Bab 7

Pagi-pagi sekali, Frenny terbangun dengan kepala terasa sakit.

Pelayan di rumah membawakan obat untuknya dengan perhatian.

Setelah meminum obat, kondisinya membaik. Dia pun bersiap menuju kamar mandi untuk mandi. Namun, pelayan itu berkata dengan kesal, "Tuan digoda sama wanita jalang itu. Padahal semalam Tuan sempat pulang, tapi melihat Nyonya mabuk seperti itu, dia tetap pergi begitu saja."

Frenny baru tahu bahwa semalam Lionel sempat pulang.

Pelayan itu kembali teringat sesuatu, "Oh iya, Nyonya. Jas milik Pak Hardika sudah kami kirim ke penatu atas perintah Tuan Lionel. Katanya, harus dikirim langsung ke tangan Pak Hardika. Tuan masih punya hati juga bisa perhatian sama Nyonya."

Pelayan itu tentu saja tidak tahu seluk-beluk dalam hati Lionel dan mengira semua itu hanyalah bentuk kepedulian. Namun, Frenny tahu, Lionel hanya takut diselingkuhi.

Berhubung kondisi tubuhnya masih belum pulih, Frenny memilih beristirahat di rumah selama dua hari. Di sela waktu, dia sempat menjenguk neneknya.

....

Hari Senin, terjadi perubahan besar di Grup Rahayu.

Salah satu proyek besar mengalami masalah serius. Segala bukti yang muncul mengarah pada Frenny, menuduhnya sebagai pihak yang lalai. Setelah melalui rapat dewan pemegang saham, diputuskan bahwa semua jabatannya akan ditangguhkan. Hari ini juga, Frenny harus mengosongkan kantor Wakil Direktur.

Lantai 32, kantor Wakil Direktur.

Frenny berdiri tenang di depan jendela besar sambil menatap gemerlap ibu kota.

Dari belakang, Annie masuk dan berkata pelan, "Bu Frenny ... proyek Amasia ternyata diserahkan ke Natasha."

Annie sangat marah dan hampir tidak bisa menahan diri, tapi justru Frenny terlihat sangat tenang. Karena saat ini, Frenny benar-benar sudah tidak menginginkan Lionel.

Reputasi, kekuasaan, kedudukan, semuanya hanya ilusi. Begitu dia mendapatkan haknya, Frenny akan pergi. Pergi dari dunia Lionel dengan tenang dan bermartabat. Soal apakah Lionel mencintai Natasha atau hanya sekadar menebus kesalahan, itu bukan urusannya lagi.

Frenny hendak bicara, tapi ponsel di atas meja berdering. Dia berjalan ke arah meja dan mengangkatnya. Penelepon itu adalah ayah Lionel, Irsyad.

Irsyad memintanya datang ke kantornya untuk berbicara. Frenny menyetujuinya. Sore harinya, dia naik mobil dan menuju ke tempat Irsyad bekerja.

Irsyad memang tidak bekerja di Grup Rahayu. Dia memiliki usahanya sendiri. Dari luar, dia terlihat elegan dan tenang, tapi kenyataannya dia adalah orang yang diam-diam menyusun jalur kekuasaan untuk putranya sendiri.

Akhir Oktober.

Angin musim gugur berembus, membawa aroma manis bunga osmanthus ke seluruh udara.

Begitu Frenny turun dari mobil, sekretaris pribadi Irsyad sudah menyambutnya. Seorang wanita cantik dengan senyum ramah di wajah, mengantar Frenny ke depan sebuah ruang teh yang elegan.

Sekretaris itu membuka pintu geser, lalu berkata dengan hormat, "Pak Irsyad, istri Pak Lionel sudah datang."

Irsyad sedang menikmati teh. Mendengar hal itu, dia menoleh ke arah mereka dan berkata dengan ramah, "Frenny datang, ya. Ayo, masuk temani Ayah minum teh."

Frenny melepas sepatunya, membungkuk dan melangkah masuk ke ruang teh.

Irsyad tampaknya sudah mengetahui tentang perubahan struktur di Grup Rahayu. Dia tetap tenang saat menuangkan teh untuk Frenny dan membahas banyak hal mengenai perusahaan. Di hatinya, Irsyad sangat menghargai kemampuan Frenny. Dengan kehadiran Frenny, posisi Lionel dalam perusahaan bisa lebih stabil.

Namun terkadang, kemampuan seperti itu bisa menjadi pedang bermata dua. Seekor binatang buas yang sudah mandiri bisa saja menjadi ancaman.

Dalam hal ini, Irsyad dan Lionel memiliki pemikiran yang sama. Hanya saja, Lionel menanganinya dengan cara yang lebih agresif.

Irsyad berkata dengan ramah dan bijak, "Frenny, dari dulu Ayah selalu kagum sama kamu. Kamu dan Lionel akhir-akhir ini ada masalah ya? Kalau soal si Natasha itu, sebenarnya nggak usah dibesar-besarkan. Dia itu cuma gadis yang belum tahu apa-apa."

Frenny tersenyum tipis. "Nggak ada masalah, Ayah."

Konfliknya dengan Lionel, tentu tidak akan dia umbar. Di dalam Keluarga Pramudya tidak ada ruang untuk belas kasihan.

Irsyad sedikit tertegun.

Penilaiannya terhadap Frenny justru semakin tinggi. Anak ini benar-benar tahu menahan diri.

Irsyad termenung sejenak, lalu mengungkapkan kekhawatiran dalam hatinya, "Proyek Amasia itu bekerja sama dengan Pak Baim. Lionel itu emosional, Ayah khawatir kalau dia yang tangani bisa menimbulkan masalah besar bagi perusahaan."

Frenny langsung menangkap maksud Irsyad.

Dengan nada tenang, dia menjawab, "Ayah tenang saja. Memang proyek itu sudah resmi diserahkan ke Bu Natasha, tapi pada kenyataannya Lionel sendiri yang akan langsung menanganinya. Nggak akan ada ruang bagi Dillon untuk mengacau."

Irsyad sedikit tidak nyaman karena pikirannya terbaca. Dia pun menyampaikan beberapa kalimat basa-basi untuk mencairkan suasana.

Ketika Frenny meninggalkan tempat itu, langit sudah mulai sore.

Di ufuk barat, matahari senja tampak pecah.

Saat sekretaris Irsyad membungkukkan badan di samping mobil untuk berpamitan dengan Frenny, penampilannya saat tersenyum mirip sekali dengan boneka yang sempurna. Seketika, Frenny merasa wanita ini kelihatannya tidak asing ....

....

Menjelang malam, Frenny kembali ke kantor.

Dia mulai membereskan barang-barangnya. Sebagian diserahkan ke orang lain untuk diteruskan, sebagian langsung dia buang. Annie mengumpat Lionel habis-habisan, sambil berseru bahwa suatu hari nanti, saat mereka bangkit kembali, dia akan membuat para penjilat itu menyesal.

Frenny hanya tersenyum tipis.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

Lionel berdiri di ambang pintu dengan mengenakan setelan rapi. Penampilannya gagah dan tampan, seolah keluar dari sampul majalah pria. Dia menyuruh Annie keluar. Annie mengumpat pelan, "Dasar bajingan."

Setelah Annie pergi, Lionel masuk dan menatap Frenny dengan mata yang dalam.

Pertemuan kali ini ... semuanya sudah berbeda.

Demi menjaga sisa hubungan masa lalu, Lionel melunakkan nada bicaranya, "Natasha nggak pernah jadi masalah di antara kita. Frenny, asalkan kamu mau, bulan depan aku akan adakan rapat pemegang saham. Kamu bisa kembali ke Grup Rahayu."

Mendengar hal itu, Frenny tertawa pelan.

Betapa lucunya.

Keretakan di antara mereka, tangis dan teriakan histeris malam itu, kemabukan Frenny di tengah malam ... di mata suaminya, semua itu hanyalah drama wanita yang manja. Lionel bahkan merasa telah memberinya kelonggaran dan kasih sayang. Seolah-olah, Frenny harus berterima kasih atas kemurahan hatinya.

Sayangnya ... semua janji itu sudah tidak dipedulikan Frenny.

Bagaimana bisa Lionel masih berpikir bahwa Frenny akan rela kembali bekerja untuknya dan hidup bersamanya? Sekadar membayangkan bagaimana Lionel melindungi Natasha dengan lembut saja sudah cukup membuat Frenny merasa seluruh masa mudanya telah terbuang sia-sia.

Frenny melangkah mendekat ke Lionel, lalu mengangkat tangannya untuk merapikan kerah kemeja pria itu. Dulu, setiap kali Lionel menghadiri jamuan, Frenny selalu yang membantu merapikan penampilannya.

Gerakan ini sudah dia lakukan ratusan bahkan ribuan kali.

Lionel secara alami menundukkan tubuh, membiarkan Frenny lebih mudah merapikan kerahnya. Jarak mereka sangat dekat. Napas panas Lionel langsung menyentuh wajah Frenny.

Lionel menatap wajahnya dari dekat. Dia tiba-tiba teringat akan malam itu saat Frenny tertidur di atas ranjang, dia terlihat begitu menggoda. Selama empat tahun menikah, mereka sudah tidur bersama berkali-kali, tapi baru pertama kali dia melihat sosok Frenny seperti itu.

Jakun Lionel bergerak naik turun. Entah mengapa, jakunnya yang menonjol itu tampak sangat menggoda. Setelah selesai merapikan kerahnya, Frenny menyentuh kain kemeja yang berkualitas tinggi itu, seolah-olah ada sejumput rasa sayang yang tertinggal.

Enam tahun mencintai, empat tahun menikah, semuanya berakhir di sini.

Ini yang terakhir, Lionel.

Frenny mendongak memandangi pria itu dalam diam, lalu membuka suara dengan lembut, "Nggak usah. Aku nggak ingin kembali."

Lionel tertegun.

Frenny telah melewati sisi tubuhnya, memeluk sebuah koper kecil dan melangkah keluar. Setelah empat tahun yang panjang di Grup Rahayu, dia baru menyadari bahwa ternyata tak banyak yang bisa dia bawa pergi.

Sesampainya di ambang pintu, Frenny mendongak sedikit dan berkata dengan suara yang tertahan, "Lionel, aku pergi."

Di dada Lionel muncul getaran aneh. Dia merasa, ada yang berbeda dari Frenny.

Namun, berbeda di mana? Dia sendiri tidak tahu.

Lionel hanya berdiri diam di dalam kantor Wakil Direktur sambil menatap sosok wanita itu melangkah menuju lift. Dia menatap punggungnya semakin jauh, hingga akhirnya menghilang dari pandangan.

Saat itu, Lionel belum menyadari. Frenny benar-benar telah mengucapkan perpisahannya. Dia meninggalkan Grup Rahayu, meninggalkan dirinya dan tidak akan pernah kembali lagi ....