Pagi itu, Ageng merasakan sesuatu yang berbeda dalam sikap Queen. Istrinya yang biasanya tenang dan begitu mandiri, kini tampak sangat manja dan penuh rasa khawatir.Ada sesuatu dalam tatapan Queen yang membuat Ageng merasa bahwa perpisahan sementara untuk bekerja seakan menjadi sebuah momen besar yang sulit dilalui. Ageng merasa seperti suami yang akan pergi merantau jauh dan dalam waktu yang begitu lama. Padahal dia hanya pergi bekerja dan nanti sore dia akan pulang."Bagaimana kalau aku kangen?" Queen bertanya dengan suara lembut, namun ada nada kegelisahan di baliknya. Tatapannya seperti menunggu jawaban yang bisa menenangkan hati.Ageng tersenyum, berusaha menghapus segala kekhawatiran yang terbersit di benak istrinya. "Kalau kamu kangen, datang saja ke kantor. Tapi beri aku kabar dulu."Queen mendengus pelan, cemberut manja. "Jadi aku tidak bisa datang mendadak untuk sidak, dong?"Ageng tertawa kecil mendengar istilah itu keluar dari mulut istrinya. "Sidak? Apa yang mau kamu sid
Sarapan pagi itu terasa berbeda dari biasanya. Biasanya, suasana di meja makan Wardana selalu dipenuhi canda tawa dan obrolan ringan. Namun, pagi ini ada keheningan yang canggung, seolah ada sesuatu yang mengganjal di hati setiap orang yang duduk di sana. Setelah Queen dan Ageng tinggal bersama mereka, menu makanan diutamakan yang baik untuk ibu hamil. Seperti pagi ini sudah terhidang sop ayam kampung. Queen menatap hidangan itu dengan tatapan kosong, meski biasanya dia sangat menyukai makanan yang disiapkan mertuanya. Laras menyendokkan sedikit sup ke mangkuk Queen, lalu memberikan tatapan sekilas kepada menantunya yang duduk di seberangnya. Ada senyum di bibirnya, tapi tatapannya penuh perhatian, seolah ingin menembus pikiran menantunya. Queen, di sisi lain, hanya menunduk, memainkan sendoknya tanpa niat makan. Ageng, yang duduk di sampingnya, berusaha memulai obrolan dengan memecah keheningan. "Mama, Papa, ada rencana hari ini?" tanya Ageng yang sudah menghabiskan makanannya. Ar
Arya Suta berhenti sejenak, menatap putranya dengan wajah serius. "Ada urusan penting yang harus Papa selesaikan," jawabnya singkat, tetapi dari nada bicaranya sangat terasa ada situasi genting dan penting.Ageng menatap Arya Suta dengan penuh tanya. "Urusan apa, Pa? Ada masalah?" Tatap mata Ageng seolah mengabsen satu per satu pengawal papanya. Termasuk Selo Ardi yang terlihat selalu siaga.Sebelum Arya Suta memberi jawaban, salah satu pengawal mendekat dan berbisik di telinganya, tampak memberikan informasi yang mendesak. Arya Suta mengangguk, dan kemudian menoleh kembali pada Ageng."Jangan khawatir, Ageng. Ini hanya urusan kecil, Papa akan segera kembali," katanya, mencoba meyakinkan putranya. Namun, raut wajahnya tetap menunjukkan ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.Ageng tahu, ini bukan urusan kecil. Ada sesuatu yang sedang terjadi, sesuatu yang mungkin berhubungan dengan bisnis atau bahkan keluarga mereka. Sebagai calon penerus dari perusahaan keluarganya, Ageng ingin ter
Arum berjalan mondar-mandir di dalam kamar bayi yang sebentar lagi akan dipenuhi tangisan dan tawa. Tangannya mengelus perutnya yang membuncit, merasa sangat dekat dengan bayi yang akan segera lahir. Setiap sudut kamar sudah dia perhatikan dengan saksama, ranjang bayi sudah tertata rapi dengan selimut lembut, lemari kecil sudah penuh dengan pakaian bayi yang mungil, dan mainan-mainan kecil tergantung di sekitar ranjang. Warna-warna pastel mendominasi ruangan, menciptakan suasana tenang yang diinginkan Arum untuk anak keduanya.Arum menarik napas dalam-dalam, merasakan kebahagiaan yang luar biasa saat melihat hasil jerih payahnya. Anak keduanya ini layaknya anugrah yang datang setelah badai besar rumah tangganya. Bayi ini memberi harapan, kebahagiaan, dan masa depan mereka. Arum sudah membayangkan momen-momen indah yang akan mereka lalui bersama sebagai sebuah keluarga.Di tengah kesibukannya, Arum dikejutkan dengan kedatangan seorang tamu. Asisten rumah tangganya menghampiri memberi t
Setelah mematikan layar, Zachary mencabut flash drive dan menunjukkan kepada Ageng. "Kalau kau tertarik melihat video lengkapnya ada di sini,” ucap Zachary terdengar menantang. “Aku yakin kau tahu apa akibatnya jika video ini tersebar."Ageng menatap flash drive itu dengan dingin. "Jadi trik murahan seperti ini yang akan kau lakukan kepada kemarin?”Ageng baru tahu, ternyata sebelum dirinya, Danu sudah lebih dahulu menjadi korban Zachary."Kau boleh menyebutnya sebagai trik murahan," Zachary mengangguk, berusaha mengimbangi sikap tenang Ageng. "Tapi apakah keluargamu akan berpikir sama? Kakakmu yang sedang hamil tua, apakah dia akan kuat menerima berita seperti itu? Apalagi jika video ini tersebar di publik."Kata demi kata Zachary menusuk Ageng seperti belati. Reputasi keluarga dan perusahaan menjadi taruhannya. Dan yang membuat Ageng merasa was was adalah sang kakak, sanggupkah dia menghadapi prahara rumah tangga seperti ini lagi, apalagi saat ini dia sedang dalam keadaan hamil besa
Selo Ardi berdiri di sudut ruangan, memperhatikan dengan cermat setiap gerakan Ageng dan Zachary. Dalam hatinya, dia tahu Ageng telah gagal dalam ujian pertama kali ini. Emosi telah menguasai dirinya, membiarkannya bertindak tanpa pertimbangan yang matang. Selo Ardi menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang di tengah situasi yang semakin memanas.Zachary masih tersenyum sinis meski wajahnya babak belur, dan itu hanya menambah kemarahan Ageng. Selo Ardi seloah menangkap sebuah strategi untuk mengulur waktu. Entah untuk apa, tetapi pangalaman mengatakan jika dia harus segera pergi.Selo Ardi yakin Zachary pasti memiliki rencana tersembunyi. Tidak mungkin Zachary hanya sendiri saat akan bernegosiasi untuk urusan yang sangat penting seperti ini. Tidak ingin mengambil risiko lebih lama lagi berada di tempat yang bukan daerah kekuasaannya. Selo Ardi bergerak cepat ke arah meja, meraih berkas-berkas penting dan flash drive yang sudah dia perhatikan sejak mereka memasuki ruangan ini.D
Ageng berhenti di depan ruang bersalin, napasnya memburu, sementara pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Di sekelilingnya, suasana rumah sakit begitu ramai, namun seakan-akan sunyi bagi Ageng. Hanya suara detak jantungnya yang terdengar keras di telinga.Di depan pintu ruang operasi, beberapa orang dari tim keamanan Selo Ardi sudah berjaga. Wajah-wajah mereka tegang, mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Salah satu dari mereka mendekati Selo Ardi, berbicara pelan namun cepat, memberi laporan singkat tentang keamanan di sekitar rumah sakit.“Mbak Arum harus segera dioperasi, Mas Ageng,” kata Selo Ardi, mencoba menenangkan. “Kita sudah memastikan bahwa tidak ada ancaman lain di sini. Fokus kita sekarang adalah memastikan semuanya berjalan lancar.”Ageng hanya mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi kecemasan. Di dalam ruang operasi, nyawa Arum dan bayinya dipertaruhkan, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. Rasanya seperti siksaan, mengetahui bahwa sang kakak sed
Pintu lorong rumah sakit yang sepi tiba-tiba terbuka, memecah keheningan yang mencekam. Arya Suta, Laras, dan Queen masuk dengan langkah tergesa-gesa. Wajah mereka penuh kekhawatiran, dan di mata Arya Suta terpancar ketegangan yang sulit disembunyikan. Dia adalah orang yang selalu terlihat tenang, tapi untuk hal yang berhubungan dengan keselamatan anggota keluarganya, jelas merupakan sesuatu yang sangat mengguncangnya.Saat Arya Suta mendekati Danu, pandangannya tajam dan langsung menusuk ke dalam hati Danu yang sudah terpuruk. Tanpa basa-basi, Arya Suta bertanya,“Kau bisa menjelaskan semua ini? Bagaimana Arum bisa sampai seperti ini?” cecar Arya Suta penuh amarah. Seandainya tidak di rumah sakit, dan tidak ada Ardan di sana, mungkin Arya Suta sudah menghajar Danu. “Apa ini benar, Danu? Video itu, kamu dan Rahma?”Danu menunduk, seolah tidak mampu menatap mata ayah mertuanya. Rahasia yang selama ini dia sembunyikan kini terbuka lebar, dan tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Di s