Bab 2.
"Nggak! Ini nggak bener!" Anindya tercengang. Kemarin, dia dan Lingga memang pergi ke rumah sakit Internasional Permata. Namun, pernyataan Dokter kandungan sangat bertentangan dengan surat medis yang diberikan oleh Lingga. Jadi, sudah dapat dipastikan jika surat medis tersebut hanyalah alat untuk memfitnah Anindya. Brak! Arjuna menggebrak meja makan. Dia berdiri. Dia merasa tertipu karena selama ini ternyata menantunya cuma cantik saja, tapi tidak bisa menghasilkan keturunan. "Ternyata kamu bukan perempuan sempurna, Nindy," kata Arjuna, merendahkan. "Punya wajah cantik saja percuma, kalo nggak bisa ngasih keturunan untuk suaminya!" Anindya sakit hati mendengarnya. Dia segera bangkit dari posisinya yang berada di lantai. Anindya menatap kedua mertuanya dengan nanar. 'Pa, Ma ... asal kalian tau aja surat medis itu palsu! Aku nggak mandul selama ini, tapi Lingga yang nggak pernah sentuh aku dari malam pertama kita nikah.' Anindya hanya mampu mengatakan itu dalam hati saja. Dia begitu tak menyangka dengan Lingga yang begitu tega padanya. Rencana pertama Lingga telah berhasil. Sekarang Lingga melempar surat perceraian di atas meja makan. Dia mendorong Anindya dengan kasar samoai perut Anindya terkena ujung meja. "Cepat tanda tangani surat perceraian ini!" Lingga yang berdiri di belakang Anindya, menekan kedua bahu Anindya dengan kuat. "Cepat tanda tangan sekarang juga!" Anindya membaca kalimat paling atas dari selembar kertas yang dilemparkan Lingga. Dia mulai menangis. Anindya menggeleng cepat. "Nggak! Aku nggak mau cerai, Lingga!" Anindya menolak keinginan Lingga untuk bercerai. Dia lebih memilih untuk mempertahankan pernikahannya. "Oke, nggak masalah!" Benarkah Lingga menyerah menekan Anindya untuk menandatangani surat cerai begitu saja? "Lingga, kalo Nindy nggak mau cerai. Gimana kalo dimadu aja?" Itu usulan Mariss membuat Anindya melotot tak percaya. Dia melirik Lingga yang justru menyeringai. Lingga menoleh ke belakang sambil memanggil nama seorang perempuan. "Mel, masuk sini!" Anindya dan kedua mertuanya terkejut melihat kedatangan seorang aktris yang sedang naik daun. Dia adalah Melani Adisti. Melani tidak datang seorang diri melainkan bersama 2 anak laki-laki kembar berusia 2 tahun. Anindya melangkah mendekat pada Lingga. "Kenapa dia ada di sini? Sayang, kamu kenal dia?" Lingga tidak menggubris pertanyaan Anindya. Dia menatap Melani dengan senyuman. Lalu, menyambutnya. "Dia adalah istri dan kedua anak kembarku," jawab Lingga tanpa merasa bersalah. Saking syoknya, Anindya menutup mulutnya mendengar jawaban Lingga. Dia menggeleng berulang kali, berharap apa yang dia dengar itu salah. "Jangan bercanda, Sayang! Ini nggak lucu! Kamu pasti bohong sama aku, kan?" Anindya memegangi tepi meja untuk menahan bobot tubuhnya. Dia menepuk dadanya yang terasa sesak. Marisa segera mendekat di sisi Lingga. "Lingga, Mama sama Papa butuh penjelasan!" Melani tidak datang sendiri melainkan bersama seorang pengasuh. Dia memerintahkan pengasuhnya pergi menjaga anak-anaknya. Lingga berkata, "Ma, Pa ... kenalin. Dia istriku dan juga Ibu dari kedua anak kembarku. Aku dan Melani udah nikah sirih selama 3 tahun. Sekarang anak-anakku sudah berumur 2 tahun." Mendengar penjelasan Lingga, berarti dia sudah berselingkuh di belakang Anindya saat mereka sudah menikah. Mendadak kepala, Anindya terasa sakit. "Kalo kaya gitu kenapa kamu nikahin perempuan mandul ini?" Marisa menatap Lingga emosi. Lingga tersenyum hangat menatap Melani, sambil menggenggam tangan Melani dengan lembut. "Ma, saat itu karir Melani lagi berada di puncak. Aku nggak mau mengedepankan ego!" Melani menggangguk membenarkan. Lalu, dia menatap Anindya penuh kebencian. "Tapi, kalian maksa aku buat nikah. Jadi aku ngelamar Nindy," kata Lingga kemudian. Marisa menatap Arjuna yang sejak tadi tidak berkomentar. Sedangkan Anindya sibuk menghapus air matanya. "Jadi, gimana, Pa?" tanya Marisa meminta pendapat pada Arjuna. Arjuna menatap sejenak pada Anindya. Lalu, berpikir keras. Dia tidak ingin salah melangkah mengambil keputusan untuk keluarganya. Arjuna berdehem pelan. "Papa menerima kehadiran Melani. Mau gimana pun Papa udah tua, Papa butuh secepatnya penerus untuk bisnis restoran keluarga Aditama!" Karena sangat menginginkan keturunan. Keluarga Aditama mau tak mau menerima kehadiran Melani. Arjuna akan menjadikan kedua anak laki-laki kembar itu sebagai penerus keluarga Aditama. "Satu minggu lagi, Melani dan Lingga akan menikah secara negara. Jadi, statua cucuku akan jelas di mata hukum." "Ah, secepat itu, Pa?" Melani pura-pura terkejut. Lalu, dia menoleh pada Lingga. "Tapi istri sah kamu gimana, Lingga?" Arjuna langsung berteriak kala Melani mengungkit nama Anindya. "Ceraikan perempuan mandul itu, Lingga!"Bab 3. Kejujuran Lingga"Nggak! Aku nggak mau kita cerai, Lingga!"Anindya menggelengkan kepalanya berkali-kali. Dia menatap Lingga penuh permohonan berharap Lingga akan membatalkan keinginannya untuk bercerai.Lingga melangkah mendekati Anindya. "Udah ada Meylani yang bisa ngasih aku anak! Sedangkan kamu cuma perempuan mandul, Nindy!" Anindya sakit hati, marah dan kecewa. Dia sudah tidak memiliki harga diri lagi di depan mereka. Perjuangannya selama 3 tahun berakhir sia-sia. Mencintai Lingga adalah kesalahan yang dia sesali seumur hidup. Melani diam-diam tersenyum senang. Dia menang. Dia akan menjadi Nyonya Aditama selanjutnya menggantikan Anindya. "Cepat tanda tangan, Nindy! Jangan mengulur-ulur waktu kami!" Lingga memaksa Anindya untuk menyentuh pena yang dia siapkan ssjak tadi. Anindya mendongakkan kepala. Menatap Lingga yang menggebu-gebu. "Sayang, apa kamu sama sekali nggak pernah cinta sama aku?" tanya Anindya, memaksakan sedikit senyum.Sebenarnya Anindya hanya ingin mem
"Aargghhh!"Anindya berteriak saat rambut panjangnya dijambak oleh Lingga dari belakang. "Nindy, nggak apa-apa kamu berasal dari keluarga miskin. Tapi seenggaknya, kamu harus tau diri!" Lingga, emosi. "Kamu itu nggak sebanding sama Melani. Dia aktris papan atas, kaya dan bermartabat. Kamu dan dia bagaikan langit dan bumi."Kata-kata Lingga barusan adalah tamparan bagi Anindya. Hidup tanpa latar belakang keluarga Darendra cukup membuat Anindya kesulitan. Apalagi, saat menyandang status menantu keluarga Aditama. Setiap hari, Anindya harus bangun lebih awal sebelum semua anggota keluarga Aditama bangun. Anindya diperlakukan layaknya pembantu oleh keluarga Aditama. Ditambah lagi selama menikah, Lingga tidak pernah memberinya nafkah lahir batin. "Sekarang, tanda tangan surat cerainya dan nggak usah banyak drama lagi!" seru Lingga dengan nada mengancam. Anindya memegangi tangan Lingga yang menjambak rambutnya. Selain menahan sakit hati, dia juga menahan sakit fisik yang Lingga berikan.
"Kenapa kamu ada di sini, Nindy?"Lingga yang melihat Anindya berada di lokasi syuting tampak terkejut. Dia melangkah mendekati Anindya, diikuti oleh Melani di belakangnya. Anindya mengangkat wajahnya menatap Lingga dan Melani dengan datar. "Aku di sini untuk syuting.""Nindy, lebih baik kamu pergi dari sini! Jangan membuat kekacauan!" Lingga menatap sekitar. Faisal dan para kru lainnya menjadikan mereka sebagai pusat perhatian. "Punya hak apa kamu ngusir aku, Lingga? Mau aku di sini juga bukan urusan kamu!"Anindya meletakan script naskah dengan asal. Dia bangkit dari posisi duduknya. "Kamu masih nggak terima kalo aku ngusir kamu? Makanya kamu nekat buat ikutin aku ke lokasi syuting hari ini?" Lingga menggeleng berkali-kali sambil menatap Anindya dengan miris. "Segitunya kamu nggak bisa lepasin aku, Nindy!""Nindy, kamu nggak ada bakat akting. Mending kamu pergi aja sekarang! Jangan mempermalukan diri sendiri!" Melani yang sejak tadi diam membuka suara. Dia menatap Anindya deng
"Sialan! Tolong tahan sebentar saja!"Ivander tampak kualahan menghadapi Anindya yang berada di bawah obat perangsang. Tangan Anindya sejak di mobil tidak bisa diam. Terus bergerak menyentuh beberapa titik sensitif tubuhnya. Seperti saat ini, Anindya terus mengusap rahangnya dengan gerakan sensual. Ivander melangkah lebar saat pintu lift terbuka. Saat ini dia membawa Anindya ke hotel Impremium yang terletak tak jauh dari lokasi syuting. Ivander bukan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Hanya saja keadaan Anindya sudah tidak memungkinkan. "Kamu sangat tampan!" Anindya menatap Ivander dengan sayu. Tangannya merambat naik mengusap pipi Ivander dengan lembut. Ivander segera membuka pintu hotel dengan kesusahan, karena Anindya masih ada dalam gendongannya. Beruntung ada petugas kebersihan yang lewat di depan Ivander.Ivander memanggil pria itu. "Tolong bantu saya bukakan pintu ini!" Pria itu mengangguk dan mulai membantu Ivander. Ivander mengucapkan terima kasih. Lalu, dia sege
"Anindya, Papa nggak nyangka kamu bakal dateng ke kantor Papa hari ini!" Ardiaz bangkit dari kursi kebesarannya. Dia menyambut kedatangan Anindya dengan pelukan hangat. Dia begitu merindukan putri satu-satunya yang memilih pergi dari rumah demi lelaki brengsek seperti Lingga. "Apa kabar, sayang?" Ardiaz melepaskan pelukannya. Dia menatap wajah Anindya dengan tatapan haru. Dia terkejut saat Liana, sekertarisnya mengatakan jika Anindya ada di depan ruangannya. Setelah Liana keluar dari ruangannya, tidak lama Anindya memasuki ruangannya. "Aku baik, Pa! Papa sama Mama gimana kabarnya selama ini?" Anindya membalas tatapan Ardiaz dengan kedua mata berkaca-kaca. Melihat tatapan rindu yang ditunjukan oleh Ardiaz padanya saat ini. Membuat rasa bersalah menyerang Anindya detik ini juga. Bohong, kalau Anindya mengatakan tidak menyesal meninggalkan keluarganya demi menikah dengan Lingga. Seharusnya saat itu, Anindya menerima perjodohan yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Mungk
"Anindya, apakah kamu yakin ingin membatalkan kontrak kerja sama dalam pembuatan film ini?" Ardiaz menatap putrinya yang duduk di depannya dengan penuh keraguan. Dia hanya tidak ingin, Anindya menyesali keputusannya yang mendadak ini. Ini adalah impian Anindya sejak dahulu, di mana salah satu novelnya di angkat menjadi film. Hanya karena seorang Lingga dan juga Melani yang menindas Anindya di lokasi syuting. Membuat Anindya melepaskan impiannya itu."Aku sudah memikirkan ini, Pa! Mereka sangat keterlaluan, aku rasa cukup untuk kesabaranku selama ini!"Anindya sudah mempertimbangkan ini sejak keluar dari hotel. Kelakuan Lingga sudah tidak bisa dimaafkan lagi. Lingga nyaris memperkosanya kemaren. Padahal selama pernikahan mereka, Lingga tampak tak sudi menyentuh Anindya. Lebih baik dia tidur dengan gigolo, daripada tidur dengan Lingga yang sudah mencampakannya selama ini. Lingga pikir, Anindya seorang boneka yang hanya bisa dipermainkan saja? Rasa cintanya yang semula masih tersisa un
"Anindya, jangan tinggalin Mama sama Papa lagi, ya!" Kanaya mengusap air matanya dengan kasar. Perasaan sedih, sakit hati dan juga senang menjadi satu. Sedih, karena melihat kehidupan Anindya yang begitu berantakan. Sakit hati sebagai seorang Ibu, dia tentu tidak terima mengenai apa yang terjadi pada Anindya. Sudah sejak lama dia ingin mendatangi keluarga Aditama dan menjemput Anindya dari sana. Namun, Ardiaz selalu menahannya dan memasihatinya agar Anindya tidak ssmakin membenci mereka. Senang? Dia begitu bahagia bisa bertemu dengan Anindya lagi. Anindya datang ke keluarga Danendra untuk meminta bantuan. Itu yang dia dan Ardiaz nantikan sejak lama."Ma—" Anindya mengatup kembali bibirnya saat deeing ponsel miliknya yang baru dia hidupkan setelah daya baterai terisi penuh. Tangannya terulur mengambil ponselnya di atas meja. Panggilan masuk dari Faisal Borneo, dengan cepat Anindya mengangkatnya. Ardiaz dan Kanaya saling pandang. Keduanya memilih diam sambil mendengarkan saat Anindy
"Ini semua karena kalian berdua!" Faisal memghampiri Melani dan Lingga dengan riak kemarahan yang tergambar jelas pada wajahnya. Dia menyalahkan semua kekacauan yang terjadi pada project film Dalam Jejak Cinta pada Lingga dan Melani. Kedua pasangan suami istri itu yang menjadi penyebab Anindya menarik investasi dan berakhir produksi film tertunda. Lingga yang terkejut segera bangkit dari duduknya. "Pak Faisal? Ada apa ini?" Keadaan lokasi syuting kacau balau sejak berita penarikan investasi keluar. Melani yang sedang melakukan beberapa kali adegan terpaksa dihentikan. Mereka semua yang ada di lokasi syuting begitu panik."Kalian berdua yang menyebabkan kekacauan ini!" Faisal menunjuk Melani dan Lingga dengan marah. "Perusahaan Darendra Investment menarik investasi itu karena kelakuan kalian yang sudah merundung Anindya."Perkataan Faisal semakin mengejutkan mereka. Apa hubungannya dengan Anindya? Melani menyela ucapan Faisal. "Maksud, Pak Faisal apa, ya? Kenapa jadi nyalahin saya
"Ivan, aku nggak nyangka ketemu kamu di sini!" Laura yang sejak tadi memperhatikan sosok yang sangat familiar di pandangannya. Bergegas mendekat untuk melihat lebih jelas, dan benar jika sosok itu adalah Ivander Alessandro— calon tunangannya. "Kamu apa kabar, Ivan?" Laura sedikit berteriak agar suaranya dapat di dengar oleh Ivander. Dentuman musik club malam di terangi lampu dengan pencahayaan yang minim. Wanita dengan dress merah yang mempertontonkan belahan dadanya secara jelas dengan panjang dress di atas lutut. Dress itu tampak sangat ketat, sehingga lekuk tubuh Laura terlihat begitu jelas. Wanita itu tampak menggoda dengan wajah cantik yang terpoles make up tebal dan bibir yang merah menyala. Ivander yang tengah menyesap vodka di tangannya itu tidak menggubris kehadiran Laura yang duduk di sampingnya tanpa permisi. Setiap tegukan vodka terasa seperti api yang membakar tenggorokan, memanas hingga dadanya terasa terbakar. Seolah-olah cairan itu menyalakan api kecil di dakam tub
"Maaf, Ivan! Semua ini salah ak—" "Ya, itu salah kamu. Kalo kamu nggak maksain diri kabur dari rumah, calon anak kita masih hidup!" Dengan cepat Ivander memotong ucapan Anindya. Raut wajahnya begitu datar dengan kedua mata yang menatap lurus ke jendela ruang rawat Anindya. Bohong, jika dirinya tidak marah pada Anindya atas kejadian ini. Ivander marah, sangat marah, dia kecewa pada Anindya yang begitu bodoh sampai calon anak mereka menjadi korban. "Maaf, Iv—" "Maaf?" Ivander kembali memotong ucapan Anindya untuk yang kedua kalinya. Dia mengalihkan pandang menatap wajah Anindya yang terduduk di atas brankar rumah sakit sambil terisak pelan. "Dengan mudahnya kamu minta maaf setelah semua yang terjadi?" lanjut Ivander yang berhasil membuat Anindya mengatup bibirnya rapat-rapat. Ivander memasukan kedua tangannya pada saku celananya. Dia menatap Anindya dengan tajam. "Kamu sangat egois, Anindya! Kalo kamu nggak bisa nerima pernikahan kita nanti, kamu seharusnya marah sama aku, b
084"Kami sudah melakukan tes untuk mengetahui faktor keguguran dari Bu Anindya, dan hasilnya tidak ada kelainan genetik apapun. Pada usia kehamilan yang sangat muda ini, trauma fisik seperti jatuh memang bisa memicu terjadinya keguguran. Kami sudah memastikan bahwa janin di dalam kandungan sudah tidak lagi dapat bertahan." Penjelasan Dokter membuat suasana di depan ruang UGD itu semakin mencekam. Untuk sesaat dunia seolah berhenti mendengar kabar yang diberikan oleh Dokter yang menangani Anindya. Semua orang yang berada di sana menundukan wajahnya yang kini memucat. "Tampaknya juga sejak awal kehamilan kondisi janin itu begitu lemah. Dan hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya karena kelelahan atau karena cemas dan stress berlebihan. Dan semakin diperburuk lagi dengan faktor benturan keras karena terjatuh. Sehingga janin terpaksa mengalami abortus atau keguguran." Dokter wanita itu kembali menjelaskan secara lengkap alasan Anindya bisa keguguran. Dia menatap sat
"Saya sebentar lagi sampai di lokasi tujuan. Jangan ada yang bergerak sebelum dapat perintah dari saya."Zico memutuskan panggilan telpon dari salah satu anak buahnya. Beberapa dari mereka sudah sampai di pinggiran kota. Dia sengaja menyuruh mereka untuk diam tanpa bergerak sebelum dirinya sampai di sana. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi. Zico kembali melanjutkan perjalanannya menuju daerah pinggiran kota Pandora. Sebelum itu dia meletakan ponselnya pada dashboard mobil, tapi suara notfikasi pesan masuk membuat Zico mengurungkan niatnya. Dia kembali membuka ponsenya, ternyata pesan dari Ivander. Suatu keberuntungan, dia langsung membukanya tanpa menunggu lama. Jika, tidak sudahdapat dipastikan jika Ivander akan mengamuk padanya nanti dengan menelponin diriya berulang kali. Sejak dulu, notfikasi pesan atau telpon dari Ivander menjadi prioritas utama. Bahkan kekasih Zico saja berada di urutan nomor dua, karena yang pertama Ivander. "Lingga?"Kening Zico berkerut bi
"Kamu nggak bisa kabur dari aku, Nindy!" Melihat Anindya yang ingin berlari, dengan cepat Lingga menarik rambut panjang Anindya dengan kencang. Lingga sangat kesal dengan tingkah Anindya yang mencoba untuk kabur darinya. "Sakit, Lingga!" Anindya meringis merasakan perih pada rambutnya yang dijambak kencang oleh Lingga. Rasanya rambutnya seperti ingin lepas dari kepalanya, seketika rasa pening langsung menyerang Anindya. Kini keadaan Anindya begitu mengenaskan, rambutnya yang dijambak kuat, wajahnya yang dipenuhi oleh air mata, di tambah perutnya yang sejak tadi terasa sakit. "Itu akibatnya kalo kamu ngelawan aku, Nindy!" Lingga menyeret paksa Anindya agar mengikuti langkah lebarnya kembali pada rumah tua tadi. Rizhar mengikutinya dari belakang sambil bersiul, sejak tadi dia sudah tidak sabar untuk merasakan tubuh molek Anindya. Wanita itu pakai acara kabur-kaburan segala, jadi semakin menghambat waktu. Tidak bisakah Anidnya langsung nurut dan pasrah saja menerima kepuasan yan
"Lingga?" Anindya terkejut bukan main, saat pertama kali membuka mata wajah Lingga begitu dekat dengan dirinya. Reflek Anindya mendorong Lingga agar menjauh dari tubuhnya. Lingga berdecak pelan, selama kurang lebih dua jam Anindya dalam kondisi pingsan. Wanita itu akhirnya sadar tepat saat Lingga baru saja sampai ke tempat tujuan. "Nindy, kamu tadi pingsan makanya aku bawa kamu ke sini. Karena, mungkin kamu butuh istirahat." Lingga menatap Anindya dengan lembut. Menyembunyikan perasaan kesalnya, karena wanita itu sadar lebih cepat dari perkiraannya. Dahi Anindya berkerut, dia tampak kebingungan saat ini selepas mendengar ucapan Lingga beberapa detik yang lalu. "Pingsan?" Anindya mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya pada dirinya. Kenapa Anindya bisa pingsan saat bersama Lingga? Seingatnya, Anindya sedang menunggu Lingga di kursi taman, lalu— "Nindy, kamu nggak usah terlalu banyak mikir. Mending sekarang kamu turun dari mobil, kamu butuh istirahat Anindya.
"Brengsek!" Ivander bangkit menggebrak meja kerjanya dengan kuat. Membuat beberapa berkas-berkas yang belum sempat dia tanda tangani itu berterbangan dan berjatuhan di lantai marmer. Ivander kalap seketika saat mendapati sebuah nomor asing mengirimkan sebuah foto di mana Anindya duduk di taman, dan juga Anindya yang dibekap mulutnya dari belakang oleh Lingga sampai pingsan. Jumlah foto itu ada dua, tapi berhasil membuat emosi Ivander naik ke puncak. Ternyata Anindya tidak kabur seperti apa yang dia pikirkan tadi, melainkan Anindya diculik oleh bajingan Lingga di taman kota. Sialan, bisa-bisanya dia kecolongan seperti ini. Ivander tidak habis pikir dengan Anindya, yang rela kabur dari rumah untuk pergi ke taman dan berakhir diculik oleh Lingga. Apakah alasan Anindya pergi ke taman bersangkutan dengan Lingga juga? Bisa jadi, tidak mungkin Lingga menculik Anindya hanya karena kebetulan saja. Semua ini pasti sudah direncanakan oleh Lingga, pria itu pasti memancing Anindya untuk da
"Jalan Solara?"Kening Ivander berkerut saat dia membuka laptop miliknya yang menampilkan lokasi Anindya saat ini. Ivander diam-diam memasang pelacak pada ponsel Anindya tanpa sepengetahuan wanita itu. Dia sudah memasang pelacak itu sejak lama, sebelum dirinya dan Anindya resmi bertunangan. Ivander melakukan itu agar dirinya bisa tahu kemanapun Anindya pergi. Dan untuk hari ini apa yang dia lakukan itu sangat berguna. Selepas panggilan telpon dengan Kanaya berakhir, Ivander segera menelpon Zico untuk datang ke ruangannya. Ivander segera mengecek lokasi Anindya saat ini, dia sangat terkejut saat mendapati keberadaan Anindya di Jalan Solara. Daerah pemukiman yang jauh dari perkotaan, pertanyaan Ivander saat ini. Untuk apa Anindya pergi sejauh itu?"Pak Ivander, Bu Anindya sedang dalam bahaya!"Ucapan Zico membuyarkan Ivander dari lamunannya. Pria itu segera menoleh pada asisten yang sangat dia percaya itu. "Apa maksud kamu?" Ivander semakin panik saat ini, dia awalnya santai dan meng
"Gawat, Lingga! Rencana penculikan kamu bocor, sekarang Ivander mengerahkan anak buahnya untuk mencari Anindya." Lingga terkejut bukan main mendengar suara Bima di sebrang sana. Selepas dirinya menurunkan Melani di pinggir jalan, tidak lama panggilan masuk dari Bima membuat Lingga segera mengangkatnya. Hal mengejutkan yang membuat pikiran Lingga semakin kacau, saat Bima mengatakan jika anak buah Ivander mulai beraksi mencari keberadaan Anindya. "Sialan!" Lingga mengumpat sambil menatap ke belakang di mana Anindya yang masih dalam kondisi pingsan. Dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan, dia harus mencari cara agar keberadaan dirinya tidak ditemukan oleh anak buah Ivander. Lingga mengusak kasar wajahnya, kedua tangannya mengacak rambutya yang kii berantakan. Dia tidak bisa meyerahkan Anindya pada Madam Angell, Lingga mengubah rencananya untuk membawa Anindya pada tempat yang jauh dari perkotaan. Segeralah Lingga kembali menarik pedal gasnya menjalankan mobilnya menuju tempat t