Sejauh apapun kamu melangkah selalu ada dua sisi yang membuatmu bangkit lagi, gagal bukan berarti hidupmu hancur. Mungkin seperti itu cara Tuhan menegurmu agar lebih dekat.Malam ini Arvian menginap bersamaku, tak terasa dia tumbuh dengan sehat dan semakin tampan. Wajah blatersannya menambah kesan menawan. Dia lebih mirip ke abang Brayen kecil.“Bund, are you okay?” tanyanya. Arvian menemaniku tidur di kamar.“Bunda baik-baik saja, Nak,” balasku.“Ayah bilang bunda sakit,” katanya lagi. Iya, bundamu memang lagi sakit hati, aku hanya bisa berkata dalam hati sembari memandang wajah polosnya.“Bunda sudah sehat, Nak.”“Ayah bikin panik,” sambungnya agi.“Memangnya ayah bilang apa?” tanyaku iseng. “Bunda sakit, Arvian pulang sekolah sudah dikagetin. Dia bahkan gak masuk kerja hari ini,” sambung Arvian.“Ayah kerja?”“Iya, Bund. Dia kerja di rumah sakit terbesar di kota Arvian tinggal, dia bahkan ditawari sebagai direktur di rumah sakit, tapi ditolak karena ayah lagi fokus kuliah.”“Apa
Setahun berlalu akhirnya akta cerai ini keluar, penuh perjuangan karena Aksen tidak mau bercerai. Namun, pada akhirnya dia berdamai dengan keadaan, menerima kenyataan jika aku memang tidak bisa bersamanya lagi. Aku bahkan meminta padanya untuk menjadi suami yang baik untuk Alifia.“Selama bersamaku, abang tidak pernah membuatku sakit hati. Abang memanjakanku sebagai seorang istri,” kataku padanya di taman seperti biasa kami bertemu dulu.Kami sengaja bertemu untuk terakhir kalinya. Menjadikan perpisahan yang terindah agar tak ada di dendam di hati kami.“Tapi mungkin jodoh kita sampai di sini, Bang. Satu pintaku muliakan istri abang selayaknya suami yang siaga. Barangkali nanti abang punya anak bersama Alifia.”Aku baru tahu ternyata Alfia juga seorang dokter seperti saudaranya Olivia. Sejak dulu dia diam-diam mencintai Aksen. Namun, tragedi naas terjadi ketika pulang kerja dia ditabrak oleh Aksen, lebih mengejutkan lagi Alifia bersama calon suaminya yang akan menikah seminggu lagi. U
Monica resmi bercerai dari Aksen. Reza dan Nina tetap mensuport anaknya, beberapa kali Aksen menangis tidak ingin bercerai, bahkan sebenarnya Aksen rela bercerai dari Alifia asalkan dia bisa bersama dengan Monica. Namun, Monica tetap dengan keputusannya, dia justru lebih kasihan dengan Alifia yang lumpuh karena perbuatan Aksen. Setahun lamanya Aksen berjuang. Malang tak bisa dihindari, Monica kekeh dengan pendiriannya hingga keputusan pengadilan pun keluar. Meski begitu Nina terus memantau perasaan anaknya, jangan sampai menyesal karena ini sudah kedua kalinya gagal.“Pikirkan matang-matang, Nak,” ucap Nina yang selalu sabar menasehati Monica.“Monica sudah berfikir yang matang, Bund. Aksen sebenarnya sudah lama jatuh cinta dengan Alifia.”“Aksen cintanya sama kamu, Nak.” Nina sebenarnya sudah jatuh hati dengan mantunya, sikap Aksen yang sopan membuat orang tua manapun pasti bahagia memiliki mantu seperti Aksen.Bagi Monica, bukan cinta jika berani mendua. “Monica tidak bisa seikhla
Dengan semangat baru Monica mulai bekerja, bahkan tampilannya semakin fresh. Dia mengubah tampilannya layaknya wanita berkelas layaknya anak konglomerat, Monica bahkan mulai belajar berdandan. “Janda menyala, nih,” ledek Mona yang melihat sahabatnya semakin cantik.“Kamu ada-ada saja, Mon. Ini karena kak Gendis,” jawab Monica yang terlihat tersipu malu.Iya, semua berawal dari Gendis yang menginginkan iparnya tampil menarik. “Tapi kamu beneran cantik, kok.”"Hust, malu, ah, dilihat banyak orang.”Monica seperti menemukan kehidupan baru, seperti lahir kembali dia begitu semangat dalam bekerja. Segala isu yang menerpa dia, semua ditepis dengan prestasi. Dia terkenal sebagai direktur utama yang profesional. Bakat Reza yang terpendam benar-benar ada pada diri Monica.“Pastikan pelayanan lebih baik lagi, jangan sampai ada pasien yang terlantar di rumah sakit kita. Selain itu, pastikan juga para dokter dalam kondisi fit, sebelum bekerja harus kontrol diri terlebih dahulu di ruang yang sud
Dia menatapku lekat. Iya dia abang Brayen, ayahnya Arvian. Mona disampingku terus menggangguku. Sementara yang di kantin sudah mulai heboh dengan kedatangan abang Brayen.“Ada yang bisa dibantu?” situasi yang mulai heboh di kantin membuatku bertanya demikian. Terasa asing.Abang Brayen juga kikuk melihatku yang bertanya demikian. Kami seperti orang yang tidak kenal sebelumnya.“Gak ada, aku hanya mengantar titipan dari Arvian,” katanya sambil memberikan bungkusan dari Arvian.“Dia buat sendri, jadi diminta kirim untuk bundanya. Kebetulan aku ada tugas di hotel dekat rumah sakit, makanya aku mampir,” sambungnya.Aku langsung mengambil bingkisan yang diberikan Arvian, jangan tanya bagaimana bahagianya aku ketika mendapat bingkisa dari Arvian ini. Rasanya begitu membahagaiakan. “Terima kasih, Dok. Sampaikan salam sama Arvian.”Dia menatapku sebentar, ada raut kekecewaan dalam wajahnya. Mona langsung memberi kode padaku."Terima kasih, Bang. Salam sama Arvian." Jujur aku sebenarnya ingi
Aku hanya bisa mengelus dada, lucu rasanya melihat satu rumah sakit membicarakan abang Brayen. Bergegas aku ke ruangan, tak sabar membuka bekal yang diberikan Arvian. Namun, hatiku bergetar ketika ada tulisan tangan abang Brayen di dalam bekal itu.Siapa kita semalam tak penting, yang penting siapa kita hari ini. Karena esok tak menjanjikan apa-apa, apa yang kita buat hari ini, menentukan siapa kita esok hari. ~BrayenMaksudnya apa? Apa ini hanya alasan dia saja mengirim bekal, padahal bukan Arvian yang membuat, tapi sebenarnya dia.Bekal dari Arvian rasanya tidak asing, tidak berubah ketika bersama abang Brayen dulu. Tidak mungkin aku menanyakan ke Arvian apakah dia yang mengirim atau tidak. Benar-benar duda meresahkan!"Bu direktur agenda hari ini bertemu relasi dari Jerman," kata asisten yang biasa membuatku jadwal. Dia membuyarkan ingatanku, bekal dari Arvian habis tak bersisa padahal aku sudah makan di kantin."Jam berapa?" tanyaku lagi."Pukul 14. 30.""Oke, nanti diingatkan la
Aksen langsung menemui bunda, dia bahkan tanpa canggung mendekati bunda. Kami memang berpisah baik-baik. Jadi tidak ada masalah dengan silaturahim kami. Namun, beda dengan abang Brayen dia nampak canggung diantara kami, apalagi daddy juga tidak langsung menegur.“Tuan Brayen apakah anda tidak merindukan opa!” teriak Arvian. Astagfirullah ada saja kelakuan Arvian. Sifat ayahnya aku rasa benar-benar muncul.Daddy terlihat salah tingkah mendengar ucapan Arvian. Sementara bunda justru tak menahan tawanya. “Tuan Brayen kenapa gugup begitu,” sambung Aksen sembari tertawa. Aksen memang tidak berubah sama sekali. Dia tetap humble dimana pun berada.Abang Brayen terlihat malu-malu mendengar ucapan Aksen, benar-benar diluar dugaan Aksen ternyata tidak cemburu sama sekali.“Iya, saya hanya antar Arvian, saya langsung pamit,” kata abang Brayen.“Bukannya ayah ingin ketemu Opa, kok berubah pikiran,” sambung Arvian. Abang Brayen semakin salah tingkah melihat keberanian Arvian. Ya Allah ... kenapa
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah, kami sudah seperti abege tua yang malu-malu. Aku juga bingung dnengan tingkahku yang sedikit aneh, debarannya jangan ditanya."Jangan dijawab, aku tidak mau kamu menyesal," katanya lagi. Diih, dia pede sekali. "Bund, yuk, kita main perosotan warna warni itu, kayaknya seru!" teriak Arvian. "Boleh," jawabku sambil berlalu meninggalkan abang Brayen.Setelah membayar tiket masuk, kami bermain perosotan bersama. Abang Brayen hanya jadi pengawal kami berdua. Dia hanya berdiri melihat kami bermain dengan riang gembira."Apa ayah akan berdiri terus di sana?" tanya Arvian."Ayah gak berani," balasnya."Ayah cemen, kalah sama bunda," balas Arvian tak mau kalah."Bilang sama bundamu, jika dia mau ayah ikut," katanya lagi. Makin salah tingkah dibuat.Arvian menatapku sekilas, dia tidak memaksa, tapi tatapan matanya seolah menginginkan. Lucu kurasa. Ayah dan anak sama-sama gengsi. "Ayah bilang sendiri aja, pakai minta Arvian." Aku tersenyum melihat e
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat