Hal yang paling memberatkan di dunia ini adalah melihat orang yang kita cintai raganya terlihat. Namun, tak bisa saling menyapa, apalagi saling membelai. Hanya bisa melihatnya terbaring lemah tak berdaya. Tanpa sahutan apalagi candaan yang menjadi aktivitas kami berdua. POV Reza Nina terbaring lemah. Baru saja tindakan operasi dilakukan. Nina saat ini berada di ruang ICU. Dia terbaring lemah dengan alat medis yang menempel di tubuhnya. Rasanya aku sudah tidak memiliki gairah hidup lagi, melihatnya terbaring lemah rasanya sangat sakit tak bisa kulukiskan perasaan ini dihatiku. Penembak bahkan sudah dijebloskan ke penjara, Farhan yang mengurus semuanya aku hanya duduk menemani istriku yang lemah tak berdaya. Sudah dua hari dia belum sadarkan diri. Aku mengu
"Kembalilah, sayang ...." Lagi, air mataku luruh. "Aku tidak sekuat kamu sayang, aku tidak kuat berjauhan. Bangunlah sayang ...." "Tuhan begitu adil menguji kita sayang. Merasakan hal yang sama. Merasakan cinta yang semakin bersemi di hati kita. Mematahkan segala prasangka di antara kita. Aku mencintaimu dari dulu sampai sekarang. Aku sangat merindukan suaramu sayang. Nin, bangunlah ... aku merindukanmu, sayang. Aku tak kuat melihatmu seperti ini. Bangunlah, anak kita membutuhkan kita untuk bersama. Jangan lagi ada jarak yang memisahkan kita berdua." Hingga tak tahan akhirnya aku tertidur pulas di dekatnya. Baru kusadar. Ternyata rindu itu sangat menyiksa. Begitu menyiksa hingga rasanya begitu menyesakkan.
"Bersiap!"Dokter mulai memberi instruksi untuk melakukan tindakan CPR. Lututku gemetar, langkah kakiku terasa berat. Debaran di dadaku tidak kuasa untuk melihat Nina di pompa hingga aku terjatuh tak sadarkan diri.****"Alhamdulillah akhirnya kakak sadar juga, kami sangat panik, kak." Rena sedang menungguku, dia terlihat sangat panik. Guratan kesedihan sangat nampak di wajahnya."Istri kakak bagaimana?" tanyaku. Hanya Nina yang ada dipikiranku."Itu ...."Dadaku kembali nyeri. Kenapa Rena begitu gugup."Nina baik-baik saja, Za." Ibu mertuaku tiba-tiba menghampiri. 
Berat sekali mata ini terbuka. Terasa ada yang membelai tanganku, begitu lembut. Sesekali aku merasakan ada yang mencium punggung tanganku yang sangat tulus kurasa.Ada Reza yang sedang berbaring di dekatku. Dia memegang tanganku sambil membelainya."Sayang ...." Hanya itu yang keluar dari mulutku, walau berat.Reza terbangun, binar matanya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata walau terlihat dia masih lemas tak berdaya."Abang ... aku dimana?" aku bertanya lagi. Karena Reza bengong dan gugup seperti tak menyangka aku terbangun dan bisa memanggil namanya."Nin ...." suara Reza tercekat."Apa abang tidak mimpi?" Dia
***Dua tahun berlalu banyak hal yang berubah. Brayen sudah mengetahui siapa ayah kandungnya, meski begitu Brayen lebih memilih tinggal bersama kami. Tak ada yang berkurang, semuanya mengalir apa adanya. Cinta selalu bersemi dihati kami."Daddy bawa apa itu?" tanya Brayen yang melihat Daddy nya membawa undangan.Brayen tak terasa sudah kelas empat sekolah dasar, Shaka pun sudah mulai sekolah di taman kanak-kanak."Ini undangan dari Dokter Gunawan," jawab Reza."Alhamdulillah akhirnya dokter jomlo menikah." Yang jawab Brayen. Tiap minggu Dokter Gunawan selalu mampir ke rumah di tengah-tengah kesibukannya.Rumahnya Reza sudah tak seperti dulu lagi, aku membuat struktur yang berbeda. Tidak ada kepala pelayan atau asisten yang beda-beda dari kami. Untuk keperluan Reza semuanya aku yang handel agar baktiku tidak berkurang padanya. Mereka bekerja sesuai tugasnya masing-masing. Aku lebih menggunakan sistem kekeluar
Brayen tumbuh dengan besar umurnya sekarang menginjak 17 tahun. Namun, ulahnya Brayen setiap hari bikin elus dada. Aku benar-benar dibuat menjadi ibu yang pengertian dan sabar. Selama satu semester di kelas sebelas yang sebentar lagi kelas duabelas Brayen tingkahnya semakin aneh. Dia sering berkelahi dengan teman di sekolahnya."Ulahnya Brayen kali ini memukul teman sekelasnya, sayang," ucapku sembari tidur di pangkuan suamiku--Reza."Sabar, sayang. Mungkin Brayen sedang di fase ingin di perhatikan," jawab Reza.Aku sekarang menjadi psikolog terkenal berkat bantuan Reza. Shaka dan adiknya bernama Monica tumbuh dengan baik, tapi berbeda dengan Brayen, kurasa dia salah pergaulan membuat kami terus berfikir keras. Kadang aku sedikit frustasi mengingat setiap minggu selalu saja ada surat panggilan denga
Kali ini aku dan Reza saling tatap. Beberapa kali aku menahan nafas mengingat Brayen sudah berani playing Victim. Merasa diri seperti korban, padahal dia adalah tersangka utamanya. Bagaimana kami tidak dipanggil, kabarnya teman berkelahi Brayen sudah masuk rumah sakit dan hidungnya di jahit. "Kita harus ekstra sabar, bang," ucapku bersama Reza di cafe. Kami sedang menenangkan diri menghadapi kenyataan dan rasa malu di depan semua guru di sekolahnya Brayen tadi. "Apa kita pindahkan saja dia sekolah, sayang?" tanya Reza. "Bagaimana jika kita pindahkan saja dia ke pondok, bang?" "Masalahnya Brayen dari dulu tidak mau, sayang." Henin
****Kuhamparkan sajadah, bermunajat kepada sang pemberi hidup. Aku harus cepat menjelaskan ke Brayen bahwa dia sudah baligh dan harus tahu batasan denganku sebagai ibu sambungnya. Kecemburuannya terlalu berlebihan membuat dia semakin berulah. Jam menunjukkan pukul dua siang sebentar lagi Shaka dan Monica pulang. Brayen terlihat sedang menyantap makan siang, aku kira dia akan mogok di kamarnya. Ternyata aku salah. "Aku sudah mempelajari batasanku dengan bunda, itu artinya suatu saat jika daddy tiada aku bisa menggantikan daddy sebagai suaminya Miss Nina." "Brayen, jaga ucapanmu!" tegasku. "Itu 'kan maksud bunda? Bahwa bunda denganku bukan muhrim dan artinya aku dan bunda bisa menikah suatu saat nanti. Hidup siapa yang bisa jamin!" Kali ini aku menamparnya dengan keras! Plak! "Bunda membatasi diri bukan berarti bunda tidak tahu aturan. Memeluk dan menciummu memang harus bunda