Reza berhenti lalu mengambil bola yang menggelinding ke arahnya.
"Mau ambil ini?" tanyanya, Shaka mengangguk."Mainnya pelan-pelan, ya, ganteng.""Oke." Shaka mengangkat jempolnya membuat semua yang bersama Reza tertawa melihat ulahnya Shaka. Yah, bagaimana tidak tertawa mereka kan sedarah pasti ada kesamaan. Kadang kalau melihat Shaka aku sering mengingat Brayen yang mirip dengan daddy nya.Dokter Gunawan ikut menemani Shaka bermain sambil kami bercerita banyak hal meski tuan terhormat memasang tampang tidak suka melihat dokter Gunawan yang mencari perhatian padaku dan Shaka. Memang enak dicueki. Entah apa yang dilihat di lahan ini, perasaan tak ada yang istimewa di lahan kosong ini, tapi dia terus berputar kesana kemari yang justru lucu menurutku.Para gadis di kampung ini terus mencuri pandang kepadanya. Ah, bukan Reza namanya kalau tidak cari perhatian dimana-mana. "Bagaimana melihatnya setelah s"Anda memang pernah berhak atas hidupku karena anda adalah suamiku. Tapi itu dulu, tuan." Kulepas pelukannya begitu saja dan ingin segera masuk ke rumah. Namun, lagi-lagi tanganku dicekal olehnya. "Maafkan aku, Nin ...." Suaranya begitu serak seperti seseorang yang sedang terluka. "Aku memang salah telah menyakitimu," sambungnya lagi. Tanganku masih dipegang olehnya. Kali ini aku yang bingung bagaimana harus menjawabnya. "Pulanglah ... aku ingin istirahat," jawabku. "Sebelum masuk jawab dulu pertanyaanku, Nin." "Apa lagi tuan terhormat?"
"Kata tuan, semoga perasaan nyonya tidak berubah seperti bunga edelweiss ini yang tak pernah mati disetiap musim." Astagfirullah apa-apaan si Reza ini. Bikin malu saja. Mau taruh dimana coba mukaku yang sudah merah ini.Farhan berlalu dan aku masih bengong tak percaya Reza senekat ini. Dari jauh dia mengedipkan mata sambil tangannya berbentuk finger love, itu orang maksudnya apa coba. Sok romantis sekali."Nona tau ga? Konon, edelweiss menjadi simbol cinta sejati, karena mekar dan tidak layu dalam waktu yang lama. Mitos tentang bunga edelweis ini berkembang ketika seseorang memberikan bunga ini pada kekasihnya, maka hubungan dari pasangan kekasih tersebut pun akan abadi." Fatia sudah seperti guru biologi yang menjelaskan bunga edelweiss. Eh, pakai bawa mitos segala.Tak ingin diserbu warga aku pun masuk ke rumah bersama Shaka. Sampai digosipin untuk hati-hati nanti dijadikan istri kedua. Wooi, aku neh bukan istri keduanya, tapi istri sahnya yang sudah dini
Fatia turut mundur tak berani ikut campur, bukannya yang mau konseling artis kesayangan Fatia, kenapa justru tuan terhormat yang datang atau jangan-jangan Fatia ada andil disini. Hm, awas aja kalau benar."Iya, aku memang meminta modelku yang daftar, hanya itu aku bisa bertatap muka langsung denganmu."Hening.Sekarang aku yang bingung memulai darimana pembicaraan ini. Rasanya hatiku masih sakit dengan perlakuannya tiga tahun yang lalu."Maafkan aku ...." kenapa dia jadi mellow begini."Aku memang salah, tapi harusnya sebelum menghilang kau bertanya dulu padaku bukan pergi menjauh dariku begitu saja.""Bagaimana aku masih bisa berfikir waras jika sikapmu seperti itu, selalu menyakitiku." Aku langsung membela diri."Kapan aku menyakitimu ...?"Lagi, dia merasa tidak pernah tersakiti. Begini orang yang selalu hidup bergelimang harta. Kebiasaan semua keinginannya harus dituruti.
Bahkan dikesempatan kedua pun aku masih menyisakan rasa untukmu. Rasa yang harusnya ingin kukubur hingga tak ingin bertemu denganmu lagi. Namun, lagi lagi aku tak bisa mengelak rasa yang ada dihatiku."Maafkan aku yang selalu membuatmu terluka, Nin. Aku tidak ingin jadi gila karena kehilanganmu lagi, aku sadar aku adalah manusia biasa yang masih banyak egoAku berharap kau paham akan itu ...." Dia masih duduk berlutut denganku."Aku bukan tidak paham, tapi tidak mudah bagiku untuk menerima tuan kembali.""Apakah tidak ada kesempatan yang kedua untukku, Nin."Kali ini aku yang dilema. Bahkan dikesempatan yang kedua pun aku masih menyisakan rasa untuknya. Apa serapuh ini aku padanya.&nbs
Entah mengapa aku selalu merasa nyaman dengan dokter Gunawan. Dia selalu bijak memberiku sebuah gambaran untuk kebaikan di masa depanku.Kadang diam pun bukan mengurangi masalah yang ada justru bisa jadi menambah masalah yang baru tanpa ada penyelesaian. Saatnya bagiku berpikir bijak untuk hal ini. Bersama atau berpisah."Bahkan aku siap untuk menjadi penopang dalam hidupmu, dik. Jika Reza kembali mengecewakanmu," sambung dokter Gunawan dengan mantap."Tapi aku tidak akan melepaskan istriku sedikit pun dokter jomlo!" siapa lagi yang berteriak kalau bukan tuan Reza yang terhormat. Dia menenteng dua bungkus makanan. Martabak manis dan martabak telur dia bawa. Niat sekali memang itu orang."Kenapa dokter begitu pucat sekali, sebaik nya dokter istirahat daripada menganggu istri orang." Idiih benar-benar ini orang, Fatia justru senyum-senyum tidak jelas lucu kali melihat dua laki-laki keren yang memperebutkanku.Dua bungkus mak
Tak ingin tetangga berpikir yang tidak-tidak aku terpaksa membangunkannya. Aku bahkan yakin dia hanya pura-pura tidur disamping Shaka."Bangun ...." Dia semakin memeluk erat Shaka."Tuan terhormat, bangun!" aku berteriak sedikit keras ditelinganya. Tak kuat dia akhirnya bangun juga."Ada apa lagi, sayang. Hm?" Ya Allah benar-benar menguji iman ini orang."Sayang, sayang, cepat pulang sana!" Teriakku ketus, benar-benar bikin emosi ini orang."Sabar, sayang. Abang gak akan kemana-mana kok. Sini peluk abang." Astagfirullah benar-benar pecicilan ini si bos resek.Kutarik tangannya, bukan marah dia malah tergelak terta
"Biarkan Nina memilih yang terbaik untuk hidupnya, tidak mudah baginya untuk bertahan sampai saat ini. Jika tuan Adytama cinta, dekati pelan-pelan karena dia sangat mencintai suaminya terlepas dari bagaimana sikapnya selama ini." Ucapan dokter Gunawan memang sangat bijak dan pemikirannya lebih dewasa, pantas Nina merasa nyaman berada di sampingnya. "Jika dia menolakku, maukah pak dokter yang menjaganya." "Bahkan belum tuan minta aku sudah mau. Namun, sayangnya Nina tidak melirikku sedikit pun. Jangan cepat menyerah lah, kejer ampe dapat. Kata orang pepet terus." Dia berucap sambil tersenyum. Tidak salah aku mampir ke tempat penginapannya. Entah mengapa ada secercah harapan dihatiku. Tak sabar menunggu sampai besok. "Semoga berhasil tuan Adytama karena aku juga sudah siap menggantikanmu lahir dan batin." Idiih ini dokter setelah memberi harapan melambung ke udara dia langsung begitu saja menghempaskanku ke bumi.
Malamnya aku sama sekali tidak bisa tidur. Sesekali kupandang bingkisan dari Reza. Aku benar-benar dibuat dilema olehnya. Bingkisan itu berisi gaun putih yang cantik sekali Kombinasi satin dan floral, dilengkapi dengan sepatu hak tinggi. Niat sekali agar aku datang ke tempat peresmiannya. Stelan Shaka juga tak kalah menarik sangat pas dan cocok untuk Shaka jika dipakai. "Gaunnya jangan cuma dilihat saja, nona sayangku." Hm, mulai dah Fatia inih, dia begitu pro dengan mantan tuannya. "Kalau aku jadi nona, aku akan melupakan masa lalu dan kembali pada tuan. Walau bagaimana pun dia juga sama tersiksanya dengan nona." Sejak kapan dia jadi pengamat tuannya si Fatia inih. Jadi semakin mumet bagaimana harus memutuskan. Aku tidak bisa begitu mudah memaafkan, sementara luka yang kurasakan begitu dalam olehnya.
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat