Dia menatapku lekat. Iya dia abang Brayen, ayahnya Arvian. Mona disampingku terus menggangguku. Sementara yang di kantin sudah mulai heboh dengan kedatangan abang Brayen.“Ada yang bisa dibantu?” situasi yang mulai heboh di kantin membuatku bertanya demikian. Terasa asing.Abang Brayen juga kikuk melihatku yang bertanya demikian. Kami seperti orang yang tidak kenal sebelumnya.“Gak ada, aku hanya mengantar titipan dari Arvian,” katanya sambil memberikan bungkusan dari Arvian.“Dia buat sendri, jadi diminta kirim untuk bundanya. Kebetulan aku ada tugas di hotel dekat rumah sakit, makanya aku mampir,” sambungnya.Aku langsung mengambil bingkisan yang diberikan Arvian, jangan tanya bagaimana bahagianya aku ketika mendapat bingkisa dari Arvian ini. Rasanya begitu membahagaiakan. “Terima kasih, Dok. Sampaikan salam sama Arvian.”Dia menatapku sebentar, ada raut kekecewaan dalam wajahnya. Mona langsung memberi kode padaku."Terima kasih, Bang. Salam sama Arvian." Jujur aku sebenarnya ingi
Aku hanya bisa mengelus dada, lucu rasanya melihat satu rumah sakit membicarakan abang Brayen. Bergegas aku ke ruangan, tak sabar membuka bekal yang diberikan Arvian. Namun, hatiku bergetar ketika ada tulisan tangan abang Brayen di dalam bekal itu.Siapa kita semalam tak penting, yang penting siapa kita hari ini. Karena esok tak menjanjikan apa-apa, apa yang kita buat hari ini, menentukan siapa kita esok hari. ~BrayenMaksudnya apa? Apa ini hanya alasan dia saja mengirim bekal, padahal bukan Arvian yang membuat, tapi sebenarnya dia.Bekal dari Arvian rasanya tidak asing, tidak berubah ketika bersama abang Brayen dulu. Tidak mungkin aku menanyakan ke Arvian apakah dia yang mengirim atau tidak. Benar-benar duda meresahkan!"Bu direktur agenda hari ini bertemu relasi dari Jerman," kata asisten yang biasa membuatku jadwal. Dia membuyarkan ingatanku, bekal dari Arvian habis tak bersisa padahal aku sudah makan di kantin."Jam berapa?" tanyaku lagi."Pukul 14. 30.""Oke, nanti diingatkan la
Aksen langsung menemui bunda, dia bahkan tanpa canggung mendekati bunda. Kami memang berpisah baik-baik. Jadi tidak ada masalah dengan silaturahim kami. Namun, beda dengan abang Brayen dia nampak canggung diantara kami, apalagi daddy juga tidak langsung menegur.“Tuan Brayen apakah anda tidak merindukan opa!” teriak Arvian. Astagfirullah ada saja kelakuan Arvian. Sifat ayahnya aku rasa benar-benar muncul.Daddy terlihat salah tingkah mendengar ucapan Arvian. Sementara bunda justru tak menahan tawanya. “Tuan Brayen kenapa gugup begitu,” sambung Aksen sembari tertawa. Aksen memang tidak berubah sama sekali. Dia tetap humble dimana pun berada.Abang Brayen terlihat malu-malu mendengar ucapan Aksen, benar-benar diluar dugaan Aksen ternyata tidak cemburu sama sekali.“Iya, saya hanya antar Arvian, saya langsung pamit,” kata abang Brayen.“Bukannya ayah ingin ketemu Opa, kok berubah pikiran,” sambung Arvian. Abang Brayen semakin salah tingkah melihat keberanian Arvian. Ya Allah ... kenapa
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah, kami sudah seperti abege tua yang malu-malu. Aku juga bingung dnengan tingkahku yang sedikit aneh, debarannya jangan ditanya."Jangan dijawab, aku tidak mau kamu menyesal," katanya lagi. Diih, dia pede sekali. "Bund, yuk, kita main perosotan warna warni itu, kayaknya seru!" teriak Arvian. "Boleh," jawabku sambil berlalu meninggalkan abang Brayen.Setelah membayar tiket masuk, kami bermain perosotan bersama. Abang Brayen hanya jadi pengawal kami berdua. Dia hanya berdiri melihat kami bermain dengan riang gembira."Apa ayah akan berdiri terus di sana?" tanya Arvian."Ayah gak berani," balasnya."Ayah cemen, kalah sama bunda," balas Arvian tak mau kalah."Bilang sama bundamu, jika dia mau ayah ikut," katanya lagi. Makin salah tingkah dibuat.Arvian menatapku sekilas, dia tidak memaksa, tapi tatapan matanya seolah menginginkan. Lucu kurasa. Ayah dan anak sama-sama gengsi. "Ayah bilang sendiri aja, pakai minta Arvian." Aku tersenyum melihat e
"Saya terima nikah dan kawinnya Nina Humaira dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai." "Sah?" "Sah!" semua tamu undangan yang hadir ikut bahagia dengan pernikahan kami. Harusnya kami, tapi itu tidak denganku. Aku Nina Humaira gadis desa yang nikah entah dengan pangeran darimana. Tiba-tiba tanpa basa basi hari ini aku dipersunting menjadi istrinya. Namanya Reza Adytama katanya laki-laki dari kota. Entahlah, tapi dia hanya mampu memberiku mas kawin seperangkat alat salat. Satu minggu yang lalu seorang laki-laki datang ke rumah katanya ingin mempersuntingku menjadi istrinya. Anehnya, ayah dan ibuku langsung saja setuju. "Menikahlah, ayah ridho kamu menikah dengannya." "Aku baru saja pulang, yah. Apa ini alasannya aku dipaksa pulang untuk menikah?" Aku baru saja pulang dari desa terpencil untuk menjadi sukarelawan. Ini pun aku dipaksa untuk segera sampai rumah, usut punya usut ternyata aku dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak kukenal. Dari segi umur aku masih
Aku menarik nafas lalu memghembuskannya pelan. Apa aku kabur saja, secara malam pertama belum kami lakukan. Itu artinya aku masih seperti gadis alias perawan. Ayah dan ibuku melambaikan tangan, apa mereka tahu jika laki-laki bernama Reza ini sudah menikah. Astagfirullah sudah mahluk tidak jelas, kemungkinan juga aku adalah istri keduanya. Dia masuk dan duduk disebelahku. "Berangkat pak Jum ...." "Siap Den!" Lagi-lagi aku menghembuskan nafas sambil berdo'a semoga keadaanku baik-baik saja. "Bisu lagi? Santai aja, kamu kayak mau perang!" Matanya dikedipkan sok cool banget ini orang. "Kamu sudah punya anak?" tanyaku memberanikan diri, tidak tahan dengan semua rasa penasaran ini. "Iya, memang kenapa?" "Berarti kamu telah menipu keluargaku, Reza. Bukannya kamu mengaku perjaka?" "Siapa bilang?! Nikmati saja kehidupan baru kita. Kamu sudah menjadi istriku dan orang tuamu sudah menyerahkanmu kepadaku jadi tidak perlu komplen," ucapnya penuh penekanan. Lagi, aku dilanda perasaan
"Daddy ngapain di kamar ini ...?" syukur akhirnya aku terselamatkan. Brayen nyelonong ke kamar persis seperti Daddy nya. Anak dan bapak kelakuannya sama saja. Si Reza jadi salah tingkah, emang enak."Ini Daddy mau cek saja. Agar tamu kita nyaman." Bingung kan mau jawab apa. Oke sip, aku dibilang tamu disini."Ayok ke kamar, Brayen ingin cerita." si bocah mengajak Reza untuk menemaninya tidur."Siap, komandan." Akhirnya dia keluar juga. Dan secepat kilat aku langsung kunci pintu jangan sampai kebablasan yang kedua kali. Sudah duda, punya anak, sok keren lagi itu orang. Besok adalah babak baru bagiku. Aku harus menyiapkan amunisi selama disini. Selain itu, sepertinya aku harus buat perjanjian dengan si Reza agar tidak semena-mena denganku. Meski berasal dari desa setidaknya aku harus punya strategi untuk mengalahkan musuh. Semangat, Nina!***Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Bangun tidur aku langsung salat tahajud dilanjutkan tilawah dan salat subuh. Setelah ini aku akan langsung m
Asa-ku seperti menari-nari. Ragaku seakan mati. Melakukan sesuatu yang tidak disenangi sungguh melelahkan. Kali ini aku tidak bertarung dengan hatiku saja. Namun, pikiran dan jiwaku ikut berjuang agar bisa keluar dari zona ini. (Nina Humaira)****Aroma rumah sakit menyeruak dihidungku. Ada Miss Dora yang menungguku. Cukup lama otakku berputar mengingat kejadian yang menimpaku. Aku baru sadar ternyata aku pingsan setelah memeluk ibunya Reza. Kuraba ternyata keningku yang diperban."Syukurlah akhirnya nona sadar juga," ucap miss Dora. Walaupun dia terlihat kaku, tapi dia cukup perhatian. Aku taksir umurnya miss Dora seumuran ibuku. Walau bagaimana pun dia memiliki jiwa keibuan."Lain kali dengar ucapanku nona. Jangan terlalu percaya diri jika dinasehati," sambungnya. Kali ini aku menarik nafas, bukan merasa bersalah. Hanya disalahkan rasanya menyesakkan sekali. Apa salahnya mencoba mengulurkan tangan berbuat baik meski aku sadar itu bisa berakibat fatal karena nyawaku taruhannya."Nyon