yang berjalan terhuyung, Anita hanya berniat membantu. Ia membantu Malik sampai ke kamar hotel karena Radika memang menyewa satu h
"Tidak mungkin!" desis Larena tak percaya akan apa yang ada di hadapannya. Perlahan ia mendekat, ia pikir lelaki itu telah menghilang selamanya. Pergi entah ke mana dan sengaja menninggalkannya. Tapi sekarang ia kembali? Kenapa harus kembali di saat seperti ini? Saat dirinya sudah tak lagi sendiri dan mencintai pria lain! Lalu ... kenapa penampilannya sangat menyedihkan seperti itu?"Rena!" desis pria itu memanggil namanya. "Damian! Benarkah ini kau?" tanyanya tetap serasa seperti mimpi. Ada bukir bening yang jatuh dari kelopak matanya yang indah. Di belakang Larena, Belinda juga sangat terkejut sampai menutup mulut dengan telapak tangannya. Ia berharap Damian tak pernah kembali. Tapi kenapa bajingan itu bisa kembali? "Damian!" desis Larena sekali lagi untuk meyakinkan bahwa yang ada di hadapannya adalah benar Damian Atmaja."Ya, ini aku, Rena. Damianmu!" jawab Damian lirih.Larena menutup mulut dengan telapaknya untuk menahan tangis, saat itu juga Damian berhambur memeluknya.
Byurrr!Tubuh Damian terlempar ke laut yang dingin, lelaki itu berteriak meminta tolong juga memaki. Arfeen sama sekali tak merasa kasihan dengan bajingan seperti Damian. Lelaki itu pikir dirinya pantas untuk Larena. Larena terlalu baik dan polos untuknya, ia tidak akan membiarkan Larena jatuh ke pelukan lelaki seperti Damian Atmaja. Meski ia juga seorang bajingan, tapi ia tidak akan menipu wanita baik dan polos seperti Larena. Semua wanita yang pernah bersamanya tahu jika dirinya tak ingin berkomitmen dalam pernikahan. Juga tak boleh mengharapkan cinta. Ia memang tak menghabisi Damian secara langsung, ia masih memberi lelaki itu kesempatan untuk menyelamatkan dirinya meski kemungkinan itu kecil. Itu sebabnya ia menjeburkannya ke laut hidup-hidup. Jika beruntung Damian akan selamat, tapi jika tidak maka dia akan mati entah tenggelam atau dimakan ikan predator. Arfeen memejamkan mata sejenak, ia tak tahu bagaimana nanti harus menghadapi sang istri! Ia hanya bisa berharap Larena t
Arfeen terpaku menatap sosok di depannya itu. "Bella! Apa yang kau lakukan di sini?" "Menyelamatkanmu dari para gadis itu, apalagi?" jawab wanita itu dengan senyum hangat. "Aku masih bisa mengatasi mereka sendiri!" "Oya, lalu kenapa kau lari?" "Aem!" Arfeen kebingungan untuk menjawab. "Ayolah, Arfeen. Kau memang seorang Casanova, tapi kau benci dikerubungi para gadis. Seharusnya kau menempatkan pengawalan ketat untuk mengantisipasi. Di acara seperti ini sudah pasti jati dirimu akan terbongkar!" Arfeen menghela nafas panjang. "Terima kasih, tapi aku harus pergi!" ia hendak melangkah namun Bella kembali menyandarkan tubuhnya menggunakan telunjuk. "Kau mau aku berteriak bahwa kau sedang melecehkan aku?" Arfeen menyimpulkan senyum miring. "Kau mengancamku?" "Aku hanya ... argh!" kalimat Bella belum berlanjut karena Arfeen sudah lebih dulu membalik tubuh wanita itu yang kini justru dirinya yang bersandar tembok dengan tangan Arfeen di lehernya. "Dengar Bella, sudah aku katakan
"Rena, apa kau tega pada Kakek?" seru Ferano yang mencoba membujuk cucunya. Dua orang polisi sudah memegangi lengannya kanan dan kiri. "Larena, Papa sudah tua. Tega sekali kalian lalukan itu?" seru Arland tak terima. "Kami masih keluargamu!""Keluarga!" desis Arfeen dengan kecut, "Keluarga tidak menumbalkan anggota keluarganya sendiri."Arland menatap tajam kepada Arfeen. "Ini pasti ulahmu kan?" ia hendak menyerang nalun lekas digentikan oleh anak buah Arfeen. Kedua tangannya dicengkeram dan langsung diborgol ke belakang. "Lepaskan aku!"Buk!Satu tinju mendarat di wajah Arland. Nyaris semua anggota keluarga Jayendra sudah ditahan. "Arfeen!""Lancang kau hanya menyebutkan nama saja, panggil Tuan Zagan!" seru Gray. Mereka semua membeliak, Tuan Zagan?Jadi Arfeen ... Arfeen adalah Tuan Muda Mahesvara? Kenapa Lyra tak pernah memberitahu? "Tuan Muda, kami tidak melakukan kesalahan apa pun padamu. Tolong ampuni kami!" pinta Radika. Arfeen mengeraskan rahang. "Korban kecelakaan Papa
"Ahk, jangan terlalu kencang. Itu menyakitiku!"Seketika kedua mata Larena mendelik, ia melepas peluknya dna menatap wajah di bawahnya. Mata pemuda itu sudah membuka, tengah menatapnya. "Kau ... kau sudah siuman?" beonya. Arfeen mengulum senyum. "Jadi ... pesonaku begitu mengagumkan ya, sampai kau jatuh cinta berkali-kali?" celetuknya memainkan satu alis. "Sejak kapan kau sadar?" tanya Larena mencubit perut Arfeen. "Argh ... sakit, Wife. Sakit, aku masih sakit kenapa kau menganiaya aku?" protesnya mengelus bekas cubitan sang istri. Larena menatap wajah di depannya masih dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan kau sadar? Kau sengaja ingin membuatku takut? Hah?" air mata langsung mengalir deras di pipinya. Arfeen menyentuh pipi sang istri, mengusap cairan hangat itu dengan ibu jarinya. "Maaf!" ucapnya lirih. Larena pun langsung merebahkan diri ke pelukannya."Kenapa kau lakukan itu?" isaknya, "Aku pikir ... kau akan benar-benar meninggalkan aku ... jangan seperti itu lagi ...
"Keluarga Adipradana?" seru Vano. "Kau dan Arfeen?""Iya, Tuan. Saya dan Presdir sama-sama mimiliki darah kleuarga Adipradana. Presdir ... adalah cucu dari Jenderal Wira Adipradana!"Vano menghela nafas dalam. Pantas saja Arfeen berbeda dari semua keluarga Mahesvara yang lainnya. Anak itu jelas memiliki jiwa seorang pemimpin. Ternyata di dalam darahnya mengalir darah orang hebat. Larena sangat beruntung bisa menikahi dengannya. "Golongan darah Anda sama dengan pasien?" tanya si dokter. "Iya, Dok. Anda bisa mengambil sebanyak yang dibutuhkan!" jawabnya dengan iklas. "Mari ikut saya!"Jordi tetap harus melakukan mengecekan terlebih dahulu, setelah cocok baru transfusi bisa dilakukan. Beruntung Arfeen hanya membutuhkan dua kantung darah, sehingga masih bisa mengambil dari tubuh Jordi. Di luar ruangan, Larena masih menangis. Bahkan tangisnya kian pilu. Arfeen rela mengorbankan nyawa demi dirinya, pemuda itu membuktikan kata-kata yang rela mati demi dirinya. Sementara ia ... apa yang
"Arfeen!" suara Larena bergetar. Ia menggengam erat tangan pemuda itu yang terasa sangat dingin. Biasanya tangan Arfeen sangat hangat! Sekarang, ia benar-benar takut jika pemuda itu akan pergi untuk selamanya. Larena meletakan telapak tangan itu ke pipinya yang basah oleh cairan hangat yang tak bisa ia bendung. Berharap tangan dingin itu akan menghangat, nyatanya justru kian dingin. Ia bahkan menggosok telapak tangan Arfeen dengan kedua tangannya lalu kembali menempelkan pada pipinya. Tapi tetap tak berhasil. Dokter sedang mencoba menghentikan pendarahan di luka Arfeen. Peluru yang mengenainya berkaliber cukup besar, itu mengakibatkan darah terus mengalir keluar meski posisi Arfeen terngkurap. Tapi tak mungkin melakukan tindakan untuk mengeluarkan pelurunya di dalam helikopter. Sang dokter tak ingin mengambil resiko. Larena sungguh tak tega melihat kondisi punggung pemuda itu, tangisnya semakin menjadi. Berkali-kali ia mengecupi telapak tangan Arfeen yang ia genggam. Bahkan keti
"Larena!"Larena menghentikan langkah dua meter di hadapan Arfeen. Arfeen langsung berhambur memeluk wanita itu, Larena sama sekali tak memberikan respon apa pun. wanita itu hanya mematung, membiarkan sang suami memeluk tubuhnya. Karena mungkin saja itu akan menjadi pelukan terakhir mereka. Jujur saja Larena merasa merindukan pelukan itu. Ketika berada di dalam pelukan Arfeen ia merasa sangat tenang. Tapi ia hanya memikirkan bayi yang ada dalam kandungannya. Lyra bilang jika bayi itu lahir laki-laki maka itu akan menjadi ancaman, maka wanita itu akan datang untuk menghabisi putranya. Untuk itu ia harus menjauh dari Arfeen. Lagipula apa yang dilakukan lelaki itu juga banyak membuatnya kecewa. "Kau baik-baik saja kan? Lyra tidak menyakitimu?"Larena hanya menggeleng. Arfeen tampak sangat bahagia lalu memeluknya sekali lagi namun kali ini Larena menolak pelukannya. Hal itu membuat Arfeen terpaku. "Ada apa?""Aku ingin kita tetap berpisah!" pinta Larena. "Berpisah? Sayang!""Jang
Suara lembut itu membuat Tantra terpaku, rahangnya langsung mengeras menatap sepupunya. Wanita itu! Darah keluarga Wijaya rupanya lebih kuat di tubuh Lyra daripada keluarga Mahesvara. "Kau tak sepantasnya melakukan ini terhadap Kakek, Lyra.""Apakah aku meminta pendapatmu?" tanya Lyra sinis. Tentu saja hal itu membuat tangan terasa sedikit marah. Tapi Tantra tahu harusnya ia tak berdebat dengan Lyra. Sejak awal Lyra memang yang selalu menghasut dirinya untuk merasa iri kepada Arfeen. Bahkan selalu mendorongnya untuk membenci sepupunya itu. Tapi rupanya itu semua ada niat picik! Lyra hanya memanfaatkann dirinya untuk membenci Arfeen. Karena wanita itu membutuhkan dukungan. Tantra yang saat itu masih polos selalu berhasil termakan oleh bujukan dari Lyra untuk membenci Arfeen. Sejak kecil Lyra selalu berpura-pura baik di depan Arfeen dan juga selalu keluarga. Tapi di belakang ia selaku menatap Arfeen penuh benci. "Lyra, Seharusnya kau tak perlu melakukan ini!" ucap Radika. "Aku t
"Tantra!" desis Radika dengan bibir gemetar. Meski Tantra tak memiliki kelebihan seperti Arfeen, tapi pemuda itu tetap cucunya. "Tuan Muda, Tantra!" desis Liam."Kakek, jangan pikirkan aku!" seru Tantra yang sama sekali tak ada rasa takut. "Kelangsungan Klan Mahesvara jauh lebih penting dari nyawaku yang sama sekali tak berharga!" Tantra memberanikan diri berucap demikian. Ia masih ingin hidup, tapi jika hanya karena dirinya akuenya klan Mahesvara harus hancur, ia tidak akan pernah rela. Seumur hidupnya ia belum bisa memberikan kontribusi apa pun untuk keluarganya. Paling tidak nyawanya bisa berarti untuk bisa menyelamatkan kekuasaan klan Mahesvara. Ia yakin Arfeen mampu membawa keluarga Mahesvara menjadi lebih berjaya. Apalagi jika dalam pertarungan ini mereka menang. Maka ia tidak akan menyesal mati untuk itu. "Sepertinya kakekmu tidak menyayangimu, Tuan Muda Tantra. Sayang sekali ... harusnya kau memilih pihak yang benar untuk bisa mendapatkan hakmu!" Maher sengaja mengatakan
Arfeen memutuskan untuk mendekat. "Jadi kalian semua bersatu untuk menjatuhkan aku? Ini sangat menarik!" Dewa menyimpulkan senyum getir. "Andai saja sejak awal kau mau mengalah, ini tidak akan terjadi. Aku pasti akan memberikan dukungan kepada klan Mahesvara, dan kita bisa bersama menjadi lebih besar!" Arfeen menimpai dengan tawa ringan yang getir. "Maaf, Tuan Dewa Wijaya. Aku tidak membutuhkan dukunganmu untuk bisa berjaya. Aku masih memiliki kemampuan!" "Sombong sekali, kau hanya beruntung karena terlahir sebagai anak lelaki, Arfeen. Jika tidak! Kau pasti sudah buang ke tong sampah!""Yakin? Aku ragukan itu, Kakek memiliki alasan kuat kenapa mempertahankan aku. Karena pada kenyataannya ... akulah yang kelak akan membuat nama Mahesvara semakin besar. Kau tidak percaya itu?""Jangan pernah bermimpi, karena hari ini ... akan menjadi hari terakhirmu menghela nafas!"Arfeen menaruh telunjuk di bibirnya seolah sedang berfikir. "Sayangnya setelah aku pikirkan ... hari ini tidak akan me