"Hanya berdua?" tanya Harsa, penuh selidik. Hati dan pikiran pria itu sejalan ingin menolak ijin Latifa."Tidak boleh, ya, Mas."Latifa menampakan wajah murung. Saat akan meminta ijin pada Harsa tadi ia juga sudah tidak yakin sebab tahu suaminya itu tidak menyukai atasan di tempat dirinya bekerja."Jika hanya berdua tidak. Karena yang ketiga adalah Saiton," ucap Harsa. Meski ingin menolak ijin Latifa ia masih berusaha bijaksana.'Gue, ngajak siapa lagi, dong,' gumam Latifa."Ya sudah, iya, Mas," tutur Latifa. Ia yang tadi sangat antusias ingin datang ke pernikahan Leni itu mendadak lemas ketika ijin keberangkatannya di tolak Harsa suaminya."Mas, bukan bermaksud melarang kamu ini itu. Mas merasa punya hak karena setiap langkah kamu itu jika tidak baik yang menanggung dosa adalah mas," ujar Harsa. Pria itu mencoba memberi penjelasan pada Latifa supaya tidak sampai terjadi salah paham kembali di antara mereka."Iya, Mas. Aku ngerti, Kok. Mangkanya tadi aku ijin dulu, bukannya pergi sec
Latifa sampai di apartemen Neta lebih dulu. Kebetulan jalanan pagi yang di lalui Latifa di minggu pagi ini tidak sepadat jalanan kota tempat Fadil tinggal.Ting ... nong ....Latifa menekan tombol bel unit apartemen Neta.Ceklek ...."Cepet banget, Mbak sudah nyampe? Ayuk masuk," sapa Neta.Gadis itu menarik lengan Latifa antusias untuk masuk ke unit apartemennya."Wahh, apartemen kamu nyaman banget, Ta."Latifa mengikuti langkah Neta menuju ruang tamu yang tersedia di apartemen gadis itu.Apartemen Neta terbilang cukup luas untuk dirinya yang hanya tinggal sendiri. Terdapat dua kamar, dua kamar mandi yang salah satunya berada di kamar utama, dapur, ruang tamu yang merangkap menjadi ruang keluarga."Mbak Neta mau minum apa?" tanya Neta pada Latifa. Ia ingin menjamu Latifa layaknya tamu."Kopi boleh," jawab Latifa."Wahh ... mba Latifa ternyata doyan ngopi juga, ya," ujar Neta. Ia kemudian mengambil kopi siap minum di almari pendingin unit apartememnya."Perlu dihangatkan dulu, mba?" N
Fadil yang menggunakan setelan tuksedo dengan dasi kupu-kupu itu nampak makin tampan dan penuh kharisma."Mbak Ifa, Pak Fadil lihat, deh ganteng banget, ya," ungkap Neta.Tangan gadis itu sampai meremas kuat tangan Latifa yang ia genggam sedari ke luar dari lift tadi saking terkesima dengan penampilan Fadil kali ini."Sudah siap?" tanya Fadil. Pandangan pria itu tidak bisa beralih dari Latifa yang semakin anggun di matanya. Ia memperhatikan Latifa sedari nampak berjalan menghampirinya bersama Neta tadi. "Sudah, Pak," jawab Latifa.Latifa yang di perhatikan Fadil seperti itu jadi salah tingkah sendiri."Mbak duduk di belakang saja, temani aku," rengek Neta.Gadis itu berjalan menuju pintu belakang mobil sembari bergelayut manja di tangan Latifa yang masih di genggamnya itu.Latifa tidak menolak, langkah kakinya bahkan menuruti kemauan gadis itu masuk ke kursi belakang mobil Fadil.Fadil yang menyadari maksud Neta meluncurkan kalimat sindiran,"apakah kalian pikir saya supir, kalian,
Beruntung situasi canggung kali ini lekas terselamatkan oleh keberadaan Neta yang kembali dari toilet."Nah .... itu Neta, Pak," ungkap Latifa.'Kamu gemesin banget sih, Fa kalo sedang salting gini,' gumam Fadil.Pria itu akhirnya mengekor langkah dua wanita berbeda usia yang ada di depannya.*Di Bali Harsa sedari tadi di buat geram karena nomor Latifa tidak bisa di hubungi. Wanita itu ternyata semalam lupa mengisi daya ponsel miliknya sehingga saat beberapa kali tadi Harsa melakukan panggilan yang tak kunjung ia angkat karena sedang fokus di make up oleh Neta itu ponsel Latifa tiba-tiba mati karena kehabisan daya.Padahal biasanya Latifa saat tiba di rumah benda yang paling awal di cari adalah kabel charger ponselnya.Entah semalam karena apa sampai wanita itu lupa mengisi daya benda pipih miliknya itu."Aish, ini Ifa kemana, sih? Bisa-bisanya panggilan vidioku tidak terjawab dan sekarang justru di luar jangkauan."Harsa kesal karena tidak bisa menghubungi istrinya. Harsa yang tida
Setelah menimbang-nimbang pilihannya Latifa memutuskan duduk di samping Neta. 'Semoga, Dia tidak marah hanya karena aku lebih memilih duduk bersama Neta,' cicit Latifa, di dalam hati.Langkah kaki ber heels lima centi Latifa langkahkan ke arah barisan tempat duduk Neta berada. Tidak lupa tangan Latifa katup kan tepat di depan dada dengan mata menghunus tajam pada pria tampan penuh kharisma itu. Fadil mengangguk pasrah mencoba memahami keputusan sang wanita pemilik hati.Di kursi Neta berada menyambut Latifa dengan sangat antusias seperti anak kecil yang habis kehilangan ibu lalu berjumpa kembali dengannya. "Mbak ... kita selfie, yuk," ajak Neta pada Latifa. Gadis ceria itu sudah siap dengan kamera ponsel yang menghadap pada mereka berdua.Cekrek ... cekrek ....Neta mengambil beberapa gambar bersama Latifa yang sudah duduk bersamanya.Setelah selesai berfoto selfie mereka berdua kembali fokus mengikuti acara Leni dan pasangan yang di pandu oleh seorang MC.Hampir satu jam berlalu k
Fadil yang menyadari kecanggungan mulai terjadi di antara mereka mencoba mencairkan situasi dengan mengalihkan fokus Latifa.Fadil memilih maju ke stand yang di inginkan untuk mengambil dua gelas es teler untuk dirinya dan Latifa."Ini buat kamu," ucap Fadil. Pri penuh pesona itu memberikan satu gelas es teler yang di ambilnya pada Latifa yang masih diam di tempat."Mbak," sapa Neta. Gadis itu menghampiri Latifa setelah mendapatkan dua makanan yang tadi dirinya mau."Eh, iya Neta. Kamu sudah dapat yang kamu mau?" tanya Latifa. Kesadaran wanita itu kini sudah kembali, meski masih bertanya-tanya dalam benaknya maksud ucapan suka Fadil tadi pada hal yang baru dilakukannya itu apa."Kita duduk di sana, yuk, Mba," ajak Neta. Gadis itu menunjuk dengan dagu karena kedua tangannya penuh dengan menu yang diinginkannya tempat duduk yang sudah Fadil siapkan untuk mereka bertiga.Latifa hanya mengangguk. Langkah kaki tentu ia lakukan mengikuti langkah Neta menuju tempat duduk yang sudah ada Fadil
"Eh, Iya maaf. Aku tidak bermaksud lancang. Tapi tadi saat aku menolong kamu kala akan terjatuh kamu tidak menolaknya."Fadil mengurungkan niatnya melihat luka di kaki Latifa yang terbungkus kaos kaki berwarna hitam itu. Ia tidak menyangka Latifa yang sekarang cukup berbeda tidak seperti saat menjadi teman sekelasnya dulu.Latifa yang sekarang ternyata cukup menutup diri bahkan dengan tegas menolak bantuannya."Iya, Mas. Tadi kan tidak disengaja. Kamu tolongin aku juga pasti reflek, kan? Kaki ku tidak kenapa-napa, kok. Paling cuma sedikit keseleo. Nanti di balur minyak juga baikan," ungkap Latifa.Fadil yang mendengar penjelasan Latifa tidak bisa memaksa lagi karena wanita itu sudah dengan tegas menolak bantuannya lagi. Ia memilih mengingatkan Latifa untuk tidak banyak bergerak terlebih dahulu."Ya, sudah. Tapi sekarang kamu jangan banyak jalan dulu, ya. Aku khawatir kakimu nanti justru bengkak," ucap Fadil.Pria itu saat ini sungguh tengah mencemaskan Latifa."Aku baik-baik saja, Mas
"Oiya ... lupa saya. Lo, sih, Tor malah ngajak ngobrol," ucap Fadil. Pria tampan itu melempar kesalahan pada Viktor, kemudian bergegas kembali berjalan menuju mobilnya untuk mengambil kotak p3k yang sebelumnya ia janjikan pada wanita yang di cintainya.Neta sendiri memilih mengekor Fadil namun, tanpa mereka berdua sadari Viktor juga ikut mengekor."Lo, ngapain lagi mengekor gue, Tor?" tanya Fadil. Pria itu mengetahui Viktor mengikutinya kala membuka pintu mobilnya."Eh ... iya, ya. Kenapa gue justru ngikutin, Lo," ungkap Viktor. Ia bingung sendiri menjelaskan pada Fadil karena kakinya ternyata mengikuti kata hati yang terpikat pada Neta, gadis yang baru beberapa menit yang lalu ia kenal itu.Fadil akhirnya menyerahkan kotak p3k itu pada Neta supaya luka di kaki Latifa lekas segera diobati.Neta kemudian bergegas kembali ke tempat Latifa berada. "Mbak, ini kotak obatnya," ucap Neta."Ngambil di mana Pak Fadil, Ta? Lama banget," ungkap Latifa. Latifa kesal sebab menunggu lama, apalagi
Keesokan paginya saat Latifa bangun dari tidurnya sudah mendapati berbagai menu masakan di atas meja makan. Latifa yang penasaran itu tentu tidak tinggal diam. Ia melangkahkan kaki menuju di mana dapur rumah itu berada.Mendengar derap langkah Adhira membalikan badan. Menyudahi aktifitas tanganya yang tengah mencuci piring. " Mbak sudah bangun? Emm, maaf tadi aku bangun langsung masak bahan yang ada untuk sarapan.""Saya kira kamu sudah pergi," ucap Latifa, ketus. "Sebentar lagi saya pergi mbak. Terima kasih sudah mengizinkan saya istirahat sebentar di rumah ini. Jika saya sudah lebih mapan nanti. Saya pasti akan balas jasa baik kalian," ungkap Adhira pada Latifa.Latifa tidak bergeming. Meski kesal wanita itu memilih duduk di bangku meja makan. Tatapan matanya lurus ke depan, bahkan enggan menanggapi ungkapan Adhira.Adhira yang melihat respon Latifa paham jika wanita itu masih kesal padanya. Tidak ingin memperkeruh suasana Adhira akhirnya memilih berpamitan untuk pergi ," salam un
"Aku tidak mungkin membawa kamu ikut serta denganku Adhira!"Harsa mengacak rambutnya kasar. Pria itu di ujung kebingungan sekarang, antara meninggalkan saja Adhira tengah malam di sana atau turut serta membawanya pulang.Jika saja tadi Harsa membawa uang lebih sedikit banyak, pasti sudah ia lebih memilih membaginya secara percuma pada Adhira. Supaya wanita itu bisa mencari tempat tinggal sementara.Harsa menggeledah kantong celana juga sweater yang pria itu kenakan. "Ketinggalan lagi!" umpat Harsa."Cari apa Mas?"Adhira memberanikan diri bertanya pada Harsa yang terlihat meraba seluruh saku yang ada pada baju dan celananya."Ponselku tertinggal. Aku harus ijin istriku dulu jika membawamu ke rumah."Harsa mengulang kegiatan meraba saku yang ada pada pakaian yang ia kenakan. Berharap mendapatkan ponsel miliknya yang jelas lupa ia bawa."Ini pakai punyaku, Mas. Kamu hafal nomor istri Kamu bukan?""Aku jelas hafal ...""Tapi ...."Harsa terlihat menimbang-nimbang keputusan yang akan d
"Ahh, Mas lebih cepat gerakinnya," rengek Latifa. Wanita itu berhasil Harsa enakan siang itu. "Jangan kenceng-kenceng suara kamu, Yanx!" Harsa meletakan telapak tangannya pada mulut Latifa. Kebiasaan pria itu membiarkan telapak tanganya digigit sang istri melampiaskan kepuasannya. Tidak butuh waktu lama, kegiatan panas membara siang itu berakhir sudah. Dengan keduanya berhasil mencapai puncak kenikmatan bersama. "Adam dari tadi sudah panggil dan ketuk pintu terus, Mas," ucap Latifa, dengan suara terdengar kelelahan. "Aku cek Adam dulu, ya! Kamu lekas mandi gantian sama aku." Tanpa menunggu jawaban Latifa kembali, Harsa membuka kunci pintu kamar mereka dan keluar dari sana. Harsa mencari keberadaan Adam yang ternyata sudah tersedu menangis di salah satu sudut ruang tamu," hei anak ayah kok nangis?" Jelas penyebab Adam menangis adalah ulah pergulatan panas sang ayah bersama bundanya yang tidak kunjung membuka kunci pintu kamar mereka. "Tadi ayah sedang bunda kerok jadi g
Latifa mengedarkan pandangan ke sekeliling tempatnya berdiri. Namun, nihil wanita itu tidak menemukan putri kecilnya yang belum terlalu lancar berjalan.Bulir bening akhirnya terjun tanpa permisi membasahi pipi Latifa. Demi apapun wanita itu saat ini terlihat sangat kacau.Ingin berteriak meminta tolong juga terasa percuma sebab masjid sudah terlihat sepi sekarang. Kembali ke mobil, hanya satu pikiran itu yang ada pada benak Latifa.Dengan langkah setengah gontai Latifa berjalan setengah berlari menuju mobil terparkir. Wanita itu berharap suaminya sudah bersama Deja sekarang.Jarak mobil terparkir dengan toilet masjid tidak begitu jauh. Namun, terasa cukup melelahkan Latifa berlari ke sana.Tidak ada siapapun di dalam mobil. Itu yang sekilas Latifa lihat dari radius sekitar sepuluh meter jauhnya.Guna memastikan Latifa gegas memakai sandal jepit miliknya berjalan lebih cepat guna mengikis jarak dengan mobil yang terparkir itu."Tidak ada siapapun di dalam," racau Latifa.Kemudian La
Harsa terpaksa menyetujui persyaratan Latifa yang mengutarakan," aku jika tidak betah boleh pulang kembali ke rumah orang tuaku ya Mas."Penuturan Latifa terus terngiang dalam kepala Harsa. Belum berangkat saja Latifa sudah memberinya ultimatum berkali-kali yang menyatakan dirinya tidak akan betah di Bali.Padahal situasi dan kondisi di sana jelas sudah berubah. Mereka nanti kembali tinggal sekeluarga seperti saat di kota rantau. Bedanya hanya Harsa tidak mengeluarkan uang sewa rumah setiap bulan, sebab mereka menempati rumah tua almarhum kedua orang tuanya.Masalah pekerjaan untuk menafkahi keluarganya Harsa percaya rejeki akan ada saja, selama dirinya tetap bergerak. Malam terakhir Latifa berada di rumah orang tuanya berlalu begitu cepat.Pagi pun tiba, di mana wanita itu dan kedua anaknya harus bersiap untuk ikut Harsa kembali pulang ke Bali.Meski terasa berat meninggalkan tanah kelahirannya yang setahun terakhir membuatnya nyaman dengan nuansa kekeluargaan yang kuat. Latifa ti
"Mas bisa tolong antar saya? Saya akan melakukan wawancara kerja di kota," ucap Adhira pada panggilan telepon dengan Harsa." Hari ini?" Harsa menimpali pertanyaan Adhira. "Iya, Mas. Tapi Adhira bersiap dulu, satu jam lagi jemput ya!"Usai mengucapakan itu Adhira menyudahi panggilan telepon mereka. Adhira memang terbilang paling sering menggunakan jasa Harsa semenjak terakhir kali pria itu menawarkan bantuan langsung padanya.Meski Adhira akui awalnya canggung, sikap ramah Harsa pada setiap orang nyatanya mampu membuat Adhira menjadi nyaman karenanya.Satu jam kemudian Harsa sudah sampai di lokasi tempat Adhira memintanya di jemput. Adhira memang tidak meminta Harsa menjemputnya di kediamannya, mengingat sang ibu mertua pasti langsung menginterogasinya.Adhira masuk ke dalam mobil yang Harsa kemudikan dan duduk di samping kursi kemudi. Selalu di sana, Adhira tidak pernah mau duduk di belakang kalayak seorang penumpang.Harsa mendapatkan satu unit mobil ini dari menjual salah satu lah
Latifa hampir kehilangan keseimbangan ulah Fadil. "Kamu melamun?""Euh ... tidak Pak, maaf." Latifa kemudian menerima potongan cake pertama itu dari Fadil."Terima kasih!"Fadil mengangguk, lalu kembali mengajak tim nya untuk ikut menikmati cake birthday miliknya."Ok, silahkan mulai meeting kali ini dengan kudapan yang manis terlebih dahulu," ucap Fadil, saat mempersilahkan tim nya memakan cake birthday ultahnya. Namun, sebelumnya ketua tim mendekat pada Fadil untuk memberikan hadiah untuk Fadil."Ini tidak mahal, tapi tolong terima ini sebagai bentuk perhatian juga ketulusan kami, Pak!" seru ketua tim mewakili yang lain, pada Fadil.Fadil menerima bingkisan itu, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Kemudian memberikannya pada Latifa untuk diurus."Nanti, saya bawa ke kamar Anda. Ini sudah cukup larut lebih baik sekarang kita mulai saja meeting nya."Latifa mengusulkan, yang langsung disetujui semua tim yang ada di sana. Viktor yang bukan bagian tim di minta Fadil untuk tetap st
Latifa usai melakukan panggilan telepon dengan Harsa bergegas menuju ruang meeting. Wanita itu berjalan setengah berlari, khawatir yang lain sudah berkumpul semua di sana, hanya tinggal menunggu dirinya.Ketika sudah sampai di depan ruangan, Latifa menekan handle pintu kemudian sedikit mendorong pintu untuk membukanya.Mata Latifa edarkan ke ruangan. Namun, tidak mendapati sosok Fadil di sana. Dengan segera Latifa menutup kembali pintu tanpa bersuara, kemudian mencari keberadaan Fadil. "Di mana dia?"Tujuan pertama Latifa langsung ke lantai dua.Latifa menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua yang terdapat kamar Fadil di sana. Ketika sudah sampai di tempat yang dituju, Latifa tidak mendapati sang CEO di sana. Sudah berulang kali Latifa mengetuk pintu kamar, si empunya kamar tak kunjung keluar. Latifa memberanikan diri masuk, khawatir Fadil ketiduran. Namun, memang Fadil tidak ada di dalam sana."Di kamar mandi juga tidak ada," cicit Latifa. Wanita itu melihat pintu toilet d
"Ada apa ini?"Harsa bertanya kepada orang-orang yang ramai mengerumuni Dewi sang adik."Siapa perempuan tadi, Harsa ?" tanya salah satu wanita paruh baya yang berada di antara kerumunan itu cukup kasar.Ya kerumunan itu memang di dominasi wanita paruh baya yang memang bergosip menjadi hobi keseharian mereka. "Iya Bli! Siapa perempuan tadi?" Wanita paruh baya lainya, ikut saling bersahutan mencecar Harsa dengan pertanyaan, usai salah satu di antara mereka melontarkan pertanyaan pada Harsa."Itu teman Mas Harsa Buk, mohon maaf kami mau istirahat dahulu, ya!" Dewi menarik sang kakak dari kerumunan wanita paruh baya untuk masuk ke dalam rumah.Tidak lupa dengan sigap Dewi menutup rapat pintu rumah, kemudian menguncinya dari dalam.Suara sorakan, sebagai bentuk protes pun terdengar riuh di luar pintu. Mereka tidak terima dengan sikap Dewi yang tidak mau memberitakan hal yang ingin mereka ketahui.Lagi pula Dewi tidak memiliki keharusan menceritakan apapun kepada ibu-ibu rumpi berkedok