"Yang penting mbak jangan lari dariku saja." Aku langsung mencubit hidungnya, aku benar-benar bersyukur memiliki Fatia. Seperti apa mungkin hidupku, jika Fatia tidak menemaniku.
Rezeki itu tidak hanya berbentuk materi saja. Namun, memiliki orang yang peduli dan benar-benar sayang juga termasuk Rezeki tak terduga.
Tak lama diskusi, pintu diketuk oleh seseorang.
"Sudah berhenti gosipin abang, sayang?" Hm, mulai dah si abang bucin datang. Dia langsung mengangkat Shaka yang tertidur pulas. Meski Fatia maksa agar Shaka tidur sekamar dengannya.
"Lagi diskusi apa, sayang?" tanya tuan yang begitu kepo.
"Lagi diskusi masa depan sayang," jawabku sambil mengeluarkan senyuman termanis.
"Udah mulai pintar istri abang." Eh, jilbabku diusap-usap sampai berantakan.
Kami benar-benar kelelahan, sebelum kembali ke kamar masing-masing sebelum magrib Reza menga
Rasanya masih tidak percaya ayah semarah ini. Dulu dia yang begitu semangat menjodohkanku, sekarang dia pun yang begitu memaksaku agar berpisah dari Reza. Situasi yang sulit tidak mungkin aku memilih diantara mereka. Dua laki-laki yang sangat berharga untukku."Maafkan aku, ayah. Beri aku kesempatan yang kedua." Reza duduk memohon di hadapan ayahku. Namun, ayah tak bergeming sama sekali."Kesempatan itu hanya datang satu kali, cukup satu kali bagi kamu menelantarkan anakku," ucap ayah. Ada nada emosi di suara ayah kali ini. Aku sekarang yang bingung. Baru saja kami merasakan kebahagiaan sebagai sepasang suami istri. Baru saja cinta itu bersemi di hati kami berdua.Reza melihatku seperti memaksa agar aku tetap berada disampingnya. Namun, aku juga bingung bagaimana. Apalagi ayah sudah memasukkan koperku ke taksi yang menjemput kami."Ayo, Nin. Kita pulang," sahut ayah yang membuatku semakin bingung. Aku pun tak bergeming, aku hanya terus melihat Reza yang t
****Aku mengambil Shaka dari gendongan ibu, Shaka terlelap. Kami memang sampai ke rumah pukul sembilan malam. Rasa capek jangan ditanya. Perjalanan jauh, badan terasa remuk semua. Namun, ayah tak peduli itu semua tekadnya sudah bulat untum memisakanku dengan Reza. Ibu merangkulku, kulihat dia juga sama bingungnya denganku walau dia sangat bahagia bisa bertemu dengan kami, apalagi ada Shaka--cucunya. "Nin, semua pasti akan baik-baik saja. Ayahmu hanya emosi sesaat, tapi sebenarnya dia terlihat terluka." "Iya, bu." Aku ikut merangkulnya, meski didalam pikiranku hanya ada Reza, Reza dan Reza. Kupejamkan mataku, karena perjalanan masih jauh. Akan sampai sekitar tiga jam lagi ke desa kampung halamanku. Meski ada tangis yang tidak kuperlihatkan. Aku merindukannya, bayangan bahagia bersamanya dengan Shaka hanya mimpi bagi kami berdua. Kami sampai ke rumah. Aku lebih banyak diam, tak ingin banyak bicara, rasa capek ini sudah tak tertahankan.
"Nina sudah mulai mencintainya, yah." "Jangan terlalu gampang mencintai orang lain, nak. Pada akhirnya gampang juga kamu terluka." Kalimat terakhir yang ayah ucapkan membuatku langsung terdiam. Kenapa dia sekarang berbalik tidak menyukai Reza. Apa ini ada konspirasi didalamnya? Mengingat ayah juga memasukkan saham di perusahaannya Reza. "Berapa saham yang ayah miliki?" tanyaku kembali. "Sekitar dua puluh lima persen, itu termasuk yang paling banyak. Karena dari awal perusahaan itu bediri ayah sudah bergabung." Rasanya tidak masuk akal kalau ayah punya saham segitu banyaknya. Selama ini ayah hidup di desa dan tidak nampak menunjukkan hidupnya dengan glamor. Banyak hal yang bersarang di kepalaku. Saat ini aku hanya butuh ponsel agar aku bisa berkomunikasi dengan Reza. Semoga di tetap baik-baik saja disana, tidak menyakiti dirinya lagi. ****Sudah enam hari aku tinggal bersama ayah dan
Ayah menaikkan alisnya, sepertinya beliau juga tidak percayanya sama denganku. Ini orang memang berani mengambil resiko padahal aku tahu dia tidak pernah kerja di sawah. "Jangan macam-macam, bang," bisikku agar dia jangan mengambil resiko pekerjaan ini. "Santai saja, dik. Aku sudah tahu strategi baik resiko dan peluangnya," bisiknya lagi. Memang kalau sama pengusaha isinya peluang, resiko, strategi dan apalah namanya. "Demi cintaku padamu dik, semua akan kusebrangi jangankan lautan gunung pun ke lewati." Kembali dia berbisik, entah mengapa kali ini aku merasa tuan Reza ini lucu orangnya. "Eh, kalian bisik apa? Nina sinih, jangan dekat-dekat." Ayah menarikku, agar tak berada di dekat Reza. Bukannya tak
"Memang di otaknya Reza itu isinya peluang dan strategi ayah akui itu," ucap ayah membuatku semakin tidak sabar melihat Reza menyelesaikan sawah yang dibajak. Setelah selesai, Reza langsung menemui ayah. "Gimana, yah? Alhamdulillah sudah selesai." "Lumayan, tapi masih ada satu lagi yang perlu kamu selesaikan," ujar ayah. "Apalagi, yah?" "Kamu harus menanam padi sendiri besok pagi, tanpa dibantu." "Ha? Seluas ini, yah?" Tanya Reza, kali ini dia sedikit panik beda dengan sebelumnya. "Mau Nina atau protes?" Tanya ayah kembali. &nbs
Kami pulang ke rumah untuk istirahat. Reza terus curi pandang denganku dan Shaka. Dia masih menjaga sikapnya agar tidak dekat-dekat denganku."Ibu Nila ini menantunya itu, ya, ganteng sekali." Bu Marni tetangga kami mendekat, bu Nila adalah panggilan ibu disini."Iya, Bu Marni. Ini suaminya Nina.""Ganteng begini, tidak pengangguran kan?" tanya bu Ningsih yang ikut nimbrung. Reza hanya senyum-senyum mendengar ibu-ibu penasaran."Alhamdulillah, menantu saya pekerja keras, bu Ningsih," jawab ibu.Reza masuk langsung membersihkan diri, Farhan asistennya turut serta kemana dia pergi. Memamg dia bos yang meresahkan anak buah, Farhan sangat setia kemana Reza berada.&n
Reza nampaknya tidak keberatan makan bersila bersama kami. Tanpa sendok dia ikut makan dengan lahap, hanya ada sayur kelor, ikan bakar serta ikan asin ditambah adanya sambal menambah selera makan. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat Reza yang begitu lahap makan masakan ibu. "Tuan kayak tidak pernah makan seminggu," bisik Farhan, tapi bisa kudengar. "Makanku tak berselera selama seminggu ini, Han," jawabnya. "Ekheem ... makan tak boleh bicara," titah ayah. Semua kembali diam. Aku masih tidak percaya Reza sampai menyendok tiga kali. Dia lapar apa doyan. Selesai makan kami melanjutkan untuk salat Isya berjamaah, diimani kembali oleh Reza. Setelahnya kami duduk berdua. "Abang capek?" Tanyaku, dia bersandar terlihat mengantuk sekali. "Lumayan, dik. Gak kangen sama aku sayang?" Tanyanya kembali. Untung sepi bisa ketahuan kalau kami sedang bucin. "Kangen berat lah, bang." "Ciyee, bisa k
Ayah berteriak, tapi kami tidak peduli. Entah bagaimana ceritanya ayah menggunakan Pluit agar kami naik ke atas. Ya Allah capek rasanya. Bukannya menyesal kami malah tertawa lepas."Ya Allah Nina, lihat wajahmu kayak apa!" Ibu ikut teriak."Gitu sudah punya bos buciiin!" Farhan tak mau kalah meledek bosnya."Kalian ini, memang benar-benar." Ayah mau marah, tapi Reza jahil dia tempelin lumpur ke hidung ayah. Bukannya marah ayah ikut mengambil lumpur menaruh di wajahnya Reza. Ya salam benar-benar somplak semuanya."Ayah nyerah, kalian tidak bisa dipisahkan.""Yeeee! Nina I Love you ...." Ya ampun si Abang tak sadar berteriak di tengah sawah, Farhan hanya geleng-geleng kepala melihat tuannya. Ibu juga kulihat tak dapat menahan tawanya.Kelakuan abang Reza memang!****Pulang dari sawah, aku langsung membersihkan diri. Reza pun demikian. Ayah sudah menyerahkan yang menanam padi pada ahl