Penampilan istrinya pun kini berbeda dari dulu. Dia tidak lagi memakai setelan formal yang kaku, gaya berpakaiannya sekarang justru membawa kesan lembut dan menggoda, seperti seseorang yang dengan sengaja berdandan untuk sebuah kencan.Lionel merasa tidak nyaman. Dia mengambil ponselnya dan langsung menekan nomor Frenny.Begitu telepon tersambung dan Frenny baru saja menjawab, suara Lionel langsung terdengar dingin di seberang sana, "Kamu di mana?"Butuh beberapa detik sebelum Frenny menjawab, "Apa aku harus lapor padamu ke mana aku pergi? Lionel, kita ini sudah mau cerai."Lionel menjawab singkat, "Itu cuma keputusan sepihak darimu."Frenny tertawa pelan karena kesal. "Oh, begitu?"Dia tidak ingin lagi terlibat dalam perdebatan yang tiada akhir. Dengan nada yang ditahan agar tetap tenang, Frenny berkata, "Aku ini sudah nggak punya nilai guna lagi buat kamu. Jadi, kenapa kita nggak bisa berpisah baik-baik? Lionel, sejujurnya aku sudah nggak bisa ....""Frenny!" bentak Lionel menghentik
Musim gugur, daun-daun berguguran membentuk aliran seperti sungai.Di sebuah vila di pinggiran Kota Iskap, deretan mobil hitam meluncur masuk satu per satu. Total ada tujuh hingga delapan mobil. Pemandangannya sungguh megah dan mencolok.Para pelayan di dalam vila berusaha menghentikan. Namun, bagaimana bisa mereka menahan 20 lebih pria berbaju hitam? Seorang pelayan tua bahkan diangkat secara paksa, lalu dibawa ke hadapan Frenny. Seluruh tubuhnya gemetar karena ketakutan.Tatapan mata Frenny dingin dan tajam. "Natasha ada di dalam?"Pelayan tua itu hanya berpura-pura bodoh melirik ke sekeliling, lalu mengoceh tidak jelas.Namun, Frenny tidak peduli. Dia melangkah melewati pelayan itu langsung menuju ruang utama vila, diiringi oleh Annie dan lebih dari 20 orang petugas keamanan.Di dalam, Natasha sedang bersantai di sofa sambil menikmati masker wajah. Namun, tiba-tiba ruangan dipenuhi orang-orang berseragam hitam.Dia terkejut sejenak, lalu segera berteriak, "Siapa kalian ini?! Kalian
Para petugas keamanan menyeret Natasha tanpa sedikit pun rasa iba.Dalam waktu singkat, lengan dan pahanya yang putih mulus sudah dipenuhi dengan lebam-lebam. Penampilannya ini tampak sangat menakutkan. Seluruh vila pun dipenuhi dengan jeritan histerisnya yang membabi buta ...."Kamu itu perempuan tua jalang!""Kamu nggak bisa punya anak, makanya iri sama aku yang hamil!""Lionel nggak akan membiarkanmu! Dia bakal kasihan sama aku! Dia bakal makin sayang sama aku!"....Ucapan-ucapan itu bagaikan jarum yang menusuk hati Frenny. Begitu padat dan menyakitkan. Dia melangkah ke hadapan Natasha. Satu tangannya terangkat tinggi, bersiap untuk menampar keras wajah gadis itu.Namun, tamparan itu tidak pernah mendarat.Lionel sudah datang.Cahaya senja membingkai wajahnya yang kelam dan penuh amarah, membuat siapa pun yang melihat merasa merinding.Pandangan matanya menyapu seluruh vila yang kini hancur berantakan. Wajah Natasha yang bengkak, lengan dan pahanya yang memar, tubuhnya yang lemah s
Annie menarik napas dalam-dalam.Suaranya bergetar saat dia melanjutkan, "Natasha hampir saja membuat nenek Bu Frenny meninggal! Dia bohong bahwa dia hamil anakmu. Waktu itu, nenek Bu Frenny nyaris kehilangan nyawa karena syok. Kamu ... kamu malah menampar Bu Frenny demi dia."Lionel tertegun.Natasha hamil? Mana mungkin?Tatapannya berubah kelam saat menoleh pada Natasha. "Kamu bilang ke neneknya Frenny kalau kamu hamil?"Natasha langsung panik.Dengan wajah memelas, dia merengek dan mencoba merayu Lionel, "Aku cuma kesal! Dia selalu sok hebat di depanku, makanya aku .... Lionel, aku nggak sengaja."Namun, Lionel mendadak melepaskan tangannya dari tubuh Natasha, lalu berbalik dan melangkah cepat keluar. Di belakang, suara Natasha terdengar makin panik, "Lionel ...."Akan tetapi, Lionel tak menoleh sedikit pun.Natasha terdiam. Ini pertama kalinya, Lionel benar-benar pergi dan tidak kembali padanya.Dia tidak mau percaya. Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa Frenny ternyata punya temp
Lionel tetap berdiri di sana dengan ekspresi datar, membuat orang tidak bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan.....Lionel masih berdiri di ambang pintu saat orang tua Natasha akhirnya tiba. Begitu melihat vila yang berantakan, Messie langsung berteriak nyaring, "Apa yang terjadi di sini? Siapa yang berani hancurin rumah Presdir Grup Rahayu?"Natasha menutupi wajahnya. "Itu ulah Frenny."Aura galak Messie sontak mereda. Namun, tak lama kemudian, dia tertawa dingin. "Dia nggak akan bisa sombong terlalu lama! Begitu Lionel menceraikannya, dia hanya seorang yatim piatu. Kita bisa menginjaknya habis-habisan."Suaminya, Harvey, masih punya sedikit hati nurani. Dia mengernyit. "Jangan bicara begitu. Dia dan Lionel tetap suami istri yang sah!"Messie tampak tidak senang. "Sah apanya? Menurutku, mereka cuma pasangan palsu. Kalau bukan karena waktu itu ...."Harvey langsung menegur. Messie pun tidak melanjutkan lagi. Dia hanya memanggil pelayan untuk mengambilkan es batu dan membantu mengom
Frenny tidak ingin berhadapan dengannya, jadi dia berdalih ke kamar mandi. Faktanya, dia hanya bersandar di dinding, melamun dalam diam, menunggu Lionel cukup tahu diri untuk pergi.Sekitar 10 menit kemudian, pintu kamar mandi berderit. Cahaya putih menyinari masuk dari celah pintu yang terbuka. Sesaat kemudian, Lionel berjalan masuk.Dalam ruang yang remang-remang, hanya ada mereka berdua, suami istri.Frenny tidak menatapnya dan menolak berkomunikasi.Lionel melangkah mendekat. Bayangan tubuhnya yang tinggi menutupi Frenny. Dia mengulurkan tangan, menyentuh lembut wajah Frenny. Suaranya parau dan lembut. "Masih sakit?"Frenny langsung memalingkan wajah. Dia sangat muak dengan sentuhan ini dan menunjukkannya dengan jelas.Namun, Lionel bukan pria yang mudah diusir. Dia menahan Frenny. Satu tangannya mencubit dagu wanita itu dengan lembut sambil mengelus wajahnya, seolah-olah sangat menghargainya. Faktanya, di mata Frenny, semua ini sungguh ironis.Frenny ingin menepis tangannya, tetap
Frenny meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumah. Lionel mengikuti dari belakang.Saat Frenny memarkirkan mobilnya, dia melihat Lionel sudah berdiri di luar mobil. Mobil pria itu lebih dulu berhenti di bawah pohon payung.Begitu Frenny turun, Lionel mengadangnya. "Kita perlu bicara."Frenny menghindar dan berjalan menuju lift. "Lionel, nggak ada yang perlu dibicarakan. Sampai ketemu di pengadilan."Dia naik ke atas, tetapi Lionel tetap mengejarnya. Frenny tidak membiarkannya masuk. Begitu menutup pintu, Frenny bersandar pada pintu. Lionel adalah cinta masa mudanya. Faktanya, melepaskan dirinya dari pria itu sangat menyakitkan ....Setelah menenangkan diri, Frenny mengambil pakaian untuk mandi, bersiap untuk beristirahat. Apakah Lionel sudah pergi atau belum, dia sudah tidak peduli lagi.Malam semakin larut. Lampu-lampu di jendela perlahan padam satu per satu. Di mobil hitam yang terparkir di lantai bawah, lampu di dalam menyala samar. Seorang pria berpakaian serba hitam duduk tegap
Seminggu kemudian, Frenny akhirnya mendapatkan toko itu. Karena lokasinya strategis dan harganya bagus, dia langsung menandatangani kontrak 5 tahun. Frenny menulis cek dan menyerahkannya kepada pemilik toko.Di tengah kondisi ekonomi yang kurang baik, kontrak 5 tahun jelas membuat si pemilik sangat senang. Namun, karena ada urusan, si pemilik pun pamit lebih dulu.Frenny duduk sendirian, menghabiskan kopi yang tersisa. Ini adalah kebiasaan yang sudah dipeliharanya selama bertahun-tahun.Tiba-tiba, suara manis terdengar di telinganya. "Kak Frenny!"Frenny sedikit terkejut. Ternyata itu Nadya, adik Hardika. Nadya masih kuliah. Biasanya hubungan mereka tidak terlalu dekat, tetapi hari ini gadis itu tampak sangat antusias. Dia langsung memeluk lengan Frenny, menempel manja sambil mengobrol akrab.Gadis muda ini ceria dan manis, sampai sifat dingin Frenny pun luluh sedikit. Dia pun memanggil pelayan dan memesankan 2 porsi dessert untuk Nadya.Tak lama kemudian, makanan datang. Nadya menikma
Di ruang presdir Grup Rahayu.Lionel bersandar di kursi kulit, tengah menganalisis dirinya sendiri dengan serius.Segala hal yang dia lakukan, semua demi menjaga kestabilan pernikahannya, demi seorang pewaris yang sah. Dia tidak membenci Frenny, bahkan sedikit menyukainya.Setidaknya dalam urusan itu, belakangan ini mereka cukup kompak. Pria memang makhluk penuh hasrat. Jika nafsu mereka terpenuhi di ranjang, mereka akan menjadi lebih murah hati.Lionel bersedia memperlakukan Frenny dengan baik, membiarkannya menikmati segala keuntungan dari sebuah pernikahan, memberi ilusi cinta kalau memang itu yang diinginkan Frenny.Namun, semua itu tidak ada hubungannya dengan cinta. Lionel tetap tidak mencintai Frenny.Saat dia tenggelam dalam pikirannya, Reyna mengetuk pintu dan masuk. "Pak Lionel, ada telepon dari Jenewa."Lionel menerima ponselnya, mengangguk ringan. "Kamu keluar dulu."Reyna kembali ke ruang sekretaris sambil berpikir dalam hati, 'Telepon dari Jenewa selalu datang seminggu se
Lionel menghampiri Frenny, sorot matanya dalam. "Kenapa kamu ke sini?"Frenny mengangkat tas dokumennya. "Bukan buat kencan."Tatapan Lionel semakin suram. Dia mengajak istrinya, "Temani aku makan sedikit lagi ya?"Frenny tidak memberi muka. Dia bahkan tidak melirik ke arah Molly, hanya berkata dengan suara datar, "Aku sudah kenyang. Lionel, kalian lanjutkan urusan kalian. Aku pulang dulu."Detik berikutnya, Lionel meraih pergelangan tangannya. Dengan alis berkerut, dia memanggil, "Frenny."Frenny hanya tersenyum tipis, memandang Lionel sambil berkata, "Bukankah kalian sedang bicara soal kerja sama? Aku nggak seposesif itu, apalagi kita cuma pasangan kontrak, 'kan? Kalau waktunya habis, kita bubar. Kamu mau sama siapa, itu bukan urusanku."Alis Lionel berkerut semakin dalam. Tentu saja dia tahu Frenny merajuk. Namun, karena dia merasa tersinggung, dia pun tidak memiliki kesabaran untuk membujuk dan langsung membiarkannya pergi.Frenny juga tidak menunjukkan sedikit pun rasa menyesal. D
"Istriku sangat baik, dia adalah wanita yang luar biasa. Tapi, aku nggak mencintainya.""Aku yakin, aku nggak punya perasaan cinta sebagai pria kepada wanita terhadapnya. Aku berhubungan intim dengannya hanya karena ingin punya ahli waris yang sah.""Tapi, entah kenapa aku seperti kecanduan. Padahal sebelumnya, aku ini pria yang selalu bisa menahan diri."Lionel benar-benar bingung.Beberapa saat kemudian setelah evaluasi, dokter berkata, "Pak Lionel, yang pertama-tama harus kamu pastikan adalah apa kamu benar-benar nggak mencintai istrimu? Perasaan antara pria dan wanita itu sangat sulit dipahami, bukan hal yang sepenuhnya subjektif maupun objektif."Lionel mengerutkan kening, menolak untuk berpikir ke arah sana. Karena di masa mudanya, dia pernah mencintai seseorang. Dia tahu betul seperti apa rasanya jatuh cinta.Setelah sesi konsultasi berakhir, Lionel mengancingkan jasnya dan keluar dari ruang konsultasi.Di luar, Reyna menunggu di depan pintu. Saat melihatnya keluar, Reyna bertan
Frenny sedang sakit, jadi tentu tidak mungkin melakukan hubungan suami istri. Dia kembali ke ranjang untuk beristirahat.Dari arah kamar mandi, terdengar suara gemercik air. Lionel sedang mandi. Suara air itu menenangkan, membuat Frenny mengantuk. Tanpa sadar, Frenny pun tertidur.Dalam mimpinya, Lionel masih saja terus mengganggunya, tidak mau melepaskannya. Saat terbangun lagi, waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari.Di kamar hanya ada satu lampu baca yang menyala. Lionel bersandar di ujung ranjang, sedang membaca dokumen penting.Penampilannya memang luar biasa. Bahkan hanya dengan jubah mandi putih, dia tetap tampak memukau. Frenny sekalipun tidak bisa menahan diri untuk menatapnya beberapa kali.Gerakan kecil dari tempat tidur membuat Lionel menoleh. Dia menatap Frenny sambil bertanya pelan, "Sudah bangun?"Frenny mengangguk. "Sekarang jam berapa?"Lionel meletakkan dokumen di tangan, lalu membaringkan setengah badannya dan merangkul pundak istrinya. Suaranya terdengar lembut d
Tak lama kemudian, Lionel membuka pintu kamar utama.Kamar itu tenang dan sunyi. Di udara tercium samar aroma feminin. Saat melangkah lebih dalam, dia melihat Frenny terbaring di ranjang. Tampaknya sedang tertidur.Lionel berjalan mendekat, lalu berlutut di sisi ranjang. Dia menyibakkan helaian rambut dari wajah Frenny dan menyentuh keningnya. Masih panas.Frenny terbangun, demam membuatnya tampak linglung. Tatapannya bertemu mata Lionel. Suara lembut keluar dari bibirnya. "Kamu sudah pulang?"Jantung Lionel berdebar-debar. Dia mengelus lembut wajah istrinya dan menjawab pelan, "Aku sudah minta mereka bawakan bubur ke atas. Makan sedikit, baru tidur lagi. Badanmu masih nggak enak ya?"Saat menyentuhnya, Lionel seperti mengelus anak anjing kecil. Frenny merasa sedikit canggung. Dia mengangkat tangan dan menyentuh kening Lionel. Pria ini tidak demam.Lionel terkekeh-kekeh, merasa kesal sekaligus geli. "Salah ya kalau aku perhatian? Dulu kamu selalu bilang aku kurang peka."Frenny bersand
Di ruang rapat, Lionel sedang memimpin rapat pagi saat Reyna masuk sambil membawa ponselnya. Lionel mengangkat alis, sedikit terkejut, lalu mengambil ponsel itu.Suara dari seberang adalah suara asisten rumah tangganya. "Tuan, Nyonya sakit. Demamnya sudah sampai 39 derajat, aku khawatir Nyonya nggak kuat."Meskipun agak dramatis, pesannya cukup jelas.Lionel hendak bicara, tetapi menyadari para eksekutif di ruang rapat sedang memandangnya, dia tersenyum ringan. "Frenny sakit. Dia telepon cuma buat manja-manja, suruh aku pulang cepat."Para eksekutif terdiam. Kalau bukan karena mereka tahu betapa parahnya pertengkaran Lionel dengan Frenny sebelumnya, mereka mungkin akan percaya.Setelah pamer kemesraan, Lionel berpesan kepada pembantu untuk menjaga Frenny baik-baik dan berjanji akan pulang lebih cepat. Tutur katanya penuh perhatian, seolah-olah dirinya adalah suami ideal.Setelah menutup telepon, Lionel lanjut memimpin rapat. Hal pertama yang diumumkan adalah Natasha dikeluarkan dari Pr
Lionel menyalakan sebatang rokok, lalu melangkah masuk ke ruang VIP di rumah sakit. Kebetulan saat itu, Dennis sedang melakukan konsultasi di sana.Melihat Lionel datang, Dennis menyapa dengan senyum tenang. "Lionel, kamu juga datang. Rencana operasinya sudah hampir beres, tinggal menentukan tanggal operasinya saja."Kondisi tubuh Tabita belum cukup kuat, jadi masih perlu pemulihan. Akhirnya, Dennis menetapkan operasi akan dilakukan dua minggu lagi. Frenny pun merasa lega.Dennis juga mengundang seorang teman lamanya. Lionel pun mengantar mereka sampai ke tempat parkir.Sepanjang jalan, Dennis terus memuji Frenny. Sebelum pergi, dia menepuk pundak Lionel sambil berpesan, "Perlakukan dia baik-baik. Dia gadis yang baik, aku bisa lihat itu. Kalau kamu lepasin dia, belum tentu dapat yang sebaik ini lagi."Lionel tersenyum tipis dan membukakan pintu mobil untuk Dennis. "Tenang saja, Paman Dennis."Dennis tertawa dan masuk ke mobil. Tak lama kemudian, mobil mewah itu perlahan melaju dan mele
Lionel berbaring di atas ranjang, tatapannya dalam dan kelam. Tak lama kemudian, dia juga turun dan masuk ke kamar mandi. Frenny sedang mencuci muka.Pria itu memeluk pinggang rampingnya dari belakang, dagunya bertumpu di bahu sang istri. Suaranya rendah dan serak. "Tunggu dua tahun lagi ya? Setelah aku 30 tahun, kita baru punya anak. Kamu 'kan selalu bilang ingin melakukan sesuatu."Frenny mengangkat kepala, menatap wajah tampan Lionel di cermin, seolah-olah sedang melihat orang asing.Setelah hening beberapa saat, Frenny tersenyum tipis. "Lionel, trik apa lagi yang kamu mainkan?"Ucapan itu menohok. Hati Lionel terasa sakit. Dia tidak menjawab, hanya langsung mengangkat tubuh Frenny, menggendongnya sampai ke depan jendela besar kamar. Di bawah cahaya matahari pagi, dia terus mencium Frenny ....Tirai putih melambai ringan ditiup angin pagi. Tubuh wanita itu lembut dan halus bagaikan sutra.....Menjelang siang, pasangan suami istri itu baru keluar dari kamar. Frenny masih harus menje
Di luar dugaan, Lionel berhenti bergerak. Dia menunduk menatap Frenny yang berada dalam pelukannya. Jakunnya bergerak naik turun, menunjukkan betapa berusaha dia menahan diri.Beberapa saat kemudian, Lionel bangkit dari tubuhnya. Bisa dibilang, dia melepaskan wanita itu malam ini. Dengan ekspresi datar, Lionel berkata, "Mandi sana."Ketika Frenny bangkit, kedua kakinya terasa lemas dan gemetar. Saat tertatih-tatih menuju kamar mandi, dia bahkan terkejut melihat bayangannya sendiri di cermin, terlalu berantakan dan kacau.Di kamar tidur, Lionel membalikkan tubuh. Setelah menarik napas beberapa kali, dia meraih laci di samping tempat tidur, mengambil sebungkus rokok, lalu meletakkan sebatang rokok di bibirnya.Kemudian, dia berjalan ke depan jendela besar di ruang tamu untuk duduk, membuka sedikit celah, dan berdiri di sana sambil perlahan mengisap rokoknya.Cahaya lampu kekuningan menyinari wajah Lionel. Bagian wajah yang terkena cahaya terlihat bersih, sementara kelopak matanya membent