"Arfeeennn!"Suara menggelegar Viera terdengar dari ruang tamu. Hal itu membuat Larena terkejut, apa yang dilakukan sang suami sehingga membuat mamanya berteriak seperti itu?"Arfeen, Mama kenapa?""Ouh, itu ... mungkin Mama hanya dengan kangen denganku! Kau tahu jika tak teriak satu hari saja mungkin mulutnya gatel!"Larena merengut mendengar hal itu, bocah ini terkadang memang jail! Arfeen duduk di tepi kasur, ia mengangkat bungkusan plastik bening ke udara. "Obatnya sudah datang!"Larena melotot, "Apakah Randy yang mengantar ke mari?"Arfeen hanya mengangguk. Larena bangkit namun tertahan karena terasa perih. "Argh!" Ia pun kembali duduk. "Mau ke mana? Tidak ingat sedang sakit?"Larena menggigit bibirnya, "Lupa!" cicitnya nyaris tak terdengar. "Tapi kenapa tak bilang kalau Randy datang?"Brak!"Arfeen, buka pintunya!" teriak Viera. Baik Arfeen mau pun Larena menoleh ke arah pintu. "Kenapa pintu kamarnya dikunci?" tanya Larena protes. "Kan mau mengobati lukamu, kalau pasti lag
Larena tertegun, kenapa sang suami bertanya seperti itu?"Kenapa kau diam?" tanya Arfeen lagi. "Karena pertanyaanmu!" saut Larena. Arfeen menghela nafas. "Aku mendengar isu ... katanya puluhan tahun lalu ... Mahesvara Group dan Jaya Abadi Corp pernah menjalin kerjasama. Dan entah apa yang terjadi, hubungan mereka terputus, Kakek Radika memecat Papa Vano karena itu. Iya kan?" Larena terdiam. Angannya kembali ke 20 tahun yang lalu, ia sudah berusia 15 tahun, jadi ia ingat apa yang terjadi. Apa yang sedang dibahas oleh Arfeen adalah awal dari penderitaan mereka. Vano tak hanya dipecat dari Jaya Abadi Corp, mereka juga terusir dari rumah besar keluarga Jayendra. Mereka harus mengontrak, Vano tak kunjung mendapat pekerjaan. Selama beberapa tahun mereka harus menjalani kehidupan miskin. Hingga suatu hari, Larena tak sengaja bertemu dengan seorang manager yang menawarinya membintangi iklan kosmetik. Karena honor yang dijanjikan tinggi, maka ia menerima tawaran itu. Dimulai dari membint
"Apa maksudmu, Liam?"Arfeen menatapnya tak mengerti, meski ia juga menaruh curiga bahwa ada yang sengaja menjebak Vano. Tapi sepertinya Liam memiliki praduga yang lebih dari itu. "Bagaimana jika ada konspirasi besar di dalamnya? Dan banyak pihak yang terlibat!" tukas Liam. "Banyak pihak yang terlibat?" desis Arfeen mengulang ucapan Liam. "Maaf, Tuan Muda. Sebelum Tuan Malik mengalami kecelakaan, sebenarnya ....""Sebenarnya apa?" tanya Arfeen memotong kalimat Liam. "Tuan Malik berniat membuka kembali kasus ini, beliau memang merasa ada yang tidak beres dengan proyek itu. Sepertinya Tuan Malik ... menemukan sesuatu!""Papa menemukan sesuatu? Apakah itu berhubungan dengan proyek itu?""Ini hanya pemikiran saya. Tuan ... belum sempat memberitahu siapa pun akan niatnya!""Kau mengetahuinya karena kau selalu mendampinginya kan? Hanya dengan membaca keresahannya saja ... kau tahu apa yang Papa mau!""Tuan Malik meminta saya untuk menjaga dan melayani Anda seperti saya melayaninya selam
Malam itu Arfeen memang tidak pergi ke mana pun. Ia di rumah saja, memasak makan malam, membersihkan dapur dan menyetrika pakaian sebelum tidur mendengkur di sisi Larena karena kelelahan. Ketika terlelap, Larena menatapi wajah pemuda itu yang tampak lebih tampan. Pemuda itu sama sekali tidak mengeluh meski diperlakukan tak baik oleh mamanya. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh rambut Arfeen, membelainya sejenak sebelum ikut memejamkan mata. Paginya, Ketika Arfeen membuka mata, ia merasa sedikit sulit bergerak karena rupanya ada sosok yang tengah memeluknya erat. Ia menoleh kepala yang menindih pundaknya itu, wajah Larena sedikit mendongak ke lehernya. Menghembuskan nafas hangat yang membuat syaraf kelelakiannya bangkit. Tangan wanita itu memeluk tubuhnya. Apa ia sedang bermimpi?Larena memeluknya erat! 'Tuhan ... jika ini mimpi maka jangan bangunkan aku. Dan jika ini nyata, maka hentikanlah waktu agar ini tidak berakhir!' Ia berdoa dalam hati. Dulu, tujuan hidup Arfeen adalah
"Aku bertanya padamu?" Jordi masih diam. Ia takut jika jujur dan ketiga orang itu tahu ia akan diperlakukan lebih buruk lagi. Karena Arga tak hanya selalu memberikannya tugas yang menumpuk. Ia juga beberapa kali dipukul jika tak menurut. Atau jika dirasa melakukan kesalahan, ia tahu Arga lebih senior dan pandai bersilat lidah. Ia bisa saja difitna yang mengakibatkan pemecatan. Gaji yang ia dapat di perusahaan ini lebih tinggi dari perusahaan lain, itu sebabnya selama ini ia bertahan. Karena jika dirinya sampai dipecat, belum tentu ia bisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik di luar sana. Atau bahkan tak mendapatkan pekerjaan sama sekali. "Jordi, aku bertanya padamu!" gerutu Arfeen, "Apa kau lebih takut pada Arga yang bukan siapa-siapa ketimbang aku?" "Maaf, Presdir. Maafkan saya!" akunya membungkuk. "Jawab pertanyaanku!" "I-iya." "Ok. Mulai sekarang, jika mereka merundungmu lagi kau harus melawan!" Seketika kepala Jordi terangkat, menatap Arfeen yang menatapnya. "Me
Larisa belum menjawab pertanyaan Lyra. Ia justru merasa heran untuk apa hal seperti itu dipertanyakan. "Maaf, Nona. Tempo hari sepupu saya datang dan sepertinya persentasinya kurang memuaskan untuk Presdir Mahesvara!" "Dan kalian pikir persentasimu akan memuaskan kami?" saut Lyra membuat Larisa menggerutu. Lyra berharap yang datang adalah Ferano, bukan wanita di depannya yang sebenarnya tidak kompeten. Lyra membuka file yang kini ada di tangannya, memang kerja sama yang ditawarkan oleh Jaya Abadi Corp cukup menjanjikan. Tapi jika yang menangani proyek ini adalah orang yang kurang meyakinkan, bisa menjadi kerugian yang cukup besar. Tapi adiknya meminta agar menyetujui proposal mereka? Apakah ada yang sedang sang adik beritahu?" "Baiklah, Nona Larisa. Kami menyetujui proposal kalian, tapi ada beberapa ketentuan yang harus kalian patuhi!" jelas Larena. "Tak masalah, kami pasti akan menjaga kerja sama ini dengan baik." "Kalau begitu kami akan segera membuatkan kontraknya, jika s
Arfeen merapatkan mobil di halaman lobi, rupanya sang istri sudah menunggu. Namun kali ini wanita itu tak sendiri, ia bersama Vano Jayendra. Arfeen keluar dari mobil untuk menghampiri keduanya. Dua orang itu menatapnya heran karena hari ini Arfeen tampak sangat rapi dengan jas. Dan jas yang dikenakannya tampak cukup mahal. Jika berdandan seperti itu, Arfeen memang tampak seperti tuan muda kaya raya. "Pa, Papa mau ikut makan siang?" tanya Arfeen dengan sopan. Tadinya Vano hanya mengantar putrinya sampai teras, namun ketika Arfeen menawari ia jadi berubah pikiran. Tak ada salahnya ikut makan siang bersama menantu gembelnya itu. Ia ingin tahu apakah menantunya itu mampu membayarkan makan siang mereka di restoran mewah?"Kebetulan aku memang sedang ingin mencari makan siang, kita belum pernah makan siang bersama kan!" saut Vano dengan seringai mencurigakan. Tentu saja Arfeen sangat senang mendengar hal itu. Ini akan menjadi kesempatan yang bagus agar mereka bisa lebih dekat. "Tapi .
Arfeen tak langsung menjawab pertanyaan sang mertua. Ia harus menyusun kata yang tepat agar tak dicurigai."Ehm, aku ... memang sempat membaca sedikit. Karena ... keburu ketahuan oleh Kepala staf!" jawabnya sedikit terbata. Ia benar-benar berhati-hati dalam berucap. Vano menghela nafas, entah mengapa ia berharap menantunya itu menemukan sesuatu yang bisa membuktikan bahwa dirinya tak bersalah. "Pa, boleh aku tahu apa yang sebenarnya terjadi tentang Megaproyek?" tanya Arfeen membuat ketiga orang itu kembali fokus padanya. "Maaf, tapi aku sempat mendengar isu tentang Megaproyek. Di mana proyek itu melibatkan Papa. Isu itu kudengar dari orang kantor, sayangnya mereka juga tidak tahu banyak dan lagi ... mereka juga tak mau sembarang berbicara!" Vano tampak menggerutu, Arfeen bisa melihat amarah di dalam kilatan matanya. "Maaf jika aku lancang, Pa. Tapi kata Rena ... Papa hanya korban di sini tapi Papa yang harus menanggung semuanya. Jadi paling tidak, kita harus bisa membersihkan nam