Pertemuan dengan Rey meninggalkan perasaan yang tidak nyaman di hati Queen, dan hal itu sangat disadari oleh Ageng. Mengingat keadaan istrinya yang sedang hamil, Ageng tidak ingin ada beban masalah yang bisa berpengaruh buruk pada kesehatan Queen dan calon anaknya.Laras yang biasanya begitu peduli, memilih menyerahkan semua masalah kepada Ageng. Dia tidak ingin dianggap sebagai mertua yang terlalu ikut campur, hingga membuat Queen tidak nyaman tinggal di rumah mereka. Tetapi akan berbeda jika Queen berinisiatif meminta pendapat, tentu dengan senang hati Laras akan berbagi pengalaman.“Ada masalah?” Ageng mencoba memulai pembicaraan dengan istrinya yang sejak tadi duduk termenung di taman.Tidak ada jawaban, Queen justru mengalihkan pandangan. Dari gerakan tangan Queen, Ageng bisa mengerahui jika istrinya sedang menyeka air mata.Ageng mengambil posisi duduk tepat di samping Queen, diraihnya Pundak Queen lalu menyandarkan ke dadanya.“Jangan dipendam sendiri! Ada aku di sini, tempatmu
Mike berdiri di tengah ruangan, tatapan matanya kosong. Beban yang ia pikul terlalu berat untuk seorang yang begitu muda. Di hadapannya ada dua saudaranya, Zachary dan Victoria, yang terlihat sibuk dengan pikiran masing-masing, seakan tidak peduli dengan kekacauan yang tengah melanda keluarga mereka. Di luar sana, malam yang gelap terasa semakin mencekam, namun tidak sekelam hati Mike saat ini."Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi Mama dan Papa nanti," ucap Mike, suaranya serak, seolah kalimat itu keluar dari kedalaman jiwanya yang paling terluka.Rasa putus asa terlihat jelas di wajah Mike yang pucat. Dia tidak pernah merasa seburuk ini sebelumnya, seolah seluruh dunia sedang runtuh di sekitarnya. Waktu istirahatnya menjadi kacau, karena banyaknya tugas dan tanggung jawab yang harus dia pikul, belum lagi masalah yang baru saja terjadi.Zachary, yang lebih tua dan selalu terlihat tenang, hanya mengangkat bahu. "Tidak ada anak di bawah umur di sini, Mike. Semua sudah bisa bertang
Zachary benar-benar tidak peduli dengan keluarganya lagi. Dia melenggang begitu saja meninggalkan Mike dan Victoria yang sedang dilanda kebingungan dengan berbagai masalah yang menerpa. Mike berusaha menenangkan diri, berharap nantinya akan bisa berpikir jernih dan menemukan jalan keluar yang terbaik untuk mereka.Mike duduk di kursi dengan punggung yang tegang, sorot matanya mengeras saat menatap Victoria. Rasa frustrasi bercampur dengan kemarahan di dalam dirinya. Selama ini, ia selalu berusaha menjadi anak yang baik, mengorbankan masa mudanya untuk keluarga, tetap berdiri meski badai masalah terus menghantam dari segala arah. Namun, mendengar Victoria ingin melibatkan Queen dalam masalah ini membuat darahnya mendidih.“Jangan pernah ganggu dia lagi! Jangan buat masalah baru bagi keluarga kita, Vick! Aku benar-benar sudah pusing.” Mike mengeluarkan kata-kata itu dengan nada yang tegas, lebih tegas dari biasanya, seolah menegaskan bahwa ini bukan saatnya untuk membuat keputusan yang
Pagi itu, Ageng merasakan sesuatu yang berbeda dalam sikap Queen. Istrinya yang biasanya tenang dan begitu mandiri, kini tampak sangat manja dan penuh rasa khawatir.Ada sesuatu dalam tatapan Queen yang membuat Ageng merasa bahwa perpisahan sementara untuk bekerja seakan menjadi sebuah momen besar yang sulit dilalui. Ageng merasa seperti suami yang akan pergi merantau jauh dan dalam waktu yang begitu lama. Padahal dia hanya pergi bekerja dan nanti sore dia akan pulang."Bagaimana kalau aku kangen?" Queen bertanya dengan suara lembut, namun ada nada kegelisahan di baliknya. Tatapannya seperti menunggu jawaban yang bisa menenangkan hati.Ageng tersenyum, berusaha menghapus segala kekhawatiran yang terbersit di benak istrinya. "Kalau kamu kangen, datang saja ke kantor. Tapi beri aku kabar dulu."Queen mendengus pelan, cemberut manja. "Jadi aku tidak bisa datang mendadak untuk sidak, dong?"Ageng tertawa kecil mendengar istilah itu keluar dari mulut istrinya. "Sidak? Apa yang mau kamu sid
Sarapan pagi itu terasa berbeda dari biasanya. Biasanya, suasana di meja makan Wardana selalu dipenuhi canda tawa dan obrolan ringan. Namun, pagi ini ada keheningan yang canggung, seolah ada sesuatu yang mengganjal di hati setiap orang yang duduk di sana. Setelah Queen dan Ageng tinggal bersama mereka, menu makanan diutamakan yang baik untuk ibu hamil. Seperti pagi ini sudah terhidang sop ayam kampung. Queen menatap hidangan itu dengan tatapan kosong, meski biasanya dia sangat menyukai makanan yang disiapkan mertuanya. Laras menyendokkan sedikit sup ke mangkuk Queen, lalu memberikan tatapan sekilas kepada menantunya yang duduk di seberangnya. Ada senyum di bibirnya, tapi tatapannya penuh perhatian, seolah ingin menembus pikiran menantunya. Queen, di sisi lain, hanya menunduk, memainkan sendoknya tanpa niat makan. Ageng, yang duduk di sampingnya, berusaha memulai obrolan dengan memecah keheningan. "Mama, Papa, ada rencana hari ini?" tanya Ageng yang sudah menghabiskan makanannya. Ar
Arya Suta berhenti sejenak, menatap putranya dengan wajah serius. "Ada urusan penting yang harus Papa selesaikan," jawabnya singkat, tetapi dari nada bicaranya sangat terasa ada situasi genting dan penting.Ageng menatap Arya Suta dengan penuh tanya. "Urusan apa, Pa? Ada masalah?" Tatap mata Ageng seolah mengabsen satu per satu pengawal papanya. Termasuk Selo Ardi yang terlihat selalu siaga.Sebelum Arya Suta memberi jawaban, salah satu pengawal mendekat dan berbisik di telinganya, tampak memberikan informasi yang mendesak. Arya Suta mengangguk, dan kemudian menoleh kembali pada Ageng."Jangan khawatir, Ageng. Ini hanya urusan kecil, Papa akan segera kembali," katanya, mencoba meyakinkan putranya. Namun, raut wajahnya tetap menunjukkan ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.Ageng tahu, ini bukan urusan kecil. Ada sesuatu yang sedang terjadi, sesuatu yang mungkin berhubungan dengan bisnis atau bahkan keluarga mereka. Sebagai calon penerus dari perusahaan keluarganya, Ageng ingin ter
Arum berjalan mondar-mandir di dalam kamar bayi yang sebentar lagi akan dipenuhi tangisan dan tawa. Tangannya mengelus perutnya yang membuncit, merasa sangat dekat dengan bayi yang akan segera lahir. Setiap sudut kamar sudah dia perhatikan dengan saksama, ranjang bayi sudah tertata rapi dengan selimut lembut, lemari kecil sudah penuh dengan pakaian bayi yang mungil, dan mainan-mainan kecil tergantung di sekitar ranjang. Warna-warna pastel mendominasi ruangan, menciptakan suasana tenang yang diinginkan Arum untuk anak keduanya.Arum menarik napas dalam-dalam, merasakan kebahagiaan yang luar biasa saat melihat hasil jerih payahnya. Anak keduanya ini layaknya anugrah yang datang setelah badai besar rumah tangganya. Bayi ini memberi harapan, kebahagiaan, dan masa depan mereka. Arum sudah membayangkan momen-momen indah yang akan mereka lalui bersama sebagai sebuah keluarga.Di tengah kesibukannya, Arum dikejutkan dengan kedatangan seorang tamu. Asisten rumah tangganya menghampiri memberi t
Setelah mematikan layar, Zachary mencabut flash drive dan menunjukkan kepada Ageng. "Kalau kau tertarik melihat video lengkapnya ada di sini,” ucap Zachary terdengar menantang. “Aku yakin kau tahu apa akibatnya jika video ini tersebar."Ageng menatap flash drive itu dengan dingin. "Jadi trik murahan seperti ini yang akan kau lakukan kepada kemarin?”Ageng baru tahu, ternyata sebelum dirinya, Danu sudah lebih dahulu menjadi korban Zachary."Kau boleh menyebutnya sebagai trik murahan," Zachary mengangguk, berusaha mengimbangi sikap tenang Ageng. "Tapi apakah keluargamu akan berpikir sama? Kakakmu yang sedang hamil tua, apakah dia akan kuat menerima berita seperti itu? Apalagi jika video ini tersebar di publik."Kata demi kata Zachary menusuk Ageng seperti belati. Reputasi keluarga dan perusahaan menjadi taruhannya. Dan yang membuat Ageng merasa was was adalah sang kakak, sanggupkah dia menghadapi prahara rumah tangga seperti ini lagi, apalagi saat ini dia sedang dalam keadaan hamil besa