Bab 7

"Kalau kamu masih merasa nggak nyaman, coba anggap saja aku sebagai temanmu."

Teman? Teman bisa tidur bersama di ranjang? Kiara tak tahu bagaimana cara menghadapi semua ini.

Billy terus diam, menunggu jawaban darinya. Kiara tahu bahwa Martha tak bisa menunggu lebih lama lagi dan Alice juga tak akan membiarkannya terus mengulur waktu.

Dia seperti berdiri di ujung tebing, tanpa ada jalan untuk mundur.

Mengingat dua kali kejadian sebelumnya saja masih membuatnya takut. Dia gemetaran cukup lama, napasnya tersengal-sengal, sampai akhirnya mengucapkan satu kalimat seperti sebuah kompromi, "Baiklah, aku mengerti."

Setelah mendengar jawabannya, setelah beberapa saat, barulah Billy menjawab datar, "Iya, nanti aku antar kamu pulang."

Usai bicara, Billy tidak tinggal lebih lama di hadapannya. Mungkin karena merasa sudah selesai bicara, dia berbalik masuk ke dalam kamar.

Tangan Kiara yang bergantung di sisinya mengepal erat.

Ketika Billy masuk ke kamar, seorang perawat sedang dengan sabar merawat Martha. Mungkin karena kabar yang baru saja diterima terlalu mengejutkan, Martha tampaknya sangat lemah, bahkan tidak selera makan apapun.

Alice yang berada di kamar terlihat sangat cemas. Ketika melihat Billy masuk, dia seperti melihat penyelamat, memanggil, "Billy ... "

Billy tahu apa yang ingin dikatakan oleh Alice, tetapi dia mengabaikannya. Dia hanya duduk di samping ranjang dan menghibur Martha, "Makan sedikit saja, ya? Bagaimanapun, kamu harus tetap makan."

Selama masa pengobatan ini, asupan makanan sangatlah penting bagi Martha.

Martha menggeleng dan menjawab, "Nggak mau, aku nggak selera."

"Ada bubur, aku suapkan sedikit, ya?"

"Billy, kenapa aku jadi seperti ini?" tanya Martha menggenggam tangannya dengan tatapan penuh kesedihan.

Tangan Billy yang hendak mengambil bubur dihentikan oleh Martha. Dia tahu apa yang Martha khawatirkan. Dengan lembut, Billy menggenggam balik tangan Martha, menenangkannya dengan suara pelan, "Tenang saja, serahkan semuanya padaku, ya?"

Raut wajahnya dipenuhi kelembutan dan perhatian.

Martha mengangguk pelan.

"Makan sedikit, ya."

Perlahan, suasana hati Martha mulai membaik dan akhirnya mau bekerja sama.

Billy dengan sabar menyuapkan bubur untuknya.

Kiara berdiri di pintu, melihat betapa bergantung kakaknya pada Billy dan betapa Billy perhatian lembut pada kakaknya. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan Tedy. Ketika dirinya sakit dulu, dirinya juga seperti kakaknya, sangat bergantung pada Tedy.

Namun sayangnya, hubungan mereka sudah berakhir. Tidak akan ada lagi masa depan di antara mereka ...

Dia merasa iri pada kakaknya, sangat iri.

Menjelang pukul enam sore, Kiara pulang bersama Billy. Dalam perjalanan pulang, mereka tetap diam tanpa saling bicara.

Ketika mobil melaju di tengah perjalanan, Kiara menyadari bahwa arah mobil tidak menuju ke rumahnya, dia melirik Billy yang duduk di sampingnya, tetapi Billy tampak tidak memberikan penjelasan apapun. Billy hanya berkata, "Lapar nggak? Bagaimana kalau makan dulu?"

Hati Kiara kembali gelisah. Duduk di kursi penumpang, tangannya menggenggam erat sabuk pengaman, lalu menjawab kaku, "Terima kasih, tapi aku nggak lapar."

"Yasudah," jawab Billy singkat.

Mobil terus melaju, entah sudah berapa lama, akhirnya mobil berhenti perlahan. Kiara tidak tahu di mana mereka berada. Di sekitarnya gelap gulita, sunyi, tanpa ada satu pun tanda kehidupan.

Hari ini, Kiara mengenakan gaun, dia merasa kedinginan. Di sekitarnya hanya terdengar suara jangkrik dan firasat mulai menghantui pikirannya.

Setelah mobil berhenti, Billy hanya duduk diam di kursinya. Jantung Kiara berdegup kencang, seperti hendak meledak keluar dari dadanya.

Sejenak kemudian, tiba-tiba tubuhnya digendong oleh Billy.

Saat berada di pangkuannya, Kiara seperti seekor burung kecil yang ketakutan. Tangannya menekan lengan Billy, tubuhnya membungkuk.

Napas mereka berdua mulai terasa berat, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Wangi woody maskulin dari tubuhnya terasa begitu dekat.

Bibir Billy hanya sejengkal dari bibirnya. Dia bisa merasakan ketegangan Kiara, jadi berkata, "Aku tahu kamu takut, rileks saja."

Kiara ingin lari, sangat ingin melarikan diri. Namun, dia tak bisa menahan dirinya sendiri dalam ruang sempit ini, di atas tubuh Billy.

"Dekatkan dirimu padaku, jangan takut," ucap Billy pelan di telinga Kiara.

Kiara yang tidak berpengalaman, tidak tahu harus berbuat apa, dia hanya mengikuti perkataannya, tubuhnya perlahan rileks dan wajahnya menempel pada bahunya yang lebar.

Napasnya tidak teratur, kacau tanpa alasan.

Kemudian, Billy menahan pinggangnya, mendekatkan tubuh mereka lebih rapat.

Napas Billy juga terasa terengah-engah, berat dan kacau. Dia memanggil namanya pelan, "Kiara."

Kiara tidak tahu kenapa Billy memanggilnya. Pikirannya benar-benar berantakan.

"Angkat tubuhmu sedikit," ucapnya.

Kiara menolak.

Napas keduanya semakin tak beraturan, begitu kacau hingga mereka tak bisa membedakan mana milik siapa.

Ketika Billy tak juga mendapat respon dari Kiara, seolah kesabarannya telah habis, dia mendekatkan bibirnya dan mengecup bibir Kiara.

Perasaan yang familiar kembali menyelimuti. Dalam hati, Kiara bertanya-tanya, mengapa dua orang yang tidak begitu dekat ini bisa menjadi begitu intim?