Jam break pertama terdengar suara ketukan di pintu ruang kerja Latifa.Viktor masuk dengan segelas minuman ditangannya."Seperti biasa, kan?" tanya Latifa.Viktor menggeleng."Fadil memintaku menggantinya dengan coklat hangat."Pria itu kemudian meletakan minuman di tangannya di meja kerja Latifa."Fadil benar. Kopi tidak baik untuk kesehatan kamu, Ifa. Mulai hari ini ada baiknya kamu mulai menggantinya dengan yang lebih baik seperti coklat ini atau teh melati. Minuman itu juga sama bisa kembali bantu naikan mood kita."Latifa terlihat tidak mengeluarkan sepatah katapun. Pandangan mata wanita itu fokus pada minuman yang baru Viktor bawakan untuknya.Viktor sendiri setelah mengatakan itu, memilih pergi meninggalkan ruangan kerja Latifa kembali.Konsumsi kopi sudah menjadi kebiasaan Latifa setiap hari di kantor. Jika sedang tidak sempat keluar di jam istirahat yang hanya sebentar, Latifa sering meminta tolong Viktor untuk mengantarkannya kopi ke ruangan."Padahal sekarang gue lagi butuh
'Gimana bisa dia suka sama gue? Kalo alasannya CLTK (cinta lama tumbuh kembali) harusnya dia bisa melawan perasaan terlarangnya itu. Dia tahu gue sudah bersuami, bahkan memiliki dua orang anak,' cicit latifa .Wanita itu terlihat frustasi dengan monolognya sendiri, usai mendapati ungkapan perasaan Fadil, teman sekelasnya dahulu yang ternyata telah menyimpan perasaan kepadanya saat sedari menjadi teman sekelas."Latifa!" seru sebuah suara, yang terlihat menyusul duduk di hadapannya."Manggilnya santai aja, kali,"celetuk Latifa. Ia terperanjat ulah Hana salah satu sahabatnya yang duduk di hadapnnya."Dari tadi gue sudah manggil, Lo. Lagi mikirin apa sih keliatan serius banget!"Hana terlihat mulai menyantap makan siang dari trai makan siangnya. "Neta mana?""Yee bukannya jawab dulu. Malah nanyain Neta,"kilah Hana."Biar nggak cerita dua kali, Mba Han."Setelah mengutarakan itu Hana dan Latifa memecah pandangan mencari keberadaan satu personil mereka yang belum lengkap itu."Dari gue ma
"Nanang menolak menjalani kemo terakhir yang merupakan bagian dari iktiar kita bersama untuk kesembuhannya . Nanang terus mengigau nama Kamu," ungkap Harsa pada notifikasi pesan untuk Latifa.Latifa termenung lama menatap ponsel di tangannya. Wanita itu bimbang akan mengatakan apa pada Harsa sebagai balasannya mengingat obrolan terakhir mereka sedang tidak baik-baik saja."Makanan itu di makan, bukan dianggurin," sindir Hana.Ia duduk di bangku kosong seberang Latifa. Ikut mengambil beberapa potong kentang goreng untuk di masukan ke dalam mulutnya."Menurut Kamu, aku harus gimana, Mbak?" tanya Latifa , tiba-tiba."Gimana apanya? Kamu memang kenapa, Fa?" Hana menjawab pertanyaan latifa dengan bertanya kembali. Wanita itu sungguh tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada sahabatnya satu ini."Aku sama mas Harsa berantem. Dia terus paksa aku balik ke Bali. Aku nggak mau mbak, aku belum siap." Hening sesaat."Ini barusan mas Harsa kasih kabar Nanang kritis lagi dan menolak di kemo kemba
Setelah membalas dengan doa tulus notifikasi pesan Harsa pada Latifa kala itu. Hubungan mereka kembali membaik. Komunikasi mereka pun juga kembali lancar.Harsa yang awalnya merasa sendiri sebab keluarga kecilnya berada jauh darinya mulai terhibur dengan respon Latifa sang istri yang terlihat tulus padanya. Harsa juga meyakinkan Latifa bahwa tak apa dirinya dan kedua anaknya tetap berada di sana sampai Adam anak sulungnya mendapatkan ijasah sekolah taman kanak-kanak. Harsa juga terus mengirimkan kondisi terupdate sang nanang pada Latifa, agar sang istri bisa ikut mendoakannya.Latifa sendiri seminggu terakhir usai pengakuan perasaan Fadil padanya menjadi sering tidak masuk kantor. Latifa terus menghindari Fadil, bahkan dirinya telah mengajukan surat perpindahan posisi kerja. Sebab merasa tidak nyaman dengan posisinya sebagai sekretaris yang menuntut cukup banyak waktu berinteraksi dengan Fadil.Latifa sebetulnya bisa saja resign dari kantor. Namun, tidak dipungkiri saat ini dirinya m
" Sekarang di rumah sedang ramai orang, Yank. Nanang sudah tidak merespon di ajak bicara. Tatapan matanya juga kosong."Harsa memperlihatkan sang nanang yang terbujur tak berdaya di atas kasur. Obrolan Latifa dan Harsa sengaja beralih pada panggilan vidio call supaya bisa sambil menunjukkan kabar sebenarnya.Latifa tak kuasa menahan bulir bening di kelopak matanya keluar begitu saja." Hu hu, Mas. Sudah seperti mama waktu itu, ya!"Wanita itu terisak kala mengingat almarhum sang mama mertua berada di posisi yang sama sebelum bertemu ajalnya." Maaf, kami tidak dampingi Kamu di sana, Mas," cicit Latifa, di sela isak tangisnya.Meski menolak juga sering bertengkar perihal permintaan Harsa untuk kembali tinggal di Bali. Nyatanya hati sebagai seorang istri tetap rapuh juga melihat sang suami yang kerepotan seorang diri mengurus orang tua satu-satunya di sana.Sebenarnya mungkin akan lebih baik seperti ini untuk saat ini. Sebab, jika Latifa dan ke dua anaknya berada di Bali Harsa akan lebih
'Selamat bertambah usia, Sayank. Semoga sehat selalu, bahagia selalu, juga semakin bermanfaat usia yang di milikinya. Maaf mas tidak berada di samping Kamu saat ini. Kadonya nanti insya Alloh menyusul saat kita bertemu langsung, ya.'Kedua sudut bibir Latifa tertarik ke atas usai membaca notifikasi pesan dari Harsa. Latifa bahkan lupa jika hari ini adalah ulang tahunnya. Meski demikian Latifa sangat bahagia mendapati Harsa menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya.Dengan senyum yang masih bertengger Latifa berselancar jari di benda pipih miliknya memberikan balasan kata dari perhatian yang suaminya sematkan itu.'Yah lowbat,' umpat Latifa. Wanita itu kemudian mencari kabel charger guna mengisi daya ponselnya.Sebelum pergi ke kamar mandi guna bersiap kan ke kantor. Latifa memilih menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu pada notifikasi balasan untuk Harsa. Saking bahagianya mendapat ucapan dari sang suami Latifa yang jarang membuat story menjadikan ucapan pe
Suasana hati Latifa ketika pulang dari kantor cukup baik. Sahabat Latifa hari ini memperlakukan wanita itu dengan begitu manis. Hana dan Neta selain ikut memberikan kejutan kecil ketika dirinya tiba di ruang kerja tadi. Mereka berdua juga menyiapkan kado berupa tas yang sudah lama Latifa inginkan. Hana yang pandai memasak bahkan membuatkan makanan favorit Latifa 'Chika spicy' dengan tangannya sendiri sembari menahan pinggang yang pegal ulah perutnya yang semakin membuncit. Wanita itu mungkin bukan depan sudah akan cuti melahirkan dari kantor.Fadil sebagai bos juga hari ini memberikan pekerjaan yang tidak sebanyak hari biasanya pada Latifa. Sehingga Latifa hari ini cukup bisa menikmati peringatan hari lahirnya dengan baik tanpa harus melakukan over time."Tumben nggak lembur, Mbak?"Galih menyapa Latifa kala sang kakak baru saja masuk ke dalam mobilnya. "Mungkin karena hari ini spesial, jadi hari ini nggak di suruh lembur."Latifa sengaja menjawab dengan kalimat sindiran pada sang
"Kamu bercanda, Mas kasih kado ultah saya seperti ini?"Latifa meletakkan kembali kotak kado pemberian Fadil di atas meja kerja Fadil.Flash back on.Latifa kembali mencari keberadaan sang adik untuk memastikan. Meski kemungkinan kado itu dari siapa sudah jelas dalam benak Latifa. Wanita itu nyatanya ingin mendengar penjelasan langsung dari mulut sang adik yang membawa kado mewah itu untuknya."Galih kenapa tidak tolak kado itu," tegur Latifa pada sang adik. Latifa menemukan keberadaan sang adik tengah bersama kedua anaknya di taman bekalang rumah. Meski berada di belakang rumah. Penerangan di sana cukup terang sehingga membuat anggota keluarga cukup nyaman, yang ingin sekedar bercengkrama di sana.Galih mendekati sang kakak guna memastikan benda yang dimaksud Latifa," ohh, itu. aku kira pria tampan itu rekan kerja kakak. Jadi ku terima saja."Galih kembali asik dengan keseruannya bersama kedua keponakannya. Latifa sendiri usai mendengar jawaban santai sang adik memilih kembali ke k
Keesokan paginya saat Latifa bangun dari tidurnya sudah mendapati berbagai menu masakan di atas meja makan. Latifa yang penasaran itu tentu tidak tinggal diam. Ia melangkahkan kaki menuju di mana dapur rumah itu berada.Mendengar derap langkah Adhira membalikan badan. Menyudahi aktifitas tanganya yang tengah mencuci piring. " Mbak sudah bangun? Emm, maaf tadi aku bangun langsung masak bahan yang ada untuk sarapan.""Saya kira kamu sudah pergi," ucap Latifa, ketus. "Sebentar lagi saya pergi mbak. Terima kasih sudah mengizinkan saya istirahat sebentar di rumah ini. Jika saya sudah lebih mapan nanti. Saya pasti akan balas jasa baik kalian," ungkap Adhira pada Latifa.Latifa tidak bergeming. Meski kesal wanita itu memilih duduk di bangku meja makan. Tatapan matanya lurus ke depan, bahkan enggan menanggapi ungkapan Adhira.Adhira yang melihat respon Latifa paham jika wanita itu masih kesal padanya. Tidak ingin memperkeruh suasana Adhira akhirnya memilih berpamitan untuk pergi ," salam un
"Aku tidak mungkin membawa kamu ikut serta denganku Adhira!"Harsa mengacak rambutnya kasar. Pria itu di ujung kebingungan sekarang, antara meninggalkan saja Adhira tengah malam di sana atau turut serta membawanya pulang.Jika saja tadi Harsa membawa uang lebih sedikit banyak, pasti sudah ia lebih memilih membaginya secara percuma pada Adhira. Supaya wanita itu bisa mencari tempat tinggal sementara.Harsa menggeledah kantong celana juga sweater yang pria itu kenakan. "Ketinggalan lagi!" umpat Harsa."Cari apa Mas?"Adhira memberanikan diri bertanya pada Harsa yang terlihat meraba seluruh saku yang ada pada baju dan celananya."Ponselku tertinggal. Aku harus ijin istriku dulu jika membawamu ke rumah."Harsa mengulang kegiatan meraba saku yang ada pada pakaian yang ia kenakan. Berharap mendapatkan ponsel miliknya yang jelas lupa ia bawa."Ini pakai punyaku, Mas. Kamu hafal nomor istri Kamu bukan?""Aku jelas hafal ...""Tapi ...."Harsa terlihat menimbang-nimbang keputusan yang akan d
"Ahh, Mas lebih cepat gerakinnya," rengek Latifa. Wanita itu berhasil Harsa enakan siang itu. "Jangan kenceng-kenceng suara kamu, Yanx!" Harsa meletakan telapak tangannya pada mulut Latifa. Kebiasaan pria itu membiarkan telapak tanganya digigit sang istri melampiaskan kepuasannya. Tidak butuh waktu lama, kegiatan panas membara siang itu berakhir sudah. Dengan keduanya berhasil mencapai puncak kenikmatan bersama. "Adam dari tadi sudah panggil dan ketuk pintu terus, Mas," ucap Latifa, dengan suara terdengar kelelahan. "Aku cek Adam dulu, ya! Kamu lekas mandi gantian sama aku." Tanpa menunggu jawaban Latifa kembali, Harsa membuka kunci pintu kamar mereka dan keluar dari sana. Harsa mencari keberadaan Adam yang ternyata sudah tersedu menangis di salah satu sudut ruang tamu," hei anak ayah kok nangis?" Jelas penyebab Adam menangis adalah ulah pergulatan panas sang ayah bersama bundanya yang tidak kunjung membuka kunci pintu kamar mereka. "Tadi ayah sedang bunda kerok jadi g
Latifa mengedarkan pandangan ke sekeliling tempatnya berdiri. Namun, nihil wanita itu tidak menemukan putri kecilnya yang belum terlalu lancar berjalan.Bulir bening akhirnya terjun tanpa permisi membasahi pipi Latifa. Demi apapun wanita itu saat ini terlihat sangat kacau.Ingin berteriak meminta tolong juga terasa percuma sebab masjid sudah terlihat sepi sekarang. Kembali ke mobil, hanya satu pikiran itu yang ada pada benak Latifa.Dengan langkah setengah gontai Latifa berjalan setengah berlari menuju mobil terparkir. Wanita itu berharap suaminya sudah bersama Deja sekarang.Jarak mobil terparkir dengan toilet masjid tidak begitu jauh. Namun, terasa cukup melelahkan Latifa berlari ke sana.Tidak ada siapapun di dalam mobil. Itu yang sekilas Latifa lihat dari radius sekitar sepuluh meter jauhnya.Guna memastikan Latifa gegas memakai sandal jepit miliknya berjalan lebih cepat guna mengikis jarak dengan mobil yang terparkir itu."Tidak ada siapapun di dalam," racau Latifa.Kemudian La
Harsa terpaksa menyetujui persyaratan Latifa yang mengutarakan," aku jika tidak betah boleh pulang kembali ke rumah orang tuaku ya Mas."Penuturan Latifa terus terngiang dalam kepala Harsa. Belum berangkat saja Latifa sudah memberinya ultimatum berkali-kali yang menyatakan dirinya tidak akan betah di Bali.Padahal situasi dan kondisi di sana jelas sudah berubah. Mereka nanti kembali tinggal sekeluarga seperti saat di kota rantau. Bedanya hanya Harsa tidak mengeluarkan uang sewa rumah setiap bulan, sebab mereka menempati rumah tua almarhum kedua orang tuanya.Masalah pekerjaan untuk menafkahi keluarganya Harsa percaya rejeki akan ada saja, selama dirinya tetap bergerak. Malam terakhir Latifa berada di rumah orang tuanya berlalu begitu cepat.Pagi pun tiba, di mana wanita itu dan kedua anaknya harus bersiap untuk ikut Harsa kembali pulang ke Bali.Meski terasa berat meninggalkan tanah kelahirannya yang setahun terakhir membuatnya nyaman dengan nuansa kekeluargaan yang kuat. Latifa ti
"Mas bisa tolong antar saya? Saya akan melakukan wawancara kerja di kota," ucap Adhira pada panggilan telepon dengan Harsa." Hari ini?" Harsa menimpali pertanyaan Adhira. "Iya, Mas. Tapi Adhira bersiap dulu, satu jam lagi jemput ya!"Usai mengucapakan itu Adhira menyudahi panggilan telepon mereka. Adhira memang terbilang paling sering menggunakan jasa Harsa semenjak terakhir kali pria itu menawarkan bantuan langsung padanya.Meski Adhira akui awalnya canggung, sikap ramah Harsa pada setiap orang nyatanya mampu membuat Adhira menjadi nyaman karenanya.Satu jam kemudian Harsa sudah sampai di lokasi tempat Adhira memintanya di jemput. Adhira memang tidak meminta Harsa menjemputnya di kediamannya, mengingat sang ibu mertua pasti langsung menginterogasinya.Adhira masuk ke dalam mobil yang Harsa kemudikan dan duduk di samping kursi kemudi. Selalu di sana, Adhira tidak pernah mau duduk di belakang kalayak seorang penumpang.Harsa mendapatkan satu unit mobil ini dari menjual salah satu lah
Latifa hampir kehilangan keseimbangan ulah Fadil. "Kamu melamun?""Euh ... tidak Pak, maaf." Latifa kemudian menerima potongan cake pertama itu dari Fadil."Terima kasih!"Fadil mengangguk, lalu kembali mengajak tim nya untuk ikut menikmati cake birthday miliknya."Ok, silahkan mulai meeting kali ini dengan kudapan yang manis terlebih dahulu," ucap Fadil, saat mempersilahkan tim nya memakan cake birthday ultahnya. Namun, sebelumnya ketua tim mendekat pada Fadil untuk memberikan hadiah untuk Fadil."Ini tidak mahal, tapi tolong terima ini sebagai bentuk perhatian juga ketulusan kami, Pak!" seru ketua tim mewakili yang lain, pada Fadil.Fadil menerima bingkisan itu, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Kemudian memberikannya pada Latifa untuk diurus."Nanti, saya bawa ke kamar Anda. Ini sudah cukup larut lebih baik sekarang kita mulai saja meeting nya."Latifa mengusulkan, yang langsung disetujui semua tim yang ada di sana. Viktor yang bukan bagian tim di minta Fadil untuk tetap st
Latifa usai melakukan panggilan telepon dengan Harsa bergegas menuju ruang meeting. Wanita itu berjalan setengah berlari, khawatir yang lain sudah berkumpul semua di sana, hanya tinggal menunggu dirinya.Ketika sudah sampai di depan ruangan, Latifa menekan handle pintu kemudian sedikit mendorong pintu untuk membukanya.Mata Latifa edarkan ke ruangan. Namun, tidak mendapati sosok Fadil di sana. Dengan segera Latifa menutup kembali pintu tanpa bersuara, kemudian mencari keberadaan Fadil. "Di mana dia?"Tujuan pertama Latifa langsung ke lantai dua.Latifa menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua yang terdapat kamar Fadil di sana. Ketika sudah sampai di tempat yang dituju, Latifa tidak mendapati sang CEO di sana. Sudah berulang kali Latifa mengetuk pintu kamar, si empunya kamar tak kunjung keluar. Latifa memberanikan diri masuk, khawatir Fadil ketiduran. Namun, memang Fadil tidak ada di dalam sana."Di kamar mandi juga tidak ada," cicit Latifa. Wanita itu melihat pintu toilet d
"Ada apa ini?"Harsa bertanya kepada orang-orang yang ramai mengerumuni Dewi sang adik."Siapa perempuan tadi, Harsa ?" tanya salah satu wanita paruh baya yang berada di antara kerumunan itu cukup kasar.Ya kerumunan itu memang di dominasi wanita paruh baya yang memang bergosip menjadi hobi keseharian mereka. "Iya Bli! Siapa perempuan tadi?" Wanita paruh baya lainya, ikut saling bersahutan mencecar Harsa dengan pertanyaan, usai salah satu di antara mereka melontarkan pertanyaan pada Harsa."Itu teman Mas Harsa Buk, mohon maaf kami mau istirahat dahulu, ya!" Dewi menarik sang kakak dari kerumunan wanita paruh baya untuk masuk ke dalam rumah.Tidak lupa dengan sigap Dewi menutup rapat pintu rumah, kemudian menguncinya dari dalam.Suara sorakan, sebagai bentuk protes pun terdengar riuh di luar pintu. Mereka tidak terima dengan sikap Dewi yang tidak mau memberitakan hal yang ingin mereka ketahui.Lagi pula Dewi tidak memiliki keharusan menceritakan apapun kepada ibu-ibu rumpi berkedok