Beberapa kali Neta melakukan panggilan pada Viktor. Namun, tidak mendapati jawaban dari pria itu. Pada akhirnya Neta memutuskan mengirim notifikasi pesan.Menjelang jam istirahat makan siang Neta pergi ke toilet terlebih dahulu untuk memastikan wajahnya kembali fresh sebelum pergi dari ruang kerjanya.Ketika kembali dari toilet Neta mendapati sebuah box bento yang sama dengan waktu itu berada di atas meja bersama remote motornya."Selamat menikmati cantik. Maaf tidak sempat angkat telepon, Kamu."Neta menghampiri Hana menanyakan siapa yang menaruh box bento di sana, meski dirinya sudah menebak Viktor pelakunya. Gadis itu seakan ingin mencari kepastian dari jawaban Hana yang berada di lokasi ketika box bento itu dihantarkan ke mejanya."Mbak Han!"seru Neta, agak berbisik.Seolah paham arah pertanyaan Neta kemana. Hana langsung menjawabnya."Tadi pria itu bilangnya balikin remote motor, Kamu yang semalam pecah ban."Neta memang baru bercerita pada Latifa, belum menceritakan tentang Vikt
Sore hari Latifa mengikuti perintah Fadil atasannya untuk menunggunya kembali terlebih dahulu dari kantor.Beruntung pria tampan itu datang selang sebentar saja dari jam pulang kantor."Kamu, di mana?"tanya Fadil pada panggilan teleponnya untuk Latifa.Latifa saat ini masih berada di ruangannya, merapikan berkas yang akan di tinggalkannya.Beruntung meski ditinggal Fadil keluar kota pekerjaan yang ia handle selesai sesuai jadual sehingga sore ini dirinya tidak perlu kerja lembur sampai larut malam lagi.Dengan langkah tergesa Fadil mencari keberadaan Latifa. Paper bag kecil berwarna coklat tidak lupa ia bawa sebagai hadiah untuk wanita yang ia suka itu.Tok ... tok ... tok ....Pintu terbuka dari dalam ruangan sebab bersamaan dengan Latifa yang akan keluar dari ruangan itu.Ceklek ..."Selamat, Mas. Keren memang tender lagi.""Terima kasih, Ifa. Pulang saya antar, ya,"ucap Fadil, meminta izin.Hadiah yang tadi ia akan berikan pada Latifa urung ia berikan sore ini. Pria itu menyimpanny
"Tapi aku cuma di rumah saja lho, Mas paling keluar kamarnya," ungkap Latifa. "Iya, Sayang aku tahu. Pakai blazer paling tidak, ya sama jilbab instan. Antisipasi ada tamu dadakan berkunjung ke rumah ortu, kamu juga." Harsa dengan sabar mengingatkan Latifa. Pria itu merasa memiliki hak akan Latifa yang masih sah menjadi istrinya itu."Iya! Nanti pakai blazer dan jilbab instan pas keluar kamar," ungkap Latifa.Wanita itu menjawab dengan nad ketusnya. Meski demikian Latifa bahagia sebab Harsa masih perduli padanya.'Ulang tahun nanti mau kado, apa?"tanya Harsa pada Latifa."Bertanya? Memang punya uang?"Latifa menjawab dengan nada setengah mengejek. Ia tahu keadaan keuangan suaminya masih belum pulih sehingga dirinya tak pernah membahas perihal yang terbilang sensitif itu."Siapa tahu rejeki istri Sholehah ku bagus?" Harsa terkekeh. Ia tahu pertanyaan Latifa tadi bukan bermaksud mengejek keadaanya meski sangat jelas terdengar seperti sindiran untuknya."Aku nggak ada permintaan, Mas sa
Fadil mengirimkan notifikasi pesan pada Latifa selang beberapa menit Latifa membuka bingkisan darinya."Gimana, Kamu suka?"tanya Fadil pada notifikasi pesan untuk Latifa.Latifa yang sedang mencoba jam tangan pemberian Fadil itu langsung melepaskannya. Kemudian wanita itu merapikan bingkisan itu kembali.Latifa keluar dari ruang pribadi menuju ruangan Fadil berada.Ceklek ....Pintu ruangan Fadil Latifa buka setelah terlebih dahulu ia ketuk. "Kamu suka?"sambut Fadil.Pria itu tersenyum bahagia mendapati wanita yang dicintai sampai datang ke ruangannya untuk menyampaikan jawaban."Kemarin aku bersama Dimas saat perjalanan bisnis mampir ke toko kerajinan tangan terbesar di kota itu. Banyak banget pernak pernik unik dan estetik, aku sampai bingung mau pilihkan apa untuk, Kamu, hehe."Fadil tertawa garing. Memperhatikan Latifa dengan ekspresi wajah yang sulit ia artikan."Pak terima kasih."Latifa meletakan kembali bingkisan itu di meja kerjaFadil."Tapi maaf, saya tidak bisa menerimanya
Viktor mengangguk berkali-kali mengiyakan pertanyaan Neta."Ini menu yang biasa aku pesan."Viktor mengambil salah satu menu dengan sumpit di tangannya menyuapkan pada Neta."Hemm, enak banget, Kak,"beo Neta. Gadis itu sampai membolakan mata saking antusias dengan rasa yang dinikmatinya."Sekarang, coba yang ini,"tutur Viktor.Tanganya kembali menyuapkan makanan dengan menu yang berbeda pada Neta. Lucunya gadis itu sama sekali tidak menolak. Ia kembali membuka mulut ketika sumpit berisikan makanan Viktor mengarah padanya."Makanan di sini mengapa bisa semua enak, sih!"seru Neta. Tanpa sengaja gadis itu telah mengakui jika masakan restaurant keluarga Viktor memang tidak bisa disepelekan soal kualitas rasa.Viktor mengulum senyum,'kemarin terang-terangan bilang tidak enak,' celotehnya dalam hati."Mau aku suapi atau makan sendiri?"tanya Viktor. Pria itu melihat Neta masih belum menggunakan alat makannya untuk menyantap makanan yang tersaji."Aku makan sendiri aja, Kak. Biar Kakak bisa m
Seminggu kemudian"Selamat pagi,"sapa Fadil pada notifikasi pesan untuk Latifa."Jangan lupa hari ini kita ada rapat pagi dengan tender baru, ya,"sambung Fadil, pada notifikasi pesannya.Latifa yang baru bangun dari tidur mengumpulkan kesadaran kembali usai membaca sekilas pesan dari Fadil.'Harusnya gue yang bilang seperti itu ke dia.' Latifa bermonolog seorang diri. Kemudian membalas notifikasi pesan untuk Fadil.Seminggu terakhir usai Fadil mengungkapkan apa yang pria itu tahu tentang kehidupan pribadi Latifa pria itu memang semakin gencar memberikan perhatian pada wanita yang di cintainya itu."Harusnya saya yang mengingatkan anda, Pak,"balas Latifa.Fadil mengirim emoticon tertawa kemudian meminta Latifa bergegas berangkat ke kantor."Baik," balas Latifa, lagi.Wanita itu bergegas ke kamar mandi dan berkemas. Ketika sudah siap emak Rodiah seperti biasa telah selesai menyiapkan sarapan di meja makan."Mak, Ifa ijin tidak ikut sarapan di rumah,ya. Ada rapat dengan tender baru soaln
Latifa mendapati notifikasi masuk dari mobile banking yang ia miliki. Harsa suaminya untuk pertama kali setelah tiga bulan lamanya ia yang menghandle sendiri kebutuhannya juga kedua anaknya."Kamu sudah dapat pekerjaan di sana, Mas?" tanya Latifa, pada panggilan suara nya.Di sela kesibukan menjadi sekretaris Fadil, Latifa menyempatkan diri untuk mengkonfirmasi kebenaran nominal uang yang masuk ke rekeningnya adalah benar adanya dari sang suami."Iya, Yank. Dua Minggu terakhir ini aku terus bekerja. Maaf baru bisa transfer, ya,"jawab Harsa."Tidak perlu minta maaf terus, Mas! Kamu inget kami. Inget tanggung jawab Kamu pada kami saja sudah sangat bersyukur rasanya, aku."Tidak dipungkiri Latifa memang bersyukur sebab Harsa sebagai suaminya masih ingat padanya dan kedua anaknya mengingat belakangan ini dirinya cukup sudah diajak berbicara karena kesal juga waktu yang Latifa miliki sangat terbatas."Aku bukan laki-laki pengecut. Yang lari dari tanggung jawab. Kalian tanggung jawabku samp
Jam break pertama terdengar suara ketukan di pintu ruang kerja Latifa.Viktor masuk dengan segelas minuman ditangannya."Seperti biasa, kan?" tanya Latifa.Viktor menggeleng."Fadil memintaku menggantinya dengan coklat hangat."Pria itu kemudian meletakan minuman di tangannya di meja kerja Latifa."Fadil benar. Kopi tidak baik untuk kesehatan kamu, Ifa. Mulai hari ini ada baiknya kamu mulai menggantinya dengan yang lebih baik seperti coklat ini atau teh melati. Minuman itu juga sama bisa kembali bantu naikan mood kita."Latifa terlihat tidak mengeluarkan sepatah katapun. Pandangan mata wanita itu fokus pada minuman yang baru Viktor bawakan untuknya.Viktor sendiri setelah mengatakan itu, memilih pergi meninggalkan ruangan kerja Latifa kembali.Konsumsi kopi sudah menjadi kebiasaan Latifa setiap hari di kantor. Jika sedang tidak sempat keluar di jam istirahat yang hanya sebentar, Latifa sering meminta tolong Viktor untuk mengantarkannya kopi ke ruangan."Padahal sekarang gue lagi butuh
Keesokan paginya saat Latifa bangun dari tidurnya sudah mendapati berbagai menu masakan di atas meja makan. Latifa yang penasaran itu tentu tidak tinggal diam. Ia melangkahkan kaki menuju di mana dapur rumah itu berada.Mendengar derap langkah Adhira membalikan badan. Menyudahi aktifitas tanganya yang tengah mencuci piring. " Mbak sudah bangun? Emm, maaf tadi aku bangun langsung masak bahan yang ada untuk sarapan.""Saya kira kamu sudah pergi," ucap Latifa, ketus. "Sebentar lagi saya pergi mbak. Terima kasih sudah mengizinkan saya istirahat sebentar di rumah ini. Jika saya sudah lebih mapan nanti. Saya pasti akan balas jasa baik kalian," ungkap Adhira pada Latifa.Latifa tidak bergeming. Meski kesal wanita itu memilih duduk di bangku meja makan. Tatapan matanya lurus ke depan, bahkan enggan menanggapi ungkapan Adhira.Adhira yang melihat respon Latifa paham jika wanita itu masih kesal padanya. Tidak ingin memperkeruh suasana Adhira akhirnya memilih berpamitan untuk pergi ," salam un
"Aku tidak mungkin membawa kamu ikut serta denganku Adhira!"Harsa mengacak rambutnya kasar. Pria itu di ujung kebingungan sekarang, antara meninggalkan saja Adhira tengah malam di sana atau turut serta membawanya pulang.Jika saja tadi Harsa membawa uang lebih sedikit banyak, pasti sudah ia lebih memilih membaginya secara percuma pada Adhira. Supaya wanita itu bisa mencari tempat tinggal sementara.Harsa menggeledah kantong celana juga sweater yang pria itu kenakan. "Ketinggalan lagi!" umpat Harsa."Cari apa Mas?"Adhira memberanikan diri bertanya pada Harsa yang terlihat meraba seluruh saku yang ada pada baju dan celananya."Ponselku tertinggal. Aku harus ijin istriku dulu jika membawamu ke rumah."Harsa mengulang kegiatan meraba saku yang ada pada pakaian yang ia kenakan. Berharap mendapatkan ponsel miliknya yang jelas lupa ia bawa."Ini pakai punyaku, Mas. Kamu hafal nomor istri Kamu bukan?""Aku jelas hafal ...""Tapi ...."Harsa terlihat menimbang-nimbang keputusan yang akan d
"Ahh, Mas lebih cepat gerakinnya," rengek Latifa. Wanita itu berhasil Harsa enakan siang itu. "Jangan kenceng-kenceng suara kamu, Yanx!" Harsa meletakan telapak tangannya pada mulut Latifa. Kebiasaan pria itu membiarkan telapak tanganya digigit sang istri melampiaskan kepuasannya. Tidak butuh waktu lama, kegiatan panas membara siang itu berakhir sudah. Dengan keduanya berhasil mencapai puncak kenikmatan bersama. "Adam dari tadi sudah panggil dan ketuk pintu terus, Mas," ucap Latifa, dengan suara terdengar kelelahan. "Aku cek Adam dulu, ya! Kamu lekas mandi gantian sama aku." Tanpa menunggu jawaban Latifa kembali, Harsa membuka kunci pintu kamar mereka dan keluar dari sana. Harsa mencari keberadaan Adam yang ternyata sudah tersedu menangis di salah satu sudut ruang tamu," hei anak ayah kok nangis?" Jelas penyebab Adam menangis adalah ulah pergulatan panas sang ayah bersama bundanya yang tidak kunjung membuka kunci pintu kamar mereka. "Tadi ayah sedang bunda kerok jadi g
Latifa mengedarkan pandangan ke sekeliling tempatnya berdiri. Namun, nihil wanita itu tidak menemukan putri kecilnya yang belum terlalu lancar berjalan.Bulir bening akhirnya terjun tanpa permisi membasahi pipi Latifa. Demi apapun wanita itu saat ini terlihat sangat kacau.Ingin berteriak meminta tolong juga terasa percuma sebab masjid sudah terlihat sepi sekarang. Kembali ke mobil, hanya satu pikiran itu yang ada pada benak Latifa.Dengan langkah setengah gontai Latifa berjalan setengah berlari menuju mobil terparkir. Wanita itu berharap suaminya sudah bersama Deja sekarang.Jarak mobil terparkir dengan toilet masjid tidak begitu jauh. Namun, terasa cukup melelahkan Latifa berlari ke sana.Tidak ada siapapun di dalam mobil. Itu yang sekilas Latifa lihat dari radius sekitar sepuluh meter jauhnya.Guna memastikan Latifa gegas memakai sandal jepit miliknya berjalan lebih cepat guna mengikis jarak dengan mobil yang terparkir itu."Tidak ada siapapun di dalam," racau Latifa.Kemudian La
Harsa terpaksa menyetujui persyaratan Latifa yang mengutarakan," aku jika tidak betah boleh pulang kembali ke rumah orang tuaku ya Mas."Penuturan Latifa terus terngiang dalam kepala Harsa. Belum berangkat saja Latifa sudah memberinya ultimatum berkali-kali yang menyatakan dirinya tidak akan betah di Bali.Padahal situasi dan kondisi di sana jelas sudah berubah. Mereka nanti kembali tinggal sekeluarga seperti saat di kota rantau. Bedanya hanya Harsa tidak mengeluarkan uang sewa rumah setiap bulan, sebab mereka menempati rumah tua almarhum kedua orang tuanya.Masalah pekerjaan untuk menafkahi keluarganya Harsa percaya rejeki akan ada saja, selama dirinya tetap bergerak. Malam terakhir Latifa berada di rumah orang tuanya berlalu begitu cepat.Pagi pun tiba, di mana wanita itu dan kedua anaknya harus bersiap untuk ikut Harsa kembali pulang ke Bali.Meski terasa berat meninggalkan tanah kelahirannya yang setahun terakhir membuatnya nyaman dengan nuansa kekeluargaan yang kuat. Latifa ti
"Mas bisa tolong antar saya? Saya akan melakukan wawancara kerja di kota," ucap Adhira pada panggilan telepon dengan Harsa." Hari ini?" Harsa menimpali pertanyaan Adhira. "Iya, Mas. Tapi Adhira bersiap dulu, satu jam lagi jemput ya!"Usai mengucapakan itu Adhira menyudahi panggilan telepon mereka. Adhira memang terbilang paling sering menggunakan jasa Harsa semenjak terakhir kali pria itu menawarkan bantuan langsung padanya.Meski Adhira akui awalnya canggung, sikap ramah Harsa pada setiap orang nyatanya mampu membuat Adhira menjadi nyaman karenanya.Satu jam kemudian Harsa sudah sampai di lokasi tempat Adhira memintanya di jemput. Adhira memang tidak meminta Harsa menjemputnya di kediamannya, mengingat sang ibu mertua pasti langsung menginterogasinya.Adhira masuk ke dalam mobil yang Harsa kemudikan dan duduk di samping kursi kemudi. Selalu di sana, Adhira tidak pernah mau duduk di belakang kalayak seorang penumpang.Harsa mendapatkan satu unit mobil ini dari menjual salah satu lah
Latifa hampir kehilangan keseimbangan ulah Fadil. "Kamu melamun?""Euh ... tidak Pak, maaf." Latifa kemudian menerima potongan cake pertama itu dari Fadil."Terima kasih!"Fadil mengangguk, lalu kembali mengajak tim nya untuk ikut menikmati cake birthday miliknya."Ok, silahkan mulai meeting kali ini dengan kudapan yang manis terlebih dahulu," ucap Fadil, saat mempersilahkan tim nya memakan cake birthday ultahnya. Namun, sebelumnya ketua tim mendekat pada Fadil untuk memberikan hadiah untuk Fadil."Ini tidak mahal, tapi tolong terima ini sebagai bentuk perhatian juga ketulusan kami, Pak!" seru ketua tim mewakili yang lain, pada Fadil.Fadil menerima bingkisan itu, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Kemudian memberikannya pada Latifa untuk diurus."Nanti, saya bawa ke kamar Anda. Ini sudah cukup larut lebih baik sekarang kita mulai saja meeting nya."Latifa mengusulkan, yang langsung disetujui semua tim yang ada di sana. Viktor yang bukan bagian tim di minta Fadil untuk tetap st
Latifa usai melakukan panggilan telepon dengan Harsa bergegas menuju ruang meeting. Wanita itu berjalan setengah berlari, khawatir yang lain sudah berkumpul semua di sana, hanya tinggal menunggu dirinya.Ketika sudah sampai di depan ruangan, Latifa menekan handle pintu kemudian sedikit mendorong pintu untuk membukanya.Mata Latifa edarkan ke ruangan. Namun, tidak mendapati sosok Fadil di sana. Dengan segera Latifa menutup kembali pintu tanpa bersuara, kemudian mencari keberadaan Fadil. "Di mana dia?"Tujuan pertama Latifa langsung ke lantai dua.Latifa menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua yang terdapat kamar Fadil di sana. Ketika sudah sampai di tempat yang dituju, Latifa tidak mendapati sang CEO di sana. Sudah berulang kali Latifa mengetuk pintu kamar, si empunya kamar tak kunjung keluar. Latifa memberanikan diri masuk, khawatir Fadil ketiduran. Namun, memang Fadil tidak ada di dalam sana."Di kamar mandi juga tidak ada," cicit Latifa. Wanita itu melihat pintu toilet d
"Ada apa ini?"Harsa bertanya kepada orang-orang yang ramai mengerumuni Dewi sang adik."Siapa perempuan tadi, Harsa ?" tanya salah satu wanita paruh baya yang berada di antara kerumunan itu cukup kasar.Ya kerumunan itu memang di dominasi wanita paruh baya yang memang bergosip menjadi hobi keseharian mereka. "Iya Bli! Siapa perempuan tadi?" Wanita paruh baya lainya, ikut saling bersahutan mencecar Harsa dengan pertanyaan, usai salah satu di antara mereka melontarkan pertanyaan pada Harsa."Itu teman Mas Harsa Buk, mohon maaf kami mau istirahat dahulu, ya!" Dewi menarik sang kakak dari kerumunan wanita paruh baya untuk masuk ke dalam rumah.Tidak lupa dengan sigap Dewi menutup rapat pintu rumah, kemudian menguncinya dari dalam.Suara sorakan, sebagai bentuk protes pun terdengar riuh di luar pintu. Mereka tidak terima dengan sikap Dewi yang tidak mau memberitakan hal yang ingin mereka ketahui.Lagi pula Dewi tidak memiliki keharusan menceritakan apapun kepada ibu-ibu rumpi berkedok