“Semudah itu mereka lepas?” Ageng tampak geram mendengar informasi dari Cyrus.Ageng menghela napas panjang, mencoba menenangkan amarah yang berkecamuk di dalam dirinya. Kabar bahwa para pelaku bisa bebas begitu saja benar-benar menghancurkan ketenangannya. Baginya, keselamatan Queen adalah segalanya, dan dia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti wanita yang sangat dia cintai itu. Namun, mendengar apa yang dikatakan Cyrus, Ageng merasa perlu berpikir lebih strategis daripada sekadar marah-marah.“Lu punya uang, lu punya kuasa. Tampaknya itu yang menjadi prinsip mereka,” sahut Cyrus mencoba memberi gambaran keadaan saat ini."Jadi, mereka pikir mereka bisa lolos begitu saja hanya karena uang?" tanya Ageng, matanya menyipit, mencoba menahan amarah.Cyrus mengangguk pelan. "Ya, itulah realitas yang kita hadapi. Saya tidak mengatakan Jika kamu tidak punya uang, tapi jika kita menggunakan cara yang sama, ambisi dan obsesi kita bisa dimanfaatkan oleh mereka yang memperjualbelikan hukum.
Di dalam kamar yang dipenuhi cahaya temaram dari lampu yang berada di nakas, suasana terasa tenang tapi penuh ketegangan. Tirai tebal menutup rapat jendela, memisahkan mereka dari hiruk-pikuk dunia luar. Hanya ada kehangatan dan kedekatan yang terasa di antara Ageng dan Queen. Namun juga ada sesuatu yang berat untuk diungkap, sebuah kebenaran yang penuh dengan kepahitan karena kebencian dan dendam.Ageng duduk di tepi ranjang, menatap Queen yang berbaring dengan nyaman di sampingnya. Perut Queen yang semakin membesar menandakan kehamilan yang semakin matang, namun raut wajahnya menyiratkan keresahan yang tak bisa disembunyikan. Ageng tahu, dia tidak bisa lagi menunda pembicaraan ini.“Habis ngomongin apa saja sama Cyrus?” Queen sebenarnya menaruh curiga yang sangat besar kepada semua orang, termasuk Ageng dan juga kedua mertuanya. Dia merasa ada sesuatu hal yang sangat penting yang mereka sembunyikan dari dirinya.“Sepertinya sangat serius,” sambung Queen yang terlihat sangat penasara
Sejak Queen mengatakan keinginannya untuk bertemu dengan Rey, suasana di rumah keluarga Wardana menjadi terasa mencekam. Queen sangat yakin jika istri dari sang kakak tidak akan bisa memberi bantuan apa pun. Kedua orang tua mereka sedang menjalani pengobatan di luar negeri, sehingga hanya tinggal Queen yang bisa diharapkan oleh Rey.Meskipun selurug anggota keluarga sudah berkumpul di ruang keluarga, tetapi ruangan yang megah itu terasa hening, suasana dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan. Lampu-lampu besar yang tergantung di langit-langit memberikan cahaya hangat, namun tak cukup untuk mengusir dinginnya perasaan yang meliputi para penghuni ruangan itu.Queen duduk di sofa, menatap kosong ke arah lantai, mencoba mencerna segala sesuatu yang baru saja didengarnya. Ageng setia mendampinginya, menggenggam erat tanganya memberi dukungan. Sementara itu, Laras berdiri di dekat jendela, menyilangkan tangan di dadanya, wajahnya kaku dan serius. Ada amarah yang tertahan di wajah perempuan
“Apa Kak Rey masih marah kepadaku?” Tiba-tiba keraguan muncul di hati Queen saat semua sudah siap untuk mengantarnya mengunjungi Rey.“Setelah apa yang dia lakukan kepada kita, seharusnya kita yang marah kepada dia.”Queen terdiam mendengar ucapan Ageng. Sebenarnya dia sudah marah kepada sang kakak, jauh-jauh hari sebelum ini. Sejak kepergian sang mama, Rey tumbuh manja dan selalu ingin apa pun yang dia minta harus dipenuhi.“Cyrus dan Pak Sutar sudah menunggu kita.”Suara Ageng berhasil menyadarkan Queen dari lamunannya. Queen mengangguk lemah, lalu mengambil tas jinjingnya. Mereka berjalan beriringan menuju mobil yang sudah siap dari tadi.Kunjungan ke tahanan Rey diatur dengan hati-hati. Queen, dengan perasaan campur aduk, duduk di kursi belakang mobil yang menuju ke rumah tahanan. Di sebelahnya, Ageng duduk dengan tenang, wajahnya menatap lurus ke depan, sementara Cyrus, yang duduk di kursi depan, memeriksa pesan di ponselnya.Menyadari suasana kebatinan sang istri yang sedang tid
“Aku menunggu Kakak keluar, aku ingin kita bisa berkumpul dan bermain di rumah nenek seperti dulu lagi.”Mendengar kata ‘keluar’ ekspresi wajah Ageng tampak berubah. Ada ketakutan jika sampai Queen kelepasan melanggar keputusan Arya Suta dengan menjanjikan kebebasan kepada Rey.“Tampaknya kamu harus bersabar, sepertinya aku akan lama di sini,” sahut Rey dengan nada lemah. “Aku siap menerima hukuman atas semua yang telah aku lakukan. Aku tidak mengharapkan keringanan, ini adalah tamparan kehidupan yang harus aku terima. Aku ingin keluar dari sini sebagai orang yang lebih baik, yang bisa berdiri di atas kaki sendiri dan tidak menyakiti siapa pun lagi, terutama kamu, Queen.”Queen mengangguk perlahan, merasakan kejujuran dan ketulusan dalam kata-kata Rey. Meskipun hatinya masih terasa berat, dia tahu bahwa Rey harus menghadapi konsekuensi dari perbuatannya, dan ini mungkin satu-satunya cara untuk memastikan dia belajar dari kesalahan.“Boleh aku meminta satu hal, Queen?” Rey melanjutkan
Pertemuan dengan Rey meninggalkan perasaan yang tidak nyaman di hati Queen, dan hal itu sangat disadari oleh Ageng. Mengingat keadaan istrinya yang sedang hamil, Ageng tidak ingin ada beban masalah yang bisa berpengaruh buruk pada kesehatan Queen dan calon anaknya.Laras yang biasanya begitu peduli, memilih menyerahkan semua masalah kepada Ageng. Dia tidak ingin dianggap sebagai mertua yang terlalu ikut campur, hingga membuat Queen tidak nyaman tinggal di rumah mereka. Tetapi akan berbeda jika Queen berinisiatif meminta pendapat, tentu dengan senang hati Laras akan berbagi pengalaman.“Ada masalah?” Ageng mencoba memulai pembicaraan dengan istrinya yang sejak tadi duduk termenung di taman.Tidak ada jawaban, Queen justru mengalihkan pandangan. Dari gerakan tangan Queen, Ageng bisa mengerahui jika istrinya sedang menyeka air mata.Ageng mengambil posisi duduk tepat di samping Queen, diraihnya Pundak Queen lalu menyandarkan ke dadanya.“Jangan dipendam sendiri! Ada aku di sini, tempatmu
Mike berdiri di tengah ruangan, tatapan matanya kosong. Beban yang ia pikul terlalu berat untuk seorang yang begitu muda. Di hadapannya ada dua saudaranya, Zachary dan Victoria, yang terlihat sibuk dengan pikiran masing-masing, seakan tidak peduli dengan kekacauan yang tengah melanda keluarga mereka. Di luar sana, malam yang gelap terasa semakin mencekam, namun tidak sekelam hati Mike saat ini."Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi Mama dan Papa nanti," ucap Mike, suaranya serak, seolah kalimat itu keluar dari kedalaman jiwanya yang paling terluka.Rasa putus asa terlihat jelas di wajah Mike yang pucat. Dia tidak pernah merasa seburuk ini sebelumnya, seolah seluruh dunia sedang runtuh di sekitarnya. Waktu istirahatnya menjadi kacau, karena banyaknya tugas dan tanggung jawab yang harus dia pikul, belum lagi masalah yang baru saja terjadi.Zachary, yang lebih tua dan selalu terlihat tenang, hanya mengangkat bahu. "Tidak ada anak di bawah umur di sini, Mike. Semua sudah bisa bertang
Zachary benar-benar tidak peduli dengan keluarganya lagi. Dia melenggang begitu saja meninggalkan Mike dan Victoria yang sedang dilanda kebingungan dengan berbagai masalah yang menerpa. Mike berusaha menenangkan diri, berharap nantinya akan bisa berpikir jernih dan menemukan jalan keluar yang terbaik untuk mereka.Mike duduk di kursi dengan punggung yang tegang, sorot matanya mengeras saat menatap Victoria. Rasa frustrasi bercampur dengan kemarahan di dalam dirinya. Selama ini, ia selalu berusaha menjadi anak yang baik, mengorbankan masa mudanya untuk keluarga, tetap berdiri meski badai masalah terus menghantam dari segala arah. Namun, mendengar Victoria ingin melibatkan Queen dalam masalah ini membuat darahnya mendidih.“Jangan pernah ganggu dia lagi! Jangan buat masalah baru bagi keluarga kita, Vick! Aku benar-benar sudah pusing.” Mike mengeluarkan kata-kata itu dengan nada yang tegas, lebih tegas dari biasanya, seolah menegaskan bahwa ini bukan saatnya untuk membuat keputusan yang
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l