"Oiya ... lupa saya. Lo, sih, Tor malah ngajak ngobrol," ucap Fadil. Pria tampan itu melempar kesalahan pada Viktor, kemudian bergegas kembali berjalan menuju mobilnya untuk mengambil kotak p3k yang sebelumnya ia janjikan pada wanita yang di cintainya.Neta sendiri memilih mengekor Fadil namun, tanpa mereka berdua sadari Viktor juga ikut mengekor."Lo, ngapain lagi mengekor gue, Tor?" tanya Fadil. Pria itu mengetahui Viktor mengikutinya kala membuka pintu mobilnya."Eh ... iya, ya. Kenapa gue justru ngikutin, Lo," ungkap Viktor. Ia bingung sendiri menjelaskan pada Fadil karena kakinya ternyata mengikuti kata hati yang terpikat pada Neta, gadis yang baru beberapa menit yang lalu ia kenal itu.Fadil akhirnya menyerahkan kotak p3k itu pada Neta supaya luka di kaki Latifa lekas segera diobati.Neta kemudian bergegas kembali ke tempat Latifa berada. "Mbak, ini kotak obatnya," ucap Neta."Ngambil di mana Pak Fadil, Ta? Lama banget," ungkap Latifa. Latifa kesal sebab menunggu lama, apalagi
Neta yang tidak nyaman dengan sikap Viktor yang menurutnya terlalu agresif memilih pergi dari hadapan pria itu."Permisi," ucap Neta. Gadis itu kemudian hilang di balik pintu kamar rias pengantin."Yah, kok malah kabur, sih," keluh Viktor.Viktor yang penasaran dengan Neta itu justru ikut berlalu mengikuti langkah gadis itu.Neta menyadari Viktor mengekori dirinya. Gadis itu berhenti dan dengan sigap membalikan badan ke arah belakang.Viktor yang tidak menyadari gerakan cepat Neta terlihat gelisah sambil berpura pura bersiul bersandar pada pelindung tangga.'Dia, tahu kali, ya gue ngikutin, Dia?' celoteh Viktor, dalam hati.Pandangan mata Neta terhunus lurus menatap Viktor penuh kekesalan,"Ada, ya orang kurang kerjaan. Sampai harus ngikutin setiap langkah orang lain mau ngapain."Dengan setengah berlari Neta menuruni anak tangga yang tersisa menghindari Viktor.Viktor bergegas mengekor kembali. Namun, sayang keberadaan Neta tidak ia dapati."Lah, dia lari apa ngilang ? Cepet banget,"
Viktor yang merasa tidak melakukan kesalahan itu bingung karena Fadil tiba-tiba memintanya berhenti bicara. Pria itu berfikir semua ucapannya untuk Latifa adalah hal wajar yang diungkapkan pada pertemuan pertama setelah lama tidak bertemu dengan teman lamanya.Viktor mengangkat bahu meminta penjelasan Fadil akan kesalahan apa yang sudah ia perbuat."Kamu, terlalu banyak bicara. Latifa bisa tidak nyaman dengan pertemuan pertama kalian."Fadil kemudian melihat reaksi Latifa yang datar dan cukup sulit untuk dirinya artikan."Kita foto sekali lagi, yuk. Biar jadi kenang-kenangan," pinta Leni. Wanita yang baru mengakhiri masa lajangnya itu berhasil memberhentikan perdebatan antara Viktor dan Fadil."Viktor ikut berpose, ya. Supaya jadi kenangan kalian reunian dadakan di acara nikahan saya, hehe."Leni kemudian menggeret paksa Latifa agar berdiri di sampingnya.Latifa yang reflek tentu tidak bisa menolak dan dengan kaki yang masih sakit terpaksa mengikuti permintaan Leni."Leni, hati-hati!
Harsa di kampung halamannya setelah tadi pagi tidak bisa menghubungi nomor istrinya memilih diam tidak mengirimkan notifikasi pesan untuk menanyakan keberadaanya lagi. Pria itu kesal dan sengaja ingin tahu istrinya akan meminta maaf padanya atau tidak."Semalam bunda lupa isi daya ponsel, jadi tadi waktu ayah telepon kehabisan daya. Memang tadi kalian bicara apa saja dengan ayah, Sayang?" Latifa mencoba memberi pengertian pada Adam penyebab nomor ponselnya tidak bisa ayah dari anak-anaknya itu hubungi. "Oh ... seperti itu. Lain kali jangan sampai lupa isi daya lagi, ya, Bunda. Om Galih tadi juga ikut kesal nomor bunda katanya tidak aktif," ungkap Adam. Anak itu dengan pintarnya bercerita pada Latifa."Iya, Sayang. Bantu ingatkan bunda, ya setiap hari. Siapa tahu bunda lupa lagi hehe."Latifa mengusap kepala Adam lembut sebelum pergi membersihkan diri dari perjalanan.Setelah rapi Latifa mengajak ke dua anaknya itu bergurau di kamar. Ia ingin melepas rindu dengan ke dua buah hatinya
"Masih teman satu kantor, Mas," jawab Latifa."Oya, tadi Adam bilang mau outing clas, ya? Mas minta maaf belum bisa kirim uang," ungkap Harsa. Keseharian pria itu di Bali lebih banyak waktu untuk merawat nanangnya yang sakit sehingga membuat Harsa tidak fokus jika harus kerja meninggalkan sang nanang di rumah seorang diri. Dewi adik Harsa pun tidak bisa setiap hari menginap di rumah nanangnya karena sang suami meminta dirinya kembali pulang ke rumah. Harsa akhirnya tidak bisa banyak protes dan hanya menerima takdir yang harus ia lalui itu."Beruntung aku kemarin tidak mengikuti mau kamu, Mas untuk resign dari kantor. Misal iya dan ikut ke sana bagaimana kebutuhan keseharian kita?"Entah mengapa Latifa justru mengungkit masa yang telah berlalu."Jika kamu resign, dan kemarin ikut ke sini tentu semua akan berbeda, Sayang. Nanang di rumah ada kamu yang jaga jadi aku pun bisa fokus bekerja untuk menafkahi kalian," tutur Harsa."Apa, Kamu yakin akan mencukupi kebutuhan kami jika aku tidak
Viktor berjalan ke hadapan Neta perlahan. Gadis itu terbelalak kala dugaannya benar."Gimana? Masakannya enak?" Viktor mengulangi pertanyaannya.Latifa melihat Neta hanya diam saja memilih menjawab pertanyaan Viktor dengan pertanyaan kembali."Kamu yang masak memang makanan di kantin kantor ini?""Apakah aku terlihat seperti pria yang pandai mencuri hati wanita dengan cita rasa masakan yang ku buat?"Viktor tertawa garing kemudian pandangan matanya kembali fokus menatap Neta gadis yang mencuri hatinya dari pertama kali berjumpa."Rasa masakan ini biasa saja. Bahkan menurutku rasanya lebih enak masakan yang biasa mengisi menu hidangan di kantin kantor ini," ungkap Neta. Gadis itu sengaja mengutarakan ungkapan sebaliknya dari rasa yang sebenarnya ada pada hidangan makan siang kali ini."Iya kan, Mbak Han, Mbak Ifa?"Neta meminta pembelaan dari ke dua sahabatnya itu.Latifa hanya tersenyum kuda menanggapi pertanyaan Neta. Wanita itu bingung hendak menanggapi apa. Dari nada bicara Neta gad
"Mengapa, Kamu tidak mengantar ini, ke ruangan saya sebelum istirahat makan tadi, hemm?" Fadil mengambil sebuah map berwarna hitam di meja Latifa.'Huh ... gue kira mau ngapain, Dia,' gumam Latifa.Pikirannya sudah dipenuhi rasa takut kala tubuh Fadil makin mendekat padanya.Fadil yang melihat Latifa tidak lekas merespon pertanyaannya itu kembali melontarkan ucapannya," memang apa yang sebenarnya sedang, Kamu pikirkan?"Fadil melihat sekretarisnya saat ini sedang tidak fokus. Pria itu tidak menyadari, sekretarisnya itu menjadi gagal fokus sebenarnya karena ulahnya juga."Maaf, Pak. Saya tadi sudah akan mengantar ke ruangan, Anda. Tapi tadi sebelum istirahat ada yang menghampiri saya kemari untuk pergi ke kantin kantor. Saya jadi lupa dengan map hitam itu," jawab Latifa, apa adanya."Nanti aku belikan, Kamu suplemen otak supaya tidak mudah lupa, " sindir Fadil. Pria itu kemudian kembali keluar dari ruangan Latifa.Sejujurnya Fadil tadi hampir khilaf mengecup bibir Latifa. Beruntung k
"Kita baru bertemu lagi juga," ungkap Fadil."Langsung sebagai sekretaris dan CEO?" Viktor penasaran dengan kedekatan mereka sehingga memilih langsung menanyakannya."Tidak. Dia baru sebulan terakhir menjadi sekretaris gue. Sodara ipar, Lo sendiri yang kemarin menjadi sekretaris, gue," jawab Fadil. Ia menjelaskan sedetail mungkin supaya Viktor tidak menaruh curiga mengenai perhatiannya yang kadang tanpa sadar suka berlebihan pada Latifa.Perasaan memang tidak bisa di bohongi. Kadang gerak tubuh tidak di rasa memberikan respon lebih pada orang yang selalu di hati."Oh ... isu yang gue denger dia sudah berkeluarga, bukan?""Cepet banget, Lo tahu info tentang Latifa, Tor! Jangan bilang awalnya, Lo jadikan dia target, Lo juga!""Masih nethink aja, sih Bos. Gue udah insaf kali. Gue lagi nyari belahan jiwa gue yang sesungguhnya ini," ungkap Viktor."Cih ... Belahan jiwa apa belahan dada," umpat fadil pada Viktor. Fadil melihat Viktor tengah tak berkedip mata kala melihat wanita sexi yang b
Keesokan paginya saat Latifa bangun dari tidurnya sudah mendapati berbagai menu masakan di atas meja makan. Latifa yang penasaran itu tentu tidak tinggal diam. Ia melangkahkan kaki menuju di mana dapur rumah itu berada.Mendengar derap langkah Adhira membalikan badan. Menyudahi aktifitas tanganya yang tengah mencuci piring. " Mbak sudah bangun? Emm, maaf tadi aku bangun langsung masak bahan yang ada untuk sarapan.""Saya kira kamu sudah pergi," ucap Latifa, ketus. "Sebentar lagi saya pergi mbak. Terima kasih sudah mengizinkan saya istirahat sebentar di rumah ini. Jika saya sudah lebih mapan nanti. Saya pasti akan balas jasa baik kalian," ungkap Adhira pada Latifa.Latifa tidak bergeming. Meski kesal wanita itu memilih duduk di bangku meja makan. Tatapan matanya lurus ke depan, bahkan enggan menanggapi ungkapan Adhira.Adhira yang melihat respon Latifa paham jika wanita itu masih kesal padanya. Tidak ingin memperkeruh suasana Adhira akhirnya memilih berpamitan untuk pergi ," salam un
"Aku tidak mungkin membawa kamu ikut serta denganku Adhira!"Harsa mengacak rambutnya kasar. Pria itu di ujung kebingungan sekarang, antara meninggalkan saja Adhira tengah malam di sana atau turut serta membawanya pulang.Jika saja tadi Harsa membawa uang lebih sedikit banyak, pasti sudah ia lebih memilih membaginya secara percuma pada Adhira. Supaya wanita itu bisa mencari tempat tinggal sementara.Harsa menggeledah kantong celana juga sweater yang pria itu kenakan. "Ketinggalan lagi!" umpat Harsa."Cari apa Mas?"Adhira memberanikan diri bertanya pada Harsa yang terlihat meraba seluruh saku yang ada pada baju dan celananya."Ponselku tertinggal. Aku harus ijin istriku dulu jika membawamu ke rumah."Harsa mengulang kegiatan meraba saku yang ada pada pakaian yang ia kenakan. Berharap mendapatkan ponsel miliknya yang jelas lupa ia bawa."Ini pakai punyaku, Mas. Kamu hafal nomor istri Kamu bukan?""Aku jelas hafal ...""Tapi ...."Harsa terlihat menimbang-nimbang keputusan yang akan d
"Ahh, Mas lebih cepat gerakinnya," rengek Latifa. Wanita itu berhasil Harsa enakan siang itu. "Jangan kenceng-kenceng suara kamu, Yanx!" Harsa meletakan telapak tangannya pada mulut Latifa. Kebiasaan pria itu membiarkan telapak tanganya digigit sang istri melampiaskan kepuasannya. Tidak butuh waktu lama, kegiatan panas membara siang itu berakhir sudah. Dengan keduanya berhasil mencapai puncak kenikmatan bersama. "Adam dari tadi sudah panggil dan ketuk pintu terus, Mas," ucap Latifa, dengan suara terdengar kelelahan. "Aku cek Adam dulu, ya! Kamu lekas mandi gantian sama aku." Tanpa menunggu jawaban Latifa kembali, Harsa membuka kunci pintu kamar mereka dan keluar dari sana. Harsa mencari keberadaan Adam yang ternyata sudah tersedu menangis di salah satu sudut ruang tamu," hei anak ayah kok nangis?" Jelas penyebab Adam menangis adalah ulah pergulatan panas sang ayah bersama bundanya yang tidak kunjung membuka kunci pintu kamar mereka. "Tadi ayah sedang bunda kerok jadi g
Latifa mengedarkan pandangan ke sekeliling tempatnya berdiri. Namun, nihil wanita itu tidak menemukan putri kecilnya yang belum terlalu lancar berjalan.Bulir bening akhirnya terjun tanpa permisi membasahi pipi Latifa. Demi apapun wanita itu saat ini terlihat sangat kacau.Ingin berteriak meminta tolong juga terasa percuma sebab masjid sudah terlihat sepi sekarang. Kembali ke mobil, hanya satu pikiran itu yang ada pada benak Latifa.Dengan langkah setengah gontai Latifa berjalan setengah berlari menuju mobil terparkir. Wanita itu berharap suaminya sudah bersama Deja sekarang.Jarak mobil terparkir dengan toilet masjid tidak begitu jauh. Namun, terasa cukup melelahkan Latifa berlari ke sana.Tidak ada siapapun di dalam mobil. Itu yang sekilas Latifa lihat dari radius sekitar sepuluh meter jauhnya.Guna memastikan Latifa gegas memakai sandal jepit miliknya berjalan lebih cepat guna mengikis jarak dengan mobil yang terparkir itu."Tidak ada siapapun di dalam," racau Latifa.Kemudian La
Harsa terpaksa menyetujui persyaratan Latifa yang mengutarakan," aku jika tidak betah boleh pulang kembali ke rumah orang tuaku ya Mas."Penuturan Latifa terus terngiang dalam kepala Harsa. Belum berangkat saja Latifa sudah memberinya ultimatum berkali-kali yang menyatakan dirinya tidak akan betah di Bali.Padahal situasi dan kondisi di sana jelas sudah berubah. Mereka nanti kembali tinggal sekeluarga seperti saat di kota rantau. Bedanya hanya Harsa tidak mengeluarkan uang sewa rumah setiap bulan, sebab mereka menempati rumah tua almarhum kedua orang tuanya.Masalah pekerjaan untuk menafkahi keluarganya Harsa percaya rejeki akan ada saja, selama dirinya tetap bergerak. Malam terakhir Latifa berada di rumah orang tuanya berlalu begitu cepat.Pagi pun tiba, di mana wanita itu dan kedua anaknya harus bersiap untuk ikut Harsa kembali pulang ke Bali.Meski terasa berat meninggalkan tanah kelahirannya yang setahun terakhir membuatnya nyaman dengan nuansa kekeluargaan yang kuat. Latifa ti
"Mas bisa tolong antar saya? Saya akan melakukan wawancara kerja di kota," ucap Adhira pada panggilan telepon dengan Harsa." Hari ini?" Harsa menimpali pertanyaan Adhira. "Iya, Mas. Tapi Adhira bersiap dulu, satu jam lagi jemput ya!"Usai mengucapakan itu Adhira menyudahi panggilan telepon mereka. Adhira memang terbilang paling sering menggunakan jasa Harsa semenjak terakhir kali pria itu menawarkan bantuan langsung padanya.Meski Adhira akui awalnya canggung, sikap ramah Harsa pada setiap orang nyatanya mampu membuat Adhira menjadi nyaman karenanya.Satu jam kemudian Harsa sudah sampai di lokasi tempat Adhira memintanya di jemput. Adhira memang tidak meminta Harsa menjemputnya di kediamannya, mengingat sang ibu mertua pasti langsung menginterogasinya.Adhira masuk ke dalam mobil yang Harsa kemudikan dan duduk di samping kursi kemudi. Selalu di sana, Adhira tidak pernah mau duduk di belakang kalayak seorang penumpang.Harsa mendapatkan satu unit mobil ini dari menjual salah satu lah
Latifa hampir kehilangan keseimbangan ulah Fadil. "Kamu melamun?""Euh ... tidak Pak, maaf." Latifa kemudian menerima potongan cake pertama itu dari Fadil."Terima kasih!"Fadil mengangguk, lalu kembali mengajak tim nya untuk ikut menikmati cake birthday miliknya."Ok, silahkan mulai meeting kali ini dengan kudapan yang manis terlebih dahulu," ucap Fadil, saat mempersilahkan tim nya memakan cake birthday ultahnya. Namun, sebelumnya ketua tim mendekat pada Fadil untuk memberikan hadiah untuk Fadil."Ini tidak mahal, tapi tolong terima ini sebagai bentuk perhatian juga ketulusan kami, Pak!" seru ketua tim mewakili yang lain, pada Fadil.Fadil menerima bingkisan itu, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Kemudian memberikannya pada Latifa untuk diurus."Nanti, saya bawa ke kamar Anda. Ini sudah cukup larut lebih baik sekarang kita mulai saja meeting nya."Latifa mengusulkan, yang langsung disetujui semua tim yang ada di sana. Viktor yang bukan bagian tim di minta Fadil untuk tetap st
Latifa usai melakukan panggilan telepon dengan Harsa bergegas menuju ruang meeting. Wanita itu berjalan setengah berlari, khawatir yang lain sudah berkumpul semua di sana, hanya tinggal menunggu dirinya.Ketika sudah sampai di depan ruangan, Latifa menekan handle pintu kemudian sedikit mendorong pintu untuk membukanya.Mata Latifa edarkan ke ruangan. Namun, tidak mendapati sosok Fadil di sana. Dengan segera Latifa menutup kembali pintu tanpa bersuara, kemudian mencari keberadaan Fadil. "Di mana dia?"Tujuan pertama Latifa langsung ke lantai dua.Latifa menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua yang terdapat kamar Fadil di sana. Ketika sudah sampai di tempat yang dituju, Latifa tidak mendapati sang CEO di sana. Sudah berulang kali Latifa mengetuk pintu kamar, si empunya kamar tak kunjung keluar. Latifa memberanikan diri masuk, khawatir Fadil ketiduran. Namun, memang Fadil tidak ada di dalam sana."Di kamar mandi juga tidak ada," cicit Latifa. Wanita itu melihat pintu toilet d
"Ada apa ini?"Harsa bertanya kepada orang-orang yang ramai mengerumuni Dewi sang adik."Siapa perempuan tadi, Harsa ?" tanya salah satu wanita paruh baya yang berada di antara kerumunan itu cukup kasar.Ya kerumunan itu memang di dominasi wanita paruh baya yang memang bergosip menjadi hobi keseharian mereka. "Iya Bli! Siapa perempuan tadi?" Wanita paruh baya lainya, ikut saling bersahutan mencecar Harsa dengan pertanyaan, usai salah satu di antara mereka melontarkan pertanyaan pada Harsa."Itu teman Mas Harsa Buk, mohon maaf kami mau istirahat dahulu, ya!" Dewi menarik sang kakak dari kerumunan wanita paruh baya untuk masuk ke dalam rumah.Tidak lupa dengan sigap Dewi menutup rapat pintu rumah, kemudian menguncinya dari dalam.Suara sorakan, sebagai bentuk protes pun terdengar riuh di luar pintu. Mereka tidak terima dengan sikap Dewi yang tidak mau memberitakan hal yang ingin mereka ketahui.Lagi pula Dewi tidak memiliki keharusan menceritakan apapun kepada ibu-ibu rumpi berkedok