****
Aku mengambil Shaka dari gendongan ibu, Shaka terlelap. Kami memang sampai ke rumah pukul sembilan malam. Rasa capek jangan ditanya. Perjalanan jauh, badan terasa remuk semua. Namun, ayah tak peduli itu semua tekadnya sudah bulat untum memisakanku dengan Reza.Ibu merangkulku, kulihat dia juga sama bingungnya denganku walau dia sangat bahagia bisa bertemu dengan kami, apalagi ada Shaka--cucunya.
"Nin, semua pasti akan baik-baik saja. Ayahmu hanya emosi sesaat, tapi sebenarnya dia terlihat terluka."
"Iya, bu." Aku ikut merangkulnya, meski didalam pikiranku hanya ada Reza, Reza dan Reza.
Kupejamkan mataku, karena perjalanan masih jauh. Akan sampai sekitar tiga jam lagi ke desa kampung halamanku. Meski ada tangis yang tidak kuperlihatkan. Aku merindukannya, bayangan bahagia bersamanya dengan Shaka hanya mimpi bagi kami berdua.
Kami sampai ke rumah. Aku lebih banyak diam, tak ingin banyak bicara, rasa capek ini sudah tak tertahankan.
"Nina sudah mulai mencintainya, yah." "Jangan terlalu gampang mencintai orang lain, nak. Pada akhirnya gampang juga kamu terluka." Kalimat terakhir yang ayah ucapkan membuatku langsung terdiam. Kenapa dia sekarang berbalik tidak menyukai Reza. Apa ini ada konspirasi didalamnya? Mengingat ayah juga memasukkan saham di perusahaannya Reza. "Berapa saham yang ayah miliki?" tanyaku kembali. "Sekitar dua puluh lima persen, itu termasuk yang paling banyak. Karena dari awal perusahaan itu bediri ayah sudah bergabung." Rasanya tidak masuk akal kalau ayah punya saham segitu banyaknya. Selama ini ayah hidup di desa dan tidak nampak menunjukkan hidupnya dengan glamor. Banyak hal yang bersarang di kepalaku. Saat ini aku hanya butuh ponsel agar aku bisa berkomunikasi dengan Reza. Semoga di tetap baik-baik saja disana, tidak menyakiti dirinya lagi. ****Sudah enam hari aku tinggal bersama ayah dan
Ayah menaikkan alisnya, sepertinya beliau juga tidak percayanya sama denganku. Ini orang memang berani mengambil resiko padahal aku tahu dia tidak pernah kerja di sawah. "Jangan macam-macam, bang," bisikku agar dia jangan mengambil resiko pekerjaan ini. "Santai saja, dik. Aku sudah tahu strategi baik resiko dan peluangnya," bisiknya lagi. Memang kalau sama pengusaha isinya peluang, resiko, strategi dan apalah namanya. "Demi cintaku padamu dik, semua akan kusebrangi jangankan lautan gunung pun ke lewati." Kembali dia berbisik, entah mengapa kali ini aku merasa tuan Reza ini lucu orangnya. "Eh, kalian bisik apa? Nina sinih, jangan dekat-dekat." Ayah menarikku, agar tak berada di dekat Reza. Bukannya tak
"Memang di otaknya Reza itu isinya peluang dan strategi ayah akui itu," ucap ayah membuatku semakin tidak sabar melihat Reza menyelesaikan sawah yang dibajak. Setelah selesai, Reza langsung menemui ayah. "Gimana, yah? Alhamdulillah sudah selesai." "Lumayan, tapi masih ada satu lagi yang perlu kamu selesaikan," ujar ayah. "Apalagi, yah?" "Kamu harus menanam padi sendiri besok pagi, tanpa dibantu." "Ha? Seluas ini, yah?" Tanya Reza, kali ini dia sedikit panik beda dengan sebelumnya. "Mau Nina atau protes?" Tanya ayah kembali. &nbs
Kami pulang ke rumah untuk istirahat. Reza terus curi pandang denganku dan Shaka. Dia masih menjaga sikapnya agar tidak dekat-dekat denganku."Ibu Nila ini menantunya itu, ya, ganteng sekali." Bu Marni tetangga kami mendekat, bu Nila adalah panggilan ibu disini."Iya, Bu Marni. Ini suaminya Nina.""Ganteng begini, tidak pengangguran kan?" tanya bu Ningsih yang ikut nimbrung. Reza hanya senyum-senyum mendengar ibu-ibu penasaran."Alhamdulillah, menantu saya pekerja keras, bu Ningsih," jawab ibu.Reza masuk langsung membersihkan diri, Farhan asistennya turut serta kemana dia pergi. Memamg dia bos yang meresahkan anak buah, Farhan sangat setia kemana Reza berada.&n
Reza nampaknya tidak keberatan makan bersila bersama kami. Tanpa sendok dia ikut makan dengan lahap, hanya ada sayur kelor, ikan bakar serta ikan asin ditambah adanya sambal menambah selera makan. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat Reza yang begitu lahap makan masakan ibu. "Tuan kayak tidak pernah makan seminggu," bisik Farhan, tapi bisa kudengar. "Makanku tak berselera selama seminggu ini, Han," jawabnya. "Ekheem ... makan tak boleh bicara," titah ayah. Semua kembali diam. Aku masih tidak percaya Reza sampai menyendok tiga kali. Dia lapar apa doyan. Selesai makan kami melanjutkan untuk salat Isya berjamaah, diimani kembali oleh Reza. Setelahnya kami duduk berdua. "Abang capek?" Tanyaku, dia bersandar terlihat mengantuk sekali. "Lumayan, dik. Gak kangen sama aku sayang?" Tanyanya kembali. Untung sepi bisa ketahuan kalau kami sedang bucin. "Kangen berat lah, bang." "Ciyee, bisa k
Ayah berteriak, tapi kami tidak peduli. Entah bagaimana ceritanya ayah menggunakan Pluit agar kami naik ke atas. Ya Allah capek rasanya. Bukannya menyesal kami malah tertawa lepas."Ya Allah Nina, lihat wajahmu kayak apa!" Ibu ikut teriak."Gitu sudah punya bos buciiin!" Farhan tak mau kalah meledek bosnya."Kalian ini, memang benar-benar." Ayah mau marah, tapi Reza jahil dia tempelin lumpur ke hidung ayah. Bukannya marah ayah ikut mengambil lumpur menaruh di wajahnya Reza. Ya salam benar-benar somplak semuanya."Ayah nyerah, kalian tidak bisa dipisahkan.""Yeeee! Nina I Love you ...." Ya ampun si Abang tak sadar berteriak di tengah sawah, Farhan hanya geleng-geleng kepala melihat tuannya. Ibu juga kulihat tak dapat menahan tawanya.Kelakuan abang Reza memang!****Pulang dari sawah, aku langsung membersihkan diri. Reza pun demikian. Ayah sudah menyerahkan yang menanam padi pada ahl
Setelah mengatakan itu, entah mengapa reuninya terasa beda. Ada yang mau mendekatiku, tapi malu karena Reza terus menempel. Kami duduk berduaan merasakan atmosfer cinta yang bersemi di hati kami. Ini sih, bukan reuni, tapi kencan dadakan abang dan adek. Uhuuk."Siapa Feri itu sayang?" tanya Reza."Katanya sih dulu suka sama adikmu yang manis ini," jawabku sambil memamerkan senyuman termanisku."Wah, main-main kalau dekati istriku.""Namanya juga masa SMA sayang, banyak masa lalu lah, memang abang gak ada yang suka?" tanyaku semoga tidak cemburu saja. Biasanya wanita yang bertanya-tanya, dikasitahu eh, ujung-ujungnya tetap saja cemburu."Ada, bahkan tiap hari tas abang penuh dengan surat
"Welcome Miss Adytama," ucapnya sambil langsung memelukku."Perkenalkan ini adalah nyonya Adytama kalian penuhi segala kebutuhan beliau," sambut Miss Dora ke semua pelayan yang ada.Shaka dibawa langsung oleh Fatia, sementara aku menyiapkan keperluan Reza yang akan segera berangkat kerja. Suasana tentunya beda dengan pertama kali aku berkunjung ke rumah ini, untuk pertama kalinya aku menyiapkan kebutuhan Reza layaknya suami istri."Jangan capek ya, sayang. Happy saja di rumah ini. Jika ada sesuatu yang adik dengar dan menjadi pikiran, cepat laporkan abang.""Siap sayang.""Jangan terlalu percaya dengan seseorang seratus persen, apa pun yang kiranya merasa janggal jangan disembunyikan dari abang," ucapnya lagi. Aku sibuk merapikan dasinya."Di meja rias ada ponsel yang sudah abang beli. Langsung ada sim card nya juga, nanti kalau kangen langsung telpon abang, oke."
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat