Fatia turut mundur tak berani ikut campur, bukannya yang mau konseling artis kesayangan Fatia, kenapa justru tuan terhormat yang datang atau jangan-jangan Fatia ada andil disini. Hm, awas aja kalau benar.
"Iya, aku memang meminta modelku yang daftar, hanya itu aku bisa bertatap muka langsung denganmu."Hening.Sekarang aku yang bingung memulai darimana pembicaraan ini. Rasanya hatiku masih sakit dengan perlakuannya tiga tahun yang lalu."Maafkan aku ...." kenapa dia jadi mellow begini."Aku memang salah, tapi harusnya sebelum menghilang kau bertanya dulu padaku bukan pergi menjauh dariku begitu saja.""Bagaimana aku masih bisa berfikir waras jika sikapmu seperti itu, selalu menyakitiku." Aku langsung membela diri."Kapan aku menyakitimu ...?"Lagi, dia merasa tidak pernah tersakiti. Begini orang yang selalu hidup bergelimang harta. Kebiasaan semua keinginannya harus dituruti.Bahkan dikesempatan kedua pun aku masih menyisakan rasa untukmu. Rasa yang harusnya ingin kukubur hingga tak ingin bertemu denganmu lagi. Namun, lagi lagi aku tak bisa mengelak rasa yang ada dihatiku."Maafkan aku yang selalu membuatmu terluka, Nin. Aku tidak ingin jadi gila karena kehilanganmu lagi, aku sadar aku adalah manusia biasa yang masih banyak egoAku berharap kau paham akan itu ...." Dia masih duduk berlutut denganku."Aku bukan tidak paham, tapi tidak mudah bagiku untuk menerima tuan kembali.""Apakah tidak ada kesempatan yang kedua untukku, Nin."Kali ini aku yang dilema. Bahkan dikesempatan yang kedua pun aku masih menyisakan rasa untuknya. Apa serapuh ini aku padanya.&nbs
Entah mengapa aku selalu merasa nyaman dengan dokter Gunawan. Dia selalu bijak memberiku sebuah gambaran untuk kebaikan di masa depanku.Kadang diam pun bukan mengurangi masalah yang ada justru bisa jadi menambah masalah yang baru tanpa ada penyelesaian. Saatnya bagiku berpikir bijak untuk hal ini. Bersama atau berpisah."Bahkan aku siap untuk menjadi penopang dalam hidupmu, dik. Jika Reza kembali mengecewakanmu," sambung dokter Gunawan dengan mantap."Tapi aku tidak akan melepaskan istriku sedikit pun dokter jomlo!" siapa lagi yang berteriak kalau bukan tuan Reza yang terhormat. Dia menenteng dua bungkus makanan. Martabak manis dan martabak telur dia bawa. Niat sekali memang itu orang."Kenapa dokter begitu pucat sekali, sebaik nya dokter istirahat daripada menganggu istri orang." Idiih benar-benar ini orang, Fatia justru senyum-senyum tidak jelas lucu kali melihat dua laki-laki keren yang memperebutkanku.Dua bungkus mak
Tak ingin tetangga berpikir yang tidak-tidak aku terpaksa membangunkannya. Aku bahkan yakin dia hanya pura-pura tidur disamping Shaka."Bangun ...." Dia semakin memeluk erat Shaka."Tuan terhormat, bangun!" aku berteriak sedikit keras ditelinganya. Tak kuat dia akhirnya bangun juga."Ada apa lagi, sayang. Hm?" Ya Allah benar-benar menguji iman ini orang."Sayang, sayang, cepat pulang sana!" Teriakku ketus, benar-benar bikin emosi ini orang."Sabar, sayang. Abang gak akan kemana-mana kok. Sini peluk abang." Astagfirullah benar-benar pecicilan ini si bos resek.Kutarik tangannya, bukan marah dia malah tergelak terta
"Biarkan Nina memilih yang terbaik untuk hidupnya, tidak mudah baginya untuk bertahan sampai saat ini. Jika tuan Adytama cinta, dekati pelan-pelan karena dia sangat mencintai suaminya terlepas dari bagaimana sikapnya selama ini." Ucapan dokter Gunawan memang sangat bijak dan pemikirannya lebih dewasa, pantas Nina merasa nyaman berada di sampingnya. "Jika dia menolakku, maukah pak dokter yang menjaganya." "Bahkan belum tuan minta aku sudah mau. Namun, sayangnya Nina tidak melirikku sedikit pun. Jangan cepat menyerah lah, kejer ampe dapat. Kata orang pepet terus." Dia berucap sambil tersenyum. Tidak salah aku mampir ke tempat penginapannya. Entah mengapa ada secercah harapan dihatiku. Tak sabar menunggu sampai besok. "Semoga berhasil tuan Adytama karena aku juga sudah siap menggantikanmu lahir dan batin." Idiih ini dokter setelah memberi harapan melambung ke udara dia langsung begitu saja menghempaskanku ke bumi.
Malamnya aku sama sekali tidak bisa tidur. Sesekali kupandang bingkisan dari Reza. Aku benar-benar dibuat dilema olehnya. Bingkisan itu berisi gaun putih yang cantik sekali Kombinasi satin dan floral, dilengkapi dengan sepatu hak tinggi. Niat sekali agar aku datang ke tempat peresmiannya. Stelan Shaka juga tak kalah menarik sangat pas dan cocok untuk Shaka jika dipakai. "Gaunnya jangan cuma dilihat saja, nona sayangku." Hm, mulai dah Fatia inih, dia begitu pro dengan mantan tuannya. "Kalau aku jadi nona, aku akan melupakan masa lalu dan kembali pada tuan. Walau bagaimana pun dia juga sama tersiksanya dengan nona." Sejak kapan dia jadi pengamat tuannya si Fatia inih. Jadi semakin mumet bagaimana harus memutuskan. Aku tidak bisa begitu mudah memaafkan, sementara luka yang kurasakan begitu dalam olehnya.
"Kenalkan aku Pricilia kak, boleh kita bicara sebentar," ucapnya melemah. Ada nada memohon di suaranya."Boleh, mari silahkan masuk," jawabku halus.Kami duduk berdua, Shaka masih bermain mobil-mobilan di teras. Fatia langsung menuju dapur untuk menyiapkan ala kadarnya."Kak, maafkan aku sebelumnya yang datang tanpa ada pemberitahuan." Aku hanya membalas dengan senyuman."Kak Reza sebenarnya sangat mencintai kakak. Beberapa kali aku merayunya dia selalu menolak." Aku hanya menyimak apa yang diucapkan, dilihat dari arah dekat Pricilia ini masih muda dan sangat cantik sekali."Malam itu aku menaruh obat perangsang dan memberikan kak Reza alkohol. Aku sebenarnya tahu kak Reza adalah orang yang anti alkohol, tapi karena aku nekat dan tujuanku ingin mendapatkan hatinya akhirnya aku melakukannya tanpa sepengetahuannya. Dan ternyata kak Reza masuk ke dalam perangkapku hingga dia meminum alkohol y
Mungkin hadirnya pernah memberimu luka. Namun, jika dia datang kembali membawa sejuta cinta maka kau layak untuk bahagia dengannya. ~Ummi Salmiah****"Sudah, ayo kita keluar, kasihan warga sudah menunggu tuan." Kulepas pelukannya agar dia sadar bahwa banyak yang menunggunya di luar."Kok tuan, tadi bilang sayangku," ucapnya sambil mencubit hidungku. Ih, ini orang bikin baper saja."Malu sama umur," sambungku. Tak mau kalah ku acak-acak rambutnya."Bilang sayang dulu baru abang mau keluar." Tu kan mulai lagi dah ini orang."Ayo, bilang. Abang nunggu nih, atau kita disini saja gak usah keluar." Hm, mulai lagi dah ini orang.
"Dia adalah istri saya yang saya cari selama ini. Jika warga tidak percaya aku akan tunjukkan buku nikah kami berdua yang sudah berlangsung tiga tahun yang lalu." Farhan maju dan langsung membuka amplop yang berisi buku nikah kami berdua. Kuakui dia hebat dalam hal ini mampu memikirkan segala konsekuensinya. "Aku sangat bersyukur dia menjaga fitrahnya sebagai istri saya disini. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada warga yang telah menjaga istri dan anak saya kurang lebih tiga tahun ini." Dia kembali memandangku. Aku benar-benar dibuat salah tingkah olehnya. Kembali lagi dia merangkulku. "Hotel ini aku beri nama SHAKA sebagai simbol tanah kelahiran anak saya disini. " Gemuruh tepuk tangan mengakhiri pidato sambutan dari Reza. "Ada yang mau disampaikan sayang?" tanya Reza, aku hanya menggeleng. "Sudah cukup sayang, kamu luar biasa hari ini," ucapku membuat wajahnya merah merona. Ini aku apa dia si
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa