POV Husniah"Husniah, bulan depan kamu harus pindah ke kantor pusat. Salah satu karyawannya ada yang resign dan saya rasa kamu cocok mengantikannya. Kinerja kamu bagus dan kantor pusat butuh cepat penggantinya."Siang itu, Pak Dion bagian Human Resource Development memintaku datang ke ruangannya dan mengatakan hal tersebut. Aku tahu, kantor pusat ada di kota yang sama dengan kota di mana Mas Hanan berada. Sejujurnya aku khawatir bertemu dengannya, membayangkan tidak sengaja bertemu dengan pria itu saat dia berduaan dengan Mbak Lita. Mereka sudah menikah dan bahagia, itu yang ada dalam pikiranku. Waktu enam bulan sudah cukup lama untuk mereka segara mengesahkan hubungannya. Untuk sesaat aku memang mengharapkan hubungan kami akan membaik, namun saat Mbak Lita menyuruhku pergi, harapanku terasa sirna. Aku berusaha merelakan, toh sejak awal memang sudah kujanjikan kepergianku pada Mas Hanan. Kupikir, aku punya waktu satu bulan untuk memantapkan diri, nyatanya baru satu minggu sejak Pak
Suasana romantis sangat terasa di restoran ini. Mas Hanan mengajakku makan malam di luar saat pulang dari kantor. Tadi pagi Ibu sudah pulang, dan hari ini pria itu mengajakku keluar rumah. "Mas Hanan nyium Mbak Lita di tempat ini?" Pertanyaan konyol muncul dari mulutku yang sudah selesai mengunyah. "Maafkan aku, Nia. Aku memang lelaki yang bodoh dan tidak pandai bersyukur saat itu. Tapi aku sedang berusaha memperbaiki semuanya," sahut Mas Hanan tanpa berusaha menyangkal perkataanku. "Aku sangat berharap kamu bisa memberiku kesempatan. Seperti yang pernah aku katakan, aku memang sudah jauh berhubungan dengan wanita itu, tapi aku tidak pernah melakukan hal yang lebih jauh lagi. Haruskah kukatakan apa saja yang sudah aku lakukan dengannya agar kamu ....""Tidak perlu!" Potongku cepat.Enak saja mau cerita tentang segala hal yang dia lakukan dengan wanita itu."Aku tidak suka bunga yang sudah dipetik, gampang layu dan mati," ucapku mengalihkan pembicaraan. Tanganku mengusap buket mawa
POV Hanan Husniah terlihat kelelahan hari ini. Emang gak kira-kira bos tiba-tiba meminta untuk membuat laporan keuangan terbaru. Entah untuk apa. Suka-suka mereka memberi pekerjaan pada bawahan. Matanya terpejam hampir sepanjang jalan, bahkan saat di dalam lift dia seperti sudah tertidur. Jalannya terhuyung seperti orang mabuk, apa se-ngantuk itu dirinya. Saat sampai rumah pun, dia enggan turun dari mobil. Memilih merebahkan tubuhnya di jok mobil. Sedikit menyebalkan tapi lebih banyak mengemaskan. Kalau dulu mungkin akan aku tinggalin, tapi kalau sekarang malah menjadi kesempatan bagiku untuk bisa mendekap tubuhnya. "Tiduri dia!" Ide mesum Abbas terlintas begitu saja di otakku saat dengan mudahnya aku bisa membuka kain penutup kepalanya. Namun saat tanganku hendak membuka kancing atasannya, dengan cekatan tangan itu mencegahnya. Ah, dia memang tidak rela aku melakukan itu padanya. ***Aku sudah selesai melakukan salat subuh, setidaknya aku harus mengemis kasih pada Sang Pencip
"Mas, kamu udah dengar selentingan di kantor?" Husniah bertanya saat kami berada di mobil, pulang kerja. Akhirnya ... Dia buka suara juga setelah mengabaikanku sejak kemarin. "Yang mana?" Aku bertanya, pura-pura tidak mengerti. "Pasangan suami-istri yang merahasiakan pernikahan.""Sudah, abaikan saja." Aku memang belum mengatakan sudah mengajukan surat pengunduran diri padanya."Tapi, Mas ...." "Gak usah terlalu dipikirkan, kamu fokus saja bekerja. Itu kan impianmu sejak dulu, bekerja di kantor setelah lulus kuliah." Kupotong perkataannya.Husniah diam tidak menyangkal lagi, mobil berhati di lampu merah. Seorang gadis kecil tampak menawarkan bunga mawar yang dijual per batang pada setiap mobil yang berhenti. Tumben ada yang jualan bunga, hari apa ini? Valentine? Kuturunkan kaca jendela saat gadis kecil itu mengetuknya. Wajah polos itu terlihat kelelahan. "Bunga Om," ucapnya menawarkan. Kuulurkan satu lembar uang kertas berwarna merah padanya. "Semuanya, Om?""Iya.""Tapi bung
Sudah dua bulan lamanya aku jadi pengangguran di rumah. Mencari pekerjaan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi lowongan yang didapat hanya bermodalkan iklan di internet bukan atas rekomendasi orang. Banyak yang benar, tapi ada juga yang hanya tipuan. Saat datang bukannya diinterview kerja tapi diprospek oleh team jaringan penjualan berjenjang. Kadang kala benar-benar penipuan, biasanya targetnya orang-orang yang baru terjun mencari kerja. Selama menunggu panggilan dari lamaran yang mungkin saja nyangkut di sebuah perusahaan, kusibukkan diri mengurusi tanaman. Sejak dulu aku memang suka berkebun, makanya di atas rumah sengaja kubuat tempat yang cukup lega. Bahkan di bagian teras, di samping carport juga ada taman tempat menyimpan tanaman. Hanya saja sudah lama tak kugunakan dan urus. Bunga-bunga mawar itu mulai aku perbanyak, bahkan ada yang sengaja kustek dengan jenis mawar yang lain. Tumbuhan yang berbunga banyak sengaja aku pindahkan ke taman yang ada di depan
Mataku enggan terpejam, tak sabar menunggu hari segera berganti. Harusnya aku minta alamat rumah Wisnu pada Husniah, harusnya aku minta juga nomer telepon pria itu pada Hunsiah. Ah, bodoh kau Hanan. Aku mengutuk diriku sendiri. "Ada apa sih, Han? Kenapa dengan Husniah, kemana dia pergi. Kamu bilang ke rumah saudaranya. Apa hubungan dengan Pak Wisnu, kenapa kamu malah ingin ke sana," cecar Abbas tadi siang. Pria itu penasaran saat aku kebingungan tak bisa menghubungi istriku. "Nanti aku ceritakan kalau aku sudah memastikan." Aku salah percaya begitu saja pada Husniah, harusnya aku lebih protektif menjaganya. Terlepas dulu aku tak peduli padanya, dia masih istriku. Aku masih bisa memintanya kembali ke sini bukan malah membiarkan dia berkeliaran di luar sana. Sekarang kalau sudah begini aku harus bagaimana. Aku hanya bisa berharap dia baik-baik saja. Sampai tengah malam begini, nomornya masih tak bisa dihubungi. Pesanku pun tidak ada yang masuk ke ponselnya. ***Segera kuparkir mob
Selepas Ashar aku baru sampai, mendarat dengan selamat di depan rumah dengan halaman yang cukup luas itu. Rumah kampung yang khas tanpa pagar seperti halnya rumah-rumah di kota. Kuparkir mobil di bawah pohon mangga yang menjulang cukup tinggi. Aku membayangkan akan menemukan istriku itu sendiri dan kesepian seperti dulu saat kutinggalkan di kampus. Nyatanya rumahnya terlihat ramai dengan anak-anaknya yang memakai pakaian tertutup semua. Anak-anak perempuan dengan kerudung dan anak laki-laki dengan peci di kepalanya. Aku seperti melihat sebuah TPA, bukan rumah yang sepi tanpa penghuni. Rumah kedua orang tuanya tidak dijual meskipun tidak ada yang menempati sejak Husniah tinggal bersamaku. Mungkin saja sengaja tidak dijual dan digunakan anak-anak untuk mengaji. Aku memutuskan untuk tidak turun dari mobil, lagi pula mereka terlihat tidak terganggu sama sekali dengan kedatanganku. Baik Husniah maupun anak-anak itu, mereka terlihat tetap fokus mengantre di depan beberapa orang dewasa, s
"Mas, sekarang kita pengangguran." Ucapanku sukses membuat tangannya yang bergerilya dengan jahil mencoba mengenal anatomi tubuhku berhenti. Aku ingin tertawa tapi takut dosa. Apa dia takut tidak biasa membiayai anak-anaknya seperti kata Mbak Lita waktu itu. Padahal aku hanya ingin mengalihkan fokusnya."Aku minta maaf tiba-tiba berhenti dari tempat itu, tidak menghargai pengorbananmu." "Kamu bilang akan bercerita lain kali, ya sudahlah lupakan saja. Besok baru bercerita, atau saat kita kembali ke kota. Sekarang aku ingin tidur denganmu."Tidur katanya, sejak kapan orang tidur aktif seperti ini. "Aku senang tinggal di sini, banyak anak-anak. Bersama mereka hidup terasa menyenangkan tanpa beban." "Kita bisa punya anak sendiri di kota, mau berapa? Satu, tiga, lima, sembilan. Aku sanggup berapapun kamu minta," ucapnya tanpa beban. Mentang-mentang kuijinkan dia menyentuhku lantas mulutnya bicara tanpa rem juga.Tangannya mulai usil lagi, bukankah harusnya tidak begini. Ah, dia bilang