Ageng berhenti di depan ruang bersalin, napasnya memburu, sementara pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Di sekelilingnya, suasana rumah sakit begitu ramai, namun seakan-akan sunyi bagi Ageng. Hanya suara detak jantungnya yang terdengar keras di telinga.Di depan pintu ruang operasi, beberapa orang dari tim keamanan Selo Ardi sudah berjaga. Wajah-wajah mereka tegang, mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Salah satu dari mereka mendekati Selo Ardi, berbicara pelan namun cepat, memberi laporan singkat tentang keamanan di sekitar rumah sakit.“Mbak Arum harus segera dioperasi, Mas Ageng,” kata Selo Ardi, mencoba menenangkan. “Kita sudah memastikan bahwa tidak ada ancaman lain di sini. Fokus kita sekarang adalah memastikan semuanya berjalan lancar.”Ageng hanya mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi kecemasan. Di dalam ruang operasi, nyawa Arum dan bayinya dipertaruhkan, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. Rasanya seperti siksaan, mengetahui bahwa sang kakak sed
Pintu lorong rumah sakit yang sepi tiba-tiba terbuka, memecah keheningan yang mencekam. Arya Suta, Laras, dan Queen masuk dengan langkah tergesa-gesa. Wajah mereka penuh kekhawatiran, dan di mata Arya Suta terpancar ketegangan yang sulit disembunyikan. Dia adalah orang yang selalu terlihat tenang, tapi untuk hal yang berhubungan dengan keselamatan anggota keluarganya, jelas merupakan sesuatu yang sangat mengguncangnya.Saat Arya Suta mendekati Danu, pandangannya tajam dan langsung menusuk ke dalam hati Danu yang sudah terpuruk. Tanpa basa-basi, Arya Suta bertanya,“Kau bisa menjelaskan semua ini? Bagaimana Arum bisa sampai seperti ini?” cecar Arya Suta penuh amarah. Seandainya tidak di rumah sakit, dan tidak ada Ardan di sana, mungkin Arya Suta sudah menghajar Danu. “Apa ini benar, Danu? Video itu, kamu dan Rahma?”Danu menunduk, seolah tidak mampu menatap mata ayah mertuanya. Rahasia yang selama ini dia sembunyikan kini terbuka lebar, dan tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Di s
"Bu Arum juga dalam kondisi baik. Dia masih berada di bawah pengaruh anestesi, jadi mungkin butuh waktu beberapa saat sebelum dia sepenuhnya sadar. Tapi tidak ada komplikasi serius, dan kami akan terus memantau keadaannya."Danu mengangguk, tidak mampu mengucapkan lebih banyak kata. Dia hanya bisa berterima kasih dalam hati karena Arum dan bayi mereka selamat dari cobaan ini. Meskipun masalah lain masih menantinya, untuk saat ini, dia hanya ingin bersyukur atas keselamatan keluarganya.Arya Suta, meskipun masih terlihat tegang, juga tampak lebih tenang setelah mendengar kabar baik itu. Dia menatap Danu, dan kali ini, sorot matanya tidak sekeras sebelumnya. Mungkin dalam hatinya, dia juga merasa lega meskipun kemarahannya belum sepenuhnya reda.Ageng meletakkan tangannya di bahu Danu, memberikan dukungan tanpa kata-kata. Dia tahu bahwa Danu masih harus menghadapi konsekuensi dari apa yang telah terjadi, tapi dia juga tahu bahwa ini bukan waktunya untuk memperburuk situasi. Yang terpent
Mike meninggalkan ruang kerjanya dengan wajah yang kusut, tak lagi mempedulikan setumpuk berkas yang masih menanti tanda tangannya. Kepalanya dipenuhi dengan kekacauan yang telah ditimbulkan oleh Zachary. Tangan gemetar, dia bergegas menuju kamar Victoria, adik perempuannya. Tekadnya sudah bulat, Victoria harus segera menyusul Papa dan Mama ke Singapura. Dia tidak bisa membiarkan adiknya terjebak dalam situasi yang semakin kacau ini."Vicky! Vicky!" teriak Mike saat berjalan menuju kamar Victoria. Suaranya menggelegar, memecah keheningan rumah. Detak jantungnya berdentum cepat, hampir seirama dengan langkah kaki yang tak sabar.Victoria, yang tengah berbaring di tempat tidur sambil memainkan ponselnya, terlonjak kaget. “Apa yang terjadi, Kak?” tanyanya, mencoba memahami kekhawatiran yang terpancar dari wajah kakaknya. Dari suara keras dan gelagatnya yang terburu-buru, Victoria tahu ada sesuatu yang buruk sedang terjadi.Mike berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam sebelum menyam
Selo Ardi menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan penjelasannya. Di salah satu ruang private restaurant yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit dipenuhi oleh keheningan yang tegang. Wajah Arya Suta terlihat serius, matanya tak lepas dari laporan yang ada di tangannya. Dia tampak mencoba merangkai informasi yang diberikan oleh Selo Ardi dengan apa yang telah terjadi selama ini."Rahma adalah seorang janda beranak satu, suaminya meninggal dalam kecelakaan kerja di salah satu proyek yang pernah Mas Danu tangani," ucap Selo Ardi, suaranya tenang namun tegas. "Sepertinya kedekatan mereka berawal dari pemberian santunan dari perusahaan."Arya Suta mengangguk pelan, tanda bahwa dia mengikuti alur cerita yang disampaikan. Matanya menyipit, memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut Selo Ardi."Ini proyek yang kita menangkan dari Surya Jaya Abadi?" Arya Suta mengangkat alisnya, menatap Selo Ardi dengan sorot mata penuh tanya. Tangannya masih memegang laporan itu, namun pandangann
“Ardan mau bobok sama Om Ageng,” ucap Ardan dengan polosnya saat berada di gendongan Ageng.“Nggak boleh!” sahut Laras dengan suara keras dan tegas. Terlihat jelas kekhawatiran di wajah perempuan paruh baya itu.Ageng menyembunyikan cengiran di wajahnya. Kalau Ardan ikut tidur dengannya, bagaimana nanti kalau Queen minta jatah, pasti ribet jadinya.“Ardan boboknya pencak silat, Oma takut nanti kamu nendang perut Tante Queen,” sambung Laras tidak ingin dibantah.Ardan tampak kecewa, lalu melingkarkan kedua tangannya erat di leher Ageng dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang paman. Sejak kecil Ardan memang sangat dekat dengan Ageng, karena sang paman memang sering memanjakannya dengan memberi semua yang dia minta, entah itu makanan atau pun mainan.“Nanti Ardan tidur sama opa saja, nanti opa bacakan dongeng.” Arya Suta pun turut merayu Ardan agar tidak tidur bersama Ageng, atau lebih tepatnya tidak tidur bersama Queen.Ardan tetap menggeleng. Selama ini setiap kali menginap di
“Kenapa kamu hanya diam, Mas?”Danu hanya bisa menggaruk kepalanya kala mendapati pertanyaan dari Arum yang sudah hampir tiga puluh menit menyaksikan video tidak senonoh yang melibatkan dirinya.“Kenapa soundnya diganti? Suara kamu nggak seperti itu, Mas. Suara kamu lebih seksi saat ….”“Rum! Jangan hukum aku seperti ini! Aku harus puasa selama kamu nifas, kalau kamu bahas yang seperti ini terus, kalau aku pengen mau main sama siapa?”Arum meletakkan ponsel di nakas yang berada di samping brankarnya. Lalu dia meraih tangan suaminya.“Maafkan aku, Mas!”Danu tercengang mendengar kata yang baru saja meluncur dari bibir Arum. Untuk masalah besar yang sedang mereka hadapi saat ini adalah kesalahannya yang tidak berhati-hati dalam bertindak.Danu duduk di samping ranjang Arum, tangan mereka masih saling menggenggam erat. Wajahnya diliputi kebingungan, perasaan bersalah, dan cinta yang mendalam. Melihat istrinya begitu lemah setelah operasi caesar, tetapi masih memiliki kekuatan untuk memin
Pagi itu, suasana rumah sakit terasa tenang meski hari baru saja dimulai. Ardan, dengan semangat yang membuncah, hampir tidak sabar untuk bertemu adik kecilnya yang baru lahir. Pagi-pagi sekali, Ageng dan Queen sudah bersiap mengantar keponakan mereka ke rumah sakit. Kebahagiaan terpancar dari wajah ketiganya, meski Queen kadang terlihat was-was dengan tingkah polah Ardan yang begitu aktif dan sulit dikendalikan. Setibanya di rumah sakit, Ardan langsung berlari ke arah ruang perawatan tanpa sedikit pun ragu. Kakinya kecil, tetapi langkahnya cepat, memaksa Queen untuk segera mengejarnya. Namun, sebelum dia sempat berlari, Ageng dengan sigap meraih tangannya, menghentikan langkahnya dengan lembut namun tegas. “Jangan dikejar!” ucap Ageng dengan nada tenang, mencoba menenangkan istrinya. “Biarkan dia selama masih bisa kita awasi.” Queen menghela napas, menatap suaminya dengan raut wajah yang masih penuh kekhawatiran. “Aku hanya takut kalau dia mengganggu pasien lain atau tenaga medis y
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l