Pagi itu, suasana rumah sakit terasa tenang meski hari baru saja dimulai. Ardan, dengan semangat yang membuncah, hampir tidak sabar untuk bertemu adik kecilnya yang baru lahir. Pagi-pagi sekali, Ageng dan Queen sudah bersiap mengantar keponakan mereka ke rumah sakit. Kebahagiaan terpancar dari wajah ketiganya, meski Queen kadang terlihat was-was dengan tingkah polah Ardan yang begitu aktif dan sulit dikendalikan. Setibanya di rumah sakit, Ardan langsung berlari ke arah ruang perawatan tanpa sedikit pun ragu. Kakinya kecil, tetapi langkahnya cepat, memaksa Queen untuk segera mengejarnya. Namun, sebelum dia sempat berlari, Ageng dengan sigap meraih tangannya, menghentikan langkahnya dengan lembut namun tegas. “Jangan dikejar!” ucap Ageng dengan nada tenang, mencoba menenangkan istrinya. “Biarkan dia selama masih bisa kita awasi.” Queen menghela napas, menatap suaminya dengan raut wajah yang masih penuh kekhawatiran. “Aku hanya takut kalau dia mengganggu pasien lain atau tenaga medis y
Di bandara, Victoria menoleh ke kiri dan ke kanan berharap jika akan melihat Bryan di sana. Kembali Victoria mendesak gusar, bagaimana mungkin Bryan akan berada di sana, jika dia tidak memberitahu kepada pria itu bahwa dia akan ke Singapura hari ini.Hanya Mike yang menemani dan mengantarnya ke bandara. Saat tatap mata Victoria melihat sekelilingnya, ada beberapa gadis yang seusai dengannya. Mereka tampak begitu dekat dengan pria dewasa di sampingnya, mungkin itu adalah ayah mereka.Meskipun terlihat kesedihan di mata mereka, tetapi mereka tetap bercanda. Beberapa kali sang pria mengusap rambut si gadis. Itu mengingatkan Victoria kepada Bryan yang sering melakukan hal yang sama. Kini Victoria sadari jika selama ini Bryan hanya menganggapnya anak kecil “Maafkan kakak!” ucap Mike dengan suara rendah, penuh penyesalan. Dia melihat Victoria menyeka air matanya dengan cepat. “Kakak ingin sekali selalu menemanimu, tapi keadaannya memang tidak mudah.”Victoria menggeleng pelan, mencoba ters
Suasana penuh kebahagiaan bercampur dengan rutinitas yang baru saja dimulai. Arum masih dalam masa pemulihan setelah melahirkan anak keduanya, Danar. Queen, yang kini berada di rumah Arum untuk membantu, merasa senang bisa turut merawat si kecil dan belajar banyak hal tentang kehamilan, persalinan, dan merawat bayi. Bagaimanapun, pengalaman ini sangat berarti bagi Queen, terutama saat dia juga tengah menantikan kelahiran anak pertamanya.Dengan hati-hati, Queen meletakkan Danar di tempat tidur bayi setelah mengganti popoknya yang sudah penuh. Dia kemudian menatap popok yang telah terpasang, memastikan semuanya sudah benar. Meskipun ini bukan pertama kalinya dia mengganti popok bayi, Queen masih merasa perlu memastikan segalanya sempurna.“Mbak, ini sudah benar?” tanyanya, sedikit ragu, kepada Arum yang tengah beristirahat di tempat tidur.Arum tersenyum lemah namun penuh kasih, mengangguk pelan. “Sudah benar, Queen.”Meskipun Arum melihat sedikit tidak pas, tetapi saat melihat Danar t
“Jika kamu melanjutkan rencanamu untuk melakukan pernikahan kontrak, maka aku akan membuat surat pernyataan bermaterai jika kita sudah tidak memiliki hubungan pertemanan apa pun,” ujar Cyrus dengan nada yang penuh amarah. Mata hitamnya menatap tajam ke arah Bryan. “Cukup satu sahabatku yang melakukan kegilaan seperti itu.”Cyrus tampak meluapkan amarahnya saat mendengar rencana Bryan yang sedang mencari pendamping karena desakan dari kedua orang tuanya.Suasana kumpul bersama yang biasanya hangat dan penuh canda tawa berubah menjadi tegang. Ageng, Cyrus, Erick, dan Derrian duduk mengelilingi meja, tatapan mereka terpaku pada Bryan, yang tampak gelisah. Aroma kopi yang biasanya menenangkan seolah tak mampu meredakan ketegangan yang semakin terasa di antara mereka.Bryan terdiam sejenak, mencoba menahan diri dari ledakan emosi yang mulai menggelegak di dalam dirinya. Tetapi sebelum dia sempat merespons, Ageng yang duduk di samping Cyrus lebih dahulu melontarkan kalimatnya.“Jika yang ka
Suasana haru menyelimuti saat ayah dan anak bertemu kembali. Mike yang biasanya berusaha kuat di hadapan Victoria, kini tampak manja menumpahkan semua beban hidup di hadapan sang papa. Mike menangis di pelukan Surya Wijaya.Seolah ingin memberi kekuatan kepada putra keduanya, Surya Wijaya menepuk punggung Mike. Dia sadar jika selama ini putranya tersebut sudah berusaha sekuat tenaga, semaksimal mungkin kemampuannya untuk menjalankan semua tugas dan amanah yang dia berikan.“Bagaimana keadaan Mama?” tanya Mike sambil menyeka air matanya.“Ada progress yang sangat bagus,” jawab Surya Wijaya dengan jujur. “Tapi pengobatannya masih butuh waktu yang panjang.” Terlihat senyum penuh optimis di bibir yang sudah menunjukkan keriput.“Lalu kenapa papa pulang? Kalau papa membutuhkan uang untuk pengobatan mama, papa bisa hubungi saja, aku akan mentransfer uang untuk papa.”Surya Wijaya tersenyum mendengar ucapan anaknya. Tampaknya masalah yang menggunung yang dia hadapi akhir-akhir ini membuatnya
BrakkDanu terjingkat kaget saat melihat berkas yang dilempar Arya Suta tepat di hadapannya. Dia merasa tidak melakukan kesalahan, tetapi mengapa ayah mertuanya bertindak kasar di hadapannya.“Kembalikan barang itu kepada pemiliknya!”Danu mengerutkan dahinya, semakin bingung menghadapi Arya Suta. Dengan perlahan dia menarik berkas yang berada tepat di hadapannya.“Bagi saya itu hanya sampah, karena saya sudah memiliki otaknya, otak yang mampu membuat sesuatu yang lebih hebat dari itu semua.”Setelah membuka dan membaca beberapa bagian, Danu mulai paham dengan maksud papa mertuanya. Data-data yang dianggap penting bagi Surya Jaya Abadi itu menjadi tidak penting bagi Wardana Group, karena hampri semua rancangannya adalah hasil pemikiran Danu. Dan saat ini Danu sudah berada di barisan Wardana Group.“Apakah Pak Surya menghubungi papa secara pribadi?”Arya Suta menelengkan kepala dengan tatap mata penuh tanya kepada menantunya. Ya, menantunya itu dahulu adalah salah satu kepercayaan dari
Melihat suaminya pulang dari kantor, membuat Queen bergegas untuk menyambutnya. Untuk kali ini bukan wajah sumringah seperti biasanya yang menyambut kedatangan Ageng. Tentu hal itu menjadi tanda tanya tersendiri bagi Ageng.“Geng! Tadi aku dengan mama sama papa bilang kalau Om Surya pulang. Aku ingin bertemu dengannya, Geng. Aku ingin tahu bagaimana kabar mama sekarang.”Ageng hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. Dia pun membimbing istrinya itu menuju ke kamar mereka. Selain ingin mengistirahatkan tubuhnya sejenak, Ageng juga merasa harus membicarakan hal ini dengan hati-hati, tidak ingin membuat kecewa dan sakit hati istrinya.Setelah berada di kamar mereka, Ageng mendudukkan Queen di ranjang mereka, lalu dia menarik kursi yang ada di dekat meja rias Queen hingga mereka duduk berhadapan.“Queen, Om Surya baru tiba. Dia sangat sibuk ….”“Aku tahu itu,” sergah Queen yang terlihat tidak sabar. “Makanya aku ingin segera menemuinya.”Ageng meraih tangan Queen lalu mengusapnya dengan l
“Kau merindukan mamamu?” tanya Laras dengan lembut saat menjatuhkan bobot tubuhnya tetap di samping Queen.“Hmmm.” Queen mengangguk sambil menyeka air matanya.“Sini, aku juga mamamu,” ucap Laras merengkuh tubuh Queen ke dalam pelukannya. “Mamamu sudah janji sama mama … eh gimana ngomongnya?”Queen terkikik sambil kembali menyeka air mata. Kebingungan Laras menyebut mama untuk dirinya dan juga besan terdengar lucu dan sedikit menghibur bagi Queen.“Intinya … sebelum berangkat ke Singapura, mamamu sudah janji akan fokus dengan pengobatannya. Dia sangat ingin bisa bersama merawat cucunya nanti.” Dengan lembut Laras mengusap punggung anak menantunya.Sebagai seorang ibu, Laras bisa memahami kesedihan yang dirasakan oleh Queen. Setelah bertahun-tahun hidup terpisah, mereka dipertemukan kembali saat salah satunya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Laras masih ingat saat pertama kali memergoki Queen dengan wajah sedihnya mendatangi rumah sakit bersama Mike. Ya, dia sempat menaruh curi
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l