Di atas ranjang, pria itu tenggelam dalam gairahnya. Kiara berada dalam pelukan pria itu. Napas hangatnya menyapu leher Kiara, membuatnya tak bisa menahan diri.Saat Kiara merasa sulit menahan diri, pria itu menggenggam tangannya erat-erat, jemari mereka saling berpegangan.Namun, saat momen paling emosional, pria itu malah memanggil nama, "Martha, Martha."Kiara menangis pelan dan menjawab dengan suara bergetar, "Aku bukan Martha, aku Kiara, aku Kiara."Namun, hasrat pria itu semakin memuncak, tidak peduli dengan rintihan lirih Kiara. Dia mencengkeram wajah Kiara yang mirip dengan kakaknya, Martha. Setelah menatapnya lama, akhirnya mencium bibir Kiara dengan penuh nafsu, menutup mulutnya dengan paksa.Keesokan paginya, Kiara duduk di ranjang, memeluk selimut erat-erat. Tubuhnya tanpa sehelai benang, duduk dengan kepala menunduk. Sementara itu, pria itu sudah berpakaian rapi, duduk di tepi ranjang dengan wajah dingin menatapnya.Wajah pria itu tampan dan dingin. Ekspresinya berbeda t
Keringat dingin membasahi tubuh Kiara.Keesokan harinya, Kiara pergi ke kampus untuk menghadiri kelas. Setelah selesai, saat dia bersiap keluar dari gerbang kampus, tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya, "Kiara!" Seketika, tubuh Kiara membeku mendengar suara itu.Detik berikutnya, Tedy Thomas, mantan pacarnya menerobos kerumunan orang dan langsung menggenggam tangannya, lalu bertanya, "Kiara, kenapa kamu menghindariku? Jelaskan padaku! Kita baik-baik saja, kenapa tiba-tiba minta putus begitu saja?!"Emosi Tedy sangat tidak stabil dan amarahnya mengundang perhatian banyak orang.Kiara sangat ketakutan. Dia menatap Tedy tanpa berani mengucapkan sepatah kata pun.Beberapa hari terakhir ini, Tedy terus mencarinya. Keputusan dadakan Kiara untuk mengakhiri hubungan mereka dan pergi tanpa penjelasan membuat Tedy kebingungan. Padahal sebelumnya, hubungan mereka sangat manis dan Tedy bahkan sudah merencanakan untuk menikah setelah lulus. Lalu, mengapa semua ini berubah?"Kiara, apa yang s
Billy memang tidak pandai menghibur gadis muda, dia juga tidak tahu kata-katanya yang tadi membuat Kiara tersinggung. Melihat Kiara enggan mengambil permen itu, dia mengerutkan kening, terdiam beberapa detik dan akhirnya meletakkan permen itu.Setelah beberapa lama melaju, tiba-tiba mobil terhenti. Kiara sedikit terkejut melihat gerbang rumah sakit dari balik jendela mobil.Billy juga tak menyangka mobil sudah sampai di rumah sakit. Jadi, dia hanya bertanya, "Sudah sampai di rumah sakit, kamu mau sekalian jenguk kakakmu?"Ekspresi Kiara terlihat sedikit tegang. Sebenarnya, sejak Martha sakit hingga dirawat di rumah sakit, dirinya jarang menjenguknya. Hubungan mereka memang tidak begitu dekat.Billy jelas tahu bagaimana hubungan Kiara dan Martha. Bagaimanapun juga, perbedaan usia mereka cukup jauh, ditambah lagi mereka adalah saudara tiri, wajar saja kalau mereka tidak dekat."Belakangan ini suasana hatinya nggak begitu baik. Dia mungkin akan senang kalau kamu menjenguknya.“Ucap Billy
Billy berjalan ke sisi ranjang dan duduk, wajahnya penuh kelembutan dan bertanya, "Merasa baikan? Mau makan apel?"Martha yang terbaring di ranjang rumah sakit menggeleng pelan, menjawab, "Masih agak nggak enak badan, juga nggak begitu ada selera."Kemudian, Martha dengan antusias memanggil Kiara yang masih berdiri di pintu, "Kiara, ayo masuk!"Kiara yang berdiri di depan pintu menyaksikan suasana di dalam ruangan dengan ragu, kemudian melangkah masuk perlahan. Setelah berada di dalam, suasananya terasa sunyi dan agak canggung. Telapak tangan Kiara terus berkeringat, sedangkan Billy tetap terlihat santai. Dia merapikan selimut yang menutupi tubuh Martha dengan tenang.Dengan ramah, Martha bertanya, "Kiara, mau makan apa, nggak?"Kiara melirik sekilas ke arah Martha dan melihat ekspresinya tetap biasanya saja, seolah tidak ada yang aneh. Justru dirinya sendiri yang merasa aneh.Kiara mencoba menghilangkan kecanggungannya dan menjawab pelan, "Terserah."Mendengar jawaban itu, Martha ters
Dengah wajah memerah, Kiara mundur dari pelukan Billy, menunduk memandang kekacauan di lantai. Kiara segera membungkuk untuk memungut anggur yang berceceran. Saat Kiara membungkuk, Billy juga ikut membungkuk.Keduanya secara kebetulan meraih anggur yang sama, membuat tangan mereka bersentuhan.Tangan Billy terasa lembab dan hangat.Wajah Kiara semakin menunduk dan tanpa sadar menarik kembali tangannya.Tentu saja, Billy juga menyadari gerakannya. Dia juga menarik kembali jarinya.Suara di luar membuat Martha bertanya, "Kiara, ada apa?"Mendengar suara Martha, Billy menjawab dengan tenang, "Nggak apa-apa."Kiara terdiam dan tidak bergerak lagi. Kemudian, Billy dengan cepat memunguti anggur yang tercecer, mencucinya kembali."Kamu bersihkan dirimu dulu, aku pergi duluan."Usai bicara, Billy melangkah keluar dari pantry sambil menggulung lengan bajunya kembali hingga rapi.Kiara berdiri diam di tempat dengan jantung yang masih berdegup kencang. Tangannya tanpa sadar mencengkeram salah sa
Kiara menjalani hari-harinya dengan linglung dan setengah bulan pun berlalu.Pagi ini, Kiara membawa alat tes kehamilan ke kamar mandi. Dia sudah beberapa kali menggunakan alat ini sebelumnya, jadi tidak terasa malu dan cemas seperti pertama kali yang bahkan tak bisa membaca petunjuknya karena tangannya yang gemetaran.Namun, ketika menunggu hasilnya beberapa menit, Kiara tetap merasa gelisah. Harapannya bercampur dengan kecemasan, sampai akhirnya dia melihat hanya satu garis yang muncul. Dia tak menyerah, lalu mengulanginya sekali lagi sesuai langkah-langkah yang benar.Hasil yang sama muncul lagi. Saat menyadari itu, dia berdiri di kamar mandi dengan mata tertutup rapat dan wajah penuh kesedihan.Kenapa seperti ini? Kenapa masih belum berhasil? Kenapa masih belum hamil?Kiara turun ke lantai bawah seperti orang kehilangan arah. Saat melihatnya, ibu tirinya langsung bangkit dari sofa dan mendekatinya, tak lupa bertanya, "Kiara, bagaimana hasilnya?"Alice tampak khawatir.Kiara terdiam
"Kalau kamu masih merasa nggak nyaman, coba anggap saja aku sebagai temanmu."Teman? Teman bisa tidur bersama di ranjang? Kiara tak tahu bagaimana cara menghadapi semua ini.Billy terus diam, menunggu jawaban darinya. Kiara tahu bahwa Martha tak bisa menunggu lebih lama lagi dan Alice juga tak akan membiarkannya terus mengulur waktu.Dia seperti berdiri di ujung tebing, tanpa ada jalan untuk mundur.Mengingat dua kali kejadian sebelumnya saja masih membuatnya takut. Dia gemetaran cukup lama, napasnya tersengal-sengal, sampai akhirnya mengucapkan satu kalimat seperti sebuah kompromi, "Baiklah, aku mengerti."Setelah mendengar jawabannya, setelah beberapa saat, barulah Billy menjawab datar, "Iya, nanti aku antar kamu pulang."Usai bicara, Billy tidak tinggal lebih lama di hadapannya. Mungkin karena merasa sudah selesai bicara, dia berbalik masuk ke dalam kamar.Tangan Kiara yang bergantung di sisinya mengepal erat.Ketika Billy masuk ke kamar, seorang perawat sedang dengan sabar merawat
Keduanya saling berciuman cukup lama hingga akhirnya Billy melepaskan bibir Kiara.Billy bertanya, "Merasa lebih baik? Hm?"Kiara merasa canggung, dia benar-benar belum siap secara mental dan tidak tahu harus menjawab apa.Billy tidak memaksanya, hanya menunggu respon dari ekspresi wajahnya.Napasnya mereka saling bertautan, saling bersinggungan, terkadang dalam dan terkadang dangkal."Hm?"Tanya Billy lagi.Sinar bulan dari luar menembus masuk, menyinari di wajah keduanya. Di bawah cahaya bulan itu, wajah Billy tampak begitu tegas dan tampan. Hidungnya yang mancung menyentuh lembut hidung Kiara."Jangan takut, ya?"Billy seperti sedang menghiburnya.Dia terus menunggu, tangannya menopang tubuh Kiara, tetap sabar menanti. Setelah cukup lama, bibirnya yang sempat berhenti di dekat bibir Kiara kembali mendekat untuk menciumnya. Namun, Kiara segera memalingkan wajahnya untuk menghindar.Bibir Billy akhirnya mendapat di cuping telinganya.Keduanya membeku dalam posisi itu, tidak ada yang b
Pelayan menjawab sambil tersenyum, "Sudah pulang, lagi ganti baju di lantai atas."Mendengar itu, Billy mengangguk. Saat hendak berjalan menuju tangga, pandangannya tertuju pada sesuatu di meja dekat sofa. Langkahnya terhenti, lalu membungkuk dan mengambil kotak obat yang ada di sana.Pelayan itu teringat bahwa dia lupa memasukkan barang milik Kiara kembali ke tasnya. Dengan tergesa-gesa, dia berkata, "Pak Billy, sepertinya itu barang milik Bu Kiara, aku yang keluarkan dari tasnya."Tatapan Billy yang awalnya tenang kini berubah tegang. "Punya Kiara?""I ... iya, punya Bu Kiara."Raut wajah Billy menjadi dingin, "Dia di atas?"Pelayan merasa suasana berubah menjadi tidak nyaman, "Iya ... di kamar atas."Tanpa membuang waktu, Billy berjalan cepat menuju lantai atas.Kiara baru saja selesai mengganti pakaian di kamar. Dia sedang berdiri di depan meja rias untuk mengambil anting kecilnya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kiara langsung menoleh ke arah pintu.Dengan panik, dia berdiri dan me
Kiara menarik tangannya perlahan dari genggaman Billy, "Aku lupa tadi."Billy juga menarik kembali tangannya, "Yasudah, pergilah ke kelas.""Iya, Kak Billy," jawab Kiara dengan lembut, lalu membuka pintu mobil dengan hati-hati kali ini, memastikan tangannya yang terluka tidak terbentur lagi.Setelah memastikan Kiara masuk ke gerbang kampus, mobil Billy pun melaju pergi.Namun, Kiara masih merasakan kehangatan yang tertinggal di pergelangan tangannya, seperti ada jejak yang tak bisa dihilangkan, meski dirinya sudah berusaha mengabaikannya.Siang harinya, Kiara dan Shully memutuskan untuk membolos kelas yang tidak terlalu penting. Mereka berjalan-jalan di luar kampus. Setelah beberapa waktu, Shully bertanya, "Kiara, kamu tinggal di mana sekarang?"Kiara sedang memegang gaun yang menarik perhatiannya. Mendengar pertanyaan itu, dia menjawab cepat, "Ah, aku tinggal di rumah."Shully mengangguk, "Kupikir kamu tinggal di asrama beberapa hari ini."Kiara tersenyum lemah dan menjawab, "Nggak, a
Setelah lukanya selesai dibalut, pelayan tidak membiarkan Kiara tetap berada di dapur dan mengusirnya ke meja makan. Kiara baru duduk dan melihat Billy sudah ada di sana.Saat itu, langit di luar masih gelap, waktu baru menunjukkan pukul enam pagi.Keduanya diam, tak saling bicara.Billy meletakkan koran di tangannya, lalu bertanya, "Lukanya dalam?"Pertanyaannya terdengar seperti basa-basi saja.Kiara menggigit bibirnya dan menggeleng, "Nggak."Matanya melihat ke bawah, bulu matanya memantulkan cahaya lembut dari lampu, bergetar seperti dilapisi kilauan halus.Mendengar jawabannya, Billy hanya menggumam pelan sebagai tanggapan dan tidak bertanya lebih jauh, kembali membaca korannya.Tak lama kemudian, pelayan membawa hidangan pertama ke meja. Ruang tamu sunyi, pelayan itu segera kembali dapur setelah meletakkan makanannya.Di dapur, pelayan sempat berpikir, kenapa kedua orang ini bangun begitu pagi? Mereka terlihat seperti tidak tidur semalaman.Namun, pelayan itu tak bisa memastikan
Kiara merasa agak tidak nyaman ketika dicium oleh Billy selama beberapa detik, matanya basah, bibirnya terus bergumam, "Kak Billy, kenapa kita sudah begitu sering, tapi tetap nggak berhasil?"Kiara mulai meragukan dirinya sendiri, apakah dirinya mandul, mengingat sudah sekian lama dan begitu sering, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan.Dia terisak dan berkata lagi, "Aku tahu kamu nggak tertarik padaku, tapi hanya dengan segera hamil, kita bisa terbebas dan kamu bisa bersamanya bersama kakak tanpa bertengkar lagi. Aku nggak mau menunggu lagi, tolong Kak Billy."Kata tolong yang dia ucapkan justru seperti menambah bensin pada api yang sudah menyala."Kiara, kamu nggak tahu bahwa kata tolong nggak boleh diucapkan dalam situasi seperti ini?" Billy berhenti mencium bibirnya, menatapnya dengan tatapan tajam.Kiara terdiam sejenak, tidak langsung menjawab kata-kata itu, wajahnya terlihat agak ragu.Dia juga tidak tahu kenapa dirinya mengatakan kata-kata itu, tapi dia benar-benar tidak punya
Tiba-tiba, terdengar suara dari pintu ruang kerja, Billy pun menoleh ke arah pintu. Pintu terbuka dan sosok bayangan dengan gaun tidur putih melangkah masuk.Melihat Kiara datang, tangan Billy yang sedang memijat pelipis langsung terhenti.Kiara berdiri di depannya tanpa bergerak."Kiara?" tanya Billy sambil mengangkat alisnya."Kak Billy, kamu belum tidur? Aku sudah menunggumu sejak tadi."Tatapan Billy mulai menjadi lebih dalam dan serius, dia terus menatap gadis yang berdiri di depannya.Sebenarnya, dirinya sama sekali tidak punya niat seperti itu malam ini. Namun, dia tak menyangka Kiara akan datang dan mendorong pintu ruang kerjanya. Tatapannya yang tajam terus memandang tubuh kecilnya, sementara suaranya terdengar datar, "Aku sudah mau tidur."Tangan Kiara perlahan meremas gaun tidurnya, "Kalau begitu, aku ... ""Balik ke kamarmu saja."Ujar Billy memotongnya dengan tegas, wajahnya terlihat tanpa ekspresi.Kiara mengangkat kepalanya sedikit, menatapnya dengan bingung, tidak mema
Billy mengambil sendok dari mangkuk sup dan mencicipi sedikit.Kiara mengangkat matanya, sedikit berharap dan bertanya, "Bagaimana rasanya?"Rasa sup itu segar dan manis, dengan aroma khas dari bengkoang.Namun, Billy hanya memberikan komentar singkat, "Lumayan."Mendengar jawabannya, Kiara tidak tahu apakah itu sekedar basa-basi atau sungguhan. Dia sedikit kecewa dan hanya menjawab pelan, "Oh."Billy menyadari perubahan nada suaranya, tetapi berpura-pura tidak tahu dan bertanya, "Kenapa?"Kiara menggeleng dan menjawab, "Nggak ada." Kemudian duduk di kursinya.Pelayan yang sedang menghidangkan makanan berkata pada Kiara, "Pak Billy sangat jarang makan malam di rumah. Ini adalah pertama kalinya setelah setengah tahun ini."Kiara terkejut dan menatap pria di depannya dengan heran.Billy meletakkan sendoknya dan menjelaskan, "Aku sibuk dengan pekerjaan dan jamuan biasanya. Tapi karena ini hari pertama kamu tinggal di sini, aku rasa sebaiknya menemanimu makan malam."Kiara merasa sedikit t
Sebenarnya, Billy tidak ingin membuat Kiara merasa canggung. Jadi, dia hanya menjawab, "Yasudah, anggap saja ini rumahmu sendiri. Aku akan usahakan pulang lebih awal malam ini."Kiara mengangguk lagi, tetapi di tengah anggukannya, kepalanya tiba-tiba berhenti.Entah mengapa, kalimat itu membuatnya sedikit berpikir berlebihan. Tangannya yang memegang alat makan tanpa sadar membeku.Malam harinya, setelah Kiara pulang, Billy belum juga kembali. Salah satu pelayan keluar untuk menyambutnya, "Bu Kiara."Kiara berhenti di depan pelayan itu dan bertanya, "Kamu sedang sibuk di dapur?"Pelayan itu sedikit terkejut mendengar pertanyaannya, tetapi segera menjawab, "Aku belum siapkan makan malam, kamu mau menunggu sebentar?"Mendengar itu, Kiara segera meluruskan, "Oh, bukan itu maksudku. Aku hanya mau membantu di dapur, kebetulan aku juga nggak ada urusan."Pelayan itu menyadari bahwa Kiara tampaknya masih merasa canggung berada di rumah ini. Setelah berpikir sejenak, dia mengangguk, "Baiklah, k
Setelah mendengar langkah kaki dari lantai bawah, Kiara yang bersembunyi di balik pintu langsung terdiam.Pak Billy? Kak Billy sudah pulang?Tangannya yang memegang pintu semakin erat, tapi entah kenapa, rasa takut di hatinya perlahan mereda. Dia keluar dari kamar gelap yang asing itu.Saat itu, Billy baru saja memasuki aula utama. Seorang pembantu sedang berbicara dengannya. Setelah beberapa saat, pandangan Billy langsung tertuju pada Kiara yang muncul dari kamar di lantai atas.Billy menghentikan langkahnya.Kiara juga berdiri di lantai atas, menatapnya dari kejauhan.Billy berjalan mendekatinya. Ketika sampai di depannya, dia berhenti dan berkata, "Kalau ada yang dibutuhkan, katakan saja."Kalimat itu menunjukkan bahwa Billy ingin Kiara merasa nyaman di rumah ini. Namun, Kiara malah merasa canggung dan tidak tenang.Billy melanjutkan lagi, "Kalau ada syarat yang mau kamu ajukan, katakan saja. Aku akan memberikan apapun semampuku."Setelah berpikir sejenak, Kiara menjawab, "Kak Billy
Di sini, Kiara merasa seperti orang luar yang tidak punya hak untuk terlibat dalam percakapan mereka. Dia bisa merasakan hubungan rumit antara Billy dan Martha. Akhirnya, dia mengangguk pelan dan berbalik keluar dari ruangan.Begitu dia pergi, kamar itu kembali sunyi dan dingin seperti sebelumnya.Kemudian, Billy memandang Alice dan Benedict dengan dingin dan berkata, "Aku perlu bicara berdua dengan Martha."Benedict dan Alice juga tidak berani ikut campur dengan urusan mereka. Keduanya mengangguk pelan dan meninggalkan ruangan.Setelah mereka pergi, Billy menatap Martha yang terus menangis. Wajahnya sangat muram dan dengan nada dingin dia berkata, "Karena ini yang kamu mau, aku akan melakukannya dengan baik."...Sementara itu, Kiara kembali ke ruangannya. Dia duduk di ranjang tanpa bergerak, merasa seperti jatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi ini.Namun, belum setengah jam berlalu, seseorang masuk ke kamarnya. Itu adal