Bab 3

Billy memang tidak pandai menghibur gadis muda, dia juga tidak tahu kata-katanya yang tadi membuat Kiara tersinggung. Melihat Kiara enggan mengambil permen itu, dia mengerutkan kening, terdiam beberapa detik dan akhirnya meletakkan permen itu.

Setelah beberapa lama melaju, tiba-tiba mobil terhenti. Kiara sedikit terkejut melihat gerbang rumah sakit dari balik jendela mobil.

Billy juga tak menyangka mobil sudah sampai di rumah sakit. Jadi, dia hanya bertanya, "Sudah sampai di rumah sakit, kamu mau sekalian jenguk kakakmu?"

Ekspresi Kiara terlihat sedikit tegang. Sebenarnya, sejak Martha sakit hingga dirawat di rumah sakit, dirinya jarang menjenguknya. Hubungan mereka memang tidak begitu dekat.

Billy jelas tahu bagaimana hubungan Kiara dan Martha. Bagaimanapun juga, perbedaan usia mereka cukup jauh, ditambah lagi mereka adalah saudara tiri, wajar saja kalau mereka tidak dekat.

"Belakangan ini suasana hatinya nggak begitu baik. Dia mungkin akan senang kalau kamu menjenguknya.“

Ucap Billy dengan tenang, tanpa ada paksaan.

Mendengar itu, kedua tangan Kiara yang sudah sejak tadi saling menggenggam semakin erat. Dia berkata, "Kondisi kesehatan kakak ... belakangan ini nggak terlalu baik?"

Billy terdiam beberapa saat, tidak segera menjawab. Kiara reflek mencengkeram tangannya lebih erat. Dia tahu ini pertanda buruk.

Keheningan ini begitu menakutkan. Entah berapa lama waktu berlalu hingga akhirnya terdengar suara lagi.

"Kalau saja Martha punya tubuh sekuat kamu, itu pasti jauh lebih baik."

Ujar Billy dengan nada tak berdaya disertai rasa berat yang terlukis di wajahnya.

Nada itu seperti menggambarkan bahwa, jika hanya salah satu dari kedua putri Keluarga Winata punya tubuh yang sehat, dirinya berharap itu adalah Martha.

Kiara hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya menunduk dan duduk diam. Entah kenapa, perasaan bersalah muncul dan membuatnya murung lagi.

Namun, dia membela diri dalam hati. Kesehatan kakak yang buruk itu bukan salah dirinya ...

Namun, dia teringat sesuatu yang pernah dirinya dengar sewaktu kecil. Setelah dirinya kembali ke Keluarga Winata, ibu tirinya pernah meminta peramal untuk meramal kehidupan kedua anaknya. Katanya, Keluarga Winata tidak boleh punya dua putri.

Namun, dirinya masih kecil saat itu, ibunya juga sudah meninggal. Dirinya tak punya kemampuan untuk bertahan hidup dan ayahnya terpaksa membawanya pulang.

Apakah Billy pernah mendengar ini?

Seketika, hati Kiara seperti jam pasir yang bocor, terasa kosong dan nyeri. Dia mulai ragu, apakah memang dirinya yang menjadi penyebab semua ini?

Dia bahkan tidak tahu apakah dirinya harus turun dari mobil. Perasaannya dipenuhi rasa takut dan tak sanggup untuk menatap Billy.

Billy menyadari keheningannya dan menyadari kata-katanya yang tadi mungkin kurang pantas. Dia kemudian menjelaskan, "Maaf, aku nggak bermaksud seperti itu."

Nada suaranya lembut, tapi jika diperhatikan lebih seksama, terdengar kurang tulus.

Billy melanjutkan, "Ayo, kakakmu pasti juga sangat merindukanmu."

Billy turun dari mobil lebih dulu.

Namun, hati Kiara seperti diterpa badai, kacau dan tak bisa tenang.

Kiara mengikuti Billy berjalan sampai di depan pintu kamar rumah sakit, langkah Kiara langsung terhenti.

Martha yang sedang berbaring di ranjang, terkejut melihat mereka berdua, "Kiara?"

Tampaknya, Martha tak menyangka keduanya bisa datang bersamaan. Kiara juga merasa aneh datang bersama Billy, dia bahkan tidak tahu harus berkata apa.

Billy berdiri di depan Kiara, memegang mantel yang tadi dilepas, lalu berkata, "Kebetulan bertemu Kiara di perjalanan, jadi aku sekalian mengajaknya ke sini."

Tubuhnya tegap dan gagah, berdiri dengan pinggang ramping dan kaki yang jenjang. Celana panjang hitam dan kemeja hitam yang dikenakan memancarkan kesan serius, menghadirkan aura seorang pria dewasa yang penuh kharisma dan elegan.

Penampilannya memancarkan ketenangan dan kepercayaan diri, seperti seseorang yang sudah terbiasa di dunia bisnis.