"Kalau kamu masih merasa nggak nyaman, coba anggap saja aku sebagai temanmu."Teman? Teman bisa tidur bersama di ranjang? Kiara tak tahu bagaimana cara menghadapi semua ini.Billy terus diam, menunggu jawaban darinya. Kiara tahu bahwa Martha tak bisa menunggu lebih lama lagi dan Alice juga tak akan membiarkannya terus mengulur waktu.Dia seperti berdiri di ujung tebing, tanpa ada jalan untuk mundur.Mengingat dua kali kejadian sebelumnya saja masih membuatnya takut. Dia gemetaran cukup lama, napasnya tersengal-sengal, sampai akhirnya mengucapkan satu kalimat seperti sebuah kompromi, "Baiklah, aku mengerti."Setelah mendengar jawabannya, setelah beberapa saat, barulah Billy menjawab datar, "Iya, nanti aku antar kamu pulang."Usai bicara, Billy tidak tinggal lebih lama di hadapannya. Mungkin karena merasa sudah selesai bicara, dia berbalik masuk ke dalam kamar.Tangan Kiara yang bergantung di sisinya mengepal erat.Ketika Billy masuk ke kamar, seorang perawat sedang dengan sabar merawat
Keduanya saling berciuman cukup lama hingga akhirnya Billy melepaskan bibir Kiara.Billy bertanya, "Merasa lebih baik? Hm?"Kiara merasa canggung, dia benar-benar belum siap secara mental dan tidak tahu harus menjawab apa.Billy tidak memaksanya, hanya menunggu respon dari ekspresi wajahnya.Napasnya mereka saling bertautan, saling bersinggungan, terkadang dalam dan terkadang dangkal."Hm?"Tanya Billy lagi.Sinar bulan dari luar menembus masuk, menyinari di wajah keduanya. Di bawah cahaya bulan itu, wajah Billy tampak begitu tegas dan tampan. Hidungnya yang mancung menyentuh lembut hidung Kiara."Jangan takut, ya?"Billy seperti sedang menghiburnya.Dia terus menunggu, tangannya menopang tubuh Kiara, tetap sabar menanti. Setelah cukup lama, bibirnya yang sempat berhenti di dekat bibir Kiara kembali mendekat untuk menciumnya. Namun, Kiara segera memalingkan wajahnya untuk menghindar.Bibir Billy akhirnya mendapat di cuping telinganya.Keduanya membeku dalam posisi itu, tidak ada yang b
Keesokan paginya, Kiara turun ke lantai bawah. Alice tidak bertanya tentang detail kejadian tadi malam, apalagi tentang ke mana mereka pergi. Sebaliknya, Alice malah menyuguhkan semangkuk sup herbal untuk Kiara.Sebenarnya, Kiara sangat takut jika Alice bertanya.Perasaan tidak nyaman seperti privasinya dilanggar terus menghantuinya. Dia selalu merasa seperti orang yang telah dlucuti pakaiannya dan dipertontonkan di depan umum.Setelah selesai meminum sup itu, Kiara berkata, "Kalau begitu, aku pergi ke kampus dulu."Beberapa waktu terakhir, dia mengambil cuti hingga hari ini. Dia merasa sudah waktunya kembali ke kampus."Iya, pergilah."Tanpa banyak bicara lagi, Kiara meninggalkan rumah dan menaiki taksi menuju kampus. Di dalam taksi, tangannya memegang ponsel. Dia menunduk dan melihat layar ponsel itu.Ada sebuah nomor telepon yang tertera nama Billy Tandean.Itu adalah nomor yang disimpan oleh Billy ke dalam ponselnya tadi malam, katanya untuk mempermudah komunikasi.Jemari Kiara men
Ayah Shully segera berdiri dari kursinya dan berkata, "Maaf sekali, Pak Billy. Anakku bilang ingin membawa seorang teman untuk makan bersama, tapi mereka sedikit terlambat di perjalanan. Semoga kamu nggak keberatan."Dengan gaya santainya, Billy tidak menunjukkan rasa keberatan sedikitpun. Dengan tenang, dia menjawab, "Meja ini memang nggak banyak anak muda, topik pembicaraan kita juga terlalu serius dan membosankan. Pas sekali, kehadiran mereka bisa menyegarkan suasana." Sambil menikmati perjamuan yang disiapkan Benny Chunata, ayahnya Shully, tiba-tiba Billy memandang ke arah Kiara dan berkata, "Kiara, ayo ke sini." Kiara melangkah ke sisi meja bundar depan Billy. Dengan sopan, dia menyapa, "Kak Billy."Benny terlihat bingung dengan apa yang terjadi, sementara Billy yang berdiri di bawah sorotan lampu tampak puas melihat Kiara yang mendekatinya.Melihat ekspresi kebingungan Benny, Billy pun memperkenalkan, "Kiara itu adiknya Martha."Siapa Marta? Semua orang di meja itu langsung mem
"Kenapa kamu bantu dia?" tanya Kiara dengan suara tertahan.Ini pertanyaan yang paling ingin dia tanyakan."Apa karena hubunganku dengan dia, makanya kamu membantunya?""Apa karena kasihan? Apa karena Tedy terus bersikap hormat padamu, jadi kamu merasa seperti penyelamat murah hati yang menolongnya? Aku nggak butuh bantuanmu, itu hanya akan membuatku merasa kamu sedang merendahkannya."Billy tak menyangka bahwa gadis yang sebelumnya terlihat seperti kelinci kecil, tiba-tiba berubah menjadi kucing dengan cakar tajam. Perubahan sikapnya yang mendadak membuat Billy sedikit terkejut.Billy menatap wajah Kiara yang memerah karena emosi.Billy menundukkan pandangannya ke arah Kiara. Rasa tidak senang yang samar muncul di hatinya. Kemudian, dia meminta sopir untuk menghentikan mobil di pinggir saja.Saat mobil hanya menyisakan mereka berdua, Billy menurunkan semua sekat pembatas di dalam mobil, seketika menjadi ruang privasi untuk mereka berdua.Kiara menyadari bahwa ruang di dalam mobil menj
Kiara merasa terlalu intim, jadi dia masih ingin menghindar, tetapi Billy semakin mendekat untuk menciumnya lagi.Tangan Kiara memegang erat kerah baju Billy, berusaha menolak dan menghindar. Namun, Billy menangkap tangannya yang memegang kerah bajunya itu, lalu menggenggamnya. Detik berikutnya, melewati celah-celah jemarinya dan akhirnya menggenggam erat dari bawah.Billy melepaskan ciumannya dari bibir Kiara, lalu dengan napas yang tak teratur, berkata, "Boleh nggak?"Kiara tidak menjawab.Billy menurunkan tangan Kiara yang memegang kerah bajunya. Saat tangannya dilepas, tubuh Kiara sedikit menghindar.Billy kembali menciumnya, memaksa Kiara membuka bibirnya.Karena terlalu intim, Kiara bisa merasakan ujung lidahnya. Tangan Kiara yang panik mencoba meraih sesuatu, tetapi tangan Billy kembali menggenggam tangannya. Kali ini, bukan hanya menggenggamnya, melainkan saling mengaitkan jari-jari mereka dengan erat.Perasaan sesak yang membingungkan itu membuat Kiara panik. Dia gelisah dan t
Meskipun hanya sebagai pengelola salah satu proyek peternakan, keputusan ini merupakan pengecualian yang belum pernah terjadi sebelumnya.Sekretaris tampak ragu dan berkata, "Pak Billy, kamu yakin ... ?"Kiara tak menyangka Billy akan mengatur hal seperti ini. Seketika, dirinya bahkan merasa sulit untuk bernapas.Dengan datar, Billy menjawab sekretarisnya, "Hubungi dia saja."Jawabannya terdengar begitu santai.Sebenarnya, sekretarisnya sudah menyelidiki latar belakang Tedy sebelumnya. Jujur saja, latar belakangnya tidak terlalu istimewa. Dia berasal dari keluarga perdesaan. Meskipun prestasi akademiknya cukup baik, langsung menduduki posisi manajer di perusahaan sebesar Grup Tandean tentu terasa tidak seimbang."Pak Billy ... "Sekretaris mencoba memastikan lagi.Namun, Billy hanya menatapnya sekilas. Sekretaris itu pun akhirnya tak berani bicara lebih banyak.Kiara juga tak menyangka bahwa Tedy akan diberi posisi seperti itu. Dia berdiri di tempat, bingung harus bagaimana meresponnya
Kiara berkata, "Sudah selesai."Usai dia bicara, tiba-tiba lampu di dalam mobil menyala.Kiara masih duduk menyamping tanpa berbicara, dengan rona merah samar di wajahnya. Billy yang berada di sisi lain juga terdiam cukup lama. Dia memadamkan rokok di tangannya, lalu berkata pelan, "Aku antar kamu pulang, ya."Perjalanan ke rumah Kiara masih memakan waktu setengah jam.Perasaan Kiara sangat kacau. Dia merasa tak ingin berada sedetik pun lebih lama. Usai Billy bicara, Kiara langsung membuka pintu mobil untuk turun.Billy tak menduga Kiara akan turun begitu saja. Dia mengulurkan tangan untuk menahan Kiara dan bertanya, "Kenapa?"Kiara menjawab, "Aku pulang sendiri."Dengan suara rendah, Billy menjawab, "Hanya setengah jam saja."Kiara terdiam beberapa saat, lalu berkata, "Aku naik taksi saja."Billy mengernyitkan dahi, tapi detik berikutnya, Kiara sudah melepaskan genggamannya dan berlari ke dalam kegelapan."Kiara ... "Panggil Billy dari dalam mobil.Kiara tak memedulikannya. Dia lang
Pelayan menjawab sambil tersenyum, "Sudah pulang, lagi ganti baju di lantai atas."Mendengar itu, Billy mengangguk. Saat hendak berjalan menuju tangga, pandangannya tertuju pada sesuatu di meja dekat sofa. Langkahnya terhenti, lalu membungkuk dan mengambil kotak obat yang ada di sana.Pelayan itu teringat bahwa dia lupa memasukkan barang milik Kiara kembali ke tasnya. Dengan tergesa-gesa, dia berkata, "Pak Billy, sepertinya itu barang milik Bu Kiara, aku yang keluarkan dari tasnya."Tatapan Billy yang awalnya tenang kini berubah tegang. "Punya Kiara?""I ... iya, punya Bu Kiara."Raut wajah Billy menjadi dingin, "Dia di atas?"Pelayan merasa suasana berubah menjadi tidak nyaman, "Iya ... di kamar atas."Tanpa membuang waktu, Billy berjalan cepat menuju lantai atas.Kiara baru saja selesai mengganti pakaian di kamar. Dia sedang berdiri di depan meja rias untuk mengambil anting kecilnya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kiara langsung menoleh ke arah pintu.Dengan panik, dia berdiri dan me
Kiara menarik tangannya perlahan dari genggaman Billy, "Aku lupa tadi."Billy juga menarik kembali tangannya, "Yasudah, pergilah ke kelas.""Iya, Kak Billy," jawab Kiara dengan lembut, lalu membuka pintu mobil dengan hati-hati kali ini, memastikan tangannya yang terluka tidak terbentur lagi.Setelah memastikan Kiara masuk ke gerbang kampus, mobil Billy pun melaju pergi.Namun, Kiara masih merasakan kehangatan yang tertinggal di pergelangan tangannya, seperti ada jejak yang tak bisa dihilangkan, meski dirinya sudah berusaha mengabaikannya.Siang harinya, Kiara dan Shully memutuskan untuk membolos kelas yang tidak terlalu penting. Mereka berjalan-jalan di luar kampus. Setelah beberapa waktu, Shully bertanya, "Kiara, kamu tinggal di mana sekarang?"Kiara sedang memegang gaun yang menarik perhatiannya. Mendengar pertanyaan itu, dia menjawab cepat, "Ah, aku tinggal di rumah."Shully mengangguk, "Kupikir kamu tinggal di asrama beberapa hari ini."Kiara tersenyum lemah dan menjawab, "Nggak, a
Setelah lukanya selesai dibalut, pelayan tidak membiarkan Kiara tetap berada di dapur dan mengusirnya ke meja makan. Kiara baru duduk dan melihat Billy sudah ada di sana.Saat itu, langit di luar masih gelap, waktu baru menunjukkan pukul enam pagi.Keduanya diam, tak saling bicara.Billy meletakkan koran di tangannya, lalu bertanya, "Lukanya dalam?"Pertanyaannya terdengar seperti basa-basi saja.Kiara menggigit bibirnya dan menggeleng, "Nggak."Matanya melihat ke bawah, bulu matanya memantulkan cahaya lembut dari lampu, bergetar seperti dilapisi kilauan halus.Mendengar jawabannya, Billy hanya menggumam pelan sebagai tanggapan dan tidak bertanya lebih jauh, kembali membaca korannya.Tak lama kemudian, pelayan membawa hidangan pertama ke meja. Ruang tamu sunyi, pelayan itu segera kembali dapur setelah meletakkan makanannya.Di dapur, pelayan sempat berpikir, kenapa kedua orang ini bangun begitu pagi? Mereka terlihat seperti tidak tidur semalaman.Namun, pelayan itu tak bisa memastikan
Kiara merasa agak tidak nyaman ketika dicium oleh Billy selama beberapa detik, matanya basah, bibirnya terus bergumam, "Kak Billy, kenapa kita sudah begitu sering, tapi tetap nggak berhasil?"Kiara mulai meragukan dirinya sendiri, apakah dirinya mandul, mengingat sudah sekian lama dan begitu sering, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan.Dia terisak dan berkata lagi, "Aku tahu kamu nggak tertarik padaku, tapi hanya dengan segera hamil, kita bisa terbebas dan kamu bisa bersamanya bersama kakak tanpa bertengkar lagi. Aku nggak mau menunggu lagi, tolong Kak Billy."Kata tolong yang dia ucapkan justru seperti menambah bensin pada api yang sudah menyala."Kiara, kamu nggak tahu bahwa kata tolong nggak boleh diucapkan dalam situasi seperti ini?" Billy berhenti mencium bibirnya, menatapnya dengan tatapan tajam.Kiara terdiam sejenak, tidak langsung menjawab kata-kata itu, wajahnya terlihat agak ragu.Dia juga tidak tahu kenapa dirinya mengatakan kata-kata itu, tapi dia benar-benar tidak punya
Tiba-tiba, terdengar suara dari pintu ruang kerja, Billy pun menoleh ke arah pintu. Pintu terbuka dan sosok bayangan dengan gaun tidur putih melangkah masuk.Melihat Kiara datang, tangan Billy yang sedang memijat pelipis langsung terhenti.Kiara berdiri di depannya tanpa bergerak."Kiara?" tanya Billy sambil mengangkat alisnya."Kak Billy, kamu belum tidur? Aku sudah menunggumu sejak tadi."Tatapan Billy mulai menjadi lebih dalam dan serius, dia terus menatap gadis yang berdiri di depannya.Sebenarnya, dirinya sama sekali tidak punya niat seperti itu malam ini. Namun, dia tak menyangka Kiara akan datang dan mendorong pintu ruang kerjanya. Tatapannya yang tajam terus memandang tubuh kecilnya, sementara suaranya terdengar datar, "Aku sudah mau tidur."Tangan Kiara perlahan meremas gaun tidurnya, "Kalau begitu, aku ... ""Balik ke kamarmu saja."Ujar Billy memotongnya dengan tegas, wajahnya terlihat tanpa ekspresi.Kiara mengangkat kepalanya sedikit, menatapnya dengan bingung, tidak mema
Billy mengambil sendok dari mangkuk sup dan mencicipi sedikit.Kiara mengangkat matanya, sedikit berharap dan bertanya, "Bagaimana rasanya?"Rasa sup itu segar dan manis, dengan aroma khas dari bengkoang.Namun, Billy hanya memberikan komentar singkat, "Lumayan."Mendengar jawabannya, Kiara tidak tahu apakah itu sekedar basa-basi atau sungguhan. Dia sedikit kecewa dan hanya menjawab pelan, "Oh."Billy menyadari perubahan nada suaranya, tetapi berpura-pura tidak tahu dan bertanya, "Kenapa?"Kiara menggeleng dan menjawab, "Nggak ada." Kemudian duduk di kursinya.Pelayan yang sedang menghidangkan makanan berkata pada Kiara, "Pak Billy sangat jarang makan malam di rumah. Ini adalah pertama kalinya setelah setengah tahun ini."Kiara terkejut dan menatap pria di depannya dengan heran.Billy meletakkan sendoknya dan menjelaskan, "Aku sibuk dengan pekerjaan dan jamuan biasanya. Tapi karena ini hari pertama kamu tinggal di sini, aku rasa sebaiknya menemanimu makan malam."Kiara merasa sedikit t
Sebenarnya, Billy tidak ingin membuat Kiara merasa canggung. Jadi, dia hanya menjawab, "Yasudah, anggap saja ini rumahmu sendiri. Aku akan usahakan pulang lebih awal malam ini."Kiara mengangguk lagi, tetapi di tengah anggukannya, kepalanya tiba-tiba berhenti.Entah mengapa, kalimat itu membuatnya sedikit berpikir berlebihan. Tangannya yang memegang alat makan tanpa sadar membeku.Malam harinya, setelah Kiara pulang, Billy belum juga kembali. Salah satu pelayan keluar untuk menyambutnya, "Bu Kiara."Kiara berhenti di depan pelayan itu dan bertanya, "Kamu sedang sibuk di dapur?"Pelayan itu sedikit terkejut mendengar pertanyaannya, tetapi segera menjawab, "Aku belum siapkan makan malam, kamu mau menunggu sebentar?"Mendengar itu, Kiara segera meluruskan, "Oh, bukan itu maksudku. Aku hanya mau membantu di dapur, kebetulan aku juga nggak ada urusan."Pelayan itu menyadari bahwa Kiara tampaknya masih merasa canggung berada di rumah ini. Setelah berpikir sejenak, dia mengangguk, "Baiklah, k
Setelah mendengar langkah kaki dari lantai bawah, Kiara yang bersembunyi di balik pintu langsung terdiam.Pak Billy? Kak Billy sudah pulang?Tangannya yang memegang pintu semakin erat, tapi entah kenapa, rasa takut di hatinya perlahan mereda. Dia keluar dari kamar gelap yang asing itu.Saat itu, Billy baru saja memasuki aula utama. Seorang pembantu sedang berbicara dengannya. Setelah beberapa saat, pandangan Billy langsung tertuju pada Kiara yang muncul dari kamar di lantai atas.Billy menghentikan langkahnya.Kiara juga berdiri di lantai atas, menatapnya dari kejauhan.Billy berjalan mendekatinya. Ketika sampai di depannya, dia berhenti dan berkata, "Kalau ada yang dibutuhkan, katakan saja."Kalimat itu menunjukkan bahwa Billy ingin Kiara merasa nyaman di rumah ini. Namun, Kiara malah merasa canggung dan tidak tenang.Billy melanjutkan lagi, "Kalau ada syarat yang mau kamu ajukan, katakan saja. Aku akan memberikan apapun semampuku."Setelah berpikir sejenak, Kiara menjawab, "Kak Billy
Di sini, Kiara merasa seperti orang luar yang tidak punya hak untuk terlibat dalam percakapan mereka. Dia bisa merasakan hubungan rumit antara Billy dan Martha. Akhirnya, dia mengangguk pelan dan berbalik keluar dari ruangan.Begitu dia pergi, kamar itu kembali sunyi dan dingin seperti sebelumnya.Kemudian, Billy memandang Alice dan Benedict dengan dingin dan berkata, "Aku perlu bicara berdua dengan Martha."Benedict dan Alice juga tidak berani ikut campur dengan urusan mereka. Keduanya mengangguk pelan dan meninggalkan ruangan.Setelah mereka pergi, Billy menatap Martha yang terus menangis. Wajahnya sangat muram dan dengan nada dingin dia berkata, "Karena ini yang kamu mau, aku akan melakukannya dengan baik."...Sementara itu, Kiara kembali ke ruangannya. Dia duduk di ranjang tanpa bergerak, merasa seperti jatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi ini.Namun, belum setengah jam berlalu, seseorang masuk ke kamarnya. Itu adal