Bab 6

Malam akhir musim gugur, suasana di dalam mobil terasa hangat seperti musim semi.

Frenny mencium aroma tembakau dari tubuh pria di sampingnya. Merek rokok yang diisap Hardika sama persis dengan yang biasa digunakan Lionel. Frenny menjadi bingung. Dalam kesadaran yang samar, dia mengira pria di sampingnya adalah Lionel ....

Frenny memejamkan mata, menggenggam tangan pria itu, dan memanggil dengan lirih, "Lionel."

Dalam keadaan setengah sadar, dia seolah kembali ke masa lalu.

Masa lalunya bersama Lionel ....

Hardika tidak menarik tangannya, juga tidak berkata apa-apa. Dia hanya menoleh, memandangi gelap malam di depan kaca mobil. Langit hitam legam dengan rintikan hujan yang membuat suhu terasa lembap. Sama seperti suasana hatinya saat ini.

Hardika pernah berhubungan dengan wanita.

Namun, semua itu hanya hubungan timbal balik. Mereka saling memanfaatkan dengan suka rela, tanpa beban emosional sama sekali. Dia belum pernah merasakan cinta sedalam yang dimiliki Frenny. Untuk sesaat, dia merasa penasaran, seperti apa rasanya dicintai oleh Frenny ....

Di kejauhan, langit malam dihiasi oleh kembang api yang perlahan menyala.

Malam seketika menjadi terang, bagaikan siang hari.

Orang yang duduk di kursi penumpang depan bergerak sedikit. Gerakannya lembut dan nyaris tak terdengar, tapi tetap saja Hardika menyadarinya. Dia menoleh dan menatapnya dengan tatapan kelam.

"Sudah sadar?"

Frenny merasa lemas, tapi perlahan-lahan pikirannya mulai jernih.

Meski mabuk, dia samar-samar ingat bahwa Hardika yang membawanya keluar dari bar, tapi detailnya dia sudah tidak terlalu ingat ....

Suara Frenny serak saat bertanya, "Sekarang jam berapa?"

Hardika menjawab, "Baru lewat pukul 01.30."

Frenny memandangi kembang api di langit. Matanya tampak basah, tapi dirinya justru sangat tenang.

Beberapa saat kemudian, dia berkata pelan, "Aku pernah melihat kembang api paling indah di dunia ini. Aku pikir kembang api itu akan selamanya jadi milikku. Tapi aku lupa, seindah apa pun kembang api ... ia hanya muncul sekejap lalu menghilang."

"Sama seperti aku dan Lionel. Dulu aku pikir, dengan meninggalkan segalanya, aku bisa bersamanya selamanya. Sampai akhirnya aku sadar, mungkin Lionel memang pernah membayangkan tentang cinta. Tapi perempuan dalam bayangannya itu, bukan aku."

....

Frenny tersenyum getir. "Hardika, aku gagal sekali ya jadi orang?"

"Nggak kok."

Sorot mata Hardika meredup. "Asalkan kamu bersedia, kamu akan jadi Nyonya Pramudya selamanya."

Ucapan Hardika ini bukan hanya sekadar menghiburnya.

Pria dengan status seperti Lionel tidak akan menceraikan istrinya dengan mudah. Gadis-gadis muda cukup dimanja untuk bersenang-senang, tapi yang layak dijadikan istri, tetap harus wanita seperti Frenny.

Frenny hanya tersenyum tipis. Lalu, dia kembali menatap kembang api di langit dalam diam cukup lama.

....

Lewat pukul dua dini hari, Hardika mengantar Frenny pulang ke Vila Imperium.

Begitu mobil berhenti, Frenny menoleh dan mengucapkan terima kasih dengan suara pelan sambil menyerahkan jas milik Hardika. Namun, Hardika berkata, "Pakai saja dulu. Di luar cukup dingin."

Frenny sempat berpikir akan lebih baik jika jas itu dikembalikan setelah dicuci kering, jadi dia tidak bersikeras lagi. Dia turun dari mobil sambil membawa jas itu, lalu mengucapkan salam perpisahan. Pria itu hanya mengangguk sopan dari dalam mobil, kemudian menginjak gas dan mengendarai mobilnya keluar dari kompleks vila.

Cahaya bulan tampak dingin, angin malam kembali berembus ....

Frenny menyentuh pelipisnya, terasa nyeri berdenyut di kepala.

Seorang pelayan segera menyambutnya.

Begitu mendekat, dia langsung mencium bau alkohol dari tubuh Frenny.

Namun, sang pelayan tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya bertanya dengan penuh perhatian, "Nyonya habis minum ya? Tuan Lionel barusan menelepon katanya sebentar lagi akan mampir untuk mengambil beberapa set pakaian ganti. Apa Anda yang ingin menyiapkannya, atau saya saja yang ke atas?"

Frenny sudah bertekad untuk bercerai, jadi dia tidak terlalu peduli soal urusan Lionel.

Dia menyuruh pelayan untuk menyiapkannya, sementara dirinya naik ke atas dengan langkah gontai sambil membawa jas pria itu. Begitu masuk kamar dan menyentuh ranjang, dia langsung tertidur dalam keadaan setengah sadar.

Angin malam sempat meniup tirai putih yang tergantung di jendela. Cahaya bulan masuk perlahan, menyelimuti tubuh Frenny di atas ranjang. Wanita yang terbaring di atas ranjang tampak seolah-olah diliputi cermin yang membuatnya terlihat menawan.

Jas pria berwarna hitam itu tergeletak begitu saja di ujung tempat tidur ....

....

Larut malam, suara mobil terdengar dari arah halaman depan.

Lionel telah kembali. Namun, dia tidak langsung turun. Dia hanya membuka pintu mobil Bentley hitamnya. Malam ini, setelah pertengkaran dengan Frenny ditambah kondisi Natasha yang memburuk, dia hanya berniat mengambil beberapa set pakaian lalu segera pergi lagi.

Pelayan yang mendengar suara mobil segera berlari mendekat, lalu menyerahkan tas berisi pakaian ganti kepada Lionel yang masih duduk di dalam mobil. Sambil menyerahkannya, dia berkata, "Nyonya baru saja pulang! Sepertinya tadi banyak minum, untung Pak Hardika yang baik hati mengantarnya pulang."

Lionel mengerutkan kening. Frenny minum?

Dia berpikir sejenak, lalu memutuskan naik ke atas untuk melihat keadaannya.

Beberapa menit kemudian, Lionel sudah berada di lantai dua. Dia mendorong pintu kamar utama dan masuk.

Lampu kamar masih redup. Di udara tercium aroma anggur merah yang samar-samar, bahkan napas Frenny yang sedang tertidur pun terasa manis ....

Lionel mengangkat tangannya dan menyalakan lampu dinding kamar. Dalam sekejap, kamar langsung terang benderang.

Saat itu juga, dia melihat istrinya sedang tertidur di atas ranjang. Rambut panjangnya berantakan, terurai menutupi dadanya. Kemeja sutra yang dikenakannya terbuka lebar di bagian leher, menampakkan kulit putih yang halus. Rok hitam di tubuhnya tersingkap sedikit akibat gerakan saat tidur, memperlihatkan lekuk tubuh yang menggoda ....

Frenny memang punya tubuh yang indah.

Sebagai suaminya, Lionel tahu itu lebih dari siapa pun. Hanya saja, Frenny selalu kaku dan tidak bisa rileks. Di ranjang, dia cenderung dingin. Bahkan kadang saat sedang bersama, dia masih bisa membicarakan soal pekerjaan. Lama-kelamaan, gairah pria mana pun pasti padam.

Namun, pemandangan di ranjang malam ini tetap menggugah naluri pria dalam diri Lionel. Mungkin karena sudah lama tidak melepaskan hasrat, sehingga dia ingin memeluk seorang wanita. Padahal, biasanya dia bukan pria yang mudah tergoda.

Lionel duduk di tepi ranjang sambil memandangi istrinya.

Frenny tertidur lelap, tetapi alisnya masih berkerut. Kelihatannya dia sedang sangat sedih.

Frenny menyukainya, Lionel selalu mengetahui hal itu. Namun, Lionel tidak mencintai Frenny. Yang bisa dia berikan hanya status sebagai Nyonya Pramudya .... Cinta dan kasih dalam pernikahan, memang bukan bagian dari rencananya sedari awal.

Lionel mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah istrinya dengan lembut.

Rasanya ... dingin sekali.

Tatapan mata Lionel semakin dalam. Dia berkata dengan suara rendah, "Apakah status sebagai Nyonya Pramudya belum cukup bagimu, Frenny? Perasaan yang terlalu dalam hanya akan membuat seseorang celaka. Aku pikir, setelah melihat dunia luar begitu luas dan indah, kamu sudah melepaskan soal cinta."

Yang menjawabnya hanyalah napas ringan dan teratur dari Frenny.

Saat Lionel hendak bangkit dan pergi, matanya tanpa sengaja menyapu ke arah ujung ranjang, lalu tiba-tiba terdiam. Di ujung tempat tidur, tergeletak sebuah jas pria.

Lionel mengulurkan tangan untuk mengambil jas itu. Jas dari salah satu merek rancangan khusus premium. Sebagian besar pakaian formal miliknya juga dari merek ini, tapi jas ini jelas bukan miliknya.

Ini berarti Hardika yang meninggalkan jas ini.

Seketika, Lionel merasa sangat tidak nyaman. Meski dia tahu Hardika tidak memiliki maksud pada Frenny, naluri kepemilikan alami seorang pria membuatnya sangat terusik ....

Frenny adalah istrinya!

....

Di lantai satu, ruang tengah masih terang benderang.

Pelayan belum tidur karena menunggu Lionel turun. Akhirnya, suara langkah kaki terdengar dari tangga.

Lionel turun dengan wajah kesal, lalu dia menyerahkan jas di tangannya kepada pelayan dan berkata dengan datar, "Bawa jas ini ke tempat penatu untuk cuci kering, lalu kirimkan ke firma hukum milik Hardika."

Pelayan menerima jas itu dan tidak berani berkata apa pun.

Lionel membuka pintu mobil Bentley hitamnya dan bersiap pergi ke rumah sakit. Namun, sebelum menyalakan mesin, dia terdiam sejenak.

Kepalanya mendongak menatap ke arah lantai dua rumah utama.

Frenny sedang tidur di atas sana ....

Malam ini, mereka bertengkar hebat. Frenny sempat mengatakan bahwa ada hal penting yang ingin dia sampaikan ....