Gendis sudah dipoles membuat jantung ini tak menentu. Wajahnya bahkanbegiu terlihat fresh. Senyumnya membuat debaran ini semakin kuat. Seperti anak muda yang dimabuk cinta, aku seperti merasakan jatuh cinta lagi."Awas matanya jelalatan," kata abang Brayen menggangguku."Punya istri makanya, Mblo," jawabku mengejeknya. Dia justru terkekeh mendengarku mengejeknya, tak ingin berfikir lama aku mendekati Gendis. Bunda dan Monica hanya senyum tidak jelas. "Istrinya jangan dipelototin, Bang. Kasih apresiasi, lah, sedikit," ledek bunda yang seperti menahan tawa. Entah mengapa aku mendadak kaku. Dengan cepat bunda dan Monica pergi meninggalkan kami berdua, cukup lama aku memandangnya yang memang begitu cantik malam ini. Tak tahan kupeluk dia, terlalu lama kami tidak pernah seromantis ini selama menikah."Cantik," bisikku. Gendis hanya membalas pelukanku. "Ini karena abang yang membuatku selalu cantik setiap hari," balasnya. Semoga saja aku selalu membuantnya selalu cantik. "Tetaplah di s
Berita siang ini menghebohkan perusahaan Atmadja. Serangan istri simpanan om Gunawan membuat perusahaan Atmadja menjadi sasarannya. Mereka bahkan belum mulai makan sudah bubar, karena ini masalah serius mereka pasti kalang kabut. Selama ini perselingkuhan dikalangan Netizen pasti akan ramai dan berpengaruh pada bisnis. Apalagi video yang diunggah, dokter Gunawan dianggap lepas tamggung jawab setelah menikah. Sama halnya apa yang dilakukannya dengan ibunya Gendis."Secara keilmuwan medis, apa ini termasuk kelainan, Brayen?" tanya daddy."Kalau bicara medis pasti ada keilmuwan di dadalamnya yang dibuktikan dengan hasil tes, tapi melihat gaya dan gerak, om Gunawan memang memiliki kelainan," ungkap Abang Brayen."Itu dilihat dari dia yang tiba-tiba menikah di tempat dia menjadi relawan. Itu kurasa kelainan," sambung Abang Brayen.Namun, aku melihat bunda Nina seperti murung."Bunda menyesal mengenalkan dokter Gunawan dengan mbak Fatia."Mendadak kami hening, kami pun juga tidak menyangk
Waktu menunjukkan pukul dua belas malam, berita bunda yang hilang membuat rasa kantuk kami hilang. Kami membagi tugas untuk mencari bunda. Namun, Gendis melarang kami untuk keluar, ini adalah umpan membuat kita panik."Sebentar, Dad. Kita lacak ponsel bunda," ucap Gendis begitu tenang."Jangan sampai kita termakan, sebentar Gendis cari tahu dulu," sambungnya lagi."Sepertinya harus dikasih pelajaran mereka ini, Dad." Abang Brayen begitu marah. "Mereka memang berbakat membuat hati kita sakit tak menentu." Daddy terus bolak balik tidak jelas."Bunda ada di sini!" teriak Gendis. Kami semua mendekat."Bukannya itu rumah almarhum orang tua Fatia," jawab daddy."Kita kesana," sambung abang Brayen tanpa banyak mikir. Dia begitu menyanyangi bunda hingga paling panik diantara kami.Kami semua ke lokasi, kali ini abang Brayen yang memegang setir. Tak mau membuang waktu dia langsung mengajak kami ke lokasi bunda."Aku akan cepat, jadi jangan kagetan," ucapnya enteng. Semoga jantung ini aman sa
Semua mendadak hening melihat abang Brayen yang menunjuk Ana. Dengan gaya coolnya, dia duduk membersamai kami. "Kamu pikir bisa mengalahkan kami, nona Atmadja. Kamu harusnya dimasukkan ke rumah sakit jiwa." Abang Brayen menatap Ana dengan tajam. Ana sampai dibuat salah tingkah."Sampai kapan pun kalian tidak bisa mengambil alih aset milik Adytama. Kamu tahu saya dokter kejiwaanmu dan mungkin bisa jadi saingan terberatmu."Semua di ruangan tak ada yang membela. Ana mulai panik dan kehilangan kata-kata. Abang Brayen bahkan tak memberi celah buat Ana berbicara."Kamu terkejut, Ana? Santai saja, bukannya kamu disini yang menjadi dalang sebagai penjahat?" Abang Brayen dengan santainya duduk manis, tak peduli dengan Ana yang mulai gelisah. Dia terus meneror Ana yang kakinya terus digerakkan."Bukannya Anda dokter Rayyandra?" tanya Ana, wajahnya begitu pucat."Iya, memang kenapa?" tanya abang Brayen santai."Kamu panik?" tanyanya ulang. Ana kehabisan akal, abang Brayen terus menatapnya
Wanita itu bangkit dan langsung pergi meninggalkan ruangan in. Tanpa permisi, dia setengah berlari keluar dari ruangan ini. "Wanita jadi-jadian itu, mau saja dipaksa merayu suami orang," ucap abang Brayen dengan entengnya. "Awas saja kalau abang kepincut tak akan kukasih jatah tujuh bulan purnama sekaligus," balas Gendis. Astagfirullah sekarang harus tebal telinga melihat istri yang akan mengomel sepanjang hari.Abang Brayen tertawa sendiri melihat tingkah kami. Sungguh berat sekali ujian ini jika berhadapan dengan wanita yang mulai sensitif. Apalagi jelas dia melihat wanita itu menggodaku, bisa tidak diajak bicara tujuh hari tujuh malam."Kasitahu dia adik ipar, biar gak dapet jatah tujuh bulan purnama." Abang Brayen ikut meledek membuat suasana semakin panas. Astagfirullah, begini amat punya abang."Cintaku hanya untukmu seorang, bundanya Cantika Maharani," balasku. Lagi, abang Brayen tertawa geli."Rasakan tidak dapat jatah malam ini," bisiknya. Eh, ini jomlo kok lebih tahu dari
Hari terus berganti, hampir semua aset kembali normal, Gendis pun merasakan haknya kembali sebagai istriku sesuai wasiat dari kakek. Om Gunawan akhirnya ditahan karena terduga sebagai pemalsu beberapa dokumen. Selain itu, istrinya--Fatia sudah menggugat perceraian tinggal menunggu keputusan sidang beberapa minggu ke depan. Kabarnya yang terdengar bahwa Ana masuk rumah sakit. Belum jelas bagaimana kabarnya Ana, karena kami pun tidak ingin membahas masalah dengan dia lagi.Kehidupan yang kami jalani kembali seperti sedia kala lagi, perusahaan Atmadja diambang kritis. Apa yang kita tanam, itu yang akan kita tuai benar adanya, seperti om Gunawan yang ingin membangkitkan perusahaanya dengan cara yang salah. Ternyata itu tidak akan berlangsung lama. Secepat kilat perusahaan Atmadja kembali diambang bangkrut."Apa kamu tidak merindukan ayahmu?" tanyaku pada Gendis."Dia saja tidak merindukanku, bagaimana aku akan merindukannya," jawabnya.Kisah yang rumit. Gendis bahkan tidak tahu siapa ibu
Dengan cepat aku keluar agar suasana tidak semakin canggung. Monica hanya diam, dia bahkan tak berani memandang abang Brayen. Monica terus menunduk malu hanya sekedar menatap abang angkat kami itu."Kok pada diam?" tanyaku mulai basa basi keluar dari kamar mandi."Biasa aja, soalnya gak enak sama adik bayi," jawab abang Brayen. Itu bukan tidak enak, itu namanya salah tingkah. Aku hanya bisa membatin melihat tingkah mereka yang kurasa aneh. Namun, tak ada salahnya mengikuti saran Gendis mengerjai abang Brayen."Kenal dimana sama calonnya, Monica?" tanyaku sengaja."Rahasia, Abang kepo sekali," jawabnya. Abang Brayen melotot ke arahku. Cukup mencurigakan."Terus abang yang jomlo kapan rencananya?" "Kapan-kapan, kepo sekali jadi orang," balasnya. Astagfirullah, ini aku yang salah atau bagaimana. Misi dari Gendis gagal. Entah mengapa aku juga tidak punya kosakata mengerjai mereka. Di tengah mereka, aku ikut canggung berada di tengah mereka. "Kami pulang dulu," ucapnya kompak. Diih, ya
"Suamiku ...." Kembali dia berucap membuat Gendis merasa marah."Bahkan ketika dia begini pun dia masih ingin menghancurkan pernikahan kita," ucap Gendis penuh amarah.Dia hanya menatap kami dengan tatapan kosong. Tak ada lagi kejayaan yang nampak pada dirinya. Dia seperti tak terurus. Namun, dia yang terus memandangku membuatku bergidik ngeri. Segala sesuatu itu ada masanya, lalu apa yang kita banggakan ketika sombong? Bahkan semuanya akan kembali ke titik nol, kesombongan yang kita lakukan hanyalah memberi kedukaan selamanya di hati orang lain."Ayo kita pulang, Bang. Bikin hati kesal saja," balas Gendis. Seperti kata orang, istri akan marah tak jelas jika melihat suaminya didekati meski dalam mimpi sekali pun. Wanita memang selalu benar, tak boleh di salahkan. Niat Gendis yang awalnya begitu menggebu-gebu sirna melihat kakaknya maju dan membelaiku. Entah apa yang ada di pikiran Ana yang tiba-tiba membelaiku."Lepaskan suamiku, Mbak. Jangan pernah sentuh dia," balas Gendis. Mula
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa