Mike berdiri di tengah ruangan, tatapan matanya kosong. Beban yang ia pikul terlalu berat untuk seorang yang begitu muda. Di hadapannya ada dua saudaranya, Zachary dan Victoria, yang terlihat sibuk dengan pikiran masing-masing, seakan tidak peduli dengan kekacauan yang tengah melanda keluarga mereka. Di luar sana, malam yang gelap terasa semakin mencekam, namun tidak sekelam hati Mike saat ini."Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi Mama dan Papa nanti," ucap Mike, suaranya serak, seolah kalimat itu keluar dari kedalaman jiwanya yang paling terluka.Rasa putus asa terlihat jelas di wajah Mike yang pucat. Dia tidak pernah merasa seburuk ini sebelumnya, seolah seluruh dunia sedang runtuh di sekitarnya. Waktu istirahatnya menjadi kacau, karena banyaknya tugas dan tanggung jawab yang harus dia pikul, belum lagi masalah yang baru saja terjadi.Zachary, yang lebih tua dan selalu terlihat tenang, hanya mengangkat bahu. "Tidak ada anak di bawah umur di sini, Mike. Semua sudah bisa bertang
Zachary benar-benar tidak peduli dengan keluarganya lagi. Dia melenggang begitu saja meninggalkan Mike dan Victoria yang sedang dilanda kebingungan dengan berbagai masalah yang menerpa. Mike berusaha menenangkan diri, berharap nantinya akan bisa berpikir jernih dan menemukan jalan keluar yang terbaik untuk mereka.Mike duduk di kursi dengan punggung yang tegang, sorot matanya mengeras saat menatap Victoria. Rasa frustrasi bercampur dengan kemarahan di dalam dirinya. Selama ini, ia selalu berusaha menjadi anak yang baik, mengorbankan masa mudanya untuk keluarga, tetap berdiri meski badai masalah terus menghantam dari segala arah. Namun, mendengar Victoria ingin melibatkan Queen dalam masalah ini membuat darahnya mendidih.“Jangan pernah ganggu dia lagi! Jangan buat masalah baru bagi keluarga kita, Vick! Aku benar-benar sudah pusing.” Mike mengeluarkan kata-kata itu dengan nada yang tegas, lebih tegas dari biasanya, seolah menegaskan bahwa ini bukan saatnya untuk membuat keputusan yang
Pagi itu, Ageng merasakan sesuatu yang berbeda dalam sikap Queen. Istrinya yang biasanya tenang dan begitu mandiri, kini tampak sangat manja dan penuh rasa khawatir.Ada sesuatu dalam tatapan Queen yang membuat Ageng merasa bahwa perpisahan sementara untuk bekerja seakan menjadi sebuah momen besar yang sulit dilalui. Ageng merasa seperti suami yang akan pergi merantau jauh dan dalam waktu yang begitu lama. Padahal dia hanya pergi bekerja dan nanti sore dia akan pulang."Bagaimana kalau aku kangen?" Queen bertanya dengan suara lembut, namun ada nada kegelisahan di baliknya. Tatapannya seperti menunggu jawaban yang bisa menenangkan hati.Ageng tersenyum, berusaha menghapus segala kekhawatiran yang terbersit di benak istrinya. "Kalau kamu kangen, datang saja ke kantor. Tapi beri aku kabar dulu."Queen mendengus pelan, cemberut manja. "Jadi aku tidak bisa datang mendadak untuk sidak, dong?"Ageng tertawa kecil mendengar istilah itu keluar dari mulut istrinya. "Sidak? Apa yang mau kamu sid
Sarapan pagi itu terasa berbeda dari biasanya. Biasanya, suasana di meja makan Wardana selalu dipenuhi canda tawa dan obrolan ringan. Namun, pagi ini ada keheningan yang canggung, seolah ada sesuatu yang mengganjal di hati setiap orang yang duduk di sana. Setelah Queen dan Ageng tinggal bersama mereka, menu makanan diutamakan yang baik untuk ibu hamil. Seperti pagi ini sudah terhidang sop ayam kampung. Queen menatap hidangan itu dengan tatapan kosong, meski biasanya dia sangat menyukai makanan yang disiapkan mertuanya. Laras menyendokkan sedikit sup ke mangkuk Queen, lalu memberikan tatapan sekilas kepada menantunya yang duduk di seberangnya. Ada senyum di bibirnya, tapi tatapannya penuh perhatian, seolah ingin menembus pikiran menantunya. Queen, di sisi lain, hanya menunduk, memainkan sendoknya tanpa niat makan. Ageng, yang duduk di sampingnya, berusaha memulai obrolan dengan memecah keheningan. "Mama, Papa, ada rencana hari ini?" tanya Ageng yang sudah menghabiskan makanannya. Ar
Arya Suta berhenti sejenak, menatap putranya dengan wajah serius. "Ada urusan penting yang harus Papa selesaikan," jawabnya singkat, tetapi dari nada bicaranya sangat terasa ada situasi genting dan penting.Ageng menatap Arya Suta dengan penuh tanya. "Urusan apa, Pa? Ada masalah?" Tatap mata Ageng seolah mengabsen satu per satu pengawal papanya. Termasuk Selo Ardi yang terlihat selalu siaga.Sebelum Arya Suta memberi jawaban, salah satu pengawal mendekat dan berbisik di telinganya, tampak memberikan informasi yang mendesak. Arya Suta mengangguk, dan kemudian menoleh kembali pada Ageng."Jangan khawatir, Ageng. Ini hanya urusan kecil, Papa akan segera kembali," katanya, mencoba meyakinkan putranya. Namun, raut wajahnya tetap menunjukkan ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.Ageng tahu, ini bukan urusan kecil. Ada sesuatu yang sedang terjadi, sesuatu yang mungkin berhubungan dengan bisnis atau bahkan keluarga mereka. Sebagai calon penerus dari perusahaan keluarganya, Ageng ingin ter
Arum berjalan mondar-mandir di dalam kamar bayi yang sebentar lagi akan dipenuhi tangisan dan tawa. Tangannya mengelus perutnya yang membuncit, merasa sangat dekat dengan bayi yang akan segera lahir. Setiap sudut kamar sudah dia perhatikan dengan saksama, ranjang bayi sudah tertata rapi dengan selimut lembut, lemari kecil sudah penuh dengan pakaian bayi yang mungil, dan mainan-mainan kecil tergantung di sekitar ranjang. Warna-warna pastel mendominasi ruangan, menciptakan suasana tenang yang diinginkan Arum untuk anak keduanya.Arum menarik napas dalam-dalam, merasakan kebahagiaan yang luar biasa saat melihat hasil jerih payahnya. Anak keduanya ini layaknya anugrah yang datang setelah badai besar rumah tangganya. Bayi ini memberi harapan, kebahagiaan, dan masa depan mereka. Arum sudah membayangkan momen-momen indah yang akan mereka lalui bersama sebagai sebuah keluarga.Di tengah kesibukannya, Arum dikejutkan dengan kedatangan seorang tamu. Asisten rumah tangganya menghampiri memberi t
Setelah mematikan layar, Zachary mencabut flash drive dan menunjukkan kepada Ageng. "Kalau kau tertarik melihat video lengkapnya ada di sini,” ucap Zachary terdengar menantang. “Aku yakin kau tahu apa akibatnya jika video ini tersebar."Ageng menatap flash drive itu dengan dingin. "Jadi trik murahan seperti ini yang akan kau lakukan kepada kemarin?”Ageng baru tahu, ternyata sebelum dirinya, Danu sudah lebih dahulu menjadi korban Zachary."Kau boleh menyebutnya sebagai trik murahan," Zachary mengangguk, berusaha mengimbangi sikap tenang Ageng. "Tapi apakah keluargamu akan berpikir sama? Kakakmu yang sedang hamil tua, apakah dia akan kuat menerima berita seperti itu? Apalagi jika video ini tersebar di publik."Kata demi kata Zachary menusuk Ageng seperti belati. Reputasi keluarga dan perusahaan menjadi taruhannya. Dan yang membuat Ageng merasa was was adalah sang kakak, sanggupkah dia menghadapi prahara rumah tangga seperti ini lagi, apalagi saat ini dia sedang dalam keadaan hamil besa
Selo Ardi berdiri di sudut ruangan, memperhatikan dengan cermat setiap gerakan Ageng dan Zachary. Dalam hatinya, dia tahu Ageng telah gagal dalam ujian pertama kali ini. Emosi telah menguasai dirinya, membiarkannya bertindak tanpa pertimbangan yang matang. Selo Ardi menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang di tengah situasi yang semakin memanas.Zachary masih tersenyum sinis meski wajahnya babak belur, dan itu hanya menambah kemarahan Ageng. Selo Ardi seloah menangkap sebuah strategi untuk mengulur waktu. Entah untuk apa, tetapi pangalaman mengatakan jika dia harus segera pergi.Selo Ardi yakin Zachary pasti memiliki rencana tersembunyi. Tidak mungkin Zachary hanya sendiri saat akan bernegosiasi untuk urusan yang sangat penting seperti ini. Tidak ingin mengambil risiko lebih lama lagi berada di tempat yang bukan daerah kekuasaannya. Selo Ardi bergerak cepat ke arah meja, meraih berkas-berkas penting dan flash drive yang sudah dia perhatikan sejak mereka memasuki ruangan ini.D
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l