Melihat suaminya pulang dari kantor, membuat Queen bergegas untuk menyambutnya. Untuk kali ini bukan wajah sumringah seperti biasanya yang menyambut kedatangan Ageng. Tentu hal itu menjadi tanda tanya tersendiri bagi Ageng.“Geng! Tadi aku dengan mama sama papa bilang kalau Om Surya pulang. Aku ingin bertemu dengannya, Geng. Aku ingin tahu bagaimana kabar mama sekarang.”Ageng hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. Dia pun membimbing istrinya itu menuju ke kamar mereka. Selain ingin mengistirahatkan tubuhnya sejenak, Ageng juga merasa harus membicarakan hal ini dengan hati-hati, tidak ingin membuat kecewa dan sakit hati istrinya.Setelah berada di kamar mereka, Ageng mendudukkan Queen di ranjang mereka, lalu dia menarik kursi yang ada di dekat meja rias Queen hingga mereka duduk berhadapan.“Queen, Om Surya baru tiba. Dia sangat sibuk ….”“Aku tahu itu,” sergah Queen yang terlihat tidak sabar. “Makanya aku ingin segera menemuinya.”Ageng meraih tangan Queen lalu mengusapnya dengan l
“Kau merindukan mamamu?” tanya Laras dengan lembut saat menjatuhkan bobot tubuhnya tetap di samping Queen.“Hmmm.” Queen mengangguk sambil menyeka air matanya.“Sini, aku juga mamamu,” ucap Laras merengkuh tubuh Queen ke dalam pelukannya. “Mamamu sudah janji sama mama … eh gimana ngomongnya?”Queen terkikik sambil kembali menyeka air mata. Kebingungan Laras menyebut mama untuk dirinya dan juga besan terdengar lucu dan sedikit menghibur bagi Queen.“Intinya … sebelum berangkat ke Singapura, mamamu sudah janji akan fokus dengan pengobatannya. Dia sangat ingin bisa bersama merawat cucunya nanti.” Dengan lembut Laras mengusap punggung anak menantunya.Sebagai seorang ibu, Laras bisa memahami kesedihan yang dirasakan oleh Queen. Setelah bertahun-tahun hidup terpisah, mereka dipertemukan kembali saat salah satunya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Laras masih ingat saat pertama kali memergoki Queen dengan wajah sedihnya mendatangi rumah sakit bersama Mike. Ya, dia sempat menaruh curi
Sebagai pengusaha sebenarnya Arya Suta dan Surya Wijaya sama-sama handal, tetapi mereka memiliki bayangan masa tua yang berbeda. Kesalahan di masa lalu membuat Impian memiliki masa tua yang tenang dan bahagia sambil menikmati hasil kerja kerasa selama ini tampaknya harus harus kandas bagi Surya Wijaya.Jika menuruti ego dan amarah, tentu bukan penyelesaian seperti ini yang diinginkan oleh Arya Suta. Surya Wijaya sudah mengucapkan janji, dan dia tinggal menunggu hasilnya saja. Arya Suta merasa tidak bisa bertindak begitu keras, karena bagaimana pun sekarang mereka adalah besan. Hubungan ini harus dijaga baik, demi kebahagiaan anak-anak mereka.Setelah pembicaraan serius itu selesai, suasana di ruangan sejenak terasa tenang, meski ketegangan di udara belum sepenuhnya hilang. Arya Suta mengajak Ageng untuk segera pergi, namun tatap mata Ageng masih tertuju pada Surya Wijaya dan Mike. Seolah masih ada sesuatu yang tertahan, sebuah perasaan yang tak terucapkan, namun begitu nyata.“Maaf Om
Queen tersenyum kala melihat layar ponselnya. Tak ayal hal itu membuat Laras yang sejak tadi sudah menemani Queen merasa diabaikan oleh menantunya yang terlihat asik sendiri.“Lagi chatingan sama siapa?” tanya Laras dengan nada ketus.Namun, Queen yang sedang dalam suasana hati yang baik, tidak menyadari nada suara Laras. “Om Surya,” jawab Queen ringan, tanpa berpikir panjang.Dengan senyum sumringah Queen menyerahkan ponsel ke arah mama mertuanya. Terlihat foto Rania yang terlihat sedang berjemur di taman rumah sakit. Tampaknya Surya Wijaya menepati janjinya kepada Ageng dengan mengirim foto-foto terbaru Rania.Dari berbagai foto candid yang diambil, memiliki satu kesamaan, Rania yang selalu menggunakan penutup kepala. Tampaknya Rania tetap memperhatikan penampilannya, sehingga tetap terlihat cantik meskipun sedang sakit. Penutup kepala yang dia gunakan pun berganti-ganti, ada yang menggunakan topi lebar, kupluk musim dingin, atau syal penutup kepala dengan beraneka motif.“Mamamu te
“Tadi kalian ngapain saja, mama sudah nunggu lama.” Laras menatap Queen dengan malas, karena menantunya itu tidak menggunakan salah satu dari pakaian yang telah dia pilihkan.Queen hanya menatap Ageng, berharap suaminya bertanggung jawab atas perbuatannya dengan memberikan penjelasan kepada Laras. Seharusnya Ageng dan Queen bisa melakukan persiapan lebih cepat, seandainya Ageng tidak meminta jatah lebih dahulu.“Mama pilih baju untuk Queen seperti itu semua, saya yang tidak terima jika dia memakainya di tempat umum. Queen jadi lama pilih bajunya.”Terpaksa Ageng berbohong, agar istrinya tidak mendapat marah dari sang mama. Ageng terus menggenggam tangan Queen selama berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ke poli kandungan tempat praktek Dokter Amira.Di ruang pemeriksaan yang tenang, meski sudah didampingi oleh Ageng dan Laras, dia tetap merasa sedikit gugup, tetapi juga dipenuhi dengan antusiasme. Hari ini, mereka akan mengetahui jenis kelamin bayi yang mereka tunggu-tunggu den
Surya Wijaya berdiri di depan rumah tua itu, rumah yang sudah lama tak ia kunjungi, tempat di mana kenangan terburuk dalam hidupnya tersimpan. Rumah ini adalah tempat di mana istri pertamanya, menghembuskan napas terakhirnya. Di sinilah juga ia kehilangan Zachary, putranya, yang sejak itu semakin jauh darinya. Meski secara fisik mereka berdekatan, tetapi Zachary selalu membuat batasan tak kasat mata yang memisahkan mereka.Mata Surya menatap kosong ke arah jendela yang tertutup debu, seolah-olah waktu berhenti sejak tragedi itu terjadi. Dinding-dinding rumah itu seakan menyimpan semua rasa sakit, kesedihan, dan penyesalan yang tak pernah bisa ia hapus dari hatinya. Surya tahu, sejak saat itu, Zachary pun mulai kehilangan arah, terjebak dalam bayang-bayang masa lalu yang kelam. Namun, kali ini, Surya benar-benar putus asa karena jejak Zachary seperti menghilang begitu saja. Semua upayanya untuk menemukan putranya tak membuahkan hasil.Surya melangkah masuk, suara derit pintu tua itu me
"Bayiku…." batin Queen bergetar, perasaan panik mengguncang hatinya. Ketakutan luar biasa menghantam tanpa henti. Rasa cemas semakin mencekik, membuat napasnya tersengal-sengal meski mulutnya tertutup rapat oleh plester yang kasar dan menghalangi setiap kata yang ingin dia teriakkan.Di dalam mobil yang melaju kencang, Queen meringkuk tak berdaya di jok belakang. Tubuhnya gemetar hebat karena ketakutan yang merambat ke seluruh nadinya. Plester yang menempel di mulutnya membuatnya merasa semakin terperangkap dalam kepanikan. Kedua tangannya terikat kuat di belakang punggungnya, memaksa tubuhnya meringkuk lebih erat. Perutnya yang membuncit menjadi pusat dari semua ketakutannya. Bagaimana jika mobil ini tiba-tiba berhenti mendadak? Bagaimana jika terjadi benturan? Dia tidak bisa melindungi bayinya.Keringat dingin mengalir deras di pelipis Queen, hingga membasahi wajahnya yang pucat. Rasa takut menyelinap ke dalam setiap celah pikirannya, membayangkan berbagai kejadian mengerikan yang m
“Aku kenal mobil itu,” kata Selo Ardi, nadanya datar namun penuh keyakinan. “Itu salah satu mobil yang selama ini curigai dalam investigasi sebelumnya. Itu adalah mobil yang biasa digunakan oleh Zachary.”Ageng berdiri tegak, dengan tatapan tajam yang penuh amarah. “Kita harus menemukannya, sekarang juga. Tidak ada waktu untuk disia-siakan.”“Tenang, Mas. Kita akan temukan dia,” ucap Selo Ardi, meskipun dia tahu kata-kata itu tidak cukup untuk meredakan kepanikan yang menguasai Ageng.Ageng menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri, tetapi matanya tetap menunjukkan rasa marah yang membara. “Aku tidak akan membiarkan mereka menyakiti istriku. Kita harus tahu ke mana mereka pergi.”Pihak pengelola gedung mencoba menawarkan bantuan lebih jauh, tetapi Ageng dan Selo Ardi sudah memiliki rencana. Selo Ardi langsung menelepon beberapa kontak orang kepercayaannya yang bisa dia andalkan untuk melacak keberadaan mobil van itu.Waktu terasa bergerak begitu lambat bagi Ageng, setiap detik
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l