Frenny mencengkeram erat seprai, jari-jarinya meninggalkan kerutan di permukaannya.Di saat seperti ini, dia masih sempat memikirkan, 'Apa wanita di luar sana belum cukup untuk memuaskan Lionel? Kenapa hari ini dia nggak langsung masuk ke inti, malah rela menghabiskan waktu menciumiku?'Namun, Frenny tidak merasa tersentuh sama sekali. Selain rasa muak, dia tidak merasakan apa pun.Akhirnya dia memilih untuk diam dan berbaring pasrah di atas ranjang, membiarkan Lionel melakukan sesukanya. Lagi pula, sekeras apa pun Lionel mencoba, dia tidak akan bisa menghasilkan seorang anak.Awalnya, Lionel masih merasa terangsang oleh penampilan Frenny yang setengah terbuka, tapi ketika dia menyadari Frenny hanya diam kaku seperti kayu di atas ranjang ....Pria mana pun pasti akan kehilangan gairah. Benar-benar merusak suasana.Ujung rambut hitam Lionel basah oleh keringat. Wajahnya sedikit memerah dan suaranya serak, "Kenapa jadi nggak mau?"Meski mereka tidak sering berhubungan badan, setidaknya a
Lionel hanya mengangguk sedikit. Hardika tersenyum tipis, lalu bangkit berdiri untuk memberi ruang bagi pasangan suami istri yang kini telah menjadi asing itu.Setelah Hardika pergi, Lionel menatap penampilan Frenny dan mengernyitkan alis tampannya. "Kenapa pakai baju seperti itu? Pulang dan ganti bajumu. Nanti kita harus ke rumah keluarga untuk makan malam."Frenny tahu betul, yang dimaksud Lionel dengan "makan malam", adalah aksi pamer keharmonisan di depan keluarga besar mereka. Semua itu demi saham yang masih digenggam kakek Lionel.Kadang-kadang, Frenny merasa Lionel seperti sosok berkepribadian ganda. Dari luar, dia tampak tenang dan berwibawa, tapi jauh di dalam hatinya, dia adalah orang yang penuh perhitungan. Lionel memang dilahirkan untuk bersaing dalam dunia kekuasaan.Frenny memilih untuk bekerja sama. Sebelum proses pembagian harta selesai, semua masih soal kepentingan. Dia pun kembali ke kantor untuk mengganti pakaian dengan setelan formal, lalu turun bersama Lionel mengg
Pukul sembilan malam, keduanya meninggalkan kediaman Keluarga Pramudya.Saat Lionel sedang memasang sabuk pengaman, dia bertanya dengan tak acuh, "Tadi kamu ngobrol apa sama Dillon? Kalian kelihatan cukup akrab."Frenny mengangguk pelan, "Ya, kami ngobrol soal kekasih masa kecilmu."Lionel terdiam.Beberapa saat kemudian, Lionel perlahan menggenggam tangan Frenny. Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, "Aku belum pernah tidur dengannya."Frenny bersandar di kursi dengan mata berkaca-kaca. Dia sangat paham, kelembutan Lionel ini bukan karena cinta, melainkan karena Frenny sedang berada di masa subur dan Lionel ingin menanam benih di rahimnya.Itu tidak ada hubungannya dengan cinta, bahkan lebih tidak ada hubungannya lagi dengan dirinya.Frenny benar-benar penasaran. Jika Lionel tahu bahwa dirinya tidak bisa memiliki anak lagi, apakah dia masih akan mencoba mempertahankannya? Atau justru langsung menandatangani surat cerai dan buru-buru mencari wanita lain yang pantas menjadi Nyo
Frenny tahu, saat dia mengungkap kebenaran itu, tidak akan ada lagi jalan untuk kembali antara dirinya dan Lionel.Namun, ketika kekecewaan dalam hati seseorang sudah mencapai batas, maka tak akan ada lagi rasa takut. Hati akan memilih untuk melepaskan semuanya, bahkan jika itu berarti kehilangan segalanya.Frenny menatap suami yang pernah dicintainya dan memperlihatkan semua lukanya dengan kejam di hadapan Lionel. Saat dia mulai bicara, rasa nyeri di hatinya sudah begitu dalam hingga nyaris tak terasa lagi."Lionel, kamu nggak perlu pertimbangkan apa pun lagi. Bukan cuma posisiku di Grup Rahayu, bahkan gelar Nyonya Pramudya pun aku nggak mau lagi, karena aku nggak bisa ha ...."Namun, sebelum kata "hamil" sempat selesai diucapkan, ponsel Lionel berdering.Tatapannya masih terpaku pada wajah Frenny saat dia mengangkat telepon. Di ujung sana, terdengar suara Reyna yang panik, "Pak Lionel, kondisi Bu Natasha sedang gawat. Anda harus segera datang!""Aku mengerti."Setelah menutup telepon
Malam akhir musim gugur, suasana di dalam mobil terasa hangat seperti musim semi.Frenny mencium aroma tembakau dari tubuh pria di sampingnya. Merek rokok yang diisap Hardika sama persis dengan yang biasa digunakan Lionel. Frenny menjadi bingung. Dalam kesadaran yang samar, dia mengira pria di sampingnya adalah Lionel ....Frenny memejamkan mata, menggenggam tangan pria itu, dan memanggil dengan lirih, "Lionel."Dalam keadaan setengah sadar, dia seolah kembali ke masa lalu.Masa lalunya bersama Lionel ....Hardika tidak menarik tangannya, juga tidak berkata apa-apa. Dia hanya menoleh, memandangi gelap malam di depan kaca mobil. Langit hitam legam dengan rintikan hujan yang membuat suhu terasa lembap. Sama seperti suasana hatinya saat ini.Hardika pernah berhubungan dengan wanita.Namun, semua itu hanya hubungan timbal balik. Mereka saling memanfaatkan dengan suka rela, tanpa beban emosional sama sekali. Dia belum pernah merasakan cinta sedalam yang dimiliki Frenny. Untuk sesaat, dia me
Pagi-pagi sekali, Frenny terbangun dengan kepala terasa sakit.Pelayan di rumah membawakan obat untuknya dengan perhatian.Setelah meminum obat, kondisinya membaik. Dia pun bersiap menuju kamar mandi untuk mandi. Namun, pelayan itu berkata dengan kesal, "Tuan digoda sama wanita jalang itu. Padahal semalam Tuan sempat pulang, tapi melihat Nyonya mabuk seperti itu, dia tetap pergi begitu saja."Frenny baru tahu bahwa semalam Lionel sempat pulang.Pelayan itu kembali teringat sesuatu, "Oh iya, Nyonya. Jas milik Pak Hardika sudah kami kirim ke penatu atas perintah Tuan Lionel. Katanya, harus dikirim langsung ke tangan Pak Hardika. Tuan masih punya hati juga bisa perhatian sama Nyonya."Pelayan itu tentu saja tidak tahu seluk-beluk dalam hati Lionel dan mengira semua itu hanyalah bentuk kepedulian. Namun, Frenny tahu, Lionel hanya takut diselingkuhi.Berhubung kondisi tubuhnya masih belum pulih, Frenny memilih beristirahat di rumah selama dua hari. Di sela waktu, dia sempat menjenguk nenekn
Di area parkir, Frenny bertemu dengan Hardika.Hardika tampak agak terkejut. Namun setelah berpikir sejenak, dia melangkah mendekat dan bertanya dengan pandangan yang dalam, "Benar-benar mau meninggalkan Grup Rahayu?"Frenny mengangguk ringan. "Iya, aku memang akan pergi."Dia melempar koper kecilnya ke dalam bagasi mobil, lalu menutupnya. Setelah itu, dia berbalik menghadap Hardika dan berkata dengan nada datar, "Terima kasih untuk malam itu."Hardika menatap wajahnya .... Ekspresinya tenang dan tidak memperlihatkan emosi apa pun. Inilah Frenny yang dikenalnya.Kecantikan dan kerapuhannya malam itu, hanya bagaikan sebuah mimpi yang singkat.Tatapan Hardika semakin dalam. Dia hanya mengangguk singkat dengan wibawa khasnya. "Cuma masalah kecil."Meski terlihat dingin, saat mobil Frenny perlahan melaju dan menjauh, Hardika tetap berdiri di tempat yang sama cukup lama. Wajahnya tampak sedang berpikir keras.....Pukul delapan malam, Frenny kembali ke Vila Imperium.Begitu dia turun dari m
Setiap huruf yang tertera di atas kertas itu, dibaca Lionel berulang kali hingga matanya terasa perih dan berair.Tiba-tiba, dia memahami semua penderitaan dan air mata Frenny.Barulah dia mengerti, mengapa Frenny mengajukan pertanyaan dengan begitu histeris di tempat parkir malam itu. "Lionel, kenapa bahkan lima menit pun kamu nggak bisa berikan untukku? Lionel, apa kamu masih Lionel yang dulu?"Ternyata, Frenny tidak bisa punya anak lagi!Lionel memang tidak mencintai Frenny, tapi Frenny adalah seseorang yang penting baginya. Frenny telah menemaninya selama empat tahun, melewati masa tergelap dalam hidupnya, hingga menyaksikannya berdiri di puncak kekuasaan.Saat mereka menikah, mereka pernah sepakat akan punya dua anak. Satu diberi nama Asha Pramudya, satu lagi Ashir Pramudya.Lionel duduk perlahan di pinggir ranjang.Wajahnya yang biasanya gagah dan percaya diri, kini tampak hancur dan rapuh. Dia merogoh sakunya untuk mengambil sebatang rokok, lalu menyalakan api dengan kepala tert
Di ruang presdir Grup Rahayu.Lionel bersandar di kursi kulit, tengah menganalisis dirinya sendiri dengan serius.Segala hal yang dia lakukan, semua demi menjaga kestabilan pernikahannya, demi seorang pewaris yang sah. Dia tidak membenci Frenny, bahkan sedikit menyukainya.Setidaknya dalam urusan itu, belakangan ini mereka cukup kompak. Pria memang makhluk penuh hasrat. Jika nafsu mereka terpenuhi di ranjang, mereka akan menjadi lebih murah hati.Lionel bersedia memperlakukan Frenny dengan baik, membiarkannya menikmati segala keuntungan dari sebuah pernikahan, memberi ilusi cinta kalau memang itu yang diinginkan Frenny.Namun, semua itu tidak ada hubungannya dengan cinta. Lionel tetap tidak mencintai Frenny.Saat dia tenggelam dalam pikirannya, Reyna mengetuk pintu dan masuk. "Pak Lionel, ada telepon dari Jenewa."Lionel menerima ponselnya, mengangguk ringan. "Kamu keluar dulu."Reyna kembali ke ruang sekretaris sambil berpikir dalam hati, 'Telepon dari Jenewa selalu datang seminggu se
Lionel menghampiri Frenny, sorot matanya dalam. "Kenapa kamu ke sini?"Frenny mengangkat tas dokumennya. "Bukan buat kencan."Tatapan Lionel semakin suram. Dia mengajak istrinya, "Temani aku makan sedikit lagi ya?"Frenny tidak memberi muka. Dia bahkan tidak melirik ke arah Molly, hanya berkata dengan suara datar, "Aku sudah kenyang. Lionel, kalian lanjutkan urusan kalian. Aku pulang dulu."Detik berikutnya, Lionel meraih pergelangan tangannya. Dengan alis berkerut, dia memanggil, "Frenny."Frenny hanya tersenyum tipis, memandang Lionel sambil berkata, "Bukankah kalian sedang bicara soal kerja sama? Aku nggak seposesif itu, apalagi kita cuma pasangan kontrak, 'kan? Kalau waktunya habis, kita bubar. Kamu mau sama siapa, itu bukan urusanku."Alis Lionel berkerut semakin dalam. Tentu saja dia tahu Frenny merajuk. Namun, karena dia merasa tersinggung, dia pun tidak memiliki kesabaran untuk membujuk dan langsung membiarkannya pergi.Frenny juga tidak menunjukkan sedikit pun rasa menyesal. D
"Istriku sangat baik, dia adalah wanita yang luar biasa. Tapi, aku nggak mencintainya.""Aku yakin, aku nggak punya perasaan cinta sebagai pria kepada wanita terhadapnya. Aku berhubungan intim dengannya hanya karena ingin punya ahli waris yang sah.""Tapi, entah kenapa aku seperti kecanduan. Padahal sebelumnya, aku ini pria yang selalu bisa menahan diri."Lionel benar-benar bingung.Beberapa saat kemudian setelah evaluasi, dokter berkata, "Pak Lionel, yang pertama-tama harus kamu pastikan adalah apa kamu benar-benar nggak mencintai istrimu? Perasaan antara pria dan wanita itu sangat sulit dipahami, bukan hal yang sepenuhnya subjektif maupun objektif."Lionel mengerutkan kening, menolak untuk berpikir ke arah sana. Karena di masa mudanya, dia pernah mencintai seseorang. Dia tahu betul seperti apa rasanya jatuh cinta.Setelah sesi konsultasi berakhir, Lionel mengancingkan jasnya dan keluar dari ruang konsultasi.Di luar, Reyna menunggu di depan pintu. Saat melihatnya keluar, Reyna bertan
Frenny sedang sakit, jadi tentu tidak mungkin melakukan hubungan suami istri. Dia kembali ke ranjang untuk beristirahat.Dari arah kamar mandi, terdengar suara gemercik air. Lionel sedang mandi. Suara air itu menenangkan, membuat Frenny mengantuk. Tanpa sadar, Frenny pun tertidur.Dalam mimpinya, Lionel masih saja terus mengganggunya, tidak mau melepaskannya. Saat terbangun lagi, waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari.Di kamar hanya ada satu lampu baca yang menyala. Lionel bersandar di ujung ranjang, sedang membaca dokumen penting.Penampilannya memang luar biasa. Bahkan hanya dengan jubah mandi putih, dia tetap tampak memukau. Frenny sekalipun tidak bisa menahan diri untuk menatapnya beberapa kali.Gerakan kecil dari tempat tidur membuat Lionel menoleh. Dia menatap Frenny sambil bertanya pelan, "Sudah bangun?"Frenny mengangguk. "Sekarang jam berapa?"Lionel meletakkan dokumen di tangan, lalu membaringkan setengah badannya dan merangkul pundak istrinya. Suaranya terdengar lembut d
Tak lama kemudian, Lionel membuka pintu kamar utama.Kamar itu tenang dan sunyi. Di udara tercium samar aroma feminin. Saat melangkah lebih dalam, dia melihat Frenny terbaring di ranjang. Tampaknya sedang tertidur.Lionel berjalan mendekat, lalu berlutut di sisi ranjang. Dia menyibakkan helaian rambut dari wajah Frenny dan menyentuh keningnya. Masih panas.Frenny terbangun, demam membuatnya tampak linglung. Tatapannya bertemu mata Lionel. Suara lembut keluar dari bibirnya. "Kamu sudah pulang?"Jantung Lionel berdebar-debar. Dia mengelus lembut wajah istrinya dan menjawab pelan, "Aku sudah minta mereka bawakan bubur ke atas. Makan sedikit, baru tidur lagi. Badanmu masih nggak enak ya?"Saat menyentuhnya, Lionel seperti mengelus anak anjing kecil. Frenny merasa sedikit canggung. Dia mengangkat tangan dan menyentuh kening Lionel. Pria ini tidak demam.Lionel terkekeh-kekeh, merasa kesal sekaligus geli. "Salah ya kalau aku perhatian? Dulu kamu selalu bilang aku kurang peka."Frenny bersand
Di ruang rapat, Lionel sedang memimpin rapat pagi saat Reyna masuk sambil membawa ponselnya. Lionel mengangkat alis, sedikit terkejut, lalu mengambil ponsel itu.Suara dari seberang adalah suara asisten rumah tangganya. "Tuan, Nyonya sakit. Demamnya sudah sampai 39 derajat, aku khawatir Nyonya nggak kuat."Meskipun agak dramatis, pesannya cukup jelas.Lionel hendak bicara, tetapi menyadari para eksekutif di ruang rapat sedang memandangnya, dia tersenyum ringan. "Frenny sakit. Dia telepon cuma buat manja-manja, suruh aku pulang cepat."Para eksekutif terdiam. Kalau bukan karena mereka tahu betapa parahnya pertengkaran Lionel dengan Frenny sebelumnya, mereka mungkin akan percaya.Setelah pamer kemesraan, Lionel berpesan kepada pembantu untuk menjaga Frenny baik-baik dan berjanji akan pulang lebih cepat. Tutur katanya penuh perhatian, seolah-olah dirinya adalah suami ideal.Setelah menutup telepon, Lionel lanjut memimpin rapat. Hal pertama yang diumumkan adalah Natasha dikeluarkan dari Pr
Lionel menyalakan sebatang rokok, lalu melangkah masuk ke ruang VIP di rumah sakit. Kebetulan saat itu, Dennis sedang melakukan konsultasi di sana.Melihat Lionel datang, Dennis menyapa dengan senyum tenang. "Lionel, kamu juga datang. Rencana operasinya sudah hampir beres, tinggal menentukan tanggal operasinya saja."Kondisi tubuh Tabita belum cukup kuat, jadi masih perlu pemulihan. Akhirnya, Dennis menetapkan operasi akan dilakukan dua minggu lagi. Frenny pun merasa lega.Dennis juga mengundang seorang teman lamanya. Lionel pun mengantar mereka sampai ke tempat parkir.Sepanjang jalan, Dennis terus memuji Frenny. Sebelum pergi, dia menepuk pundak Lionel sambil berpesan, "Perlakukan dia baik-baik. Dia gadis yang baik, aku bisa lihat itu. Kalau kamu lepasin dia, belum tentu dapat yang sebaik ini lagi."Lionel tersenyum tipis dan membukakan pintu mobil untuk Dennis. "Tenang saja, Paman Dennis."Dennis tertawa dan masuk ke mobil. Tak lama kemudian, mobil mewah itu perlahan melaju dan mele
Lionel berbaring di atas ranjang, tatapannya dalam dan kelam. Tak lama kemudian, dia juga turun dan masuk ke kamar mandi. Frenny sedang mencuci muka.Pria itu memeluk pinggang rampingnya dari belakang, dagunya bertumpu di bahu sang istri. Suaranya rendah dan serak. "Tunggu dua tahun lagi ya? Setelah aku 30 tahun, kita baru punya anak. Kamu 'kan selalu bilang ingin melakukan sesuatu."Frenny mengangkat kepala, menatap wajah tampan Lionel di cermin, seolah-olah sedang melihat orang asing.Setelah hening beberapa saat, Frenny tersenyum tipis. "Lionel, trik apa lagi yang kamu mainkan?"Ucapan itu menohok. Hati Lionel terasa sakit. Dia tidak menjawab, hanya langsung mengangkat tubuh Frenny, menggendongnya sampai ke depan jendela besar kamar. Di bawah cahaya matahari pagi, dia terus mencium Frenny ....Tirai putih melambai ringan ditiup angin pagi. Tubuh wanita itu lembut dan halus bagaikan sutra.....Menjelang siang, pasangan suami istri itu baru keluar dari kamar. Frenny masih harus menje
Di luar dugaan, Lionel berhenti bergerak. Dia menunduk menatap Frenny yang berada dalam pelukannya. Jakunnya bergerak naik turun, menunjukkan betapa berusaha dia menahan diri.Beberapa saat kemudian, Lionel bangkit dari tubuhnya. Bisa dibilang, dia melepaskan wanita itu malam ini. Dengan ekspresi datar, Lionel berkata, "Mandi sana."Ketika Frenny bangkit, kedua kakinya terasa lemas dan gemetar. Saat tertatih-tatih menuju kamar mandi, dia bahkan terkejut melihat bayangannya sendiri di cermin, terlalu berantakan dan kacau.Di kamar tidur, Lionel membalikkan tubuh. Setelah menarik napas beberapa kali, dia meraih laci di samping tempat tidur, mengambil sebungkus rokok, lalu meletakkan sebatang rokok di bibirnya.Kemudian, dia berjalan ke depan jendela besar di ruang tamu untuk duduk, membuka sedikit celah, dan berdiri di sana sambil perlahan mengisap rokoknya.Cahaya lampu kekuningan menyinari wajah Lionel. Bagian wajah yang terkena cahaya terlihat bersih, sementara kelopak matanya membent