POV GendisAku membuka mata, kulihat kang Maman dan istrinya berada di dekatku. Cantika sedang digendongnya. Namun, terasa ada yang kurang, tak ada Shaka kulihat. Aku masih berusaha untuk berpikir kejadian yang menimpa kami, cukup cepat aku rasakan. Kcelakaan naas itu begitu mengerikan, aku teringat dengan mimpi yang kualami. "Alhamdulillah, Nona sudah sadar," ucap istrinya kang Maman. Aku hanya membalas dengan senyuman. Entah berapa lama aku tertidur di tempat ini. Cantika menciumku, rona bahagia terlihat di wajahnya. Kasihan sekali Cantika, dia bahkan mengalami kejadian demi kejadian di usianya yang masih kecil."Ayahnya Cantika mana, ya, Bu?" tanyaku. Tak ingin kutahan gejolak di dada ini. Kang Maman dan Istrinya hanya diam, mereka terlihat bingung ketika aku bertanya. Sepertinya ujian demi ujian rumah tangga kami belum usai. Aku kira cukup kemarin kami melalui ujian demi ujian. Ternyata masih terus berlanjut. Bahkan kami belum meneguk manisnya madu pernikahan ini. "Maaf, Non.
"Gendis?" tanyaku lagi. Jujur aku dibuat bingung.Dia bingung melihatku yang bertanya. Apa aku kenal dengan dia sebelumnya. Mengapa dia begitu percaya diri di dekatku. Dia diam dan terlihat bingung. Langkah terdengar dari luar, dari suaranya itu pasti Ana yang menuju kamar ini. Wanita yang bernama Gendis ini langsung memakai masker dan kacamatanya.Ana masuk dan melihat Gendis dari bawah sampai atas. Dia nampak curiga dengan Gendis yang dirasa mungkin aneh. Aku saja sangat aneh dengan Gendis yang ternyata dia seorang perempuan."Dokter Rayyandra akan pulang sore ini, aku harap kamu bisa segera menyembuhkan suamiku. Dia mau makan yang teratur pastinya," ucap Ana dengan sifat arogannya. Gendis hanya mengangguk pelan, kami dalam bahaya jika dokter Rayyandra pulang. Lalu Gendis ini siapa, bahkan Dokter Rayyandra alias Abang Brayen belum menjelaskan. Si Ana melihat makanan yang ada di kamarku ini. Dia semakin curiga melihat ada makanan di mejaku."Kamu yang membawakan makanan ini ke sua
"Maksudmu?" tanyaku kmbali."Aku istri sahmu, Tuan Shaka," balasnya dengan penuh senyuman. Jadi, dia adalah istri sahku? Kepalaku dibuat pusing. Walau jujur ada secercah harapan yang kurasa."Kalian sedang apa?" tanya Ana yang tiba-tiba di belakang kami. Kami langsung terdiam, Gendis apalagi dia nampak ketakutan. Apa Ana melihat kami lewat CCTV nya cepat selali dia datang. Dengan cepat Gendis kembali ke tempatnya. Jadi Gendis adalah istriku? Meski aku lupa ingatan, tapi ada rasa nyaman di hatiku bersamanya. Kucuri lagi pandang padanya, rasanya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata ada bahagia yang kurasakan di hatiku. Gendis keluar karena Ana di dalam kamar. Lagi, kulihat dia yang sudah menjauh, rasanya tak ingin berjauhan. Aku seperti merasakanjatuh cinta kembali, meski sebelumnya hatiku terasa kosong yang kurasa."Kenapa kamu melihat asisten itu?" tanya Ana yang kurasa sangat ketus."Itu hanya prasangkamu saja sepertinya," balasku. Si Ana ini berbahaya, jadi kita harus berhati-h
Mendengar suara itu, kami langsung memposisikan diri kembali. Untung masker Gendis tidak terbuka. Ternyata yang datang adalah dokter yang biasa menjagaku."Santai saja, dokter Rayyan itu senior saya. Dia sudah menceritakan semuanya," ungkapnya.Kami langsung bernapas lega. Abang Brayen memang luar biasa, sulit untuk ditebak."Obat yang dikirim Ana sudah datang, itu obat dosisnya sangat tinggi, bisa merusak syaraf," sambungnya."Maksudnya?" tanya Gendis."Dia ingin merusak Shaka secara perlahan, merusak otaknya lalu mengambil hartanya.""Jahat sekali mbak Ana. Mengerikan," balas Gendis."Nanti saya tukar pakai vitamin."Lagi, aku bernapas lega. Masih ada orang baik yang mengelilingi kami."Sebaiknya fokus untuk kabur saja dulu," jelasnya."Bagaimana dengan suamiku yang masih belum pulih ingatannya?" tanya Gendis."Tuan bisa pulih kembali, karena dia hilang ingatan sementara. Di alam bawah sadarnya dia menyadari. Hanya mengenal orang, dia masih butuh waktu.""Tapj aku mendadak oon rasan
"Mas sudah sadar?" tanyanya penuh kebingungan. Sekarang aku juga ikut bingung, darimana aku tahu nama lengkapnya. Berarti apakah aku sudah sepenuhnya sadar?"Bukannya itu namamu?" tanyaku pura-pura mengalihkan. Wajahnya langsung berubah, terlihat ada senyuman kelegaan. Bahkan jarum ditangannya dia cabut pelan-pelan. Benar-benar meresahkan."Tidurlah ... biar aku yang keluar, " ucapnya lagi seperti merayuku. Secepat itu dia menjadi orang lemah."Oke, jika kamu melakukan seperti yang tadi, aku tidak segan-segan kabur dari rumah ini!" tegasku. Wajahnya kembali berubah entah dia setuju atau tidak, tapi dia seperti mengabaikanku. Dengan kaki tertatih dia keluar dari kamar ini. Aku pun kembali ke tempat tidur di kamar ini. Ranjang di kamar ini sangat luas bisa ditempati oleh dua atau tiga orang."Kurasa dia wanita yang kesepian, kasian." Aku hanya membatin melihat tingkahnya yang diluar akal sehat.Berharap Gendis yang datang di kamar ini. Aku ingin menceritakan jika aku sudah sadar dan m
"Nyonya!" teriak mereka tak kalah panik."Abang, cepat lari!" teriak Gendis yang ternyata ada di belakangku. Dia menarik tanganku yang tiba-tiba bengong begitu saja. Aku bersyukur Gendis ternyata masih selamat.Aku menyambut tangannya dan segera berlari ssekuat tenaga. Jumlah mereka sangat banyak membuat kami berdua panik."Kejar mereka!" teriak Ana. Sial, kami di kepung. Kami terus berlari melewati pepohonan untuk sampai di tepi pantai tempat kapal menunggu kami. Suasana mencekam membuat napas ini seperti kesulitan. "Berhenti kalian!" teriak mereka. Apa si Ana itu menyewa Mafia, jumlah mereka semakin banyak. Kami seperti dikepung dari berbagai arah.Kami berlari sampai terasa ngos-ngosan. Gendis pun terlihat kelelahan. Mereka terus mengejar kami, sesekali lemparan mereka lakukan. Ini aku yang lemah atau Gendis memang kuat, dia justru yang menarik tanganku agar cepat berlari."Bang dikit lagi!" Gendis menyemangatiku. Namun, aku benar-benar kelelahan. Selain itu, mungkin efek sakitk
Dendam lama? Maksudnya? Apakah ini karena bunda menolak om Gunawan, jadi dia balas dendam saat ini? Aku bahkan dipaksa berfikir, padahal baru saja merasakan kejadian yang begitu menakutkan. "Ayo kita pulang dulu, kalian butuh istirahat," ucap bunda mengingatkan kami. Terlalu banyak yang ada di pikiranku. Sepertinya memori di kepalaku ini harus segera dituangkan. Bahkan, Bunda dan daddy tinggal dimana sekarang aku pun tak tahu. "Perjalanan sangat jauh, kalian tidurlah," sambung daddy. Selama di perjalanan karena mengantuk, aku pun tertidur pulas. Menurut bunda perjalanan ini hampir membutuhkan waktu lima jam. Daerah ini memang sangat jauh dari perkumpulan warga. Desa demi desa tentu akan kami lewati dan itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Gendis juga tertidur pulas. Jujur, aku kasihan dengannya. Menurutku di sini, dia yang paling terluka diantara kami. Mungkin saatnya dia bahagia menjadi istriku. Bahagia menjadi bagian Adytama. Lagi, kurangkul dan kukecup keningnya karena dia b
Aku terus mempelajari semua yang diberikan daddy, mereka semua kompak membantuku untuk melawan keluarga Ana. Selain itu, Gendis berperan penting pada misi kali ini. Mungkin sebelumnya Gendis masih punya rasa khawatir jika membantu kami. Bukan tanpa sebab, itu karena dia pasti takut melawan ayahnya.Kali ini dia mengambil peran lebih besar, kami bahkan diminta untuk berkumpul di ruang tamu membicarakan kelanjutan untuk merebut perusahaan kembali, perusahaan atas namaku bahkan di klaim oleh Ana menjadi miliknya. Satu persatu laporan ini kubaca dengan teliti, aku yang sudah tidak pernah bekerja rasanya sangat berat. Sesekali Cantika mengangguku membuat semangat ini terus tumbuh. Ada Gendis juga membuka laporan yang masuk di perusahaan Ana. "Kamu keren Gendis," ucap abang Brayen. Iya, dia memang keren, tangannya bahkan begitu lancar ketika di depan laptop. Bahkan dengan kemampuannya dia mampu membuat perusahaan Atmadja ketar-ketir."Sepertinya mereka sudah mencoba masuk untuk mengambil
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa