"Nina sudah mulai mencintainya, yah."
"Jangan terlalu gampang mencintai orang lain, nak. Pada akhirnya gampang juga kamu terluka."
Kalimat terakhir yang ayah ucapkan membuatku langsung terdiam. Kenapa dia sekarang berbalik tidak menyukai Reza. Apa ini ada konspirasi didalamnya? Mengingat ayah juga memasukkan saham di perusahaannya Reza.
"Berapa saham yang ayah miliki?" tanyaku kembali.
"Sekitar dua puluh lima persen, itu termasuk yang paling banyak. Karena dari awal perusahaan itu bediri ayah sudah bergabung." Rasanya tidak masuk akal kalau ayah punya saham segitu banyaknya. Selama ini ayah hidup di desa dan tidak nampak menunjukkan hidupnya dengan glamor.
Banyak hal yang bersarang di kepalaku. Saat ini aku hanya butuh ponsel agar aku bisa berkomunikasi dengan Reza. Semoga di tetap baik-baik saja disana, tidak menyakiti dirinya lagi.
****
Sudah enam hari aku tinggal bersama ayah danAyah menaikkan alisnya, sepertinya beliau juga tidak percayanya sama denganku. Ini orang memang berani mengambil resiko padahal aku tahu dia tidak pernah kerja di sawah. "Jangan macam-macam, bang," bisikku agar dia jangan mengambil resiko pekerjaan ini. "Santai saja, dik. Aku sudah tahu strategi baik resiko dan peluangnya," bisiknya lagi. Memang kalau sama pengusaha isinya peluang, resiko, strategi dan apalah namanya. "Demi cintaku padamu dik, semua akan kusebrangi jangankan lautan gunung pun ke lewati." Kembali dia berbisik, entah mengapa kali ini aku merasa tuan Reza ini lucu orangnya. "Eh, kalian bisik apa? Nina sinih, jangan dekat-dekat." Ayah menarikku, agar tak berada di dekat Reza. Bukannya tak
"Memang di otaknya Reza itu isinya peluang dan strategi ayah akui itu," ucap ayah membuatku semakin tidak sabar melihat Reza menyelesaikan sawah yang dibajak. Setelah selesai, Reza langsung menemui ayah. "Gimana, yah? Alhamdulillah sudah selesai." "Lumayan, tapi masih ada satu lagi yang perlu kamu selesaikan," ujar ayah. "Apalagi, yah?" "Kamu harus menanam padi sendiri besok pagi, tanpa dibantu." "Ha? Seluas ini, yah?" Tanya Reza, kali ini dia sedikit panik beda dengan sebelumnya. "Mau Nina atau protes?" Tanya ayah kembali. &nbs
Kami pulang ke rumah untuk istirahat. Reza terus curi pandang denganku dan Shaka. Dia masih menjaga sikapnya agar tidak dekat-dekat denganku."Ibu Nila ini menantunya itu, ya, ganteng sekali." Bu Marni tetangga kami mendekat, bu Nila adalah panggilan ibu disini."Iya, Bu Marni. Ini suaminya Nina.""Ganteng begini, tidak pengangguran kan?" tanya bu Ningsih yang ikut nimbrung. Reza hanya senyum-senyum mendengar ibu-ibu penasaran."Alhamdulillah, menantu saya pekerja keras, bu Ningsih," jawab ibu.Reza masuk langsung membersihkan diri, Farhan asistennya turut serta kemana dia pergi. Memamg dia bos yang meresahkan anak buah, Farhan sangat setia kemana Reza berada.&n
Reza nampaknya tidak keberatan makan bersila bersama kami. Tanpa sendok dia ikut makan dengan lahap, hanya ada sayur kelor, ikan bakar serta ikan asin ditambah adanya sambal menambah selera makan. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat Reza yang begitu lahap makan masakan ibu. "Tuan kayak tidak pernah makan seminggu," bisik Farhan, tapi bisa kudengar. "Makanku tak berselera selama seminggu ini, Han," jawabnya. "Ekheem ... makan tak boleh bicara," titah ayah. Semua kembali diam. Aku masih tidak percaya Reza sampai menyendok tiga kali. Dia lapar apa doyan. Selesai makan kami melanjutkan untuk salat Isya berjamaah, diimani kembali oleh Reza. Setelahnya kami duduk berdua. "Abang capek?" Tanyaku, dia bersandar terlihat mengantuk sekali. "Lumayan, dik. Gak kangen sama aku sayang?" Tanyanya kembali. Untung sepi bisa ketahuan kalau kami sedang bucin. "Kangen berat lah, bang." "Ciyee, bisa k
Ayah berteriak, tapi kami tidak peduli. Entah bagaimana ceritanya ayah menggunakan Pluit agar kami naik ke atas. Ya Allah capek rasanya. Bukannya menyesal kami malah tertawa lepas."Ya Allah Nina, lihat wajahmu kayak apa!" Ibu ikut teriak."Gitu sudah punya bos buciiin!" Farhan tak mau kalah meledek bosnya."Kalian ini, memang benar-benar." Ayah mau marah, tapi Reza jahil dia tempelin lumpur ke hidung ayah. Bukannya marah ayah ikut mengambil lumpur menaruh di wajahnya Reza. Ya salam benar-benar somplak semuanya."Ayah nyerah, kalian tidak bisa dipisahkan.""Yeeee! Nina I Love you ...." Ya ampun si Abang tak sadar berteriak di tengah sawah, Farhan hanya geleng-geleng kepala melihat tuannya. Ibu juga kulihat tak dapat menahan tawanya.Kelakuan abang Reza memang!****Pulang dari sawah, aku langsung membersihkan diri. Reza pun demikian. Ayah sudah menyerahkan yang menanam padi pada ahl
Setelah mengatakan itu, entah mengapa reuninya terasa beda. Ada yang mau mendekatiku, tapi malu karena Reza terus menempel. Kami duduk berduaan merasakan atmosfer cinta yang bersemi di hati kami. Ini sih, bukan reuni, tapi kencan dadakan abang dan adek. Uhuuk."Siapa Feri itu sayang?" tanya Reza."Katanya sih dulu suka sama adikmu yang manis ini," jawabku sambil memamerkan senyuman termanisku."Wah, main-main kalau dekati istriku.""Namanya juga masa SMA sayang, banyak masa lalu lah, memang abang gak ada yang suka?" tanyaku semoga tidak cemburu saja. Biasanya wanita yang bertanya-tanya, dikasitahu eh, ujung-ujungnya tetap saja cemburu."Ada, bahkan tiap hari tas abang penuh dengan surat
"Welcome Miss Adytama," ucapnya sambil langsung memelukku."Perkenalkan ini adalah nyonya Adytama kalian penuhi segala kebutuhan beliau," sambut Miss Dora ke semua pelayan yang ada.Shaka dibawa langsung oleh Fatia, sementara aku menyiapkan keperluan Reza yang akan segera berangkat kerja. Suasana tentunya beda dengan pertama kali aku berkunjung ke rumah ini, untuk pertama kalinya aku menyiapkan kebutuhan Reza layaknya suami istri."Jangan capek ya, sayang. Happy saja di rumah ini. Jika ada sesuatu yang adik dengar dan menjadi pikiran, cepat laporkan abang.""Siap sayang.""Jangan terlalu percaya dengan seseorang seratus persen, apa pun yang kiranya merasa janggal jangan disembunyikan dari abang," ucapnya lagi. Aku sibuk merapikan dasinya."Di meja rias ada ponsel yang sudah abang beli. Langsung ada sim card nya juga, nanti kalau kangen langsung telpon abang, oke."
Hampir ketahuan, setelah mengatur nafas aku langsung balik badan ternyata yang menarikku adalah Fatia. Syukur, aku kira siapa yang menarikku. Jantung ini masih belum beraturan."Nona, kenapa teledor sekali." Fatia memarahiku karena dia juga sambil menarik nafas agar tidak ketahuan.Kami langsung mengambil Shaka dan membawanya ke kamar. Fatia terlihat panik juga. Degup jantung ini benar-benar berirama. Kami langsung mengunci pintu kamar agar tidak ada yang mendengar percakapan kami."Non, ternyata di rumah ini ada monster berbulu domba," ucap Fatia. Ada-ada saja Fatia ini. Serigala berbulu domba, sih, iya."Memang apa yang mbak tahu?" tanyaku yang mulai penasaran."Ibu tiri tuan ternyata
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa