"Kenalkan aku Pricilia kak, boleh kita bicara sebentar," ucapnya melemah. Ada nada memohon di suaranya.
"Boleh, mari silahkan masuk," jawabku halus.
Kami duduk berdua, Shaka masih bermain mobil-mobilan di teras. Fatia langsung menuju dapur untuk menyiapkan ala kadarnya.
"Kak, maafkan aku sebelumnya yang datang tanpa ada pemberitahuan." Aku hanya membalas dengan senyuman."Kak Reza sebenarnya sangat mencintai kakak. Beberapa kali aku merayunya dia selalu menolak." Aku hanya menyimak apa yang diucapkan, dilihat dari arah dekat Pricilia ini masih muda dan sangat cantik sekali."Malam itu aku menaruh obat perangsang dan memberikan kak Reza alkohol. Aku sebenarnya tahu kak Reza adalah orang yang anti alkohol, tapi karena aku nekat dan tujuanku ingin mendapatkan hatinya akhirnya aku melakukannya tanpa sepengetahuannya. Dan ternyata kak Reza masuk ke dalam perangkapku hingga dia meminum alkohol y
Mungkin hadirnya pernah memberimu luka. Namun, jika dia datang kembali membawa sejuta cinta maka kau layak untuk bahagia dengannya. ~Ummi Salmiah****"Sudah, ayo kita keluar, kasihan warga sudah menunggu tuan." Kulepas pelukannya agar dia sadar bahwa banyak yang menunggunya di luar."Kok tuan, tadi bilang sayangku," ucapnya sambil mencubit hidungku. Ih, ini orang bikin baper saja."Malu sama umur," sambungku. Tak mau kalah ku acak-acak rambutnya."Bilang sayang dulu baru abang mau keluar." Tu kan mulai lagi dah ini orang."Ayo, bilang. Abang nunggu nih, atau kita disini saja gak usah keluar." Hm, mulai lagi dah ini orang.
"Dia adalah istri saya yang saya cari selama ini. Jika warga tidak percaya aku akan tunjukkan buku nikah kami berdua yang sudah berlangsung tiga tahun yang lalu." Farhan maju dan langsung membuka amplop yang berisi buku nikah kami berdua. Kuakui dia hebat dalam hal ini mampu memikirkan segala konsekuensinya. "Aku sangat bersyukur dia menjaga fitrahnya sebagai istri saya disini. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada warga yang telah menjaga istri dan anak saya kurang lebih tiga tahun ini." Dia kembali memandangku. Aku benar-benar dibuat salah tingkah olehnya. Kembali lagi dia merangkulku. "Hotel ini aku beri nama SHAKA sebagai simbol tanah kelahiran anak saya disini. " Gemuruh tepuk tangan mengakhiri pidato sambutan dari Reza. "Ada yang mau disampaikan sayang?" tanya Reza, aku hanya menggeleng. "Sudah cukup sayang, kamu luar biasa hari ini," ucapku membuat wajahnya merah merona. Ini aku apa dia si
Kebucinan Reza semakin menjadi -jadi. Sesekali dia memandang tak henti seperti orang yang lagi kasmaran berat. Untungnya ada Shaka yang datang menjadi penengah kami."Nin ....""Hm ...." Aku jadi geli karena dia sudah persis kek abege labil."Jadwal kepulanganku dua hari lagi, apa kalian mau ikut denganku?" tanyanya.Hening.Sekarang aku mulai galau lagi. Antara ikut atau tidak dengannya."Aku tahu ini berat untukmu, tapi maukah kalian ikut," ucapnya lagi menyakinkanku. Dia terlihat lesu, takut aku tidak mau ikut dengannya.&nbs
"Gak apa-apa sayang, ini kita baru sampai juga,"jawabku. Entah mengapa rasanya puas melihat para emak lovers tak berkutik."Sayang aku beli banyak sekali cemilan, sekalian kasih tetangga yang di depan sayang juga," ujar Reza sambil mengambil Shaka dari gendonganku. Farhan dan beberapa pengawal membawa banyak cemilan. Eh, dia niat sekali borong belanjaan orang sekalian saja dia pindahin tokonya orang ampe beli cemilan sebanyak ini.Kuberikan sama-sama satu kantong plastik yang berisi makanan ke bu Asih dan bu Kamal. Dengan malu-malu mereka mengambilnya. Kuakui si Reza memang hal beginian nomor satu dalam menangani."Kenapa beli banyak sekali cemilan abang?!""Hahaha ... makanya lain kali lihat peluang, sayang," jawabnya."Peluang apa sampai beli cemilan orang satu toko." Eh, dia makin tertawa tidak jelas."Sayang dimana pun kita berada, kita harus pandai mengatur strategi. Kita tidak tahu hati manusia kadang yang baik itu bi
"Sayang kata Farhan aktivitas wisata Gili Trawangan yang wajib dicoba adalah melihat matahari terbit dan terbenam.""Iya, kah?""Iya, sayang, di Gili Trawangan dijamin akan betah karena pulau ini sangat bersih dan bebas polusi. Di mana pemerintah daerah melarang penggunaan kendaraan bermotor di pulau ini. Sehingga aktivitas di pulau ini banyak dilakukan dengan jalan kaki atau naik sepeda saja."Rasanya sudah tak sabar menikmati liburan ini. Shaka berada di pangkuan Reza. Rasanya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tak bisa diungkapkan.Pelangi akan selalu muncul setelah hujan begitu yang aku rasakan. Kesulitan dan kesusahan yang kemarin rasanya masih seperti mimpi dapat merasakan bahagia seperti yang kami rasakan saat ini. Reza sesekali mencium tanganku, sesekali mengecup meningku tak peduli dengan Fatia dan Farhan yang masih malu-malu melihat kami.Sampai di lokasi Farhan langsung cek in k
Reza Masih mengatur nafas masih tidak percaya jika Sisca melabrakku."Kenapa bisa sekertaris keluyuran kayak gitu sayang?" tanyaku, jujur aku juga sangat kesal dengan ulah Sisca."Dia memang mengajukan cuti dua hari, katanya ingin libur mumpung abang lagi ada di luar daerah, tapi tidak percaya saja jika dia ada di sekitar sini.""Terus kenapa sih, harus dia yang jadi sekertaris abang?" tanyaku, eh, dia malah tersenyum melihat wajahku yang cemberut tidak jelas."Dia itu anak dari salah satu investor kita, sayang. Papanya yang meminta menjadi sekertarisku sekalian melatih dia untuk bisa dalam urusan kantor. Gak nyangka saja dia berani sekali sampai melabrak istri abang yang manis ini."
"Yang penting mbak jangan lari dariku saja." Aku langsung mencubit hidungnya, aku benar-benar bersyukur memiliki Fatia. Seperti apa mungkin hidupku, jika Fatia tidak menemaniku.Rezeki itu tidak hanya berbentuk materi saja. Namun, memiliki orang yang peduli dan benar-benar sayang juga termasuk Rezeki tak terduga.Tak lama diskusi, pintu diketuk oleh seseorang."Sudah berhenti gosipin abang, sayang?" Hm, mulai dah si abang bucin datang. Dia langsung mengangkat Shaka yang tertidur pulas. Meski Fatia maksa agar Shaka tidur sekamar dengannya."Lagi diskusi apa, sayang?" tanya tuan yang begitu kepo."Lagi diskusi masa depan sayang," jawabku sambil mengeluarkan senyuman termanis."Udah mulai pintar istri abang." Eh, jilbabku diusap-usap sampai berantakan.Kami benar-benar kelelahan, sebelum kembali ke kamar masing-masing sebelum magrib Reza menga
Rasanya masih tidak percaya ayah semarah ini. Dulu dia yang begitu semangat menjodohkanku, sekarang dia pun yang begitu memaksaku agar berpisah dari Reza. Situasi yang sulit tidak mungkin aku memilih diantara mereka. Dua laki-laki yang sangat berharga untukku."Maafkan aku, ayah. Beri aku kesempatan yang kedua." Reza duduk memohon di hadapan ayahku. Namun, ayah tak bergeming sama sekali."Kesempatan itu hanya datang satu kali, cukup satu kali bagi kamu menelantarkan anakku," ucap ayah. Ada nada emosi di suara ayah kali ini. Aku sekarang yang bingung. Baru saja kami merasakan kebahagiaan sebagai sepasang suami istri. Baru saja cinta itu bersemi di hati kami berdua.Reza melihatku seperti memaksa agar aku tetap berada disampingnya. Namun, aku juga bingung bagaimana. Apalagi ayah sudah memasukkan koperku ke taksi yang menjemput kami."Ayo, Nin. Kita pulang," sahut ayah yang membuatku semakin bingung. Aku pun tak bergeming, aku hanya terus melihat Reza yang t
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat