"Mas sudah sadar?" tanyanya penuh kebingungan. Sekarang aku juga ikut bingung, darimana aku tahu nama lengkapnya. Berarti apakah aku sudah sepenuhnya sadar?"Bukannya itu namamu?" tanyaku pura-pura mengalihkan. Wajahnya langsung berubah, terlihat ada senyuman kelegaan. Bahkan jarum ditangannya dia cabut pelan-pelan. Benar-benar meresahkan."Tidurlah ... biar aku yang keluar, " ucapnya lagi seperti merayuku. Secepat itu dia menjadi orang lemah."Oke, jika kamu melakukan seperti yang tadi, aku tidak segan-segan kabur dari rumah ini!" tegasku. Wajahnya kembali berubah entah dia setuju atau tidak, tapi dia seperti mengabaikanku. Dengan kaki tertatih dia keluar dari kamar ini. Aku pun kembali ke tempat tidur di kamar ini. Ranjang di kamar ini sangat luas bisa ditempati oleh dua atau tiga orang."Kurasa dia wanita yang kesepian, kasian." Aku hanya membatin melihat tingkahnya yang diluar akal sehat.Berharap Gendis yang datang di kamar ini. Aku ingin menceritakan jika aku sudah sadar dan m
"Nyonya!" teriak mereka tak kalah panik."Abang, cepat lari!" teriak Gendis yang ternyata ada di belakangku. Dia menarik tanganku yang tiba-tiba bengong begitu saja. Aku bersyukur Gendis ternyata masih selamat.Aku menyambut tangannya dan segera berlari ssekuat tenaga. Jumlah mereka sangat banyak membuat kami berdua panik."Kejar mereka!" teriak Ana. Sial, kami di kepung. Kami terus berlari melewati pepohonan untuk sampai di tepi pantai tempat kapal menunggu kami. Suasana mencekam membuat napas ini seperti kesulitan. "Berhenti kalian!" teriak mereka. Apa si Ana itu menyewa Mafia, jumlah mereka semakin banyak. Kami seperti dikepung dari berbagai arah.Kami berlari sampai terasa ngos-ngosan. Gendis pun terlihat kelelahan. Mereka terus mengejar kami, sesekali lemparan mereka lakukan. Ini aku yang lemah atau Gendis memang kuat, dia justru yang menarik tanganku agar cepat berlari."Bang dikit lagi!" Gendis menyemangatiku. Namun, aku benar-benar kelelahan. Selain itu, mungkin efek sakitk
Dendam lama? Maksudnya? Apakah ini karena bunda menolak om Gunawan, jadi dia balas dendam saat ini? Aku bahkan dipaksa berfikir, padahal baru saja merasakan kejadian yang begitu menakutkan. "Ayo kita pulang dulu, kalian butuh istirahat," ucap bunda mengingatkan kami. Terlalu banyak yang ada di pikiranku. Sepertinya memori di kepalaku ini harus segera dituangkan. Bahkan, Bunda dan daddy tinggal dimana sekarang aku pun tak tahu. "Perjalanan sangat jauh, kalian tidurlah," sambung daddy. Selama di perjalanan karena mengantuk, aku pun tertidur pulas. Menurut bunda perjalanan ini hampir membutuhkan waktu lima jam. Daerah ini memang sangat jauh dari perkumpulan warga. Desa demi desa tentu akan kami lewati dan itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Gendis juga tertidur pulas. Jujur, aku kasihan dengannya. Menurutku di sini, dia yang paling terluka diantara kami. Mungkin saatnya dia bahagia menjadi istriku. Bahagia menjadi bagian Adytama. Lagi, kurangkul dan kukecup keningnya karena dia b
Aku terus mempelajari semua yang diberikan daddy, mereka semua kompak membantuku untuk melawan keluarga Ana. Selain itu, Gendis berperan penting pada misi kali ini. Mungkin sebelumnya Gendis masih punya rasa khawatir jika membantu kami. Bukan tanpa sebab, itu karena dia pasti takut melawan ayahnya.Kali ini dia mengambil peran lebih besar, kami bahkan diminta untuk berkumpul di ruang tamu membicarakan kelanjutan untuk merebut perusahaan kembali, perusahaan atas namaku bahkan di klaim oleh Ana menjadi miliknya. Satu persatu laporan ini kubaca dengan teliti, aku yang sudah tidak pernah bekerja rasanya sangat berat. Sesekali Cantika mengangguku membuat semangat ini terus tumbuh. Ada Gendis juga membuka laporan yang masuk di perusahaan Ana. "Kamu keren Gendis," ucap abang Brayen. Iya, dia memang keren, tangannya bahkan begitu lancar ketika di depan laptop. Bahkan dengan kemampuannya dia mampu membuat perusahaan Atmadja ketar-ketir."Sepertinya mereka sudah mencoba masuk untuk mengambil
Gendis sudah dipoles membuat jantung ini tak menentu. Wajahnya bahkanbegiu terlihat fresh. Senyumnya membuat debaran ini semakin kuat. Seperti anak muda yang dimabuk cinta, aku seperti merasakan jatuh cinta lagi."Awas matanya jelalatan," kata abang Brayen menggangguku."Punya istri makanya, Mblo," jawabku mengejeknya. Dia justru terkekeh mendengarku mengejeknya, tak ingin berfikir lama aku mendekati Gendis. Bunda dan Monica hanya senyum tidak jelas. "Istrinya jangan dipelototin, Bang. Kasih apresiasi, lah, sedikit," ledek bunda yang seperti menahan tawa. Entah mengapa aku mendadak kaku. Dengan cepat bunda dan Monica pergi meninggalkan kami berdua, cukup lama aku memandangnya yang memang begitu cantik malam ini. Tak tahan kupeluk dia, terlalu lama kami tidak pernah seromantis ini selama menikah."Cantik," bisikku. Gendis hanya membalas pelukanku. "Ini karena abang yang membuatku selalu cantik setiap hari," balasnya. Semoga saja aku selalu membuantnya selalu cantik. "Tetaplah di s
Berita siang ini menghebohkan perusahaan Atmadja. Serangan istri simpanan om Gunawan membuat perusahaan Atmadja menjadi sasarannya. Mereka bahkan belum mulai makan sudah bubar, karena ini masalah serius mereka pasti kalang kabut. Selama ini perselingkuhan dikalangan Netizen pasti akan ramai dan berpengaruh pada bisnis. Apalagi video yang diunggah, dokter Gunawan dianggap lepas tamggung jawab setelah menikah. Sama halnya apa yang dilakukannya dengan ibunya Gendis."Secara keilmuwan medis, apa ini termasuk kelainan, Brayen?" tanya daddy."Kalau bicara medis pasti ada keilmuwan di dadalamnya yang dibuktikan dengan hasil tes, tapi melihat gaya dan gerak, om Gunawan memang memiliki kelainan," ungkap Abang Brayen."Itu dilihat dari dia yang tiba-tiba menikah di tempat dia menjadi relawan. Itu kurasa kelainan," sambung Abang Brayen.Namun, aku melihat bunda Nina seperti murung."Bunda menyesal mengenalkan dokter Gunawan dengan mbak Fatia."Mendadak kami hening, kami pun juga tidak menyangk
Waktu menunjukkan pukul dua belas malam, berita bunda yang hilang membuat rasa kantuk kami hilang. Kami membagi tugas untuk mencari bunda. Namun, Gendis melarang kami untuk keluar, ini adalah umpan membuat kita panik."Sebentar, Dad. Kita lacak ponsel bunda," ucap Gendis begitu tenang."Jangan sampai kita termakan, sebentar Gendis cari tahu dulu," sambungnya lagi."Sepertinya harus dikasih pelajaran mereka ini, Dad." Abang Brayen begitu marah. "Mereka memang berbakat membuat hati kita sakit tak menentu." Daddy terus bolak balik tidak jelas."Bunda ada di sini!" teriak Gendis. Kami semua mendekat."Bukannya itu rumah almarhum orang tua Fatia," jawab daddy."Kita kesana," sambung abang Brayen tanpa banyak mikir. Dia begitu menyanyangi bunda hingga paling panik diantara kami.Kami semua ke lokasi, kali ini abang Brayen yang memegang setir. Tak mau membuang waktu dia langsung mengajak kami ke lokasi bunda."Aku akan cepat, jadi jangan kagetan," ucapnya enteng. Semoga jantung ini aman sa
Semua mendadak hening melihat abang Brayen yang menunjuk Ana. Dengan gaya coolnya, dia duduk membersamai kami. "Kamu pikir bisa mengalahkan kami, nona Atmadja. Kamu harusnya dimasukkan ke rumah sakit jiwa." Abang Brayen menatap Ana dengan tajam. Ana sampai dibuat salah tingkah."Sampai kapan pun kalian tidak bisa mengambil alih aset milik Adytama. Kamu tahu saya dokter kejiwaanmu dan mungkin bisa jadi saingan terberatmu."Semua di ruangan tak ada yang membela. Ana mulai panik dan kehilangan kata-kata. Abang Brayen bahkan tak memberi celah buat Ana berbicara."Kamu terkejut, Ana? Santai saja, bukannya kamu disini yang menjadi dalang sebagai penjahat?" Abang Brayen dengan santainya duduk manis, tak peduli dengan Ana yang mulai gelisah. Dia terus meneror Ana yang kakinya terus digerakkan."Bukannya Anda dokter Rayyandra?" tanya Ana, wajahnya begitu pucat."Iya, memang kenapa?" tanya abang Brayen santai."Kamu panik?" tanyanya ulang. Ana kehabisan akal, abang Brayen terus menatapnya
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa