Suasana hati Latifa ketika pulang dari kantor cukup baik. Sahabat Latifa hari ini memperlakukan wanita itu dengan begitu manis. Hana dan Neta selain ikut memberikan kejutan kecil ketika dirinya tiba di ruang kerja tadi. Mereka berdua juga menyiapkan kado berupa tas yang sudah lama Latifa inginkan. Hana yang pandai memasak bahkan membuatkan makanan favorit Latifa 'Chika spicy' dengan tangannya sendiri sembari menahan pinggang yang pegal ulah perutnya yang semakin membuncit. Wanita itu mungkin bukan depan sudah akan cuti melahirkan dari kantor.Fadil sebagai bos juga hari ini memberikan pekerjaan yang tidak sebanyak hari biasanya pada Latifa. Sehingga Latifa hari ini cukup bisa menikmati peringatan hari lahirnya dengan baik tanpa harus melakukan over time."Tumben nggak lembur, Mbak?"Galih menyapa Latifa kala sang kakak baru saja masuk ke dalam mobilnya. "Mungkin karena hari ini spesial, jadi hari ini nggak di suruh lembur."Latifa sengaja menjawab dengan kalimat sindiran pada sang
"Kamu bercanda, Mas kasih kado ultah saya seperti ini?"Latifa meletakkan kembali kotak kado pemberian Fadil di atas meja kerja Fadil.Flash back on.Latifa kembali mencari keberadaan sang adik untuk memastikan. Meski kemungkinan kado itu dari siapa sudah jelas dalam benak Latifa. Wanita itu nyatanya ingin mendengar penjelasan langsung dari mulut sang adik yang membawa kado mewah itu untuknya."Galih kenapa tidak tolak kado itu," tegur Latifa pada sang adik. Latifa menemukan keberadaan sang adik tengah bersama kedua anaknya di taman bekalang rumah. Meski berada di belakang rumah. Penerangan di sana cukup terang sehingga membuat anggota keluarga cukup nyaman, yang ingin sekedar bercengkrama di sana.Galih mendekati sang kakak guna memastikan benda yang dimaksud Latifa," ohh, itu. aku kira pria tampan itu rekan kerja kakak. Jadi ku terima saja."Galih kembali asik dengan keseruannya bersama kedua keponakannya. Latifa sendiri usai mendengar jawaban santai sang adik memilih kembali ke k
Latifa mendapat kabar nanangnya di Bali meninggal semalam. Latifa tidak bisa pergi ke Bali, sebab belum mendapat jatah cuti dari perusahaan tempat dirinya bekerja, yang belum ada satu tahun itu.Latifa meminta ijin pada Harsa untuk mendoakan sang nanang dari kejauhan. Harsa tentu tidak bisa melakukan banyak hal, selain menyetujui usulan Latifa, pasalnya ia juga tidak bisa membiarkan Latifa dan anak-anaknya berangkat ke Bali tanpa pendampingan dirinya."Emak sama Bapak tidak ke sana tidak mengapa kan, Nduk?" Emak Rodiah memastikan keputusan mereka sebagai orang tua sekaligus mertua dari Harsa sudah disetujui sang anak."Iya, Mak. Yang terpenting doanya. Mas Harsa dan keluarganya di sana pasti bisa menghandle sendiri," jawab Latifa.Wanita itu kemudian mencium punggung tangan sang emak, sebelum berangkat kerja bersama Galih yang kebetulan hari ini ada kelas presentasi di kampusnya.Galih tak banyak bertanya atau sekedar mengobrol seperti biasa menyadari sang kakak butuh ruang sendiri s
Latifa masih mengekor Fadil sampai pria itu tiba di depan ruangannya. Handle pintu pada pintu menjulang tinggi itu akhirnya ia lepaskan kembali, berbalik badan mengarah pada wanita yang dicintainya."Mau bicara di sini atau di dalam?" tanya Fadil. Pria itu seolah tahu yang Latifa butuhkan saat ini adalah waktu untuk dirinya bernegosiasi atas permintaannya untuk menemani perjalanan bisnis menggantikan Dimas besok.Orang tua Dimas di kampung masuk rumah sakit tadi malam, membuat laki-laki itu langsung mengajukan cuti guna menjenguknya.Latifa ingin berbicara di luar ruangan. Namun, khawatir akan ada yang mendengar obrolan lebih tepatnya mengetahui cinta bertepuk sebelah tangan Fadil."Tidak ingin ke duanya? Mau bicara di luar kantor sambil sarapan?" tanya Fadil lagi, kala melihat Latifa tak bergeming."Anda cenayang, ya Pak? Tapi saya sudah sarapan tadi di rumah." Latifa menjawab sambil memilin kedua jari telunjuknya. Terlihat begitu menggemaskan di mata Fadil saat ini." Kamu bisa minu
Di Bali pemakaman nanang Harsa berjalan lancar. Banyak tetangga juga sanak saudara yang hadir menanyakan keberadaan Latifa sebagai istri Harsa yang tidak ikut mendampingi Harsa di titik terendahnya dalam hidup saat ini. Bagaimana tidak? Dalam satu tahun Harsa sudah kehilangan dua orang sekaligus orang yang disayangi, kedua orang tuanya. Yang lebih menyedihkan lagi di kepergian nanangnya ini, Harsa tidak didampingi keluarga kecilnya sebab alasan tertentu. Mereka yang tidak tahu kondisi Harsa saat ini banyak yang ber-desas desus mengatakan rumah tangganya dengan sang istri sudah berakhir.Salah satu kakak dari nanangnya mendekat pada Harsa. Wanita paruh baya itu hendak mencari tahu tentang keberadaan Latifa yang tidak turut hadir di antara mereka," ke mana istri Kamu Harsa? Apakah kalian sudah sungguh telah berpisah?"Wanita paruh baya itu memang terbiasa blak-blakan saat berbicara. Apalagi sedari dirinya hadir di rumah duka, ramai terdengar samar pada indera pendengarannya membah
Tujuh hari kepergian sang nanang Harsa berlalu. Pagi ini Dewi masih berada di rumah itu membersamai sang kakak merapikan segala hal. " Mas, setelah ini Kamu akan tetap tinggal di sini, kan? Aku nggak mungkin bisa tinggal di rumah ini, Mas. Mas Dito tidak mungkin mau meninggalkan bapaknya yang sudah sepuh itu, guna pindah ke sini. Kamu tahulah sendiri adiknya itu meski perempuan, ia masih belum dewasa. Belum bisa dipercaya untuk mengurus rumah juga bapaknya dalam sekali waktu."Dewi terlihat sedang menyusun kembali perabotan ke dalam almari usai menanyakan itu pada sang kakak."Apa menurut Kamu? Mbak Kamu Latifa bakal mau tinggal di sini lagi, Wi? Sampai detik ini saja, dia selalu menghindar jika aku bahas perkara balik lagi ke sini," jawab Harsa.Harsa memberhentikan aktifitasnya menyapu lantai kala menjawab pertanyaan sang adik. Kini ia memilih lanjutkan lagi ketika sang adik tak kunjung memberi jawaban.Mereka tinggal di Bali memang tanpa asisten rumah tangga. Hanya pegawai rewa
"Mbak kita serius satu mobil dengan pak Fadil, berangkat ke Bandung?" tanya Neta pada Latifa.Ya selain tim yang terdiri dari lima orang, satu orang tambahan yang Latifa minta pada Fadil untuk menemani perjalanan bisnis kali ini adalah Neta."Kita tunggu pak Fadil saja, ya," jawab Latifa." Kalo mobil tim masih bisa bawa, enak ikut mereka Mbak. Aku, kok horor mau ikut mobil pak Bos," ungkap Neta, lagi. Gadis itu terlalu polos, sehingga mudah baginya mengucapkan itu.Latifa hanya tersenyum tipis menanggapi ungkapan polos sahabatnya. Tidak lama kemudian mobil Fadil tiba , kali ini Fadil duduk di balik kemudi. Padahal bisa saja pria itu pergi bersama sopir kantor. Namun, entah mengapa tidak pria itu lakukan.Fadil memberi kode pada Latifa untuk masuk ke mobil yang di kendarainya. Latifa patuh hendak membawa Neta bersamanya masuk ke dalam mobil Fadil, akan tetapi gadis itu tersenyum sedikit dipaksakan sambil menahan langkahnya. Memberitakan mobil satu lagi sudah terlihat dari arah b
"Ini rumah ku, em maksudnya rumah ke dua almarhum orang tuaku," kata Harsa.Pria itu mengajak Adhira berkunjung ke rumah.Dari arah pintu utama rumah keluar Dewi, wanita itu ingin tahu ada suara siapa di depan rumahnya yang terdengar cukup jelas ada yang datang dari dalam rumah."Siapa Mas?"Tanpa basa basi Dewi bertanya pada Harsa."Eh, iya Wi ... Kenalin ini Adhira istri almarhum teman Mas.""Adhira, kenalkan ini adik kandungku Dewi."Usai Harsa saling mengenal kan. Dewi juga Adhira mengulurkan tangan kanan mereka untuk saling berjabat."Almarhum teman Mas di Bali? Yang mana?"Dewi terlihat berfikir. Mencoba mengingat teman kakaknya yang ada di Bali. Setahu dewi, dahulu kakaknya ini jika punya teman akrab selalu diajak berkunjung ke rumah. Sehingga wanita itu sampai berfikir wanita yg kakaknya akui sebagai istri almarhum temannya yg diajak berkunjung ke rumah ini dahulunya pasti memiliki hubungan cukup dekat dengan sang kakak."Ingat Hadi?" tanya Harsa pada Dewi.Sang adik yang dit
Keesokan paginya saat Latifa bangun dari tidurnya sudah mendapati berbagai menu masakan di atas meja makan. Latifa yang penasaran itu tentu tidak tinggal diam. Ia melangkahkan kaki menuju di mana dapur rumah itu berada.Mendengar derap langkah Adhira membalikan badan. Menyudahi aktifitas tanganya yang tengah mencuci piring. " Mbak sudah bangun? Emm, maaf tadi aku bangun langsung masak bahan yang ada untuk sarapan.""Saya kira kamu sudah pergi," ucap Latifa, ketus. "Sebentar lagi saya pergi mbak. Terima kasih sudah mengizinkan saya istirahat sebentar di rumah ini. Jika saya sudah lebih mapan nanti. Saya pasti akan balas jasa baik kalian," ungkap Adhira pada Latifa.Latifa tidak bergeming. Meski kesal wanita itu memilih duduk di bangku meja makan. Tatapan matanya lurus ke depan, bahkan enggan menanggapi ungkapan Adhira.Adhira yang melihat respon Latifa paham jika wanita itu masih kesal padanya. Tidak ingin memperkeruh suasana Adhira akhirnya memilih berpamitan untuk pergi ," salam un
"Aku tidak mungkin membawa kamu ikut serta denganku Adhira!"Harsa mengacak rambutnya kasar. Pria itu di ujung kebingungan sekarang, antara meninggalkan saja Adhira tengah malam di sana atau turut serta membawanya pulang.Jika saja tadi Harsa membawa uang lebih sedikit banyak, pasti sudah ia lebih memilih membaginya secara percuma pada Adhira. Supaya wanita itu bisa mencari tempat tinggal sementara.Harsa menggeledah kantong celana juga sweater yang pria itu kenakan. "Ketinggalan lagi!" umpat Harsa."Cari apa Mas?"Adhira memberanikan diri bertanya pada Harsa yang terlihat meraba seluruh saku yang ada pada baju dan celananya."Ponselku tertinggal. Aku harus ijin istriku dulu jika membawamu ke rumah."Harsa mengulang kegiatan meraba saku yang ada pada pakaian yang ia kenakan. Berharap mendapatkan ponsel miliknya yang jelas lupa ia bawa."Ini pakai punyaku, Mas. Kamu hafal nomor istri Kamu bukan?""Aku jelas hafal ...""Tapi ...."Harsa terlihat menimbang-nimbang keputusan yang akan d
"Ahh, Mas lebih cepat gerakinnya," rengek Latifa. Wanita itu berhasil Harsa enakan siang itu. "Jangan kenceng-kenceng suara kamu, Yanx!" Harsa meletakan telapak tangannya pada mulut Latifa. Kebiasaan pria itu membiarkan telapak tanganya digigit sang istri melampiaskan kepuasannya. Tidak butuh waktu lama, kegiatan panas membara siang itu berakhir sudah. Dengan keduanya berhasil mencapai puncak kenikmatan bersama. "Adam dari tadi sudah panggil dan ketuk pintu terus, Mas," ucap Latifa, dengan suara terdengar kelelahan. "Aku cek Adam dulu, ya! Kamu lekas mandi gantian sama aku." Tanpa menunggu jawaban Latifa kembali, Harsa membuka kunci pintu kamar mereka dan keluar dari sana. Harsa mencari keberadaan Adam yang ternyata sudah tersedu menangis di salah satu sudut ruang tamu," hei anak ayah kok nangis?" Jelas penyebab Adam menangis adalah ulah pergulatan panas sang ayah bersama bundanya yang tidak kunjung membuka kunci pintu kamar mereka. "Tadi ayah sedang bunda kerok jadi g
Latifa mengedarkan pandangan ke sekeliling tempatnya berdiri. Namun, nihil wanita itu tidak menemukan putri kecilnya yang belum terlalu lancar berjalan.Bulir bening akhirnya terjun tanpa permisi membasahi pipi Latifa. Demi apapun wanita itu saat ini terlihat sangat kacau.Ingin berteriak meminta tolong juga terasa percuma sebab masjid sudah terlihat sepi sekarang. Kembali ke mobil, hanya satu pikiran itu yang ada pada benak Latifa.Dengan langkah setengah gontai Latifa berjalan setengah berlari menuju mobil terparkir. Wanita itu berharap suaminya sudah bersama Deja sekarang.Jarak mobil terparkir dengan toilet masjid tidak begitu jauh. Namun, terasa cukup melelahkan Latifa berlari ke sana.Tidak ada siapapun di dalam mobil. Itu yang sekilas Latifa lihat dari radius sekitar sepuluh meter jauhnya.Guna memastikan Latifa gegas memakai sandal jepit miliknya berjalan lebih cepat guna mengikis jarak dengan mobil yang terparkir itu."Tidak ada siapapun di dalam," racau Latifa.Kemudian La
Harsa terpaksa menyetujui persyaratan Latifa yang mengutarakan," aku jika tidak betah boleh pulang kembali ke rumah orang tuaku ya Mas."Penuturan Latifa terus terngiang dalam kepala Harsa. Belum berangkat saja Latifa sudah memberinya ultimatum berkali-kali yang menyatakan dirinya tidak akan betah di Bali.Padahal situasi dan kondisi di sana jelas sudah berubah. Mereka nanti kembali tinggal sekeluarga seperti saat di kota rantau. Bedanya hanya Harsa tidak mengeluarkan uang sewa rumah setiap bulan, sebab mereka menempati rumah tua almarhum kedua orang tuanya.Masalah pekerjaan untuk menafkahi keluarganya Harsa percaya rejeki akan ada saja, selama dirinya tetap bergerak. Malam terakhir Latifa berada di rumah orang tuanya berlalu begitu cepat.Pagi pun tiba, di mana wanita itu dan kedua anaknya harus bersiap untuk ikut Harsa kembali pulang ke Bali.Meski terasa berat meninggalkan tanah kelahirannya yang setahun terakhir membuatnya nyaman dengan nuansa kekeluargaan yang kuat. Latifa ti
"Mas bisa tolong antar saya? Saya akan melakukan wawancara kerja di kota," ucap Adhira pada panggilan telepon dengan Harsa." Hari ini?" Harsa menimpali pertanyaan Adhira. "Iya, Mas. Tapi Adhira bersiap dulu, satu jam lagi jemput ya!"Usai mengucapakan itu Adhira menyudahi panggilan telepon mereka. Adhira memang terbilang paling sering menggunakan jasa Harsa semenjak terakhir kali pria itu menawarkan bantuan langsung padanya.Meski Adhira akui awalnya canggung, sikap ramah Harsa pada setiap orang nyatanya mampu membuat Adhira menjadi nyaman karenanya.Satu jam kemudian Harsa sudah sampai di lokasi tempat Adhira memintanya di jemput. Adhira memang tidak meminta Harsa menjemputnya di kediamannya, mengingat sang ibu mertua pasti langsung menginterogasinya.Adhira masuk ke dalam mobil yang Harsa kemudikan dan duduk di samping kursi kemudi. Selalu di sana, Adhira tidak pernah mau duduk di belakang kalayak seorang penumpang.Harsa mendapatkan satu unit mobil ini dari menjual salah satu lah
Latifa hampir kehilangan keseimbangan ulah Fadil. "Kamu melamun?""Euh ... tidak Pak, maaf." Latifa kemudian menerima potongan cake pertama itu dari Fadil."Terima kasih!"Fadil mengangguk, lalu kembali mengajak tim nya untuk ikut menikmati cake birthday miliknya."Ok, silahkan mulai meeting kali ini dengan kudapan yang manis terlebih dahulu," ucap Fadil, saat mempersilahkan tim nya memakan cake birthday ultahnya. Namun, sebelumnya ketua tim mendekat pada Fadil untuk memberikan hadiah untuk Fadil."Ini tidak mahal, tapi tolong terima ini sebagai bentuk perhatian juga ketulusan kami, Pak!" seru ketua tim mewakili yang lain, pada Fadil.Fadil menerima bingkisan itu, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Kemudian memberikannya pada Latifa untuk diurus."Nanti, saya bawa ke kamar Anda. Ini sudah cukup larut lebih baik sekarang kita mulai saja meeting nya."Latifa mengusulkan, yang langsung disetujui semua tim yang ada di sana. Viktor yang bukan bagian tim di minta Fadil untuk tetap st
Latifa usai melakukan panggilan telepon dengan Harsa bergegas menuju ruang meeting. Wanita itu berjalan setengah berlari, khawatir yang lain sudah berkumpul semua di sana, hanya tinggal menunggu dirinya.Ketika sudah sampai di depan ruangan, Latifa menekan handle pintu kemudian sedikit mendorong pintu untuk membukanya.Mata Latifa edarkan ke ruangan. Namun, tidak mendapati sosok Fadil di sana. Dengan segera Latifa menutup kembali pintu tanpa bersuara, kemudian mencari keberadaan Fadil. "Di mana dia?"Tujuan pertama Latifa langsung ke lantai dua.Latifa menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua yang terdapat kamar Fadil di sana. Ketika sudah sampai di tempat yang dituju, Latifa tidak mendapati sang CEO di sana. Sudah berulang kali Latifa mengetuk pintu kamar, si empunya kamar tak kunjung keluar. Latifa memberanikan diri masuk, khawatir Fadil ketiduran. Namun, memang Fadil tidak ada di dalam sana."Di kamar mandi juga tidak ada," cicit Latifa. Wanita itu melihat pintu toilet d
"Ada apa ini?"Harsa bertanya kepada orang-orang yang ramai mengerumuni Dewi sang adik."Siapa perempuan tadi, Harsa ?" tanya salah satu wanita paruh baya yang berada di antara kerumunan itu cukup kasar.Ya kerumunan itu memang di dominasi wanita paruh baya yang memang bergosip menjadi hobi keseharian mereka. "Iya Bli! Siapa perempuan tadi?" Wanita paruh baya lainya, ikut saling bersahutan mencecar Harsa dengan pertanyaan, usai salah satu di antara mereka melontarkan pertanyaan pada Harsa."Itu teman Mas Harsa Buk, mohon maaf kami mau istirahat dahulu, ya!" Dewi menarik sang kakak dari kerumunan wanita paruh baya untuk masuk ke dalam rumah.Tidak lupa dengan sigap Dewi menutup rapat pintu rumah, kemudian menguncinya dari dalam.Suara sorakan, sebagai bentuk protes pun terdengar riuh di luar pintu. Mereka tidak terima dengan sikap Dewi yang tidak mau memberitakan hal yang ingin mereka ketahui.Lagi pula Dewi tidak memiliki keharusan menceritakan apapun kepada ibu-ibu rumpi berkedok