Bab 10

Ayah Shully segera berdiri dari kursinya dan berkata, "Maaf sekali, Pak Billy. Anakku bilang ingin membawa seorang teman untuk makan bersama, tapi mereka sedikit terlambat di perjalanan. Semoga kamu nggak keberatan."

Dengan gaya santainya, Billy tidak menunjukkan rasa keberatan sedikitpun. Dengan tenang, dia menjawab, "Meja ini memang nggak banyak anak muda, topik pembicaraan kita juga terlalu serius dan membosankan. Pas sekali, kehadiran mereka bisa menyegarkan suasana."

Sambil menikmati perjamuan yang disiapkan Benny Chunata, ayahnya Shully, tiba-tiba Billy memandang ke arah Kiara dan berkata, "Kiara, ayo ke sini."

Kiara melangkah ke sisi meja bundar depan Billy. Dengan sopan, dia menyapa, "Kak Billy."

Benny terlihat bingung dengan apa yang terjadi, sementara Billy yang berdiri di bawah sorotan lampu tampak puas melihat Kiara yang mendekatinya.

Melihat ekspresi kebingungan Benny, Billy pun memperkenalkan, "Kiara itu adiknya Martha."

Siapa Marta? Semua orang di meja itu langsung memahami situasinya. Martha adalah calon istri Billy.

Dalam hati, Benny mulai menyusun kesimpulan. Teman anaknya ini adalah bagian dari Keluarga Winata dan berpacaran dengan Tedy.

Setelah berpikir sejenak, Benny berkata pada orang di sebelahnya, "Pak Billy, bagaimana kalau aku tambahkan tempat duduk untuk Kiara?"

Billy meletakkan gelas anggur di tangannya dan mengangguk pelan.

Benny segera memberi perintah pada pelayan untuk menambahkan kursi. Dia menempatkan kursi Kiara di sebelah Tedy.

Sekretaris sedang menuangkan anggur untuk Billy, Billy pun hendak mengambil serbet di meja. Namun, saat melihat pengaturan kursi yang dilakukan Benny, tangannya berhenti sejenak.

Benny yang tidak menyadari gerakan kecil Billy, bertanya dengan hati-hati, "Bagaimana? Sesuai?"

Billy menatapnya sekilas.

Ini membuat Benny merasa tegang. Kemudian, Billy berkata dengan datar, "Nggak perlu terlalu formal."

Setelah itu, Billy pun kembali meletakkan serbet di tangannya.

Saat Billy mulai bergerak, semua orang pun akhirnya duduk, menandakan acara makan dimulai. Tedy yang duduk di sebelah Kiara, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Dengan penuh perhatian, dia bertanya, "Kiara, kamu mau makan apa?"

Namun, Kiara tidak menjawabnya.

"Bagaimana kalau jus buah?" tanya Tedy lagi.

Kiara masih tidak menggubrisnya. Menyadari suasana yang berbeda, Tedy tidak berani terlalu terang-terangan.

Sementara itu, Kiara tetap diam.

Di tengah suasana, tiba-tiba Benny memulai pembicaraan, "Pak Billy, Tedy itu anak muda yang sangat berbakat. Prestasi akademiknya selalu membanggakan. Dia belajar di jurusan keuangan dan sebentar lagi akan lulus. Aku harap kamu bisa membimbing dan memberinya kesempatan."

Billy pun menjawab, "Kalau Pak Benny bahkan sudah memuji kemampuannya, tentu saja bibit berbakat ini harus diberi kesempatan."

Mendengar itu, Tedy langsung berdiri dari kursinya. Dengan wajah penuh hormat, dia membawa segelas anggur, berkata dengan suara rendah, "Terima kasih, Pak Billy."

Usai bicara, Tedy meneguk habis anggurnya dalam satu tegukan.

Kiara yang menyaksikan ini merasa sesak. Dia tahu Tedy tidak kuat minum alkohol.

Sepanjang jamuan, Tedy terus duduk dengan postur yang canggung.

Sementara itu, Billy tetap tenang, menikmati suasana tanpa mengangkat gelasnya. Dengan santai, dia berkata pada sekretarisnya, "Tolong aturkan posisi untuknya."

Benny sangat terkejut, tidak menyangka permintaannya langsung disetujui.

Di sisi lain, Kiara merasa tangannya yang saling menggenggam semakin kaku. Dia mencoba merenungkan alasan di balik keputusan Billy, tapi tidak menemukan jawabannya.

Belum selesai dia menebak, Tedy kembali menuangkan anggur ke gelasnya. Dengan nada penuh emosi, dia berkata, "Pak Tedy, sungguh banyak terima kasih."

"Nggak perlu berterima kasih padaku. Kamu belum lulus, masa depanmu masih panjang, manfaatkan baik-baik peluang yang ada."

"Baik, Pak Billy."

Jawab Tedy dengan penuh hormat. Setelah itu, dia melirik Kiara dengan wajah memerah dan penuh harapan.

Namun, Kiara sama sekali tidak berani menatap matanya. Dia hanya menunduk dan sesekali melirik ke arah Billy di seberang meja.

Tatapan Billy pun tertuju pada dirinya.

Di meja itu, gelak tawa dan pembicaraan terus berlangsung. Namun, Kiara tampak tidak nyaman dengan suasana seperti itu.

Hingga perjamuan makan selesai, Billy tidak sekalipun mengangkat gelasnya, tetapi juga tidak ada orang yang berani mempertanyakannya. Setelah itu, Billy dikelilingi banyak orang saat keluar dari hotel. Begitu masuk ke dalam mobilnya, dia memalingkan pandangan dan melihat Kiara yang ditarik keluar oleh Shully.

Di belakang mereka, Tedy mengejar dengan tergesa-gesa.

"Kiara, bisakah kita bicara sebentar?"

Tanya Tedy sambil mendekat dan meraih tangan Kiara.

Kiara berbalik, menatap wajah Tedy yang penuh rasa cemas.

Melihat wajah Kiara yang tampak hendak menangis, Tedy terdiam. Ekspresinya pun berubah, terlihat tidak tega. Dia bertanya, "Kiara, apa yang terjadi? Ada masalah apa? Kiara, apapun itu, bicarakan denganku. Kita bisa selesaikan bersama."

Di dalam mobil, Billy memerhatikan semuanya. Dia memandang wajah Kiara yang terlihat menahan kerinduan dan air mata. Namun, ketika Tedy hendak menyentuh wajahnya, Kiara malah memundurkan langkahnya dengan cepat, secepat kilat.

Tidak, aku tidak boleh bertemu dengan Tedy lagi, pikir Kiara. Kiara pun memalingkan wajah, matanya mencari sesuatu di sekelilingnya.

Melihat ini, Billy memberi perintah pada sekretarisnya. Tak lama kemudian, sekretaris itu keluar dari mobil dan berjalan ke arah Kiara. "Bu Kiara, Pak Billy bertanya apakah kamu butuh tumpangan?"

Kiara seperti menemukan penyelamat, segera menjawab, "Iya."

Tedy masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi Kiara melepaskan genggamannya dan tanpa menoleh, langsung masuk ke dalam mobil Billy.

Tak lama kemudian, sekretaris itu juga masuk ke mobil dan mobil pun mulai melaju.

Melalui jendela, Kiara melihat sosok Tedy yang semakin jauh. Matanya terasa panas dan dadanya penuh dengan rasa sesak.

Dari belakang, terdengar suara pria yang tenang, "Kenapa? Nggak rela?"