"Berikan datanya secepat mungkin!" perintah Arfeen lagi. "Baik, Tuan Muda." Liam meninggalkan ruangan itu, Arfeen menghela nafas panjang dengan memejamkan mata sejenak. Kerja sama antara Radika dan Ferano di masa lalu yang mengalami kegegalan, mengakibatkan Vano dipecat dan tak boleh lagi ikut campur di Jaya Abadi Corp. Ada insiden apa sebenarnya? Ia juga harus tahu seperti apa tanggapan mertuanya, Vano tentang Mahesvara Group. Bukankah ia harus menjemput Larena pulang? Mungkin sambil dinner ia bisa bertanya tentang hal itu jika Larena mengetahui sesuatu. Maka ia pun lekas meninggalkan kantor untuk menuju La Viva. Ketika ia sampai di lobi, rupanya Larena memang sudah berdiri di teras lobi seolah menunggunya. Arfeen turun dari mobil, menghampiri wanita itu. "Sudah lama menunggu?" "Baru beberapa menit." "Bagaimana jika ... kita langsung dinner di luar saja. Aku yang traktir!" ajaknya. "Kau baru saja menerima gaji?" Arfeen hanya mengedikkan bahu. Larena menyetujui ajakan
"Marla?" Baik Arfeen mau pun Larena terkejut dengan kemunculan wanita itu. Mereka tak menyangka jika akan bertemu lagi di tempat ini, yang lebih parah wanita itu mendengar percakapan mereka tentang pernikahan kontrak. "Apa itu benar Arfeen? Kalian hanya menikah kontrak?" tanya Marla dengan sedikit harapan di hatinya. Arfeen dan Larena tak menjawab. "Kupikir, pernikahan kalian sungguhan? Tapi ternyata hanya sandiwara?" "Itu sama sekali bukan urusanmu, Marla!" jawab Arfeen dengan tenang. Marla menyimpulkan senyum miring, "Jadi ... apakah sekarang kau memiliki banyak uang karena wanita ini menyewamu?" tanyanya melirik Larena dengan kedua matanya. "Sudah kukatakan itu bukan urusanmu!" "Mungkin memang bukan urusanku, aku hanya tidak menyangka kau rela menjual dirimu kepada tante-tane ini!" Larena melotot mendengar hal itu. Ia memang membeli Arfeen, tapi hanya sebagai ststus suami, bukan tubuhnya. "Terserah apa katamu, itu sama sekali tak mempengaruhi hubungan kami." "Arfeen, ka
"Pembual!" umpat Larena kesal. Namun ia tak berusaha melepaskan diri. Arfeen memeluknya kian erat. Membiarkan wanita itu menangis. Insiden dengan Marla membuatnya menunda niat awal untuk bertanya tentang peristiwa 20 tahun yang lalu. Dalam perjalanan pulang, Larena tertidur dalam pelukannya. Ia terpaksa menyetir dengan satu tangan karena tangan yang satu harus merangkul tubuh sang istri. Namun yang membuatnya mengumpat berkali-kali adalah efek dari pelukan itu. Wajah Larena yang lelap sangat menggoda, tubuh wanita itu yang menempel padanya tak dipungkiri membangkitkan si Junior. Terasa berdenyut dan sakit. Ketika sampai rumah, ia membangunkan sang istri. "Yang, kita udah sampai rumah. Kau masih betah memelukku apa?" bisiknya membuat salah satu mata Larena memicing. Perlahan Larena menjauhkan tubuh, mengamati sekeliling yang semuanya tak asing. Itu adalah garasi rumahnya. Arfeen turun lebih dulu karena ia ingin membukakan pintu untuk sang istri. Ia juga membantu memapah wanita it
"Arfeen!" desah Larena yang kemudian mendongakkan kepala karena sensasi yang ia rasakan dari perbuatan Arfeen. Tanpa dikomando kedua tangannya meremas rambut pemuda itu. Lidah Arfeen sekarang menuruni perutnya, terus meluncur hingga ke bagian paling indah yang Larena miliki. Ia memberikan beberapa kecup ringan di sana sebelum berdiri. Sekali lagi menyambar mulut wanita itu dengan rakus. Arfeen mengangkat tubuh Larena ke dadanya, membawa ke ranjang dan membaringkan di sana. Ia melucuti pakaiannya sendiri karena sepertinya sang istri masih malu untuk melakukan itu untuknya. Sekarang ia juga sudah polos di depan wanita itu, kedua mata Larena menatap tiap ototnya tanpa kedip. Pandangannya lalu turun hingga ia harus melebarkan mata mendapati junior Arfeen yang telah tagap sempurna dengan ukuran yang membuatnya takut. Tubuhnya bergetar, itu adalah pertama kalinya ia melihat milik pria. Arfeen tahu sang istri gugup, dari reaksinya sepertinya wanita itu memang belum pernah melakukannya.
Larena terkejut mendapati milik Arfeen yang rupanya masih tegap. Ia menelan ludah seketika. Kemudian kembali menatap wajah sang suami. "Masih mau?" tanyanya polos. Senyum nakal terlukis di wajah Arfeen. "Habisnya ... istriku ini sangat cantik, bagaimana aku tidak tergoda kembali?" Larena jadi salah tingkah, rupanya dirayu di atas ranjang jauh lebih membuatnya gugup. Arfeen menarik dagunya agar bisa menangkap bibir ranum Larena. "Arfeen!" "Hem?" Akhirnya mereka melakukannya sekali lagi dan kali ini dengan durasi yang lebih lama. Larena benar-benar sampai kehabisan tenaga, begitu permainan selesai ia langsung terlelap. Arfeen memeluk erat tubuh polos sang istri di balik selimut. Siapa yang akan percaya jika seorang wanita berusia 35 tahun masih virgin! Masih ranum seperti gadis belia. Paginya, Arfeen lekas meloncat keluar kamar mandi ketika mendengar Larena setengah berteriak memanggilnya. "Iya, sayang. Kau kenapa?" tanyanya panik, tubuhnya masih penuh dengan busa. Dan
Bocah kecil? Rahang Arfeen mengeras ketika pria di seberang sana mengatainya sebagai bocah kecil! Usianya sudah 22 tahun, ia sudah cukup dewasa dan kenapa masih banyak yang memanggilnya bocah? Apakah karena ia menikahi wanita berusia 35 tahun? Jadi ia dianggap sebagai anak kecil. "Rena?""Aku si bocah itu!" jawabnya dengan gerutu. Di sisinya Larena pun melotot mendengar ucapan sang suami yang sepertinya dipenuh amarah. "Ouh, kau ... suami Rena? Em ... siapa namamu?""Kau bertanya? Ok, ingat ini baik-baik. Namaku Arfeen Grafielo. Aku suami Larena Jayendra, jadi jangan menyebutku bocah karena aku memiliki nama!" Randy berdehem, suara Arfeen cukup dingin. Meski mereka berseberangan waktu dan tempat namun bulu kuduknya bisa berdiri. "Dokter Randy, apa kau masih hidup di sana?" tanya Arfeen membuat Laren amengerutkan kening."Eim, iya. Aku di sini?""Aku butuh salep dan antibiotik, bisa kau antarkan ke rumah Larena!" "Salep, antibiotik? Kau sakit apa? Habis dipukuli oleh Om Vano?"
"Arfeeennn!"Suara menggelegar Viera terdengar dari ruang tamu. Hal itu membuat Larena terkejut, apa yang dilakukan sang suami sehingga membuat mamanya berteriak seperti itu?"Arfeen, Mama kenapa?""Ouh, itu ... mungkin Mama hanya dengan kangen denganku! Kau tahu jika tak teriak satu hari saja mungkin mulutnya gatel!"Larena merengut mendengar hal itu, bocah ini terkadang memang jail! Arfeen duduk di tepi kasur, ia mengangkat bungkusan plastik bening ke udara. "Obatnya sudah datang!"Larena melotot, "Apakah Randy yang mengantar ke mari?"Arfeen hanya mengangguk. Larena bangkit namun tertahan karena terasa perih. "Argh!" Ia pun kembali duduk. "Mau ke mana? Tidak ingat sedang sakit?"Larena menggigit bibirnya, "Lupa!" cicitnya nyaris tak terdengar. "Tapi kenapa tak bilang kalau Randy datang?"Brak!"Arfeen, buka pintunya!" teriak Viera. Baik Arfeen mau pun Larena menoleh ke arah pintu. "Kenapa pintu kamarnya dikunci?" tanya Larena protes. "Kan mau mengobati lukamu, kalau pasti lag
Larena tertegun, kenapa sang suami bertanya seperti itu?"Kenapa kau diam?" tanya Arfeen lagi. "Karena pertanyaanmu!" saut Larena. Arfeen menghela nafas. "Aku mendengar isu ... katanya puluhan tahun lalu ... Mahesvara Group dan Jaya Abadi Corp pernah menjalin kerjasama. Dan entah apa yang terjadi, hubungan mereka terputus, Kakek Radika memecat Papa Vano karena itu. Iya kan?" Larena terdiam. Angannya kembali ke 20 tahun yang lalu, ia sudah berusia 15 tahun, jadi ia ingat apa yang terjadi. Apa yang sedang dibahas oleh Arfeen adalah awal dari penderitaan mereka. Vano tak hanya dipecat dari Jaya Abadi Corp, mereka juga terusir dari rumah besar keluarga Jayendra. Mereka harus mengontrak, Vano tak kunjung mendapat pekerjaan. Selama beberapa tahun mereka harus menjalani kehidupan miskin. Hingga suatu hari, Larena tak sengaja bertemu dengan seorang manager yang menawarinya membintangi iklan kosmetik. Karena honor yang dijanjikan tinggi, maka ia menerima tawaran itu. Dimulai dari membint