Arfeen keluar dari dalam kamar mandi hanya mengenakan handuk melilit pinggangnya. "Wah ... ada tamu rupanya!" Mata Larisa tak berkedip menyaksikan pandangan indah di depan matanya. Ia tak pernah menyangka jika Arfeen memiliki tubuh sebagus itu. Kedua matanya sampai tak berkedip. Arfeen berdiri bersandar tembok dengan santai. Ia melirik sang istri yang tampak sebal. "Arfeen, kenapa tak pakai baju?" sungut Larena. "Bajunya di lemari!" Arfeen menunduk lemari pakaian dengan dagu yang terhalangi orang-orang. Semua mata pun menoleh arah yang dituju Arfeen. Jadi akhirnya beberapa dari mereka menggeser tubuhnya baru Arfeen berjalan ke lemari untuk mengambil pakaian. Dan ia memilih mengenakannya di kamar sebelah, setelah rapi baru kembali ke kamarnya. "Kau mau ke mana?" tanya Larena yang melihat sang suami rapi. Ini kan hari Sabtu, seharusnya Arfeen bisa di rumah saja menemaninya. Arfeen mengambil sepatu dan duduk di ujung kasur untuk mengenakannya. Semua mata memperhatikan dirinya. "
"Lebih baik kita bicara di luar saja, Larena masih butuh ketenangan!" ajak Viera yang tahu perbincangan ini akan memanas. Tentunya Viera tak ingin Larena sampai keguguran lagi. Putrinya itu sedang mengandung calon pewaris klan Mahesvara. Ia yakin jika anak yang dilahirkan Larena itu laki-laki, cucunya itu yang akan mewarisi tahta Arfeen nantinya. Itu sebabnya ia harus membujuk Vano untuk mengalah saja pada menangunya. Entah suaminya itu bersalah atau pun tidak, akui saja jika ia memang salah dan meminta pengampunan dari Arfeen, mungkin masalahnya bisa beres. Arfeen sangat mencintai Larena, jadi ia yakin jika pemuda itu pasti akan memaafkan suaminya.Semua membenarkan ucapan Viera, mereka pun berbicara di ruang tamu. Sementara Jean masuk ke kamar Larena membawa bubur pesanan wanita itu. Sementara Arfeen saat ini berada di markas, latihan fisik. Ia berlatih dengan Jordi. Arfeen tak pernah menyangka jika rupanya Jordi nyaris setangguh dirinya. Ia tak pernah mengetahui rekam jejak Jor
"Kita akan lihat apakah istriku cocok denganmu atau tidak. Jika dia tidak cocok aku tak bisa menerimamu!""Saya mengerti, Tuan Muda."Dara hanya ingin membalas Budi pria yang ada di hadapannya. Ia tahu ia tak memiliki apa pun untuk bisa membalas kebaikannya, selain tenaga dan kesetiaan. Seperti Rohan yang memutuskan untuk mengabdi padanya, ia juga akan melakukan hal yang sama. Mengabdi pada tuan muda Mahesvara.Ia berharap istri dari tuan muda Mahesvara bersedia menerimanya sebagai pelayan.Itu jauh lebih baik daripada ia harus mempertontonkan tubuhnya kepada para pria hidung belang di klub. Bahkan melayani nafsu bejat mereka. Ia memang mendapatkan uang tips yang lumayan dari pekerjaannya itu. Tapi itu semua tidak akan bisa membeli kebahagiaan. Semalam setelah penggrebekan terjadi, dna memberikan keterangan sebagai saksi pad apihak kepolisian. Ia mengikuti Rohan ke kontrakannya, ia sengaja tak membawa semua uang yang ia dapatkan sebagai tips. Ia tak mau mengunakan uang itu lagi. "M
Tubuh Arfeen terpelanting ke lantai ring. Semua orang tercekat menyaksikan hal itu. "Kubilang apa ... Hardi itu tidak terkalahkan!" ujar salah satu penonton yang memasang taruhan untuk Hardi."Hei, apa kau tidak tahu siapa yang menjadi lawan Hardi saat ini?" saut teman yang satunya lagi. "Aku dengar dia adalah Tuan Muda keluarga Mahesvara!" jawab si orang pertama. Pria berjaket biru itu menyimpulkan senyum miring. "Dia adalah Zagan, raja mafia yang menjadi ketua federasi. Itu sebabnya aku berani pasang taruhan tinggi untuknya!" "Apa katamu? Zagan? Ketua federasi ... maksudmu kelompok jaringan hitam yang menguasai Asia itu?" saut pria yang mendukung Hardi. "Iya. Aku yakin dia bisa mengalahkan Hardi Suwiryo, lihat saja beberapa menit lagi. Apa yang terjadi saat ini baru pemanasan untuknya!" Terus terang pria ini belum pernah melihat langsung seperti apa rupa Zagan sebelum hari ini. Ia pikir pria itu berwajah sangar karena biasanya ketua mafia memang sangar meskilun tampan. Tapi Za
"Hah, kenapa?" seru Larena terkejut namun tak bergerak dari posisinya. Arfeen menghampiri sang istri, "Jangan tengkurap begitu, nanti kalau anak kita penyok bagaimana?"Kedua mata Larena melebar seketika. Penyok? Dan detik berikutnya wanita itu malah tertawa terpingkal-pingkal. Jelas saja hal itu membuat Arfeen bingung, pemuda itu menggaruk belakang kepala dengan wajah bodoh. Memangnya ada yang lucu apa! Sampai sang istri tertawa seperti itu. Larena sampai menelentangkan tubuh, memegangi perutnya yang sampai terasa sakit. "Wife, aku sedang khawatir kenapa kau malah tertawa? Posisimu tadi itu membahayakan anak kita!" Larena menghentikan tawa, mencoba mengontrolnya. Nafasnya jadi sedikit terengah. "Aduh, yang membuat perutku sakit justru karena tertawa. Kau itu sangat lucu!" keluar lagi tawa ringan. "Lu-lucu?" beo Arfeen melotot. Larena hanya memutar kepala menatap pemuda itu. "Usia kandunganku masih 2 bulan, bahkan anak kita belum ketahuan bentuknya seperti apa!" ia bangkit dan m
"Kau akan kembali ke kediaman Mahesvara?" seru Viera saat Larena mengutarakan niatnya untuk mengikuti Arfeen pulang ke rumahnya. "Iya, Ma. Bukankah Mama juga sudah tahu jika kondisiku membaik aku memang harus ikut Arfeen!""I-iya tapi ... secepat ini?" Vano hanya diam menatap putrinya, ada sorot kekecewaan di kolam matanya. Larena tak ingin melukai hati orang tuanya. Ia juga tetap ingin tinggal bersama mereka. Tapi saat ini ia harus mengikuti ke mana suaminya tinggal. Untuk sekarang Arfeen tak mungkin tinggal seatap dengan papanya. Larena menghampiri Vano, menyentuh lengannya. "Maafkan Rena, Pa. Tapi untuk saat ini ... Rena harus tinggal di rumah Arfeen!" "Kau putri Papa satu-satunya, Papa tahu suatu saat ketika kau menikah kau memang harus meninggalkan kami. Tapi entah mengapa ... Papa masih ingin kau menjadi putri kecil Papa!" "Rena sudah cukup dewasa, Pa. Bahkan nyaris tua, tapi sampai kapanpun aku tetap princess Papa!" ia memeluk tubuh Vano dari samping. Karena tak ingin me
Arfeen khawatir jika Jay masih belum meninggalkan rumah. Ia khawatir pria itu akan mencelakai sang istri. Meski ia sudah memberikan peringatan, tapi ia juga mengenal siapa Jaya Mahesa. Jika pria itu merasa keberadaan sang istri akan mengancam Lyra, maka ia bisa melakukan apa pun untuk membuat nonanya tetap aman. "Ada beberapa lelaki di rumah ini, takutnya saat kau berenang mereka mengintipmu. Bagaimana?" itu alasan yang logis untuk menghentikan niat sang istri. "Benar juga, ada Tantra dan pamanmu kan? Kenapa aku tak berfikir ke sana ya?" "Kita berkeliling rumah ini saja agar kau bisa mengenali tiap sudutnya. Ok!""Itu bukan ide yang buruk sih!" Larena setuju. Akhirnya mereka hanya berkeliling Mansion, Larena ingin menghapal tiap sudut Mansion. Langkahnya terhenti saat melihat banyak kupu-kupu yang berterbangan di atas taman bunga. Larena setengah berlari menghampiri, Arfeen pun harus berjalan cepat untuk memastikan istrinya aman. "Ini indah sekali!" puji Larena yang merangsek ma
Vano teringat ketika ia hendak pergi menemui Malik. Saat itu ia memang menceritakan rencana pertemuannya dengan Malik kepada Ferano, ia meminta pendapat apakah harus menemui Malik atau tidak. Saat itu Ferano justru tampak sangat bersemangat, ia menyuruh Vano untuk menerima tawaran pertemuan itu. Apalagi katanya ini berhubungan dengan kasus Megaproyek. Bahkan Ferano yang menyarankan putranya untuk sekedar membeli minuman kesukaan Malik agar hubungan keduanya membaik. Vano terperanjat. "Papa ... apakah mungkin?" ia menggeleng, tak ingin mempercayai dugaannya. Apakah ini mungkin? Untuk bisa memastikan semua ini, ia tak mungkin bisa melakukannya sendiri. Ia sama sekali tak memiliki kekuasaan. Tapi Arfeen memilikinya. Kekuasaan menantunya itu bisa melakukan apa pun. Vano memungut handphone, membuka kontak Arfeen namun ia belum menekan kursor telepon. Ada sedikit keraguan, lebih tepatnya gengsi jika ia harus meminta bantuan menantunya itu. Tapi ia tak memiliki pilihan, satu-satunya y