"Gendis?" tanyaku lagi. Jujur aku dibuat bingung.Dia bingung melihatku yang bertanya. Apa aku kenal dengan dia sebelumnya. Mengapa dia begitu percaya diri di dekatku. Dia diam dan terlihat bingung. Langkah terdengar dari luar, dari suaranya itu pasti Ana yang menuju kamar ini. Wanita yang bernama Gendis ini langsung memakai masker dan kacamatanya.Ana masuk dan melihat Gendis dari bawah sampai atas. Dia nampak curiga dengan Gendis yang dirasa mungkin aneh. Aku saja sangat aneh dengan Gendis yang ternyata dia seorang perempuan."Dokter Rayyandra akan pulang sore ini, aku harap kamu bisa segera menyembuhkan suamiku. Dia mau makan yang teratur pastinya," ucap Ana dengan sifat arogannya. Gendis hanya mengangguk pelan, kami dalam bahaya jika dokter Rayyandra pulang. Lalu Gendis ini siapa, bahkan Dokter Rayyandra alias Abang Brayen belum menjelaskan. Si Ana melihat makanan yang ada di kamarku ini. Dia semakin curiga melihat ada makanan di mejaku."Kamu yang membawakan makanan ini ke sua
"Maksudmu?" tanyaku kmbali."Aku istri sahmu, Tuan Shaka," balasnya dengan penuh senyuman. Jadi, dia adalah istri sahku? Kepalaku dibuat pusing. Walau jujur ada secercah harapan yang kurasa."Kalian sedang apa?" tanya Ana yang tiba-tiba di belakang kami. Kami langsung terdiam, Gendis apalagi dia nampak ketakutan. Apa Ana melihat kami lewat CCTV nya cepat selali dia datang. Dengan cepat Gendis kembali ke tempatnya. Jadi Gendis adalah istriku? Meski aku lupa ingatan, tapi ada rasa nyaman di hatiku bersamanya. Kucuri lagi pandang padanya, rasanya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata ada bahagia yang kurasakan di hatiku. Gendis keluar karena Ana di dalam kamar. Lagi, kulihat dia yang sudah menjauh, rasanya tak ingin berjauhan. Aku seperti merasakanjatuh cinta kembali, meski sebelumnya hatiku terasa kosong yang kurasa."Kenapa kamu melihat asisten itu?" tanya Ana yang kurasa sangat ketus."Itu hanya prasangkamu saja sepertinya," balasku. Si Ana ini berbahaya, jadi kita harus berhati-h
Mendengar suara itu, kami langsung memposisikan diri kembali. Untung masker Gendis tidak terbuka. Ternyata yang datang adalah dokter yang biasa menjagaku."Santai saja, dokter Rayyan itu senior saya. Dia sudah menceritakan semuanya," ungkapnya.Kami langsung bernapas lega. Abang Brayen memang luar biasa, sulit untuk ditebak."Obat yang dikirim Ana sudah datang, itu obat dosisnya sangat tinggi, bisa merusak syaraf," sambungnya."Maksudnya?" tanya Gendis."Dia ingin merusak Shaka secara perlahan, merusak otaknya lalu mengambil hartanya.""Jahat sekali mbak Ana. Mengerikan," balas Gendis."Nanti saya tukar pakai vitamin."Lagi, aku bernapas lega. Masih ada orang baik yang mengelilingi kami."Sebaiknya fokus untuk kabur saja dulu," jelasnya."Bagaimana dengan suamiku yang masih belum pulih ingatannya?" tanya Gendis."Tuan bisa pulih kembali, karena dia hilang ingatan sementara. Di alam bawah sadarnya dia menyadari. Hanya mengenal orang, dia masih butuh waktu.""Tapj aku mendadak oon rasan
"Mas sudah sadar?" tanyanya penuh kebingungan. Sekarang aku juga ikut bingung, darimana aku tahu nama lengkapnya. Berarti apakah aku sudah sepenuhnya sadar?"Bukannya itu namamu?" tanyaku pura-pura mengalihkan. Wajahnya langsung berubah, terlihat ada senyuman kelegaan. Bahkan jarum ditangannya dia cabut pelan-pelan. Benar-benar meresahkan."Tidurlah ... biar aku yang keluar, " ucapnya lagi seperti merayuku. Secepat itu dia menjadi orang lemah."Oke, jika kamu melakukan seperti yang tadi, aku tidak segan-segan kabur dari rumah ini!" tegasku. Wajahnya kembali berubah entah dia setuju atau tidak, tapi dia seperti mengabaikanku. Dengan kaki tertatih dia keluar dari kamar ini. Aku pun kembali ke tempat tidur di kamar ini. Ranjang di kamar ini sangat luas bisa ditempati oleh dua atau tiga orang."Kurasa dia wanita yang kesepian, kasian." Aku hanya membatin melihat tingkahnya yang diluar akal sehat.Berharap Gendis yang datang di kamar ini. Aku ingin menceritakan jika aku sudah sadar dan m
"Nyonya!" teriak mereka tak kalah panik."Abang, cepat lari!" teriak Gendis yang ternyata ada di belakangku. Dia menarik tanganku yang tiba-tiba bengong begitu saja. Aku bersyukur Gendis ternyata masih selamat.Aku menyambut tangannya dan segera berlari ssekuat tenaga. Jumlah mereka sangat banyak membuat kami berdua panik."Kejar mereka!" teriak Ana. Sial, kami di kepung. Kami terus berlari melewati pepohonan untuk sampai di tepi pantai tempat kapal menunggu kami. Suasana mencekam membuat napas ini seperti kesulitan. "Berhenti kalian!" teriak mereka. Apa si Ana itu menyewa Mafia, jumlah mereka semakin banyak. Kami seperti dikepung dari berbagai arah.Kami berlari sampai terasa ngos-ngosan. Gendis pun terlihat kelelahan. Mereka terus mengejar kami, sesekali lemparan mereka lakukan. Ini aku yang lemah atau Gendis memang kuat, dia justru yang menarik tanganku agar cepat berlari."Bang dikit lagi!" Gendis menyemangatiku. Namun, aku benar-benar kelelahan. Selain itu, mungkin efek sakitk
Dendam lama? Maksudnya? Apakah ini karena bunda menolak om Gunawan, jadi dia balas dendam saat ini? Aku bahkan dipaksa berfikir, padahal baru saja merasakan kejadian yang begitu menakutkan. "Ayo kita pulang dulu, kalian butuh istirahat," ucap bunda mengingatkan kami. Terlalu banyak yang ada di pikiranku. Sepertinya memori di kepalaku ini harus segera dituangkan. Bahkan, Bunda dan daddy tinggal dimana sekarang aku pun tak tahu. "Perjalanan sangat jauh, kalian tidurlah," sambung daddy. Selama di perjalanan karena mengantuk, aku pun tertidur pulas. Menurut bunda perjalanan ini hampir membutuhkan waktu lima jam. Daerah ini memang sangat jauh dari perkumpulan warga. Desa demi desa tentu akan kami lewati dan itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Gendis juga tertidur pulas. Jujur, aku kasihan dengannya. Menurutku di sini, dia yang paling terluka diantara kami. Mungkin saatnya dia bahagia menjadi istriku. Bahagia menjadi bagian Adytama. Lagi, kurangkul dan kukecup keningnya karena dia b
Aku terus mempelajari semua yang diberikan daddy, mereka semua kompak membantuku untuk melawan keluarga Ana. Selain itu, Gendis berperan penting pada misi kali ini. Mungkin sebelumnya Gendis masih punya rasa khawatir jika membantu kami. Bukan tanpa sebab, itu karena dia pasti takut melawan ayahnya.Kali ini dia mengambil peran lebih besar, kami bahkan diminta untuk berkumpul di ruang tamu membicarakan kelanjutan untuk merebut perusahaan kembali, perusahaan atas namaku bahkan di klaim oleh Ana menjadi miliknya. Satu persatu laporan ini kubaca dengan teliti, aku yang sudah tidak pernah bekerja rasanya sangat berat. Sesekali Cantika mengangguku membuat semangat ini terus tumbuh. Ada Gendis juga membuka laporan yang masuk di perusahaan Ana. "Kamu keren Gendis," ucap abang Brayen. Iya, dia memang keren, tangannya bahkan begitu lancar ketika di depan laptop. Bahkan dengan kemampuannya dia mampu membuat perusahaan Atmadja ketar-ketir."Sepertinya mereka sudah mencoba masuk untuk mengambil
Gendis sudah dipoles membuat jantung ini tak menentu. Wajahnya bahkanbegiu terlihat fresh. Senyumnya membuat debaran ini semakin kuat. Seperti anak muda yang dimabuk cinta, aku seperti merasakan jatuh cinta lagi."Awas matanya jelalatan," kata abang Brayen menggangguku."Punya istri makanya, Mblo," jawabku mengejeknya. Dia justru terkekeh mendengarku mengejeknya, tak ingin berfikir lama aku mendekati Gendis. Bunda dan Monica hanya senyum tidak jelas. "Istrinya jangan dipelototin, Bang. Kasih apresiasi, lah, sedikit," ledek bunda yang seperti menahan tawa. Entah mengapa aku mendadak kaku. Dengan cepat bunda dan Monica pergi meninggalkan kami berdua, cukup lama aku memandangnya yang memang begitu cantik malam ini. Tak tahan kupeluk dia, terlalu lama kami tidak pernah seromantis ini selama menikah."Cantik," bisikku. Gendis hanya membalas pelukanku. "Ini karena abang yang membuatku selalu cantik setiap hari," balasnya. Semoga saja aku selalu membuantnya selalu cantik. "Tetaplah di s
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat