“Tadi kalian ngapain saja, mama sudah nunggu lama.” Laras menatap Queen dengan malas, karena menantunya itu tidak menggunakan salah satu dari pakaian yang telah dia pilihkan.Queen hanya menatap Ageng, berharap suaminya bertanggung jawab atas perbuatannya dengan memberikan penjelasan kepada Laras. Seharusnya Ageng dan Queen bisa melakukan persiapan lebih cepat, seandainya Ageng tidak meminta jatah lebih dahulu.“Mama pilih baju untuk Queen seperti itu semua, saya yang tidak terima jika dia memakainya di tempat umum. Queen jadi lama pilih bajunya.”Terpaksa Ageng berbohong, agar istrinya tidak mendapat marah dari sang mama. Ageng terus menggenggam tangan Queen selama berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ke poli kandungan tempat praktek Dokter Amira.Di ruang pemeriksaan yang tenang, meski sudah didampingi oleh Ageng dan Laras, dia tetap merasa sedikit gugup, tetapi juga dipenuhi dengan antusiasme. Hari ini, mereka akan mengetahui jenis kelamin bayi yang mereka tunggu-tunggu den
Surya Wijaya berdiri di depan rumah tua itu, rumah yang sudah lama tak ia kunjungi, tempat di mana kenangan terburuk dalam hidupnya tersimpan. Rumah ini adalah tempat di mana istri pertamanya, menghembuskan napas terakhirnya. Di sinilah juga ia kehilangan Zachary, putranya, yang sejak itu semakin jauh darinya. Meski secara fisik mereka berdekatan, tetapi Zachary selalu membuat batasan tak kasat mata yang memisahkan mereka.Mata Surya menatap kosong ke arah jendela yang tertutup debu, seolah-olah waktu berhenti sejak tragedi itu terjadi. Dinding-dinding rumah itu seakan menyimpan semua rasa sakit, kesedihan, dan penyesalan yang tak pernah bisa ia hapus dari hatinya. Surya tahu, sejak saat itu, Zachary pun mulai kehilangan arah, terjebak dalam bayang-bayang masa lalu yang kelam. Namun, kali ini, Surya benar-benar putus asa karena jejak Zachary seperti menghilang begitu saja. Semua upayanya untuk menemukan putranya tak membuahkan hasil.Surya melangkah masuk, suara derit pintu tua itu me
"Bayiku…." batin Queen bergetar, perasaan panik mengguncang hatinya. Ketakutan luar biasa menghantam tanpa henti. Rasa cemas semakin mencekik, membuat napasnya tersengal-sengal meski mulutnya tertutup rapat oleh plester yang kasar dan menghalangi setiap kata yang ingin dia teriakkan.Di dalam mobil yang melaju kencang, Queen meringkuk tak berdaya di jok belakang. Tubuhnya gemetar hebat karena ketakutan yang merambat ke seluruh nadinya. Plester yang menempel di mulutnya membuatnya merasa semakin terperangkap dalam kepanikan. Kedua tangannya terikat kuat di belakang punggungnya, memaksa tubuhnya meringkuk lebih erat. Perutnya yang membuncit menjadi pusat dari semua ketakutannya. Bagaimana jika mobil ini tiba-tiba berhenti mendadak? Bagaimana jika terjadi benturan? Dia tidak bisa melindungi bayinya.Keringat dingin mengalir deras di pelipis Queen, hingga membasahi wajahnya yang pucat. Rasa takut menyelinap ke dalam setiap celah pikirannya, membayangkan berbagai kejadian mengerikan yang m
“Aku kenal mobil itu,” kata Selo Ardi, nadanya datar namun penuh keyakinan. “Itu salah satu mobil yang selama ini curigai dalam investigasi sebelumnya. Itu adalah mobil yang biasa digunakan oleh Zachary.”Ageng berdiri tegak, dengan tatapan tajam yang penuh amarah. “Kita harus menemukannya, sekarang juga. Tidak ada waktu untuk disia-siakan.”“Tenang, Mas. Kita akan temukan dia,” ucap Selo Ardi, meskipun dia tahu kata-kata itu tidak cukup untuk meredakan kepanikan yang menguasai Ageng.Ageng menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri, tetapi matanya tetap menunjukkan rasa marah yang membara. “Aku tidak akan membiarkan mereka menyakiti istriku. Kita harus tahu ke mana mereka pergi.”Pihak pengelola gedung mencoba menawarkan bantuan lebih jauh, tetapi Ageng dan Selo Ardi sudah memiliki rencana. Selo Ardi langsung menelepon beberapa kontak orang kepercayaannya yang bisa dia andalkan untuk melacak keberadaan mobil van itu.Waktu terasa bergerak begitu lambat bagi Ageng, setiap detik
Arya Suta menatap layar ponselnya dengan rahang yang mengeras, tangannya gemetar menahan amarah yang semakin membara. Wajahnya memerah, menandakan ledakan emosi yang tak lagi bisa ia kendalikan. Dengan napas yang berat dan terputus-putus, ia akhirnya menekan nomor Surya Wijaya. Ia merasa dikhianati, dan saat ini hanya ada satu orang yang bisa ia salahkan.Saat sambungan telepon tersambung, Arya Suta tidak menunggu lama. Begitu mendengar suara Surya di seberang, ia langsung meledak, "Surya! Apa yang kau lakukan? Di mana janji-janjimu?"Surya Wijaya terdengar tetap tenang meski harus mendengar suara keras dari Arya Suta. Itu semua karena dia belum mengetahui apa yang telah terjadi. “Ada apa? Apa kau telah menemukan Zach?”“Anakmu itu telah menculik Queen. Kau tahu saat ini Queen sedang hamil. Jika sampai ada kejadian buruk yang menimpa Queen dan cucuku, aku tidak akan melepas Zachary begitu saja.”Meskipun Queen hanya anak menantu, tetapi rasa khawatir dan ketakutan yang Arya Suta rasak
“Sampai kapan aku harus menunggu?”Berulang kali Ageng memukul kemudi mobilnya. Bersama Selo Ardi dia sedang menantikan petunjuk dari orang kepercayaan Selo Ardi tentang keberadaan mobil yang telah membawa Queen.“Sabar, Mas!” Seperti janji Selo Ardi, tidak butuh waktu yang lama orang kepercayaannya itu sudah menghubungi.Selo Ardi segera meraih telepon, menjawab panggilan dengan nada datar namun penuh harap, kemudian dia terdiam mendengar dengan saksama penjelasan dari orang kepercayaannya. “Di mana dia sekarang?”“Zachary terlihat rumah tua di pinggiran kota. Itu adalah rumah peninggallan kakek nenek dari pihak mamanya. Saya sudah mengirim koordinatnya ke ponsel Bapak,” jawab pria itu dengan nada serius.Setelah mengetahui kemana arah yang dituju, Ageng bergegas menyalakan mesin mobilnya. Dengan cepat, mereka melaju menuju lokasi yang telah diberikan. Diikuti oleh beberapa anak buah Selo Ardi, yang akan bergerak untuk melancarkan semua aksi mereka.Sepanjang perjalanan, tidak ada ka
Rahma melangkah pelan menyusuri koridor sempit yang gelap, menuju ruangan tempat ia tahu anaknya, Jelita, disekap. Langkah kakinya semakin berat setiap kali ia mendekat, bayangan wajah Jelita yang pucat dan kurus terbayang di benaknya. Rahma merasa hatinya teriris setiap kali memikirkan anaknya yang harus hidup dalam kondisi seperti ini, namun ia tidak punya pilihan.Sempat hidup berkecukupan sebagai janda karena kebaikan hati Danu, tetapi setelah kedatangan Zachary dengan berbagai bujuk rayunya, semua menjadi berubah. Rahma menjadi sosok yang serakah, bukan hanya menerima uang dari Zachary sebagai bayaran untuk terus mendekati Danu, Rahma juga semua kebaikan Danu yang begitu peduli kepada Jelita.Langkah Rahma telah tiba di depan pintu kamar, Raham menarik napas dalam-dalam untuk menyiapkan hatinya. Memejamkan mata, mencoba mencoba merangkai kata penuh kebohongan untuk menenangkan hati putrinya. Dia tidak tahu, sampai kapan akan terlepas dari jerat Zachary.Ia membuka pintu dengan pe
Mobil Ageng dan Selo Ardi berhenti mendadak di depan rumah tua bergaya klasik. Rumah itu masih terawat tetapi tetap menyisakan aura mistis karena gaya arsitekturnya yang merupakan peninggalan zaman Belanda.Ageng dan Selo Ardi turun dari mobil, diikuti oleh beberapa anak buah mereka. Dengan cepat, mereka menyebar, memeriksa sekeliling rumah dengan hati-hati. Suasana sunyi senyap membuat jantung Ageng berdegup kencang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Queen. Setiap detik terasa begitu berharga, dan setiap detik yang terbuang adalah ancaman bagi keselamatan istrinya.Selo Ardi memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bersiap. Mereka mendekati pintu utama rumah dengan langkah hati-hati. Tiba-tiba, dari dalam rumah, terdengar suara jeritan perempuan yang membuat Ageng berhenti di tempatnya. Suara itu jelas suara Queen. Tanpa berpikir panjang, Ageng berlari menuju pintu, dan dengan sekuat tenaga ia menghantam pintu itu, mencoba mendobraknya.Pintu tua itu bergoyang keras namun tetap tidak
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l