Rasanya tidak percaya mendengar kenyataan ini. Menjadi istri kedua Aksen? Sulit, ini terlalu sulit bagiku. Tanpa pamitan, aku keluar dari room meeting ini. Kak Gendhis sempat menahanku, tapi aku tak peduli. Semua rasa menjadi satu di hatiku. Lebih tepatnya rasa tidak percaya jika Aksen selama ini berkhianat.Sesampai di loby aku dikejutkan dengan kehadiran Aksen yang sudah menungguku diluar. Seperti biasa tampilannya benar-benar casual. “Sayang ….” Dia langsung berlari memelukku. Kulihat abang Brayen mundur melihatku yang dipeluk Aksen. “Are you okay?” tanya Aksen lagi. Aku hanya mengangguk, untung saja aku menghapus air mata sebelum ke loby. Kalau tidak Aksen pasti lebih curiga.“Ada masalah?” tanyanya lagi.Kalau dulu memang aku baper mendengar Aksen merayuku seperti ini. Namun, kali ini aku merasa seperti bersama penghianat yang sedang mulai bereaksi. Entah apa motifnya sampai menjadikanku yang kedua. Aku bahkan mengira aku wanita yang paling beruntung di dunia ini. Nyatanya ke
Selama perjalanan, jantungku berdetak lebih kencang. Perasaanku tak tenang, memikirkan pernikahanku yang diujung tanduk. Gagal kedua kalinya rasanya begitu menyakitkan."Tenangkan dirimu, semua cerita selalu ada hikmahnya,” ucap daddy menenangkanku.“Sayangnya cerita hidup Monica tidak seperti wanita yang lain, Dad. Penuh drama.”“Di luar sana masih banyak yang belum beruntung, Nak.”Jika bisa aku ingin menjadi orang yang beruntung dalam semua hal, aku cemburu melihat pasangan yang begitu harmonis dan awet sampai maut memisahkan. “Dad, apa teman-teman daddy juga seperti Monica?”“Maksudnya?” tanya daddy yang terdengar heran.“Apakah anak teman daddy banyak yang kayak Monica? Bukannya cerita orang kaya selalu menarik, Dad?”“Siapa bilang cerita mereka selalu indah. bBeberapa dari mereka justru memikirkan perasaan nomor sekian, lebih tepatnya sebagian dari mereka sibuk dengan bisnis, kurang bersyukur, jadi ada saja yang selalu gagal di tengah jalan.”Hidup memang seperti itu, ketika m
“Sayang?!” Aksen memanggilku. Nampak sekali wajahnya yang terkejut. Sementara abang Brayen melepas pelukanku.“Jangan panggil aku sayang tuan Aksen!”Mata Aksen berkaca-kaca, dia mendekat. Namun, langsung kutahan.“Jangan mendekatiku! urus istrimu itu!” Kembali aku berteriak karena Aksen ingin mendekatiku."Hebat kamu membohongiku selama setahun ini!"Dia kembali mendekat. Cuih, dia seolah tak bersalah."Satu langkah kamu mendekatiku, kupastikan akan memviralkan kamu bersama istrimu!" kembali aku berteriak, bisa-bisanya mereka membohongiku. Lebih ingin muntah rasanya mengingat aku datang ke pernikahan Olive yanh ternyata adik ipar dari Aksen.Amarahku memuncak. Aku memang lemah, tapi bukan berarti dia bisa semaunya membohongiku. Aksen langsung mundur teratur melihatku yang berteriak."Tenangkan dirimu sayang, kita bisa bicarakan baik-baik."“Baik-baik kamu bilang?""Lebih baik kamu diam. Jangan bicara apapun lagi denganku!"“Sayang ….”“Stop tuan Aksen, aku benci kamu panggil sayang.
Abang Brayen langsung mundur, sementara daddy menarik tanganku untuk masuk mobil."Ingat, dia bukan muhrimmu!" tegas daddy lagi."Siap, Dad. Jangan marah gitu.""Jangan cari kesempatan kembali sama dia," sambung daddy lagi.Selama perjalanan aku terus menitikkan air mata. Aku justru sama sekali tidak mengingat abang Brayen. Dipikiranku hanya Aksen, tidak menyangka gagal untuk kedua kalinya. Aku yakin tidak ada wanita yang ingin gagal apalagi ini untuk kedua kalinya. Mengapa masalah asmara aku selalu gagal, semesta sepertinya tidak berpihak padaku. Rasanya sangat menyakitkan harus menerima kenyataan in. Aksen yang kuharapkan, nyatanya juga berkhianat. “Keluarkan saja tangismu, Nak.”“Daddy ….”“Menangislah, jika itu yang membuatmu tenang.” Pecah juga tangisku di dalam mobil, daddy hanya menenangkanku. Sesak rasanya, sangat sesak. “Maafkan putrimu ini, Dad.”“Daddy yang minta maaf, Nak.”“Daddy yang memaksamu menikah dengannya. Ini salah daddy, Nak.”"Daddy tidak pernah salah, mungkin
Aksen diusir oleh daddy, aku kembali ke kamar. Hanya melihat Aksen saja, aku jijik. Bunda yang melihatku masuk kamar hanya menatapku dengan wajah sendu. "Sayang ....""Sayang, aku bisa jelaskan." Aksen terus berteriak. Namun, hati ini sudah diliputi rasa benci tak terkira. Dikhianati itu rasanya begitu sakit.Di kamar, aku hanya menangisi apa yang sudah terjadi. Mengapa semuanya begitu melelahkan, meratapi nasib yang sama seperti yang kemarin. Aku kira Aksen adalah pelabuhan terakhirku, nyatanya dia pun berkhianat. Apa sebenarnya yang salah denganku? Apakah ada do’a yang selama ini keliru kuucapkan? Sejak awal aku memang tidak mencintai Aksen, selain dia orang baru. Aku tipe orang yang sult untuk jatuh cinta. Kegigihan dan ketulusan Aksen membuatku luluh. Namun, sayangnya, itu palsu semua. Ponselku berdering ada nama Mona yang tertera. Pasti dia dikabari abang Brayen, secara nomor ponselku ini baru.“Halo, Monica.”Mona terdengar panik. Aku hanya diam, suaraku tidak bisa keluar. S
Sejauh apapun kamu melangkah selalu ada dua sisi yang membuatmu bangkit lagi, gagal bukan berarti hidupmu hancur. Mungkin seperti itu cara Tuhan menegurmu agar lebih dekat.Malam ini Arvian menginap bersamaku, tak terasa dia tumbuh dengan sehat dan semakin tampan. Wajah blatersannya menambah kesan menawan. Dia lebih mirip ke abang Brayen kecil.“Bund, are you okay?” tanyanya. Arvian menemaniku tidur di kamar.“Bunda baik-baik saja, Nak,” balasku.“Ayah bilang bunda sakit,” katanya lagi. Iya, bundamu memang lagi sakit hati, aku hanya bisa berkata dalam hati sembari memandang wajah polosnya.“Bunda sudah sehat, Nak.”“Ayah bikin panik,” sambungnya agi.“Memangnya ayah bilang apa?” tanyaku iseng. “Bunda sakit, Arvian pulang sekolah sudah dikagetin. Dia bahkan gak masuk kerja hari ini,” sambung Arvian.“Ayah kerja?”“Iya, Bund. Dia kerja di rumah sakit terbesar di kota Arvian tinggal, dia bahkan ditawari sebagai direktur di rumah sakit, tapi ditolak karena ayah lagi fokus kuliah.”“Apa
Setahun berlalu akhirnya akta cerai ini keluar, penuh perjuangan karena Aksen tidak mau bercerai. Namun, pada akhirnya dia berdamai dengan keadaan, menerima kenyataan jika aku memang tidak bisa bersamanya lagi. Aku bahkan meminta padanya untuk menjadi suami yang baik untuk Alifia.“Selama bersamaku, abang tidak pernah membuatku sakit hati. Abang memanjakanku sebagai seorang istri,” kataku padanya di taman seperti biasa kami bertemu dulu.Kami sengaja bertemu untuk terakhir kalinya. Menjadikan perpisahan yang terindah agar tak ada di dendam di hati kami.“Tapi mungkin jodoh kita sampai di sini, Bang. Satu pintaku muliakan istri abang selayaknya suami yang siaga. Barangkali nanti abang punya anak bersama Alifia.”Aku baru tahu ternyata Alfia juga seorang dokter seperti saudaranya Olivia. Sejak dulu dia diam-diam mencintai Aksen. Namun, tragedi naas terjadi ketika pulang kerja dia ditabrak oleh Aksen, lebih mengejutkan lagi Alifia bersama calon suaminya yang akan menikah seminggu lagi. U
Monica resmi bercerai dari Aksen. Reza dan Nina tetap mensuport anaknya, beberapa kali Aksen menangis tidak ingin bercerai, bahkan sebenarnya Aksen rela bercerai dari Alifia asalkan dia bisa bersama dengan Monica. Namun, Monica tetap dengan keputusannya, dia justru lebih kasihan dengan Alifia yang lumpuh karena perbuatan Aksen. Setahun lamanya Aksen berjuang. Malang tak bisa dihindari, Monica kekeh dengan pendiriannya hingga keputusan pengadilan pun keluar. Meski begitu Nina terus memantau perasaan anaknya, jangan sampai menyesal karena ini sudah kedua kalinya gagal.“Pikirkan matang-matang, Nak,” ucap Nina yang selalu sabar menasehati Monica.“Monica sudah berfikir yang matang, Bund. Aksen sebenarnya sudah lama jatuh cinta dengan Alifia.”“Aksen cintanya sama kamu, Nak.” Nina sebenarnya sudah jatuh hati dengan mantunya, sikap Aksen yang sopan membuat orang tua manapun pasti bahagia memiliki mantu seperti Aksen.Bagi Monica, bukan cinta jika berani mendua. “Monica tidak bisa seikhla
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat