Setiap huruf yang tertera di atas kertas itu, dibaca Lionel berulang kali hingga matanya terasa perih dan berair.Tiba-tiba, dia memahami semua penderitaan dan air mata Frenny.Barulah dia mengerti, mengapa Frenny mengajukan pertanyaan dengan begitu histeris di tempat parkir malam itu. "Lionel, kenapa bahkan lima menit pun kamu nggak bisa berikan untukku? Lionel, apa kamu masih Lionel yang dulu?"Ternyata, Frenny tidak bisa punya anak lagi!Lionel memang tidak mencintai Frenny, tapi Frenny adalah seseorang yang penting baginya. Frenny telah menemaninya selama empat tahun, melewati masa tergelap dalam hidupnya, hingga menyaksikannya berdiri di puncak kekuasaan.Saat mereka menikah, mereka pernah sepakat akan punya dua anak. Satu diberi nama Asha Pramudya, satu lagi Ashir Pramudya.Lionel duduk perlahan di pinggir ranjang.Wajahnya yang biasanya gagah dan percaya diri, kini tampak hancur dan rapuh. Dia merogoh sakunya untuk mengambil sebatang rokok, lalu menyalakan api dengan kepala tert
Di mata Lionel, terlihat jelas sorot seorang pria yang penuh hasrat.Frenny mulai merasa kesal. Dia memang tidak ingin bertemu dengan Lionel. Urusan perceraian mereka akan ditangani oleh pengacara.Dia berniat menutup pintu, tetapi Lionel lebih cepat. Dia mengangkat kakinya dan menahan pintu, lalu menyelinap masuk ke dalam dengan mudahnya ....Begitu pintu tertutup, Frenny langsung ditarik ke dalam pelukannya.Lionel merangkul pinggang rampingnya dan memeluknya dengan erat seakan ingin menyatu. Dia mencium Frenny dengan liar, hampir seperti orang yang kehilangan kendali. Frenny tak punya tenaga untuk melepaskan diri. Dengan pasrah, mereka terseret dan terhuyung ke depan sofa.Sofa yang empuk justru membuat gerak Lionel makin leluasa ....Lionel tidak pernah seperti ini sebelumnya!Di bawah cahaya lampu dan dengan suara lirih yang menggoda, semua itu tak cukup untuk mengembalikan akal sehat pria itu. Sampai ketika pandangannya jatuh pada sebuah tanda lahir merah samar di kulit wanita it
Frenny merasa ada yang tidak beres. Pasti dia sedang patah hati.Namun, sebagai calon istri, Frenny tidak punya hak untuk ikut campur dalam kehidupan pribadi Lionel. Itulah prinsip dasar seorang wanita yang sadar dan waras.Frenny memang tidak bisa mengusirnya, tapi juga tidak berminat melihat Lionel merokok. Dia mengikat rambut basahnya ke belakang dengan jepit rambut, lalu mengenakan sandal rumah dan berjalan ke dapur. Dia berniat memasak semangkuk mie sayur untuk dirinya sendiri.Padahal, Frenny sebenarnya cukup pandai memasak. Hanya saja sejak menikah dengan Lionel, dia jarang sekali punya kesempatan untuk masuk dapur. Kini setelah tinggal sendirian, dia memasak masakan sederhana untuk dirinya sendiri setiap hari.Tak lama kemudian, dari dapur mulai tercium aroma daun bawang tumis yang harum, membawa kesan rumah tangga yang hangat dan damai.Sementara itu, Lionel masih duduk di sofa. Dari sudut tempatnya duduk, dia bisa melihat punggung Frenny. Wanita itu masih mengenakan kemeja hi
Pagi-pagi sekali, mobil penyiram jalan di kota melintas di bawah apartemen. Lagu yang terdengar dari pengeras suara di mobil adalah salah satu lagu favorit Frenny.Sinar mentari pagi menerobos masuk ke kamar tidur, tirai jendela melambai perlahan. Di sisi tempat tidur, Lionel sudah tidak ada lagi.Malam sebelumnya, Lionel memang tidak memaksanya. Namun sepanjang malam, dia beberapa kali terbangun dan mencium Frenny berkali-kali ....Seperti seseorang yang telah menahan diri terlalu lama. Dalam ciuman yang setengah sadar itu, Frenny seolah mendengar Lionel berkata, "Frenny, ayo kita mulai dari awal lagi."Mulai dari awal ....Bagi Frenny, kata-kata itu memiliki daya tarik yang begitu kuat. Akan tetapi, luka di masa lalu membuatnya takut. Malam itu di Klub Chamber, sikap Lionel yang meledak-ledak itu membuatnya gentar. Dia takut, pada akhirnya semua ini hanya akan menjadi mimpi kosong yang terulang.Setelah itu, Lionel datang terus selama tiga sampai empat malam.Tak ada yang istimewa. D
Frenny tak kuasa berpikir, 'Sebesar apa cintanya sampai dia bisa mengabaikan semua gosip yang beredar?'Frenny tidak ingin melihat lebih lama lagi. Dia hendak berbalik dan pergi, tapi suara Natasha yang manja terdengar dari belakangnya. "Bu Frenny."Frenny menoleh dan menatap pasangan busuk itu.Natasha masih merangkul leher Lionel dengan erat, lalu berkata dengan manja, "Bu Frenny, aku dan Lionel nggak ada apa-apa, kok! Badanku tadi nggak nyaman, jadi dia cuma membantuku saja."Belum sempat Frenny membuka suara, Messie langsung menyela dengan sopan, "Bu Frenny ya? Natasha dan Lionel sudah dekat sejak kecil. Mereka cuma saling perhatian, kamu pasti nggak keberatan, 'kan?"Frenny memalingkan pandangan pada Lionel.Suaminya masih memeluk Natasha, hanya saja alisnya sedikit mengernyit.Frenny sama sekali tidak berminat untuk bersaing atau cemburu. Yang dia rasakan hanyalah perasaan muak terhadap ibu dan anak Keluarga Wijaya itu.Akhirnya, dia tertawa sinis, "Bu Messie, kalau putrimu meman
Larut malam, Frenny menyetir mobil pulang ke rumah.Begitu mobil berhenti, dia melepas sabuk pengaman dan hendak turun. Namun seketika, tatapannya membeku.Mobil Lionel terparkir di pohon seberang. Pria itu bersandar santai di sisi mobilnya dengan mengenakan setelan serba hitam. Kepalanya sedikit menengadah saat mengisap rokok, jakunnya yang menonjol tampak sangat menggoda.Asap rokok perlahan mengepul, meliputi wajah tampannya yang maskulin, lalu terembus oleh angin malam. Dalam gelapnya malam, sosok Lionel seolah menyatu dengan kegelapan itu sendiri.Begitu melihat Frenny, tatapan mata Lionel menjadi dalam dan tajam. Beberapa saat kemudian, dia menjatuhkan puntung rokok dan menginjaknya hingga padam, lalu berjalan mendekat.Frenny tidak ingin menemuinya. Begitu turun dari mobil, dia segera melangkah cepat ke arah pintu lift. Di belakangnya, langkah kaki Lionel terdengar stabil dan tak tergesa-gesa.Akhirnya, Lionel berhasil mengadangnya di depan pintu apartemen. "Frenny, kita bicara
Sekarang, Frenny tidak lagi menyukainya. Sebenarnya sejak kapan dia mulai kehilangan perasaan cinta dari Frenny?....Tiga hari kemudian, di kantor direktur Grup Rahayu.Suasana hati Lionel jelas sedang buruk.Di atas meja kerjanya tergeletak sebuah surat panggilan dari pengadilan. Penggugatnya adalah istrinya sendiri, Frenny. Dalam surat itu, Frenny secara resmi meminta pengadilan untuk mengesahkan perceraian serta membagi harta gono-gini.Lionel bersandar di sofa, kakinya yang panjang disilangkan santai, dan satu tangan memegang surat panggilan itu. Dengan suara tenang, dia bertanya pada Reyna yang berdiri di samping, "Dia sudah sewa pengacara?"Reyna menjawab jujur, "Dia memakai jasa Pak Donald yang terkenal di dunia hukum. Orang itu sangat hebat. Kalau dia yang turun tangan, khawatirnya bahkan Pak Hardika juga tidak menjamin bisa menang."Lionel menoleh padanya dan berkata dengan datar, "Siapa bilang aku mau melawan Frenny di pengadilan? Itu hanya keinginannya sepihak. Aku nggak be
Hardika tampil sangat rapi dan formal hari itu.Kemeja biru tua, jas hitam pas badan, dan dasi gelap berwarna kehitaman. Seluruh penampilannya mencerminkan kesan dingin, tegas, dan sulit dijangkau.Dia menatap Frenny sambil tersenyum tenang. "Boleh aku duduk dan minum secangkir kopi bersamamu?"Setelah beberapa detik, Frenny tersenyum tipis. "Tentu saja."Hardika meletakkan tas kerjanya di samping kursi. Baru saja duduk, seorang pramusaji sudah menghampiri dengan ramah. "Bapak mau pesan kopi apa?"Ujung jari Hardika yang ramping mengetuk meja ringan. "Blue Mountain.""Baik, Pak," jawab pelayan.Begitu pelayan pergi, Hardika menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu menyentuh sakunya hendak mengambil rokok. Namun, begitu sadar akan lingkungannya, dia mengerutkan kening sedikit dan mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya, dia menoleh menatap Frenny.Sudah beberapa waktu sejak terakhir kali mereka bertemu. Tampaknya, Frenny sekarang sudah banyak berubah.Gaun rajut wol panjang berwarna krem
Di ruang presdir Grup Rahayu.Lionel bersandar di kursi kulit, tengah menganalisis dirinya sendiri dengan serius.Segala hal yang dia lakukan, semua demi menjaga kestabilan pernikahannya, demi seorang pewaris yang sah. Dia tidak membenci Frenny, bahkan sedikit menyukainya.Setidaknya dalam urusan itu, belakangan ini mereka cukup kompak. Pria memang makhluk penuh hasrat. Jika nafsu mereka terpenuhi di ranjang, mereka akan menjadi lebih murah hati.Lionel bersedia memperlakukan Frenny dengan baik, membiarkannya menikmati segala keuntungan dari sebuah pernikahan, memberi ilusi cinta kalau memang itu yang diinginkan Frenny.Namun, semua itu tidak ada hubungannya dengan cinta. Lionel tetap tidak mencintai Frenny.Saat dia tenggelam dalam pikirannya, Reyna mengetuk pintu dan masuk. "Pak Lionel, ada telepon dari Jenewa."Lionel menerima ponselnya, mengangguk ringan. "Kamu keluar dulu."Reyna kembali ke ruang sekretaris sambil berpikir dalam hati, 'Telepon dari Jenewa selalu datang seminggu se
Lionel menghampiri Frenny, sorot matanya dalam. "Kenapa kamu ke sini?"Frenny mengangkat tas dokumennya. "Bukan buat kencan."Tatapan Lionel semakin suram. Dia mengajak istrinya, "Temani aku makan sedikit lagi ya?"Frenny tidak memberi muka. Dia bahkan tidak melirik ke arah Molly, hanya berkata dengan suara datar, "Aku sudah kenyang. Lionel, kalian lanjutkan urusan kalian. Aku pulang dulu."Detik berikutnya, Lionel meraih pergelangan tangannya. Dengan alis berkerut, dia memanggil, "Frenny."Frenny hanya tersenyum tipis, memandang Lionel sambil berkata, "Bukankah kalian sedang bicara soal kerja sama? Aku nggak seposesif itu, apalagi kita cuma pasangan kontrak, 'kan? Kalau waktunya habis, kita bubar. Kamu mau sama siapa, itu bukan urusanku."Alis Lionel berkerut semakin dalam. Tentu saja dia tahu Frenny merajuk. Namun, karena dia merasa tersinggung, dia pun tidak memiliki kesabaran untuk membujuk dan langsung membiarkannya pergi.Frenny juga tidak menunjukkan sedikit pun rasa menyesal. D
"Istriku sangat baik, dia adalah wanita yang luar biasa. Tapi, aku nggak mencintainya.""Aku yakin, aku nggak punya perasaan cinta sebagai pria kepada wanita terhadapnya. Aku berhubungan intim dengannya hanya karena ingin punya ahli waris yang sah.""Tapi, entah kenapa aku seperti kecanduan. Padahal sebelumnya, aku ini pria yang selalu bisa menahan diri."Lionel benar-benar bingung.Beberapa saat kemudian setelah evaluasi, dokter berkata, "Pak Lionel, yang pertama-tama harus kamu pastikan adalah apa kamu benar-benar nggak mencintai istrimu? Perasaan antara pria dan wanita itu sangat sulit dipahami, bukan hal yang sepenuhnya subjektif maupun objektif."Lionel mengerutkan kening, menolak untuk berpikir ke arah sana. Karena di masa mudanya, dia pernah mencintai seseorang. Dia tahu betul seperti apa rasanya jatuh cinta.Setelah sesi konsultasi berakhir, Lionel mengancingkan jasnya dan keluar dari ruang konsultasi.Di luar, Reyna menunggu di depan pintu. Saat melihatnya keluar, Reyna bertan
Frenny sedang sakit, jadi tentu tidak mungkin melakukan hubungan suami istri. Dia kembali ke ranjang untuk beristirahat.Dari arah kamar mandi, terdengar suara gemercik air. Lionel sedang mandi. Suara air itu menenangkan, membuat Frenny mengantuk. Tanpa sadar, Frenny pun tertidur.Dalam mimpinya, Lionel masih saja terus mengganggunya, tidak mau melepaskannya. Saat terbangun lagi, waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari.Di kamar hanya ada satu lampu baca yang menyala. Lionel bersandar di ujung ranjang, sedang membaca dokumen penting.Penampilannya memang luar biasa. Bahkan hanya dengan jubah mandi putih, dia tetap tampak memukau. Frenny sekalipun tidak bisa menahan diri untuk menatapnya beberapa kali.Gerakan kecil dari tempat tidur membuat Lionel menoleh. Dia menatap Frenny sambil bertanya pelan, "Sudah bangun?"Frenny mengangguk. "Sekarang jam berapa?"Lionel meletakkan dokumen di tangan, lalu membaringkan setengah badannya dan merangkul pundak istrinya. Suaranya terdengar lembut d
Tak lama kemudian, Lionel membuka pintu kamar utama.Kamar itu tenang dan sunyi. Di udara tercium samar aroma feminin. Saat melangkah lebih dalam, dia melihat Frenny terbaring di ranjang. Tampaknya sedang tertidur.Lionel berjalan mendekat, lalu berlutut di sisi ranjang. Dia menyibakkan helaian rambut dari wajah Frenny dan menyentuh keningnya. Masih panas.Frenny terbangun, demam membuatnya tampak linglung. Tatapannya bertemu mata Lionel. Suara lembut keluar dari bibirnya. "Kamu sudah pulang?"Jantung Lionel berdebar-debar. Dia mengelus lembut wajah istrinya dan menjawab pelan, "Aku sudah minta mereka bawakan bubur ke atas. Makan sedikit, baru tidur lagi. Badanmu masih nggak enak ya?"Saat menyentuhnya, Lionel seperti mengelus anak anjing kecil. Frenny merasa sedikit canggung. Dia mengangkat tangan dan menyentuh kening Lionel. Pria ini tidak demam.Lionel terkekeh-kekeh, merasa kesal sekaligus geli. "Salah ya kalau aku perhatian? Dulu kamu selalu bilang aku kurang peka."Frenny bersand
Di ruang rapat, Lionel sedang memimpin rapat pagi saat Reyna masuk sambil membawa ponselnya. Lionel mengangkat alis, sedikit terkejut, lalu mengambil ponsel itu.Suara dari seberang adalah suara asisten rumah tangganya. "Tuan, Nyonya sakit. Demamnya sudah sampai 39 derajat, aku khawatir Nyonya nggak kuat."Meskipun agak dramatis, pesannya cukup jelas.Lionel hendak bicara, tetapi menyadari para eksekutif di ruang rapat sedang memandangnya, dia tersenyum ringan. "Frenny sakit. Dia telepon cuma buat manja-manja, suruh aku pulang cepat."Para eksekutif terdiam. Kalau bukan karena mereka tahu betapa parahnya pertengkaran Lionel dengan Frenny sebelumnya, mereka mungkin akan percaya.Setelah pamer kemesraan, Lionel berpesan kepada pembantu untuk menjaga Frenny baik-baik dan berjanji akan pulang lebih cepat. Tutur katanya penuh perhatian, seolah-olah dirinya adalah suami ideal.Setelah menutup telepon, Lionel lanjut memimpin rapat. Hal pertama yang diumumkan adalah Natasha dikeluarkan dari Pr
Lionel menyalakan sebatang rokok, lalu melangkah masuk ke ruang VIP di rumah sakit. Kebetulan saat itu, Dennis sedang melakukan konsultasi di sana.Melihat Lionel datang, Dennis menyapa dengan senyum tenang. "Lionel, kamu juga datang. Rencana operasinya sudah hampir beres, tinggal menentukan tanggal operasinya saja."Kondisi tubuh Tabita belum cukup kuat, jadi masih perlu pemulihan. Akhirnya, Dennis menetapkan operasi akan dilakukan dua minggu lagi. Frenny pun merasa lega.Dennis juga mengundang seorang teman lamanya. Lionel pun mengantar mereka sampai ke tempat parkir.Sepanjang jalan, Dennis terus memuji Frenny. Sebelum pergi, dia menepuk pundak Lionel sambil berpesan, "Perlakukan dia baik-baik. Dia gadis yang baik, aku bisa lihat itu. Kalau kamu lepasin dia, belum tentu dapat yang sebaik ini lagi."Lionel tersenyum tipis dan membukakan pintu mobil untuk Dennis. "Tenang saja, Paman Dennis."Dennis tertawa dan masuk ke mobil. Tak lama kemudian, mobil mewah itu perlahan melaju dan mele
Lionel berbaring di atas ranjang, tatapannya dalam dan kelam. Tak lama kemudian, dia juga turun dan masuk ke kamar mandi. Frenny sedang mencuci muka.Pria itu memeluk pinggang rampingnya dari belakang, dagunya bertumpu di bahu sang istri. Suaranya rendah dan serak. "Tunggu dua tahun lagi ya? Setelah aku 30 tahun, kita baru punya anak. Kamu 'kan selalu bilang ingin melakukan sesuatu."Frenny mengangkat kepala, menatap wajah tampan Lionel di cermin, seolah-olah sedang melihat orang asing.Setelah hening beberapa saat, Frenny tersenyum tipis. "Lionel, trik apa lagi yang kamu mainkan?"Ucapan itu menohok. Hati Lionel terasa sakit. Dia tidak menjawab, hanya langsung mengangkat tubuh Frenny, menggendongnya sampai ke depan jendela besar kamar. Di bawah cahaya matahari pagi, dia terus mencium Frenny ....Tirai putih melambai ringan ditiup angin pagi. Tubuh wanita itu lembut dan halus bagaikan sutra.....Menjelang siang, pasangan suami istri itu baru keluar dari kamar. Frenny masih harus menje
Di luar dugaan, Lionel berhenti bergerak. Dia menunduk menatap Frenny yang berada dalam pelukannya. Jakunnya bergerak naik turun, menunjukkan betapa berusaha dia menahan diri.Beberapa saat kemudian, Lionel bangkit dari tubuhnya. Bisa dibilang, dia melepaskan wanita itu malam ini. Dengan ekspresi datar, Lionel berkata, "Mandi sana."Ketika Frenny bangkit, kedua kakinya terasa lemas dan gemetar. Saat tertatih-tatih menuju kamar mandi, dia bahkan terkejut melihat bayangannya sendiri di cermin, terlalu berantakan dan kacau.Di kamar tidur, Lionel membalikkan tubuh. Setelah menarik napas beberapa kali, dia meraih laci di samping tempat tidur, mengambil sebungkus rokok, lalu meletakkan sebatang rokok di bibirnya.Kemudian, dia berjalan ke depan jendela besar di ruang tamu untuk duduk, membuka sedikit celah, dan berdiri di sana sambil perlahan mengisap rokoknya.Cahaya lampu kekuningan menyinari wajah Lionel. Bagian wajah yang terkena cahaya terlihat bersih, sementara kelopak matanya membent