“Sayang?!” Aksen memanggilku. Nampak sekali wajahnya yang terkejut. Sementara abang Brayen melepas pelukanku.“Jangan panggil aku sayang tuan Aksen!”Mata Aksen berkaca-kaca, dia mendekat. Namun, langsung kutahan.“Jangan mendekatiku! urus istrimu itu!” Kembali aku berteriak karena Aksen ingin mendekatiku."Hebat kamu membohongiku selama setahun ini!"Dia kembali mendekat. Cuih, dia seolah tak bersalah."Satu langkah kamu mendekatiku, kupastikan akan memviralkan kamu bersama istrimu!" kembali aku berteriak, bisa-bisanya mereka membohongiku. Lebih ingin muntah rasanya mengingat aku datang ke pernikahan Olive yanh ternyata adik ipar dari Aksen.Amarahku memuncak. Aku memang lemah, tapi bukan berarti dia bisa semaunya membohongiku. Aksen langsung mundur teratur melihatku yang berteriak."Tenangkan dirimu sayang, kita bisa bicarakan baik-baik."“Baik-baik kamu bilang?""Lebih baik kamu diam. Jangan bicara apapun lagi denganku!"“Sayang ….”“Stop tuan Aksen, aku benci kamu panggil sayang.
Abang Brayen langsung mundur, sementara daddy menarik tanganku untuk masuk mobil."Ingat, dia bukan muhrimmu!" tegas daddy lagi."Siap, Dad. Jangan marah gitu.""Jangan cari kesempatan kembali sama dia," sambung daddy lagi.Selama perjalanan aku terus menitikkan air mata. Aku justru sama sekali tidak mengingat abang Brayen. Dipikiranku hanya Aksen, tidak menyangka gagal untuk kedua kalinya. Aku yakin tidak ada wanita yang ingin gagal apalagi ini untuk kedua kalinya. Mengapa masalah asmara aku selalu gagal, semesta sepertinya tidak berpihak padaku. Rasanya sangat menyakitkan harus menerima kenyataan in. Aksen yang kuharapkan, nyatanya juga berkhianat. “Keluarkan saja tangismu, Nak.”“Daddy ….”“Menangislah, jika itu yang membuatmu tenang.” Pecah juga tangisku di dalam mobil, daddy hanya menenangkanku. Sesak rasanya, sangat sesak. “Maafkan putrimu ini, Dad.”“Daddy yang minta maaf, Nak.”“Daddy yang memaksamu menikah dengannya. Ini salah daddy, Nak.”"Daddy tidak pernah salah, mungkin
Aksen diusir oleh daddy, aku kembali ke kamar. Hanya melihat Aksen saja, aku jijik. Bunda yang melihatku masuk kamar hanya menatapku dengan wajah sendu. "Sayang ....""Sayang, aku bisa jelaskan." Aksen terus berteriak. Namun, hati ini sudah diliputi rasa benci tak terkira. Dikhianati itu rasanya begitu sakit.Di kamar, aku hanya menangisi apa yang sudah terjadi. Mengapa semuanya begitu melelahkan, meratapi nasib yang sama seperti yang kemarin. Aku kira Aksen adalah pelabuhan terakhirku, nyatanya dia pun berkhianat. Apa sebenarnya yang salah denganku? Apakah ada do’a yang selama ini keliru kuucapkan? Sejak awal aku memang tidak mencintai Aksen, selain dia orang baru. Aku tipe orang yang sult untuk jatuh cinta. Kegigihan dan ketulusan Aksen membuatku luluh. Namun, sayangnya, itu palsu semua. Ponselku berdering ada nama Mona yang tertera. Pasti dia dikabari abang Brayen, secara nomor ponselku ini baru.“Halo, Monica.”Mona terdengar panik. Aku hanya diam, suaraku tidak bisa keluar. S
Sejauh apapun kamu melangkah selalu ada dua sisi yang membuatmu bangkit lagi, gagal bukan berarti hidupmu hancur. Mungkin seperti itu cara Tuhan menegurmu agar lebih dekat.Malam ini Arvian menginap bersamaku, tak terasa dia tumbuh dengan sehat dan semakin tampan. Wajah blatersannya menambah kesan menawan. Dia lebih mirip ke abang Brayen kecil.“Bund, are you okay?” tanyanya. Arvian menemaniku tidur di kamar.“Bunda baik-baik saja, Nak,” balasku.“Ayah bilang bunda sakit,” katanya lagi. Iya, bundamu memang lagi sakit hati, aku hanya bisa berkata dalam hati sembari memandang wajah polosnya.“Bunda sudah sehat, Nak.”“Ayah bikin panik,” sambungnya agi.“Memangnya ayah bilang apa?” tanyaku iseng. “Bunda sakit, Arvian pulang sekolah sudah dikagetin. Dia bahkan gak masuk kerja hari ini,” sambung Arvian.“Ayah kerja?”“Iya, Bund. Dia kerja di rumah sakit terbesar di kota Arvian tinggal, dia bahkan ditawari sebagai direktur di rumah sakit, tapi ditolak karena ayah lagi fokus kuliah.”“Apa
Setahun berlalu akhirnya akta cerai ini keluar, penuh perjuangan karena Aksen tidak mau bercerai. Namun, pada akhirnya dia berdamai dengan keadaan, menerima kenyataan jika aku memang tidak bisa bersamanya lagi. Aku bahkan meminta padanya untuk menjadi suami yang baik untuk Alifia.“Selama bersamaku, abang tidak pernah membuatku sakit hati. Abang memanjakanku sebagai seorang istri,” kataku padanya di taman seperti biasa kami bertemu dulu.Kami sengaja bertemu untuk terakhir kalinya. Menjadikan perpisahan yang terindah agar tak ada di dendam di hati kami.“Tapi mungkin jodoh kita sampai di sini, Bang. Satu pintaku muliakan istri abang selayaknya suami yang siaga. Barangkali nanti abang punya anak bersama Alifia.”Aku baru tahu ternyata Alfia juga seorang dokter seperti saudaranya Olivia. Sejak dulu dia diam-diam mencintai Aksen. Namun, tragedi naas terjadi ketika pulang kerja dia ditabrak oleh Aksen, lebih mengejutkan lagi Alifia bersama calon suaminya yang akan menikah seminggu lagi. U
Monica resmi bercerai dari Aksen. Reza dan Nina tetap mensuport anaknya, beberapa kali Aksen menangis tidak ingin bercerai, bahkan sebenarnya Aksen rela bercerai dari Alifia asalkan dia bisa bersama dengan Monica. Namun, Monica tetap dengan keputusannya, dia justru lebih kasihan dengan Alifia yang lumpuh karena perbuatan Aksen. Setahun lamanya Aksen berjuang. Malang tak bisa dihindari, Monica kekeh dengan pendiriannya hingga keputusan pengadilan pun keluar. Meski begitu Nina terus memantau perasaan anaknya, jangan sampai menyesal karena ini sudah kedua kalinya gagal.“Pikirkan matang-matang, Nak,” ucap Nina yang selalu sabar menasehati Monica.“Monica sudah berfikir yang matang, Bund. Aksen sebenarnya sudah lama jatuh cinta dengan Alifia.”“Aksen cintanya sama kamu, Nak.” Nina sebenarnya sudah jatuh hati dengan mantunya, sikap Aksen yang sopan membuat orang tua manapun pasti bahagia memiliki mantu seperti Aksen.Bagi Monica, bukan cinta jika berani mendua. “Monica tidak bisa seikhla
Dengan semangat baru Monica mulai bekerja, bahkan tampilannya semakin fresh. Dia mengubah tampilannya layaknya wanita berkelas layaknya anak konglomerat, Monica bahkan mulai belajar berdandan. “Janda menyala, nih,” ledek Mona yang melihat sahabatnya semakin cantik.“Kamu ada-ada saja, Mon. Ini karena kak Gendis,” jawab Monica yang terlihat tersipu malu.Iya, semua berawal dari Gendis yang menginginkan iparnya tampil menarik. “Tapi kamu beneran cantik, kok.”"Hust, malu, ah, dilihat banyak orang.”Monica seperti menemukan kehidupan baru, seperti lahir kembali dia begitu semangat dalam bekerja. Segala isu yang menerpa dia, semua ditepis dengan prestasi. Dia terkenal sebagai direktur utama yang profesional. Bakat Reza yang terpendam benar-benar ada pada diri Monica.“Pastikan pelayanan lebih baik lagi, jangan sampai ada pasien yang terlantar di rumah sakit kita. Selain itu, pastikan juga para dokter dalam kondisi fit, sebelum bekerja harus kontrol diri terlebih dahulu di ruang yang sud
Dia menatapku lekat. Iya dia abang Brayen, ayahnya Arvian. Mona disampingku terus menggangguku. Sementara yang di kantin sudah mulai heboh dengan kedatangan abang Brayen.“Ada yang bisa dibantu?” situasi yang mulai heboh di kantin membuatku bertanya demikian. Terasa asing.Abang Brayen juga kikuk melihatku yang bertanya demikian. Kami seperti orang yang tidak kenal sebelumnya.“Gak ada, aku hanya mengantar titipan dari Arvian,” katanya sambil memberikan bungkusan dari Arvian.“Dia buat sendri, jadi diminta kirim untuk bundanya. Kebetulan aku ada tugas di hotel dekat rumah sakit, makanya aku mampir,” sambungnya.Aku langsung mengambil bingkisan yang diberikan Arvian, jangan tanya bagaimana bahagianya aku ketika mendapat bingkisa dari Arvian ini. Rasanya begitu membahagaiakan. “Terima kasih, Dok. Sampaikan salam sama Arvian.”Dia menatapku sebentar, ada raut kekecewaan dalam wajahnya. Mona langsung memberi kode padaku."Terima kasih, Bang. Salam sama Arvian." Jujur aku sebenarnya ingi
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa